Kamis, 19 November 2015

The Cloudy And Rainbow (Part 9)


Oktober 2003
            Sejak hari itu baik Jihan maupun Naura seakan tak terpisahkan, hubungannya lebih lengket dan erat membuat iri siapapun yang melihatnya, saat Naura duduk teremenung menunggu Jihan menyelesaikan pekerjaannya di ruang OSIS, melihat kebersamaan Jihan dan Naura saat ada event – event penting. Jihan juga tidak mengerti kenapa Naura seakan tak mau sedikitpun melepaskannya, terkadang Naura sampai tertidur disampingnya atau dipangkuannya saat dirinya sedang mengetik surat untuk event di sekolah Mereka. Seperti hari ini misalnya, Jihan menatap Naura yang tengah terlelap diantara lipatan tangannya gadis itu pasti lelah menunggunya dengan lembut Jihan membelai rambut Naura tersenyum lembut kemudian mendesah pelan dan mencium kening Naura membuat Naura melenguh kecil.
“Bangun sayang, Kita udah mau pulang,” bisik Jihan pelan di telinga Naura. Pelan Naura membuka matanya, kemudian tersenyum manis kepada Jihan yang juga tengah tersenyum padanya. “Udah selesai??”
“Belum sih, nanti Aku terusin di rumah aja udah sore,” Naura mengangguk pelan meraih tangan Jihan kemudian memeluk Jihan erat.
“Kamu kenapa???”
“Aku kangen banget sama Kamu,” mendengar ucapan Naura membuat Jihan terkekeh tidak habis fikir dengan jalan pikiran Naura.
“Kamu ini lucu tahu gak, dari tadi Kita itu bareng disini sayang, kenapa kangen??”
“Gak tahu, intinya Aku kangen banget sama Kamu, meskipun Aku baru saja terpejam sedetik,” Jihan semakin mendekap erat Naura kemudian melepaskannya.
“Udah sore, Kita pulang sekarang oke??”
“Tapi Aku masih sangat merindukanmu, Jihan”
“Simpan rindu itu untuk besok oke??” Naura mendesah pasrah, membiarkan Jihan menuntunnya untuk pulang. Namun siapa yang tahu jika Mereka memendam banyak pertanyaan, memendam banyak andai, dan merapal tentang bagaimana menghabiskan hari ini dengan indah, tentang bagaimana cara membuat orang yang Mereka cinta bahagia. Siapa yang tahu jika Mereka telah lelah memikirkan masa depan, sudah jengah dengan khawatir yang menyeruakkan kesakitan saat kata masa depan muncul. Siapa yang tahu jika Mereka tak pernah lagi berani untuk berangan tentang hal indah di masa depan, tentang akhir yang bahagia jika kenyataannya saat hari itu datang Mereka hanya akan mendapatkan akhir yang menyakitkan dan menyesakkan, bukan akhir bahagia yang diharapkan banyak orang. Siapa yang tahu jika Mereka sedang belajar melepaskan meski terasa sangat berat.
            Jihan menatap Naura kesal, jantungnya dibuat berolahraga saat melihat Naura di depan pintu rumahnya dengan senyum khasnya, dan saat ini Naura tengah duduk dipangkuannya sembari terus memandanginya yang sedang mengerjakan tugasnya.
“Kamu gak belajar??”
“Sudah, Aku hanya ingin terus berada disampingmu,”
“Bisa Kamu turun dari pangkuanku?? Aku merasa terganggu,” Naura menunduk tak bisa menuruti permintaan Jihan, Dia mengalungkan tangannya di leher Jihan.
“Ra...”
“Aku akan membantumu,” Jihan mendesah kemudian mengangguk membiarkan Naura membantunya. Hari sudah malam Jihan menatap Naura yang tertidur dipangkuannya, Jihan membelai rambut Naura penuh sayang kemudian mendesah Dia tidak tahu apa yang membuat Naura menjadi seperti ini, yang Dia tahu setelah hari ulang tahunnya Naura menjadi manja seakan tak mau lepas barang secentipun darinya.
“Han,” teguran sang Bunda membuatnya menoleh, kemudian tersenyum dan menempelkan telunjuknya di bibirnya, bu salma mengangguk membiarkan Jihan membopong tubuh Naura yang sudah terlelap.
“Jihan anter Naura pulang dulu Bun, boleh pinjam mobil Ayah kan??” bu salma mengangguk.
“Bilang sama Ayah,”
“Ayah sekalian antar aja, nanti kalau ada apa – apa Kamu juga yang repot,”
“Tapi Jihan ikut ya Yah,” pak arif mengangguk.
Jihan menyelimuti tubuh Naura dengan selimut kemudian mencium kening Naura lembut.
“Aku gak tahu apa yang terjadi sama Kamu, dan apa yang Kamu takutin, tapi meskipun seperti itu, Aku tidak keberatan Aku akan selalu disamping Kamu, kapanpun Kamu mau dan kapanpun Kamu butuh Aku,” Jihan menjeda ucapannya kembali mencium kening Naura.
Good night my angel,”.
            “Ayah perhatiin akhir – akhir ini Naura nempel terus sama Kamu, ada masalah?” Jihan mendesah mendengar pertanyaan ayahnya.
“Aku juga gak tahu, Naura seakan – akan gak mau kehilangan Aku,”
“Takut??”
“Mungkin Yah, Jihan juga gak tahu kenapa Naura jadi kaya’ gini,”
“Apa ada yang melakukan intimidasi kepada Naura??”
“Maksud Ayah??”
“Bisa aja, Naura gak mau pisah sama Kamu karena khawatir dan mau jagain Kamu dari orang – orang yang berniat jahat sama Kamu,”
“Jihan bisa jaga diri kok,”
“Tapi pandangan Naura beda Han, mungkin saja orang yang Naura maksud akan melukaimu saat Naura gak ada disamping Kamu,”
“Maksud Ayah??”
“Bisa jadi, Naura memiliki ketakutan dan kekhawatiran yang luar biasa saat gak berada disamping Kamu,”
“Jadi...”
“Gini lho, ada Dua kemungkinan, Satu bisa jadi Naura melindungi Kamu dari orang lain, Dua bisa jadi Naura berusaha mencari perlindungan dari Kamu, mengerti??”
“Aku masih gak ngerti Yah, kenapa Naura gak cerita sama Aku??”
“Coba tanyakan besok,” Jihan mengangguk pelan kemudian mendesah menyenderkan punggungnya di jok mobil.
“Tapi Kamu gak keberatan kan??” mobil berhenti di pekarangan, pak arif melepas sabuk pengamannya, Jihan yang melakukan hal yang sama tertegun.
“Seharusnya tidak Yah, tapi agak sedikit mengganggu tugas – tugasku,”
“Mengganggu??”
“Ya, mengganggu”
“Mengganggu tapi Kamu juga senang kan?? Bunda Kamu aja jarang melakukan itu,” Jihan menggaruk tengkuknya meringis saat menyadari ada yang panas di pipinya.
“Cie anak Ayah malu, udah yuk masuk kasihan Bunda udah nungguin,” pak arif merangkul bahu Jihan mengajak putra semata wayangnya itu ke dalam rumah.
            Binta menghampiri Naura yang tengah duduk di meja kantin tempat biasa Naura dan Jihan bercengkrama di kantin.
“Ra..”
“Ekh Binta, ada apa?? Tumben main ke kantin??”
“Gak ada perlu aja sama Kamu, ngomong – ngomong Jihan kemana??”
“Itu masalahnya, Aku gak tahu Jihan kemana”
“Langsung aja deh, Ra mau gak? Nanti siang temenin Aku ke mall ya??”
“Maaf banget Bin, gak bisa nanti siang Aku mau nemenin Jihan,”
“Kalau sore,??”
“Gak bisa juga,”
“Terus bisanya kapan??”
“Setelah UN,”
“Setelah UN??” Binta menggeleng tak percaya, tak habis fikir dengan jalan pikiran Naura.
“Itu waktu yang sangat lama Ra... setiap hari setelah ulang tahun Jihan yang ada dipikiran Kamu Cuma Jihan, Jihan dan Jihan,, Kamu pernah gak sih mikirin Aku?? Mikirin persahabatan Kita?? Pernah gak?? Kamu nyadar gak sih kalau akhir – akhir ini Kamu itu jauh dari Aku, seolah – olah Kamu gak butuh Aku, nyadar gak!!!”
“Bin...Aku bisa jelasin,”
“Jelasin apa Ra??? Kamu gak tahu kan kalau Aku baru putus dari Alex,?? Disaat Aku butuh teman Kamu kemana Ra..?? Kamu itu gak lebih dari bayang – bayang Aku tahu gak, ada saat terang dan hilang saat gelap,”
“Kamu gak ngerti..”
“Kamu yang gak ngerti!!!”
“Bin..”
“Cukup Ra!!! Cukup urusin aja Jihan, cari Jihan kemana aja, karena Kamu gak akan mendapatkan laki – laki itu disekolah,”
“Maksud Kamu???”
“Kamu gak tahu ya?? Kalau Jihan dapat tugas ke luar sekolah?? Lihat cowok itu udah mulai gak jujur sama Kamu, dan mungkin muak sama Kamu, sama kaya’ Aku Ra.. sama,”
“Bin.. Aku gak pernah bermaksud seperti itu,”
“Sekali bayang – bayang tetaplah bayang – bayang, Aku benci Kamu,” Binta meninggalkan Naura yang tengah mendesah frustasi, matanya berkaca – kaca menahan tangis.
“Binta..!!!” Naura berlari mengejar Binta.
“Bin... Aku bisa jelasin,” Naura terus mengejar Binta, hingga akhirnya Binta berhenti kemudian berbalik menatap tajam Naura yang berdiri dengan mata berkaca – kaca.
“Jelasin apalagi Ra!!! Aku benci sama Kamu!! Benci sama Kamu, Pergi dari hadapan Aku Ra!!!” Binta mendorong kasar tubuh Naura hingga terjungkal, Naura menatap Binta tak percaya, semarah itukah Binta padanya, sekecewa itukah?? Namun apakah Binta bisa mengerti saat Naura menjelaskannya, Naura menatap nanar punggung Binta yang semakin jauh air mata menetes di pipinya begitu saja, Naura berdiri kemudian berbalik memutuskan untuk mencari Jihan di ruang OSIS.
“Kalian lihat Jihan??”
“Loh, bukannya Jihan sama Kakak??”
“Gak, tadi Jihan pamit ke sini,”
“Kakak ngaco deh, tadi Jihan bilang mau pamitan sama Kakak sebelum berangkat ke SMA N 03, mau nganter surat,” mata Naura membola.
“SMA N 03??”
“Iya,” Naura mengangguk lesu kemudian berlalu dari ruang OSIS, berniat untuk menelfon Jihan, namun tidak diangkat.
“Loh Kak?? Tumben gak sama Jihan??”
“Jihan kan di SMA N 03 Dra,”
“Ha??? Sejak kapan Kita punya hubungan sama SMA N 03?? Kakak gak usah ngelawak deh,”
“Maksudnya??”
“Jihan di perpus Kak,” Naura menunduk sedih tak membalas ucapan Hendra.
“Kamu gak bohong kan Dra??” tanya Naura lirih, tapi Hendra masih bisa mendengarnya.
“Ya gak lah, baru aja Aku dari sana,”
“Kalau bohong juga gapapa kok, mungkin Jihan lagi bosan sama Aku,”
“Gak bohong kok Kak,”
“Bohong juga gapapa, Aku pergi dulu,” Hendra menatap punggung Naura yang nampak lesu dan lelah, seharian ini gadis itu pasti mencari Jihan ke pelosok sekolah dan hanya menemukan kebohongan, samar Hendra melihat bahu Naura bergetar, apa gadis itu menangis?? Sungguh siapapun yang membuat gadis itu menangis adalah sebuah kesalahan begitupun dengan Jihan, sahabatnya sendiri.
            Naura duduk termenung di atap sekolah air mata masih mengalir di pipinya tatapannya kosong ke arah depan membuat siapapun pasti iba, ketakutan masih memeluknya erat, Naura terisak mungkin ini memang salahnya, mungkin ini memang salahnya, dan saat ini ketakutan semakin memeluknya. Dan disinilah Dia merasa aman dari ketakutannya bahunya bergetar hebat, isakannya semakin terdengar namun hanya angin yang tahu kenapa Naura ada disini untuk menangis, air mata yang memberitahu sang bayu.
“Kamu keterlaluan Han,” Jihan menoleh menatap Hendra heran.
“Keterlaluan??”
“Iya, Kamu ninggalin Kak Naura gitu aja, menciptakan kebohongan dimana – mana, Kamu membuatnya sedih Han,”
“Aku mau buktiin sama Dia kalau Aku bisa jaga diri Aku sendiri, Aku merasa terganggu Dra,”
“Kenapa gak jujur?? Dia pasti bakal mengerti,”
“Dia juga gak jujur sama Aku, impas kan???”
“Apa yang ada dipikiran Kamu itu, gak pasti benar Han,”
“Kalau iya??”
“Kamu egois,”
“Sebenarnya yang pacarnya Naura itu siapa?? Aku atau Kamu??”
“Bukannya gitu Han..”
“Kamu sama Naura sama aja tahu gak, sama – sama egois !!!”
“Han..”
“Aku juga butuh waktu sendiri buat mengerjakan tugas – tugasku,”
“Han.. apa Kamu gak merasakan?? Kalau Naura lagi sedih??”
“Mana mungkin,” Jihan berlalu dari hadapan Hendra meninggalkan atap yang sedari tadi menjadi tempat pelariannya, tanpa tahu jika Naura mendengarnya, mendengar semuanya dan membuat hati Naura semakin tersayat. Langkah Hendra terhenti saat mendengar suara isak tangis seseorang dan matanya membola saat melihat Naura duduk meringkuk tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini dan sudah dipastikan jika Naura mendengar percakapannya dengan Jihan.
“Kak,”
“Aku tahu Kamu bohong,”
“Maaf Kak,”
“Mungkin Jihan benar, Aku itu parasit..”
“Kak..”
“Pergi,”
“Tapi Kak..”
“Pergi !!!! pergi !!!” Hendra mengalah memilih pergi dari hadapan Naura namun Hendra tak benar – benar pergi.
“Kak, udahlah Jihan pasti hanya capek, makanya jadi terbawa emosi,”
“Pergi Dra, tinggalin Aku sendiri,”
“Tapi Kak,”
“Pergi !!!” Hendra akhirnya mengalah memilih pergi dari atap menyusul Jihan ke kelasnya.

To Be Continued
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar