Oktober
2003
Sejak
hari itu baik Jihan maupun Naura seakan tak terpisahkan, hubungannya lebih
lengket dan erat membuat iri siapapun yang melihatnya, saat Naura duduk
teremenung menunggu Jihan menyelesaikan pekerjaannya di ruang OSIS, melihat
kebersamaan Jihan dan Naura saat ada event – event penting. Jihan juga tidak
mengerti kenapa Naura seakan tak mau sedikitpun melepaskannya, terkadang Naura
sampai tertidur disampingnya atau dipangkuannya saat dirinya sedang mengetik
surat untuk event di sekolah Mereka. Seperti hari ini misalnya, Jihan menatap
Naura yang tengah terlelap diantara lipatan tangannya gadis itu pasti lelah
menunggunya dengan lembut Jihan membelai rambut Naura tersenyum lembut kemudian
mendesah pelan dan mencium kening Naura membuat Naura melenguh kecil.
“Bangun sayang, Kita udah mau pulang,”
bisik Jihan pelan di telinga Naura. Pelan Naura membuka matanya, kemudian
tersenyum manis kepada Jihan yang juga tengah tersenyum padanya. “Udah
selesai??”
“Belum sih, nanti Aku terusin di rumah
aja udah sore,” Naura mengangguk pelan meraih tangan Jihan kemudian memeluk
Jihan erat.
“Kamu kenapa???”
“Aku kangen banget sama Kamu,” mendengar
ucapan Naura membuat Jihan terkekeh tidak habis fikir dengan jalan pikiran
Naura.
“Kamu ini lucu tahu gak, dari tadi Kita
itu bareng disini sayang, kenapa kangen??”
“Gak tahu, intinya Aku kangen banget
sama Kamu, meskipun Aku baru saja terpejam sedetik,” Jihan semakin mendekap
erat Naura kemudian melepaskannya.
“Udah sore, Kita pulang sekarang oke??”
“Tapi Aku masih sangat merindukanmu,
Jihan”
“Simpan rindu itu untuk besok oke??”
Naura mendesah pasrah, membiarkan Jihan menuntunnya untuk pulang. Namun siapa
yang tahu jika Mereka memendam banyak pertanyaan, memendam banyak andai, dan
merapal tentang bagaimana menghabiskan hari ini dengan indah, tentang bagaimana
cara membuat orang yang Mereka cinta bahagia. Siapa yang tahu jika Mereka telah
lelah memikirkan masa depan, sudah jengah dengan khawatir yang menyeruakkan
kesakitan saat kata masa depan muncul. Siapa yang tahu jika Mereka tak pernah
lagi berani untuk berangan tentang hal indah di masa depan, tentang akhir yang
bahagia jika kenyataannya saat hari itu datang Mereka hanya akan mendapatkan
akhir yang menyakitkan dan menyesakkan, bukan akhir bahagia yang diharapkan
banyak orang. Siapa yang tahu jika Mereka sedang belajar melepaskan meski
terasa sangat berat.
Jihan
menatap Naura kesal, jantungnya dibuat berolahraga saat melihat Naura di depan
pintu rumahnya dengan senyum khasnya, dan saat ini Naura tengah duduk
dipangkuannya sembari terus memandanginya yang sedang mengerjakan tugasnya.
“Kamu gak belajar??”
“Sudah, Aku hanya ingin terus berada
disampingmu,”
“Bisa Kamu turun dari pangkuanku?? Aku
merasa terganggu,” Naura menunduk tak bisa menuruti permintaan Jihan, Dia
mengalungkan tangannya di leher Jihan.
“Ra...”
“Aku akan membantumu,” Jihan mendesah
kemudian mengangguk membiarkan Naura membantunya. Hari sudah malam Jihan
menatap Naura yang tertidur dipangkuannya, Jihan membelai rambut Naura penuh
sayang kemudian mendesah Dia tidak tahu apa yang membuat Naura menjadi seperti
ini, yang Dia tahu setelah hari ulang tahunnya Naura menjadi manja seakan tak
mau lepas barang secentipun darinya.
“Han,” teguran sang Bunda membuatnya
menoleh, kemudian tersenyum dan menempelkan telunjuknya di bibirnya, bu salma
mengangguk membiarkan Jihan membopong tubuh Naura yang sudah terlelap.
“Jihan anter Naura pulang dulu Bun, boleh
pinjam mobil Ayah kan??” bu salma mengangguk.
“Bilang sama Ayah,”
“Ayah sekalian antar aja, nanti kalau
ada apa – apa Kamu juga yang repot,”
“Tapi Jihan ikut ya Yah,” pak arif
mengangguk.
Jihan menyelimuti tubuh Naura dengan
selimut kemudian mencium kening Naura lembut.
“Aku gak tahu apa yang terjadi sama
Kamu, dan apa yang Kamu takutin, tapi meskipun seperti itu, Aku tidak keberatan
Aku akan selalu disamping Kamu, kapanpun Kamu mau dan kapanpun Kamu butuh Aku,”
Jihan menjeda ucapannya kembali mencium kening Naura.
“Good
night my angel,”.
“Ayah
perhatiin akhir – akhir ini Naura nempel terus sama Kamu, ada masalah?” Jihan
mendesah mendengar pertanyaan ayahnya.
“Aku juga gak tahu, Naura seakan – akan
gak mau kehilangan Aku,”
“Takut??”
“Mungkin Yah, Jihan juga gak tahu kenapa
Naura jadi kaya’ gini,”
“Apa ada yang melakukan intimidasi
kepada Naura??”
“Maksud Ayah??”
“Bisa aja, Naura gak mau pisah sama Kamu
karena khawatir dan mau jagain Kamu dari orang – orang yang berniat jahat sama
Kamu,”
“Jihan bisa jaga diri kok,”
“Tapi pandangan Naura beda Han, mungkin
saja orang yang Naura maksud akan melukaimu saat Naura gak ada disamping Kamu,”
“Maksud Ayah??”
“Bisa jadi, Naura memiliki ketakutan dan
kekhawatiran yang luar biasa saat gak berada disamping Kamu,”
“Jadi...”
“Gini lho, ada Dua kemungkinan, Satu
bisa jadi Naura melindungi Kamu dari orang lain, Dua bisa jadi Naura berusaha
mencari perlindungan dari Kamu, mengerti??”
“Aku masih gak ngerti Yah, kenapa Naura
gak cerita sama Aku??”
“Coba tanyakan besok,” Jihan mengangguk
pelan kemudian mendesah menyenderkan punggungnya di jok mobil.
“Tapi Kamu gak keberatan kan??” mobil
berhenti di pekarangan, pak arif melepas sabuk pengamannya, Jihan yang
melakukan hal yang sama tertegun.
“Seharusnya tidak Yah, tapi agak sedikit
mengganggu tugas – tugasku,”
“Mengganggu??”
“Ya, mengganggu”
“Mengganggu tapi Kamu juga senang kan??
Bunda Kamu aja jarang melakukan itu,” Jihan menggaruk tengkuknya meringis saat
menyadari ada yang panas di pipinya.
“Cie anak Ayah malu, udah yuk masuk kasihan
Bunda udah nungguin,” pak arif merangkul bahu Jihan mengajak putra semata
wayangnya itu ke dalam rumah.
Binta
menghampiri Naura yang tengah duduk di meja kantin tempat biasa Naura dan Jihan
bercengkrama di kantin.
“Ra..”
“Ekh Binta, ada apa?? Tumben main ke
kantin??”
“Gak ada perlu aja sama Kamu, ngomong –
ngomong Jihan kemana??”
“Itu masalahnya, Aku gak tahu Jihan
kemana”
“Langsung aja deh, Ra mau gak? Nanti
siang temenin Aku ke mall ya??”
“Maaf banget Bin, gak bisa nanti siang
Aku mau nemenin Jihan,”
“Kalau sore,??”
“Gak bisa juga,”
“Terus bisanya kapan??”
“Setelah UN,”
“Setelah UN??” Binta menggeleng tak
percaya, tak habis fikir dengan jalan pikiran Naura.
“Itu waktu yang sangat lama Ra... setiap
hari setelah ulang tahun Jihan yang ada dipikiran Kamu Cuma Jihan, Jihan dan
Jihan,, Kamu pernah gak sih mikirin Aku?? Mikirin persahabatan Kita?? Pernah
gak?? Kamu nyadar gak sih kalau akhir – akhir ini Kamu itu jauh dari Aku,
seolah – olah Kamu gak butuh Aku, nyadar gak!!!”
“Bin...Aku bisa jelasin,”
“Jelasin apa Ra??? Kamu gak tahu kan
kalau Aku baru putus dari Alex,?? Disaat Aku butuh teman Kamu kemana Ra..??
Kamu itu gak lebih dari bayang – bayang Aku tahu gak, ada saat terang dan
hilang saat gelap,”
“Kamu gak ngerti..”
“Kamu yang gak ngerti!!!”
“Bin..”
“Cukup Ra!!! Cukup urusin aja Jihan,
cari Jihan kemana aja, karena Kamu gak akan mendapatkan laki – laki itu
disekolah,”
“Maksud Kamu???”
“Kamu gak tahu ya?? Kalau Jihan dapat
tugas ke luar sekolah?? Lihat cowok itu udah mulai gak jujur sama Kamu, dan
mungkin muak sama Kamu, sama kaya’ Aku Ra.. sama,”
“Bin.. Aku gak pernah bermaksud seperti
itu,”
“Sekali bayang – bayang tetaplah bayang
– bayang, Aku benci Kamu,” Binta meninggalkan Naura yang tengah mendesah
frustasi, matanya berkaca – kaca menahan tangis.
“Binta..!!!” Naura berlari mengejar
Binta.
“Bin... Aku bisa jelasin,” Naura terus
mengejar Binta, hingga akhirnya Binta berhenti kemudian berbalik menatap tajam
Naura yang berdiri dengan mata berkaca – kaca.
“Jelasin apalagi Ra!!! Aku benci sama
Kamu!! Benci sama Kamu, Pergi dari hadapan Aku Ra!!!” Binta mendorong kasar
tubuh Naura hingga terjungkal, Naura menatap Binta tak percaya, semarah itukah
Binta padanya, sekecewa itukah?? Namun apakah Binta bisa mengerti saat Naura
menjelaskannya, Naura menatap nanar punggung Binta yang semakin jauh air mata
menetes di pipinya begitu saja, Naura berdiri kemudian berbalik memutuskan
untuk mencari Jihan di ruang OSIS.
“Kalian lihat Jihan??”
“Loh, bukannya Jihan sama Kakak??”
“Gak, tadi Jihan pamit ke sini,”
“Kakak ngaco deh, tadi Jihan bilang mau
pamitan sama Kakak sebelum berangkat ke SMA N 03, mau nganter surat,” mata
Naura membola.
“SMA N 03??”
“Iya,” Naura mengangguk lesu kemudian
berlalu dari ruang OSIS, berniat untuk menelfon Jihan, namun tidak diangkat.
“Loh Kak?? Tumben gak sama Jihan??”
“Jihan kan di SMA N 03 Dra,”
“Ha??? Sejak kapan Kita punya hubungan
sama SMA N 03?? Kakak gak usah ngelawak deh,”
“Maksudnya??”
“Jihan di perpus Kak,” Naura menunduk
sedih tak membalas ucapan Hendra.
“Kamu gak bohong kan Dra??” tanya Naura
lirih, tapi Hendra masih bisa mendengarnya.
“Ya gak lah, baru aja Aku dari sana,”
“Kalau bohong juga gapapa kok, mungkin
Jihan lagi bosan sama Aku,”
“Gak bohong kok Kak,”
“Bohong juga gapapa, Aku pergi dulu,”
Hendra menatap punggung Naura yang nampak lesu dan lelah, seharian ini gadis
itu pasti mencari Jihan ke pelosok sekolah dan hanya menemukan kebohongan,
samar Hendra melihat bahu Naura bergetar, apa gadis itu menangis?? Sungguh
siapapun yang membuat gadis itu menangis adalah sebuah kesalahan begitupun
dengan Jihan, sahabatnya sendiri.
Naura
duduk termenung di atap sekolah air mata masih mengalir di pipinya tatapannya
kosong ke arah depan membuat siapapun pasti iba, ketakutan masih memeluknya
erat, Naura terisak mungkin ini memang salahnya, mungkin ini memang salahnya,
dan saat ini ketakutan semakin memeluknya. Dan disinilah Dia merasa aman dari
ketakutannya bahunya bergetar hebat, isakannya semakin terdengar namun hanya
angin yang tahu kenapa Naura ada disini untuk menangis, air mata yang memberitahu
sang bayu.
“Kamu keterlaluan Han,” Jihan menoleh
menatap Hendra heran.
“Keterlaluan??”
“Iya, Kamu ninggalin Kak Naura gitu aja,
menciptakan kebohongan dimana – mana, Kamu membuatnya sedih Han,”
“Aku mau buktiin sama Dia kalau Aku bisa
jaga diri Aku sendiri, Aku merasa terganggu Dra,”
“Kenapa gak jujur?? Dia pasti bakal
mengerti,”
“Dia juga gak jujur sama Aku, impas
kan???”
“Apa yang ada dipikiran Kamu itu, gak
pasti benar Han,”
“Kalau iya??”
“Kamu egois,”
“Sebenarnya yang pacarnya Naura itu
siapa?? Aku atau Kamu??”
“Bukannya gitu Han..”
“Kamu sama Naura sama aja tahu gak, sama
– sama egois !!!”
“Han..”
“Aku juga butuh waktu sendiri buat
mengerjakan tugas – tugasku,”
“Han.. apa Kamu gak merasakan?? Kalau
Naura lagi sedih??”
“Mana mungkin,” Jihan berlalu dari
hadapan Hendra meninggalkan atap yang sedari tadi menjadi tempat pelariannya,
tanpa tahu jika Naura mendengarnya, mendengar semuanya dan membuat hati Naura
semakin tersayat. Langkah Hendra terhenti saat mendengar suara isak tangis
seseorang dan matanya membola saat melihat Naura duduk meringkuk tak jauh dari
tempatnya berdiri saat ini dan sudah dipastikan jika Naura mendengar
percakapannya dengan Jihan.
“Kak,”
“Aku tahu Kamu bohong,”
“Maaf Kak,”
“Mungkin Jihan benar, Aku itu parasit..”
“Kak..”
“Pergi,”
“Tapi Kak..”
“Pergi !!!! pergi !!!” Hendra mengalah
memilih pergi dari hadapan Naura namun Hendra tak benar – benar pergi.
“Kak, udahlah Jihan pasti hanya capek,
makanya jadi terbawa emosi,”
“Pergi Dra, tinggalin Aku sendiri,”
“Tapi Kak,”
“Pergi !!!” Hendra akhirnya mengalah
memilih pergi dari atap menyusul Jihan ke kelasnya.
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar