Hari perpisahan, ya hari ini adalah
acara perpisahan sekolah sekaligus pengumuman dan Naura akan menyelesaikan
semuanya hari ini sebelum berangkat ke Yogya.
“Ra, Kamu yakin?? Mau berangkat??”
“Iya, Kamu yakin??”
“San, please deh akh, jangan menjiplak
ucapan orang lain,”
“Aku hanya mengamini, menegaskan lagi,”
Naura menggelengkan kepalanya melihat tingkah keduanya, Sandra kini menjadi
temannya dan Binta sahabatnya.
“Udah, gapapa kok,” lerai Naura, gadis
yang saat ini memakai gaun soft pink dengan pernak pernik sama yang pernah
dipakainya saat ke rumah Jihan tempo hari itu terlihat sangat cantik. Mereka
sengaja menggunakan tema ceria agar tidak terasa muram.
“Ra, sumpah kalau Rehan lihat Kamu
cantik kebangetan kaya gini pasti bakal langsung melek,”
“Bukan Cuma Rehan Bin, cowok yang lagi
gandeng ceweknyapun pasti bakal noleh,”
“Kalian berlebihan tahu gak, Aku gak
lama kok habis ini mau ke Yogya,”
“Sayang banget, Kita harus pisah..”
“Maaf, Kalau kalian mau kemana??”
“Bandung.”
“Bandung?? Keren”
“Lebih kerenan Kamu kali, Paris Aku
pengen..” Naura hanya tersenyum, menatap arlojinya kemudian memandang
kesekeliling mencari seseorang, setelah menemukan orang yang dicarinya Naura
segera menghampirinya.
“Re,” orang yang ternyata Rehan itu
menoleh, menatap Naura kagum dari atas sampai bawah kemudian ke atas lagi.
“Re,” panggil Naura sekali lagi dan itu
membuat Rehan menoleh.
“Kamu datang?? Aku kira enggak,”
“Datanglah, Aku kan juga sekalian mau
pamitan,”
“Pamitan??”
“Iya pamitan sama Kamu, sama yang
lainnya,”
“Sayang banget ya??”
“Re, hari ini Kamu tampil kan??”
“Iyalah,”
“Aku boleh minta tolong??”
“Apa??” Naura membisikkan sesuatu di
telinga Rehan, sedang Rehan menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Sip,”
“Makasih,” Rehan tersenyum manis.
Acara
hari itu berjalan dengan meriah dan ceria, banyak penampilan – penampilan luar
biasa yang di suguhkan untuk terakhir kalinya, dan mengingat itu membuat Naura
sedih. Dia ingat saat pertama kali berkenalan dengan Jihan, saat pertama kali
bercanda bersama Jihan, saat Jihan menyatakan perasaannya, saat merayakan ulang
tahunnya, saat merayakan ulang tahun Jihan, saat bercanda, saat berbahagia,
saat bertemu Bu Salma dan Pak Arif, saat berangkat sekolah bersama Jihan, saat
Jihan mengantarnya ke kelas, saat makan dikantin bersama, semuanya begitu
membekas di benaknya dan itu membuat air mata Naura menetes.
“Ra, ayo!” panggilan Rehan menyadarkan
Naura dari lamunannya, kemudian menyeka air matanya dan tersenyum.
“Kamu yakin gapapa??”
“Gak Re, Aku udah siap” Rehan hanya
tersenyum tahu betul dengan apa yang dirasakan Naura, gadis yang hari ini
menjadi pusat perhatian semua orang dengan kecantikannya, gadis yang terlihat
sangat manis hari ini. Rehan mengamit tangan Naura menuju panggung, gadis itu
akan mempersembahkan sesuatu untuk yang terakhir, dan Dia diminta mengiringinya
sebelum akhirnya Dia bernyanyi seperti apa yang telah direncanakan. Naura
menghela nafas panjang, menatap Rehan, dan Rehan mengangguk.
“Aku tahu, kehadiranku mengganggu tapi
Aku ingin membacakan sesuatu, sesuatu yang ingin Aku sampaikan sedari dulu saat
pertama kali Aku tahu ada cerita sedih yang menghampiriku,” Naura membuka
sebuah lipatan kertas membacanya dengan tangan bergetar dengan suara iringan
gitar yang dimainkan oleh Rehan, semua yang melihat dan mendengarnya terdiam,
Jihan yang sedari tadi tak bisa berhenti bergerak terdiam ditempatnya memandang
nanar gadis yang masih sangat
dicintainya itu, gadis dengan balutan gaun pinknya, gadis yang terlihat sangat
cantik dan manis di matanya. Hampir semuanya terdiam mendengar suara lembut
Naura, Naura yang membacanya dengan nada bergetar menahan tangis, dengan air
mata di pipi. Jihan meraba pipinya menyeka air mata yang tiba – tiba menetes
dengan lembut Jihan menyekanya, kemudian memutuskan untuk berlalu. Naura
membungkukkan badannya setelah selesai membaca kemudian turun dari panggung dan
pergi ke tempat di mana sedannya berada. Sedang Binta, Sandra dan Rehan hanya
menghela nafas pendek tersenyum simpul.
Naura
menghela nafas pajang menatap pintu jati bercat coklat dihadapannya, pintu yang
sudah sangat akrab dengannya, sekali lagi Naura menoleh ke arah sang Ibu,
sedang sang Ibu mengangguk, dengan mantap Naura mengetuk pintu jati tersebut
sampai terdengar suara yang sangat dikenalnya.
“Naura...” sapa sang pemilik suara saat
membukakan pintu untuk Naura.
“Bunda,”
“Kamu kemana aja sayang??” Bu Salma, sang
pemilik suara itu memeluk Naura.
“Maaf, kemarin Naura sakit lagi... owh
iya Bun, Aku mau ngenalin seseorang,” Naura menunjuk sang Ibu, bahkan Bu Salma
baru sadar jika ada seseorang selain Naura. Bu Alya tersenyum ramah.
“Alya, Ibunya Naura,”
“Salma, Bundanya Jihan, ayo masuk dulu”
Mereka mengangguk mengikuti langkah Bu Salma menuju ruang tamu.
“Silahkan duduk, mau minum apa??”
“Akh, tidak usah Bun, Kami terburu –
buru”
“Buru – buru,??”
“Iya, Naura mau ke Yogya” kini Bu Alya
yang menjawab saat melihat Naura diam saja.
“Owh, Jihan udah tahu??” Naura
menggeleng pelan.
“Loh??”
“Nanti Aku SMS aja Bun, Jihan kan sibuk
banget.. Naura titip ini aja,” Naura menyerahkan sebuah kotak berwarna hijau
muda dengan pita putih di atasnya.
“Ra...”
“Naura mau pamitan sama Bunda dan minta restu
sama Bunda..” Bu Salma mendesah pelan menatap lembut Naura.
“Bilangin juga ke Ayah,” Bu Salma hanya
mengangguk pelan mencoba mengerti. Bu Alya tersenyum ramah kepada Bu Salma,
kemudian berpamitan.
Bu Salma mendesah pelan menatap kepergian
sedan hitam Naura dari pekarangan rumahnya, mungkin ini yang menyebabkan Jihan
murung dan pendiam.
Mata
Jihan masih tertuju pada selembar kertas yang diberikan Rehan kepadanya
menatapnya dari balik air matanya, masih teringat percakapannya dengan Sang
bunda.
“Han,
Kamu udah tahu kalau Naura ke Yogya??”
“Yogya??
Enggak,”
“Tadi
Naura ke rumah, pamitan sebenarnya ada apa dengan kalian??”
“Kami
putus,”
“Sayang
sekali, mungkin di Yogya Naura akan mendapat yang lebih baik,ada titipan dari
Naura di meja belajar Kamu,”
Setelah itu Jihan tak melanjutkan
percakapan itu, Dia bergegas ke kamarnya membuka kertas yang diberikan Rehan
padanya. Dan disinilah Dia sekarang terduduk di samping ranjang sembari
menggenggam erat kertas berwarna hijau itu.
Aku
ingat saat pertama kali Aku berdiri di antara Kalian,
Mengutip
indahnya kata – kata yang terucap
Meretas
harapan baru
Membuka
buku baru,
Di
tempat Ku berpijak, Aku merasakan sebuah rasa...
Rasa
yang hadir mungkin untuk yang kedua
Rasa
yang lagi – lagi menyiksa,
Aku
ingat sebuah cerita,
Tentang
dewa dan dewi..
Saat
dewa telah berkata, bahwa Akulah sang dewi,
Maka...
Aku
akan terbang padanya
Saat
aroma kamboja menyengat
Menyebarkan
duka lara
Sang
dewa berkata..
Inilah
sebuah cerita
Saat
dewi menghilang,
Menebarkan
cinta, dewa berkata
Laksanakanlah
layaknya Ibu,
Saat
dewa berkata, meminta
“Jadilah
pendamping hidup matiku.”
Maka
matilah sang dewi.
Aku
membacakan sebuah cerita,
Bukan,
bukan tentang dewa – dewi
Ini
tentang kita,
Kita
yang merajut rasa dalam asa
Kita
yang bersatu, berjalan beriringan
Dan,
Telah
lama Kita bersama,
Melewati
Awan dan pelangi
Bergandengan
melagukan syair cinta,
Menembus
awan yang berjajar
Memuja
kekasih dengan hujan
Saat
angin membawa terbang
Disitulah
cinta dipertanyakan
Saat
melangkah di pelangi
Kita
bergandengan melewatinya,
Saat
terhempas badai,
Kita
bergandengan melewatinya
Saat
luka tergores dan jasad rapuh
Disitulah
cinta bersemayam
Saat
tangan bertautan, mengikrarkan janji
Disitulah
cinta mulai dipertanyakan
Saat
jarak membentang
Disitulah
cinta terasa menyakitkan
Seperti
dewa dewi
Bersumpah
sehidup semati
Matilah
sang dewi, di pangkuan sang dewa
Dan
air mata membangkitkannya
Aku
tak bodoh, hanya saja Aku kurang beruntung
Pupus
harapanku, putus asa diriku ingin milikimu...
Untuk
saat ini baik Jihan maupun Naura masih menyimpan kuat nama orang yang sangat
dicintainya, Naura menerawang ke arah luar jendela mobil, menerawang langit
yang menampakkan awan hitam dengan pelanginya. Sedang Jihan masih terdiam di
tempatnya memandang ke arah luar jendela kamarnya yang tirainya menari – nari
membelai lembut bingkai foto yang berada di meja, foto Naura dan Jihan sedang
bersama, di luar sana awan hitam berdampingan dengan pelangi, tangannya
memegang sebuah earphone, saksi bisu kisah cintanya bersama Naura.
Ryan termenung di sampingnya Putri juga
terdiam, Ryan menghela nafas panjang kegalauan hatinya membuatnya bimbang,
Mereka hanya mampu terdiam menyadari kesalahan fatal yang telah Mereka lakukan,
menghancurkan sebuah cinta demi keegoisan Mereka masing – masing.
Kisah Mereka belum berakhir masih banyak
perjalanan yang akan Mereka lalui, hingga mungkin takdir akan mempertemukan
Mereka kembali dalam suasana berbeda.
End
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar