Kamis, 19 November 2015

Senyum Aina


Sosok itu terlihat biasa saja dimata semua orang, tidak ada yang spesial dengannya, hanya sosok pria tampan berkulit putih yang menjadi teman sekelasnya, pria brandalan yang selalu berbuat onar. Namun entah kenapa gadis itu mencintainya, bagi gadis itu tiada hari tanpa menatap sang pujaan hati, hanya menatap dan tak berani berucap lebih. Gadis itu bernama Aina, dan pria brandalan itu bernama Aditya.
            Di siang yang lumayan terik Aina memandang Aditya yang tengah bermain basket di lapangan Aina duduk di bangku dan di tangannya ada sebotol air mineral, ini salah satu kebiasaannya menggenggam sebotol air mineral tanpa berani memberikannya kepada siapapun karna mungkin tak ada yang mau menerimanya, dan Aina sadar akan hal tersebut.
“Cupu.. sini Lo !!” Aina menoleh kemudian tersenyum takut.
“Nih, buatin PR cepet yaa” Aina mendesah saat setumpuk buku diserahkan kepadanya “Besok harus jadi, inget ! kalau enggak.. awas Lo,”
“I...iyaa”  
Aina mendesah sudah biasa menghadapinya, ini bukan inginnya bukan kemauannya tapi apa daya Aina tak mampu berbuat apapun. Aina memandang punggung temannya jengah kemudian kembali mendesah, dadanya terasa sesak. Aina tersentak saat botol yang digenggamnya terebut paksa dari tangannya.
“Buat Gue kan ??” Aina hanya terdiam saat tahu siapa yang kini ada dihadapannya.
“Buku Lo semua?” Aina menggeleng kemudian beranjak pergi, namun pergelangan tangannya dicekal.
“Bawaan Lo berat, Gue mau bantu boleh?”
“Gak usah, terima kasih..”
“Anggap sebagai tanda terima kasih Gue,”
“Perbuatan baik, tidak mesti dibalas dengan ucapan terima kasih, Aku ikhlas,”
“Itu karena Lo gak pernah dapat ucapan terima kasih dari temen – temen Lo,” Aina hanya diam, menunduk.
“Jangan Cuma karena temen – temen Lo, Lo jadi gak percaya sama orang lain,”
“Aku percaya sama satu orang selain keluargaku,”
“Siapa?”
“Kamu, Aku permisi,” Aditya termenung menatap punggung Aina yang semakin menjauh, di tatapnya lagi botol mineral yang kini digenggamnya, sudah lama Aditya memperhatikan Aina dan entah kenapa Dirinya ketagihan, dan satu yang ingin Dia lihat dari sosok Aina,
“Gue akan ngucapin banyak terima kasih saat Lo mau tersenyum atau tertawa, itu harapan Gue, Aina” Aditya mendesah kemudian beranjak pergi menuju kamar ganti untuk mengganti seragam olahraganya dengan seragam sekolahnya.
            Aditya terus mendrible bola basket  ditangannya kemudian dengan penuh tenaga menembakkannya ke ring.
“Dit Lo kenapa sih ??” Aditya tak menjawab, saat ini Dia merasa sangat marah karna tak melihat Aina dimanapun,
“Lo cari Aina?” Aditya menoleh, tak menjawab.
“Perpustakaan, tempat paling aman buat Dia”
“Maksud Lo?” mata Aditya melotot saat mendengar apa yang diucapkan temannya, dengan langkah cepat Aditya menuju perpustakaan. Pandangannya tertuju pada sosok yang tengah membaca buku di sudut ruangan, awalnya Dia lega namun entah kenapa hatinya terasa sakit dan ngilu saat mendengar suara isakan lirih dari sosok dihadapannya, dengan ragu Aditya menghampiri Aina dan menyodorkan sapu tangan. Aina mendongak kemudian dengan segera menyeka air matanya dan bangkit. Namun lagi – lagi tangannya dicekal.
“Duduklah..” Aditya membimbing Aina untuk duduk kemudian dengan lembut menyeka air mata Aina.
“Lo kenapa?” Aina menggeleng, kemudian menunduk.
“Lo tahu, saat seseorang bersedih dan ditanya kenapa, dan Dia jawab gapapa, itu artinya Dia ingin ada seseorang yang tahu kalau Dia gak baik – baik aja,”. Aina tak menjawab, membiarkan Aditya menggenggam tangannya.
“Lo percaya kan sama Gue?” Aina mendongak menatap dalam mata Aditya
“Kalau Lo percaya, Lo bisa nangis di dada Gue, dan cerita apa masalah Lo,” Aina tak menjawab, membiarkan Aditya mendekapnya, dan saat itulah Aina merasa sangat tenang dan nyaman. Kemudian Aina menangis di dada Aditya, semuanya terasa berat, perlakuan Aditya membuat langkahnya semakin berat air matanya semakin banyak menetes membasahi seragam Aditya, jujur Aina ingin beranjak namun terasa berat karena Dirinya juga harus jauh dari seseorang yang selama ini menginspirasinya untuk tetap bertahan dan kuat seperti sekarang, membuat Aina yang lemah dan rapuh menjadi kuat.
“Adit, Kamu mau gak? Nemenin Aku besok.. seharian?” Aditya terdiam saat mendengar ucapan Aina dengan suara parau.
“Gue mau, dengan senang hati, besok Gue jemput,”
“Makasih,”
Aditya mengangguk membiarkan Aina tetap di dekapannya, meskipun tak ada percakapan tapi posisi Mereka menggambarkan jika Mereka menikmatinya.
            Aditya memandang gedung mewah dihadapannya dengan takjup, Dia tak menyangka jika gadis yang dianggap paling cupu dan paling miskin adalah anak orang kaya, bahkan rumah orang tuanya tidak semewah dan sebesar ini. Setelah memarkirkan motornya Aditya melangkah menuju pintu utama lalu mengetuknya. Mata Aditya membola saat melihat siapa yang membukakan pintu.
“Owh, Kamu Dit.. silahkan masuk, ada urusan apa?” Aditya tak menyangka jika rumah ini adalah rumah pemilik yayasan sekolahnya yang selama ini menjadi pembina OSIS di sekolahnya dan tentunya sudah tak asing bahkan akrab dengannya yang notabene anggota OSIS paling aktif.
“Pak Setiawan?”
“Iya, Kamu lupa Dit sama Saya?”
“Tidak, Ainanya ada Pak?”
“Aina ??” Aditya mengangguk, Pak Setiawan mendesah sebentar.
“Masuk dulu Dit,”.
            Aditya menatap kagum desain interior rumah sang Pembina OSIS yang begitu rapi dan mengagumkan.
“Duduklah..Kau mencari Aina?”
“Ya, Aina anaknya Pak Setiawan?”
“Aina putri kebanggaan Saya, putri satu – satunya Aina sangat mirip dengan Ibunya, senyumnya tawanya.. semuanya kecerdasannya, Kamu tahu hati Saya sakit saat melihat Aina diperlakukan tidak adil oleh teman – temannya hanya karena dandanannya, di situ kadang Saya merasa marah tapi entah kenapa Aina tidak pernah mengeluh akan itu,”
“Maksud Bapak? Jadi Bapak tahu kalau Aina di bully?”
“Ya, kalau boleh tahu ada apa Kamu mencari Aina?”
“Saya mempunyai janji dengan Aina, untuk jalan – jalan hari ini.”
“Aina..”
“Aina di rumah kan?”
“Aina udah pergi,”
“Maksudnya?” Pak Setiawan menepuk bahu Aditya, kemudian berdiri dan meraih sebuah bingkai foto di atas meja, fotonya bersama kelima putranya dan Aina.
“Kakak – kakak Aina, gak mau Aina di  bully lagi, jadi Mereka memutuskan untuk mengajak Aina ke luar negeri, negeri impian Aina.. Paris,”
“Bagaimana dengan janji Kami?”
“Maaf, Saya tidak bisa berbuat apapun..” Aditya menunduk menghela nafas pelan, “Kapan pulang?”
“Saya tidak tahu,”
            Aditya duduk di bangku panjang yang biasa Aina duduki untuk melihatnya bermain basket, dengan lemah Aditya memantul – mantulkan bola basket, masih terasa bekas air mata Aina, masih terasa aroma tubuh gadis itu, masih terasa bekas – bekas tubuh gadis itu. Aditya melemparkan bola basketnya kasar, jujur Dia merasa frustasi.
“Adit..” Aditya menoleh mendapati Pak Setiawan duduk disampingnya.
“Saya tahu Kamu mencintainya, mencintai Aina,”
“Dan Saya terlambat menyadarinya,”
“Adit.. Aina akan pulang menemuimu, menemui satu – satunya orang yang Dia percaya, Kamu.. orang yang dipercaya Aina selain keluarganya,” Pak setiawan menepuk bahu Aditya kemudian meninggalkan Aditya yang termenung antara percaya dan tidak percaya.
“Apa yang Ayah bilang benar Adit...” suara seseorang membuat Aditya menoleh, berdirilah seseorang di hadapannya, Aina.
“Mungkin Aku gak betah diperlakukan buruk sama teman – teman ku, tapi Aku punya Kamu yang selalu Aku percaya, yang buat Aku tak pernah menyerah,”
“Aina... bukankah?”
“Aku tak bisa pergi kalau Aku masih punya janji,” Aditya tersenyum dan itu membuat Aina tersenyum juga.
“Aku suka Kamu tersenyum Aina, senyum yang selalu membuat hati Aku tenang dan tentram,”
“Aku akan selalu tersenyum Adit, bisakah Kita pergi sekarang??” Aina mengangguk tersenyum.
            Aditya termenung menatap ke angkasa dari balik kaca bandara, di tempat yang sama Dia melepas kepergian Aina dan di tempat yang kini di pijaknya pula Aditya menyambut Aina dan juga mahkota berharganya Senyum Aina. Senyum yang setiap harinya membuatnya tak pernah lupa pada Aina sang Pujaan hati. Aditya mendesah tubuhnya Dia senderkan di kaca besar dimana Dirinya bisa memandang burung besar yang dulu membawa Ainanya pergi.
“Seharusnya, Aku menjemputmu Aina.. dan  tetap melihat senyumanmu,” lirih Aditya merasa frustasi.
“Dit pulang yuk,” Aditya menggeleng menepis tangan Sang Ibu yang ingin mengajaknya pulang. Sang Ibu  hanya mendesah  ini tahun ke-enam  putranya duduk menunggu di bandara, dan sungguh hatinya merasa sakit melihat putranya seperti ini. Dengan penuh kasih Sang Ibu membelai rambut putranya.
“Ma.. Aina masih bisa tersenyum kan Ma?”
“Tentu Sayang.. Aina masih tersenyum kok,”
“Kapan Aina Take Off Ma?”
“Mungkin besok,”
“Gak Ma.. Aina janjinya hari ini Ma,”
“Kita tunggu Lima menit lagi yaa.”
“Aku maunya Aina datang Ma..” Sang Ibu hanya terdiam, menatap kosong ke arah luar.
“Adit...” Aditya menoleh dan melihat sosok yang ditunggunya, Aina.
“Aina..” Aditya langsung memeluk tubuh Aina erat seolah menggambarkan betapa rindunya Dia pada kekasihnya. Aina tersenyum kemudian melepaskan dekapan Aditya.
“Dit, Aku udah bahagia.. jangan buat langkah Aku menjadi berat..”
“Kamu disini aja,”
“Gak Dit, Aku harus pergi,”
“Aku gak mau kehilangan senyuman Kamu,”
“Aku akan selalu tersenyum Dit buat Kamu,” Aditya mendesah menggeleng keras.
“Aku pergi dulu..”
“Aina !!!!” Aditya berteriak histeris saat Aina perlahan pergi meninggalkannya dan tubuh kekasihnya tertelan sebuah cahaya. Sang ibu panik saat Aditya menjerit histeris kemudian tak sadarkan diri.
            Hari setelah Mereka menghabiskan waktu bersama menjadi hari pertama dan terakhir Mereka bersama dan bercengkrama. Seharusnya Mereka menghabiskan waktu lebih lama untuk bersama dan bersatu, kalau saja pesawat yang membawa Aina terbang membawanya ke Paris bukan ke dunia lain dimana Aditya tidak akan mampu lagi melihat dan menemukannya, hanya sebuah papan berukiran nama Aina yang tertancap di gundukan tanah, di dalamnyalah jazad Aina berada, dan hari ini adalah hari yang dijanjikan Aina untuk pulang. Setiap tanggal 25 September Aditya pergi ke bandara dan berharap Aina menghampirinya dan langsung memeluknya dengan untaian kata – kata rindu penuh cinta. Hanya senyum Aina yang tersisa di ingatan Aditya, hanya senyum Aina yang dapat melepaskan rindunya, dan  karena senyum Aina lah Aditya tak percaya jika pemilik senyum itu telah lama pergi. 25 September in Memories.***


The End

#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar