Sosok
itu terlihat biasa saja dimata semua orang, tidak ada yang spesial dengannya,
hanya sosok pria tampan berkulit putih yang menjadi teman sekelasnya, pria
brandalan yang selalu berbuat onar. Namun entah kenapa gadis itu mencintainya,
bagi gadis itu tiada hari tanpa menatap sang pujaan hati, hanya menatap dan tak
berani berucap lebih. Gadis itu bernama Aina, dan pria brandalan itu bernama
Aditya.
Di siang yang lumayan terik Aina
memandang Aditya yang tengah bermain basket di lapangan Aina duduk di bangku
dan di tangannya ada sebotol air mineral, ini salah satu kebiasaannya
menggenggam sebotol air mineral tanpa berani memberikannya kepada siapapun
karna mungkin tak ada yang mau menerimanya, dan Aina sadar akan hal tersebut.
“Cupu..
sini Lo !!” Aina menoleh kemudian tersenyum takut.
“Nih,
buatin PR cepet yaa” Aina mendesah saat setumpuk buku diserahkan kepadanya
“Besok harus jadi, inget ! kalau enggak.. awas Lo,”
“I...iyaa”
Aina
mendesah sudah biasa menghadapinya, ini bukan inginnya bukan kemauannya tapi
apa daya Aina tak mampu berbuat apapun. Aina memandang punggung temannya jengah
kemudian kembali mendesah, dadanya terasa sesak. Aina tersentak saat botol yang
digenggamnya terebut paksa dari tangannya.
“Buat
Gue kan ??” Aina hanya terdiam saat tahu siapa yang kini ada dihadapannya.
“Buku
Lo semua?” Aina menggeleng kemudian beranjak pergi, namun pergelangan tangannya
dicekal.
“Bawaan
Lo berat, Gue mau bantu boleh?”
“Gak
usah, terima kasih..”
“Anggap
sebagai tanda terima kasih Gue,”
“Perbuatan
baik, tidak mesti dibalas dengan ucapan terima kasih, Aku ikhlas,”
“Itu
karena Lo gak pernah dapat ucapan terima kasih dari temen – temen Lo,” Aina
hanya diam, menunduk.
“Jangan
Cuma karena temen – temen Lo, Lo jadi gak percaya sama orang lain,”
“Aku
percaya sama satu orang selain keluargaku,”
“Siapa?”
“Kamu,
Aku permisi,” Aditya termenung menatap punggung Aina yang semakin menjauh, di
tatapnya lagi botol mineral yang kini digenggamnya, sudah lama Aditya
memperhatikan Aina dan entah kenapa Dirinya ketagihan, dan satu yang ingin Dia
lihat dari sosok Aina,
“Gue
akan ngucapin banyak terima kasih saat Lo mau tersenyum atau tertawa, itu
harapan Gue, Aina” Aditya mendesah kemudian beranjak pergi menuju kamar ganti
untuk mengganti seragam olahraganya dengan seragam sekolahnya.
Aditya terus mendrible bola basket ditangannya kemudian dengan penuh tenaga
menembakkannya ke ring.
“Dit
Lo kenapa sih ??” Aditya tak menjawab, saat ini Dia merasa sangat marah karna
tak melihat Aina dimanapun,
“Lo
cari Aina?” Aditya menoleh, tak menjawab.
“Perpustakaan,
tempat paling aman buat Dia”
“Maksud
Lo?” mata Aditya melotot saat mendengar apa yang diucapkan temannya, dengan
langkah cepat Aditya menuju perpustakaan. Pandangannya tertuju pada sosok yang
tengah membaca buku di sudut ruangan, awalnya Dia lega namun entah kenapa
hatinya terasa sakit dan ngilu saat mendengar suara isakan lirih dari sosok
dihadapannya, dengan ragu Aditya menghampiri Aina dan menyodorkan sapu tangan.
Aina mendongak kemudian dengan segera menyeka air matanya dan bangkit. Namun
lagi – lagi tangannya dicekal.
“Duduklah..”
Aditya membimbing Aina untuk duduk kemudian dengan lembut menyeka air mata
Aina.
“Lo
kenapa?” Aina menggeleng, kemudian menunduk.
“Lo
tahu, saat seseorang bersedih dan ditanya kenapa, dan Dia jawab gapapa, itu
artinya Dia ingin ada seseorang yang tahu kalau Dia gak baik – baik aja,”. Aina
tak menjawab, membiarkan Aditya menggenggam tangannya.
“Lo
percaya kan sama Gue?” Aina mendongak menatap dalam mata Aditya
“Kalau
Lo percaya, Lo bisa nangis di dada Gue, dan cerita apa masalah Lo,” Aina tak
menjawab, membiarkan Aditya mendekapnya, dan saat itulah Aina merasa sangat
tenang dan nyaman. Kemudian Aina menangis di dada Aditya, semuanya terasa
berat, perlakuan Aditya membuat langkahnya semakin berat air matanya semakin
banyak menetes membasahi seragam Aditya, jujur Aina ingin beranjak namun terasa
berat karena Dirinya juga harus jauh dari seseorang yang selama ini
menginspirasinya untuk tetap bertahan dan kuat seperti sekarang, membuat Aina
yang lemah dan rapuh menjadi kuat.
“Adit,
Kamu mau gak? Nemenin Aku besok.. seharian?” Aditya terdiam saat mendengar
ucapan Aina dengan suara parau.
“Gue
mau, dengan senang hati, besok Gue jemput,”
“Makasih,”
Aditya
mengangguk membiarkan Aina tetap di dekapannya, meskipun tak ada percakapan
tapi posisi Mereka menggambarkan jika Mereka menikmatinya.
Aditya memandang gedung mewah
dihadapannya dengan takjup, Dia tak menyangka jika gadis yang dianggap paling
cupu dan paling miskin adalah anak orang kaya, bahkan rumah orang tuanya tidak
semewah dan sebesar ini. Setelah memarkirkan motornya Aditya melangkah menuju
pintu utama lalu mengetuknya. Mata Aditya membola saat melihat siapa yang
membukakan pintu.
“Owh,
Kamu Dit.. silahkan masuk, ada urusan apa?” Aditya tak menyangka jika rumah ini
adalah rumah pemilik yayasan sekolahnya yang selama ini menjadi pembina OSIS di
sekolahnya dan tentunya sudah tak asing bahkan akrab dengannya yang notabene
anggota OSIS paling aktif.
“Pak
Setiawan?”
“Iya,
Kamu lupa Dit sama Saya?”
“Tidak,
Ainanya ada Pak?”
“Aina
??” Aditya mengangguk, Pak Setiawan mendesah sebentar.
“Masuk
dulu Dit,”.
Aditya menatap kagum desain interior
rumah sang Pembina OSIS yang begitu rapi dan mengagumkan.
“Duduklah..Kau
mencari Aina?”
“Ya,
Aina anaknya Pak Setiawan?”
“Aina
putri kebanggaan Saya, putri satu – satunya Aina sangat mirip dengan Ibunya,
senyumnya tawanya.. semuanya kecerdasannya, Kamu tahu hati Saya sakit saat
melihat Aina diperlakukan tidak adil oleh teman – temannya hanya karena
dandanannya, di situ kadang Saya merasa marah tapi entah kenapa Aina tidak
pernah mengeluh akan itu,”
“Maksud
Bapak? Jadi Bapak tahu kalau Aina di bully?”
“Ya,
kalau boleh tahu ada apa Kamu mencari Aina?”
“Saya
mempunyai janji dengan Aina, untuk jalan – jalan hari ini.”
“Aina..”
“Aina
di rumah kan?”
“Aina
udah pergi,”
“Maksudnya?”
Pak Setiawan menepuk bahu Aditya, kemudian berdiri dan meraih sebuah bingkai
foto di atas meja, fotonya bersama kelima putranya dan Aina.
“Kakak
– kakak Aina, gak mau Aina di bully
lagi, jadi Mereka memutuskan untuk mengajak Aina ke luar negeri, negeri impian
Aina.. Paris,”
“Bagaimana
dengan janji Kami?”
“Maaf,
Saya tidak bisa berbuat apapun..” Aditya menunduk menghela nafas pelan, “Kapan
pulang?”
“Saya
tidak tahu,”
Aditya duduk di bangku panjang yang
biasa Aina duduki untuk melihatnya bermain basket, dengan lemah Aditya memantul
– mantulkan bola basket, masih terasa bekas air mata Aina, masih terasa aroma
tubuh gadis itu, masih terasa bekas – bekas tubuh gadis itu. Aditya melemparkan
bola basketnya kasar, jujur Dia merasa frustasi.
“Adit..”
Aditya menoleh mendapati Pak Setiawan duduk disampingnya.
“Saya
tahu Kamu mencintainya, mencintai Aina,”
“Dan
Saya terlambat menyadarinya,”
“Adit..
Aina akan pulang menemuimu, menemui satu – satunya orang yang Dia percaya,
Kamu.. orang yang dipercaya Aina selain keluarganya,” Pak setiawan menepuk bahu
Aditya kemudian meninggalkan Aditya yang termenung antara percaya dan tidak
percaya.
“Apa
yang Ayah bilang benar Adit...” suara seseorang membuat Aditya menoleh, berdirilah
seseorang di hadapannya, Aina.
“Mungkin
Aku gak betah diperlakukan buruk sama teman – teman ku, tapi Aku punya Kamu
yang selalu Aku percaya, yang buat Aku tak pernah menyerah,”
“Aina...
bukankah?”
“Aku
tak bisa pergi kalau Aku masih punya janji,” Aditya tersenyum dan itu membuat
Aina tersenyum juga.
“Aku
suka Kamu tersenyum Aina, senyum yang selalu membuat hati Aku tenang dan
tentram,”
“Aku
akan selalu tersenyum Adit, bisakah Kita pergi sekarang??” Aina mengangguk tersenyum.
Aditya termenung menatap ke angkasa
dari balik kaca bandara, di tempat yang sama Dia melepas kepergian Aina dan di
tempat yang kini di pijaknya pula Aditya menyambut Aina dan juga mahkota
berharganya Senyum Aina. Senyum yang setiap harinya membuatnya tak pernah lupa
pada Aina sang Pujaan hati. Aditya mendesah tubuhnya Dia senderkan di kaca
besar dimana Dirinya bisa memandang burung besar yang dulu membawa Ainanya
pergi.
“Seharusnya,
Aku menjemputmu Aina.. dan tetap melihat
senyumanmu,” lirih Aditya merasa frustasi.
“Dit
pulang yuk,” Aditya menggeleng menepis tangan Sang Ibu yang ingin mengajaknya
pulang. Sang Ibu hanya mendesah ini tahun ke-enam putranya duduk menunggu di bandara, dan
sungguh hatinya merasa sakit melihat putranya seperti ini. Dengan penuh kasih
Sang Ibu membelai rambut putranya.
“Ma..
Aina masih bisa tersenyum kan Ma?”
“Tentu
Sayang.. Aina masih tersenyum kok,”
“Kapan
Aina Take Off Ma?”
“Mungkin
besok,”
“Gak
Ma.. Aina janjinya hari ini Ma,”
“Kita
tunggu Lima menit lagi yaa.”
“Aku
maunya Aina datang Ma..” Sang Ibu hanya terdiam, menatap kosong ke arah luar.
“Adit...”
Aditya menoleh dan melihat sosok yang ditunggunya, Aina.
“Aina..”
Aditya langsung memeluk tubuh Aina erat seolah menggambarkan betapa rindunya
Dia pada kekasihnya. Aina tersenyum kemudian melepaskan dekapan Aditya.
“Dit,
Aku udah bahagia.. jangan buat langkah Aku menjadi berat..”
“Kamu
disini aja,”
“Gak
Dit, Aku harus pergi,”
“Aku
gak mau kehilangan senyuman Kamu,”
“Aku
akan selalu tersenyum Dit buat Kamu,” Aditya mendesah menggeleng keras.
“Aku
pergi dulu..”
“Aina
!!!!” Aditya berteriak histeris saat Aina perlahan pergi meninggalkannya dan
tubuh kekasihnya tertelan sebuah cahaya. Sang ibu panik saat Aditya menjerit
histeris kemudian tak sadarkan diri.
Hari setelah Mereka menghabiskan
waktu bersama menjadi hari pertama dan terakhir Mereka bersama dan
bercengkrama. Seharusnya Mereka menghabiskan waktu lebih lama untuk bersama dan
bersatu, kalau saja pesawat yang membawa Aina terbang membawanya ke Paris bukan
ke dunia lain dimana Aditya tidak akan mampu lagi melihat dan menemukannya,
hanya sebuah papan berukiran nama Aina yang tertancap di gundukan tanah, di
dalamnyalah jazad Aina berada, dan hari ini adalah hari yang dijanjikan Aina
untuk pulang. Setiap tanggal 25 September Aditya pergi ke bandara dan berharap
Aina menghampirinya dan langsung memeluknya dengan untaian kata – kata rindu
penuh cinta. Hanya senyum Aina yang tersisa di ingatan Aditya, hanya senyum
Aina yang dapat melepaskan rindunya, dan
karena senyum Aina lah Aditya tak percaya jika pemilik senyum itu telah
lama pergi. 25 September in Memories.***
The End
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar