Kamis, 19 November 2015

Awan Kalbu (Sang Pelindung Hati) *Bagian 1*


Sabtu, 4 Oktober 2014
Dia masih terpaku di depan jendela kamarnya, pandangannya masih tertuju pada objek bergerak di depannya di taman seberang rumahnya, senyum tak pernah lepas dari bibirnya, matanya bergerak liar mengikuti gerak gerik objek yang di amatinya menari-nari sembari memainkan selang yang mengalirkan air yang akan menyejukkan tanaman yang tengah di siram. Entah kenapa Dia merasa seperti tanaman itu, sejuk seakan Dia baru diguyur air dari Nirwana. Dia masih terus memandang objek bergerak  yang ternyata adalah seorang gadis cantik dengan jilbabnya, anak tetangga depan yang sampai saat inipun tak Dia tau namanya. Sebenarnya Bu Maryam, sang Bunda telah menawarkan untuk memberitau nama gadis itu, namun Dia menolak dengan alasan Dia ingin tahu dan mendengarnya langsung dari gadis itu saat Dia mempunyai keberanian untuk mengajak gadis itu berkenalan. Gadis itu memang cantik, gadis yang telah menjadi tetangganya sejak enam tahun belakangan dan selama enam tahun itu pula Dia mengagumi gadis itu bahkan mencintainya, gadis yang tidak tahu siapa Dia tapi Dia tahu banyak tentang gadis itu. Menurutnya hal yang paling Dia suka adalah saat bulan Ramadhan tiba, dimana Dia bisa melihat  gadis itu setiap hari senin dengan tentengan di tangannya, tentengan yang Dia tahu akan diantarkan ke masjid kompleks. Dia juga bisa melihat gadis itu mengenakan mukenanya dan bercengkrama dengan sang adik saat akan dan sesudah sholat tarawih. Masih banyak lagi kebisaaan gadis itu yang mampu Dia ucapkan dengan lancar, terang saja enam tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mengamati seorang gadis. Dia menghela nafas sebentar menutup kembali tirai jendela kamarnya setelah gadis itu memasuki rumahnya, pandangannya beralih pada sebuah lukisan di dinding kamarnya, lukisan karyanya yang menggambarkan wajah dengan senyuman seorang gadis, siapa lagi kalau bukan gadis itu.
“Danu,” panggilan seseorang yang Dia tahu adalah sang Bunda menbuatnya menoleh dan mendapati sang Bunda menghampirinya. “Iya, Bun?” sahutnya sopan membiarkan sang Bunda duduk di bibir kasurnya.
“Sudah diminum obatnya?”
“Sudah,”
“Bohong, memangnya Bunda tidak tau,,”
“Bunda, Aku kan sudah lima belas tahun, dan gadis itu kekuatanku setelah Ayah dan Bunda,”
“Iya, Bunda tahu.. Kamu akan sakit lagi nanti,”
“Aku memang sudah sakit Bun,”
“Danu, penyakit jantung Kamu itu bukan penyakit sepele , nak”
Dia, Dia adalah Danu Prasetya pemuda berkulit putih bersih dan bermata almond itu mengidap panyakit jantung bawaan dan sebuah anugrah saat Dia mampu bertahan selama dan sejauh ini. Bu Maryam, sang Bunda membelai rambut Danu penuh sayang kalau boleh jujur Bu Maryam sangat takut jika Danu akan benar-benar menyerah kelak.
“Bunda, Danu boleh minta suatu hal tidak?”
“Tentu, apa Sayang?”
“Izinkan Aku bertemu gadis itu,” Bu Maryam tersenyum
“Tentu, tapi jangan terlalu memaksakan jantung Kamu gak akan kuat,”
“Iya Bun,”
“Sekarang, minum obatnya, besok sore temenin Bunda menemani tamu yaaa..”
“Yaah,, Bunda Aku pasti bakal di kacangin,”
“Sudah jangan protes Danu, pokoknya Kamu pasti senang,”
“Aku harap,” Danu menyerahkan kembali gelas kosong kepada Bu Maryam setelah selesai meminum obatnya. “Sudah, sekarang istirahatlah.. sudah waktunya istirahat,” Danu menggeleng.
“Danuuu,, jangan buat Bunda telfon Ayah,”
“Baiklah,” Danu menurut, Dia merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya, sedang Bu Maryam akan menunggu untuk memastikan jika Danu benar-benar terlelap. Bu Maryam tersenyum pilu, membelai lembut surai hitam Danu hatinya pilu dan sedih mengingat kondisi Danu semakin lemah, Dia ingat bagaimana perjuangannya bersama suaminya untuk membuat Danu tetap di sisi Mereka, mengingat Danu adalah anak semata wayang dan Dia tidak akan bisa mempunyai anak lagi, Dia ingat bagaimana perjuangan Mereka sejak Danu baru lahir ke Dunia sungguh Dia tidak akan rela Danunya pergi itulah yang membuat Danu dilarang keluar rumah tanpa ada yang menjaga termasuk pergi sekolah, Danu hanya Homeschooling bahkan sejak kepindahan Mereka enam tahun lalu Danu tidak pernah keluar kecuali bersamanya atau suaminya Dia tak akan membiarkan orang lain membuat Danu kesakitan, kalau boleh jujur sebenarnya Dia ingin gadis yang di kagumi Danu enyah tapi Dia juga sadar gadis itu juga yang menjadi kekuatan Danu setelah Dirinya dan suaminya. Bu Maryam menyeka air matanya yang menetes diantara kerut wajahnya yang tak muda lagi menatap lembut Danu yang telah terpejam begitu damai, Bu Maryam mengecup hangat dahi Danu sebelum benar- benar meninggalkan Danu seorang diri.
            Seorang gadis cantik tengah asyik bercermin di depan kaca seraya bersenandung pelan, merapikan lagi jilbabnya yang agak berantakan, senyum tak pernah lepas dari bibir mungilnya bagaimana tidak setelah seminggu tak dikunjungi kekasihnya Dia merasa rindu, lagi-lagi Dia tersenyum kecil kemudian mendudukkan diri di bibir kasur sembari menunggu sang kekasih yang katanya berada di perjalanan. Entah apa yang di pikirkannya sehingga membuat senyumnya luntur , Dia merenung sejenak menyadari jika waktunya tidak banyak lagi Dia berusaha mencerna ucapan tetangga depan rumahnya yang memohon dengan deraian air mata untuk menemani putranya yang sangat mencintainya, memang Dia sempat beberapa kali memergoki seseorang selalu mengawasinya lumayan tampan sih, tapi baginya kekasihnya adalah pria yang paling tampan setelah sang Papa. Akhirnya Dia memutuskan untuk mengabulkan permintaan Bu Maryam tetangga depannya, dan itu mendapat protes keras dari kedua orang tuanya Mereka bilang anaknya Bu Maryam tidak akan mampu menjaganya sebaik Mereka dan kekasihnya dan Dia tahu kenapa, Namun justru itulah yang mendorongnya untuk mengabulkan permintaan Bu Maryam.
“KAK WIRDA!!!!” Dia terlonjak saat pangilan yang memekakan telinga itu mampir di telinganya, Dia mengelus-elus telinganya memastikan kalau Dia tidak akan tuli mendadak. Dia, Dia adalah Wirda Permana gadis tetangga Danu yang sangat Danu cintai, gadis cantik dengan sifat jailnya itu telah membuat semua orang jatuh cinta namun hanya satu yang dipilihnya, kekasih tercintanya yang tak akan tergadaikan dengan apapun meski dunia jatuh ke pelukannya. Wirda mendengus sebentar menarik nafas dalam-dalam
“ADA APA???” suara yang tak kalah memekakannya mampir di seluruh penjuru rumah, dan membuat orang-orang di dalamnya menutup telinganya. “KAK ZAYN UDAH NUNGGU GAK MALU APA? TERIAK GAK JELAS?” sahutan adiknya membuatnya kesal oke Dia mengakui kali ini adiknya menang karna pasti Dia akan diceramahi oleh kekasihnya, Dia mendengus kesal membuka pintu dan mendapati sang adik tersenyum penuh kemenangan, Dia berhenti sebentar kemudian menatap tajam sang adik dan itu berhasil membuat sang adik lari terbirit-birit.
Wirda mengambil tempat di sofa di depan kekasihnya siap mendengarkan ceramah panjang lebar dari kekasihnya.
“Say.” Belum sempat sang kekasih melanjutkan ucapannya Wirda terlebih dahulu memotongnya,
“Zayn, please Aku lagi gak mau dengar ceramahan dari Kamu,”
“Tap..”
“Ku mohon mengertilah Aku benar-benar sedang kesal hari ini, Aku tahu Kamu mau bilang apa, pasti gini ‘Wir, sudahlah Kamu itu perempuan gak pantes teriak-teriak kaya tadi, udah tahu Dilla jail masih diladenin, mending sekarang Kamu duduk manis..’ Aku bahkan bisa mengucapkannya dengan mata terpejam”
“Wir..”
“Tolong mengertilah..”
“Wirda, Aku tau, Aku gak akan nyeramahin Kamu justru Aku mau ngajak Kamu jalan-jalan keluar,”
“Emang udah ijin sama Mama Papa??”
“Udah,”
“Nah loh,, emang Kamu udah disini sejak kapan?”
“Satu jam yang lalu,”
“Ya ampun, ini udah jam 4 dan Aku belum Ashar Kamu tunggu bentar yaa,, Aku sholat dulu,” Zayn, kekasihnya hanya mengangguk memandang kepergian Wirda dengan heran. Kalau boleh jujur Dia merasa sangat beruntung bisa memiliki kekasih seperti Wirda, Dia ingat saat SMP dulu saat Dia tercebur kedalam limbah kotor yang tak beradab , Wirdalah yang menuntunnya untuk kembali ke jalan yang benar dan alasan itulah yang membuat meraka bertahan sejauh ini. Dia ingat saat Wirda berusaha meyakinkannya saat Dirinya diolok-olok oleh teman lamanya.
“Zayn, teman itu masih banyak Kamu bebas memilih mana yang akan jadi teman Kamu dan musuh Kamu, Kamu bebas memilih teman yang bisa merubah Kamu ke arah yang lebih baik bukan malah menjerumuskanmu,”
“Tapi….”
“Gak ada kata tapi Zayn, ingat masih ada Aku yang dengan senang hati akan menemanimu, Kamu tau gak ada seorangpun yang bisa ikut campur atas kepribadian seseorang, karna pada hakikatnya kepribadian adalah yang membedakan kita dari yang lain”
Begitulah mungkin yang dikatakan Wirda kala itu dan mampu membuatnya bergeming mencoba mencerna ucapan Wirda saat itu. Menurutnya Wirda adalah sang pelindung hati, ntah kenapa Dia bisa dengan mudah berubah saat disisi Wirda seakan ada aura tersendiri yang membuatnya tak mampu berkelakuan buruk baik di depan atau dibelakang Wirda dan itu adalah sebuah tanda tanya besar untuknya. Wirda telah berhasil membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik membuatnya tahu siapa Allah SWT dan bagaimana cara mengimaninya walau tidak sedalam para Kyai setidaknya Dia selalu segan jika melanggar larangan-Nya. Sudah enam tahun Dia mengenal Wirda, bersahabat dengan Wirda dan selama tiga tahun belakangan hubungan Mereka lebih dari sekedar sahabat, seluruh sekolah tahu bagaimana hubungan Mereka yang seakan tak pernah ada masalah, itu karna kerelaan Wirda untuk mengalah argumen darinya tak sedikit yang iri dengan hubungan Mereka bahkan pernah mencoba menghancurkan hubungan Mereka  tapi dengan kepala dingin mereka bisa menyelesaikannya meskipun sebenarnya hatinya panas. Dia juga masih ingat bagaimana Wirda sangat murka padanya saat Wirda mendapati Dirinya tengah sakau dan dengan kasar Wirda menariknya ke panti rehabilitasi dan pada saat itulah benih cinta itu tumbuh subur oleh pertemuan-pertemuan Mereka. awalnya Dirinya memang menolak namun Wirda tetap kekeuh dengan pendiriannya dan Dia bisa melihat air mata Wirda mengalir deras karnanya, karna sifat keras kepalanya dan air mata itulah yang membuatnya merasa seakan meleleh dan hatinya yang terlanjur membeku perlahan mencair.
“Wir Aku mohon hentikan ini semua !!!!”
“Gak, ! gak akan pernah!”
“Kamu itu hanya temanku !!”
“Justru karna itu, karna Aku temanmu makanya Aku membawamu kemari.. teman yang baik mengingatkan saat temannya berbuat salah bukan malah membungkus kesalahan temannya, dan Aku ingin menjadi teman yang baik untukmu, untuk Dirimu Zayn..”
“Wir,.. “
Mulai saat itulah Dia bertekad untuk berubah saat melihat airmata Wirda meluncur dengan bebas di pipinya dan ntah kenapa hatinya turut terluka kepercayaan yang dulu hilang kini perlahan kembali masa lalunya benar-benar telah dikubur dalam tanpa mampu Dia gapai lagi dan seharusnya memang seperti itu.
“Zayn..” suara seseorang yang sangat Dia kenal membangunkannya dari lamunannya suara kekasihnya siapa lagi kalau bukan Wirda yang telah duduk sembari menopang dagu.
“Aku udah disini lima menit yang lalu ngeliatin Kamu lagi melamun, asik bener ngelamunin apa sih? Cewek ya?”
“Gak lah, Aku ngelamunin masa lalu kita, “
“Udahlah toh udah jadi masa lalu,”
“Iya, jadi Kamu maukan jalan-jalan keluar?”
“Kalau Aku sih.. kalau Mama sama Papa ngijinin Aku gak masalah, emang mau kemana?”
“Adadeh, berangkat sekarang aja yuk ! Kamu udah siap kan?”
“Udah kok,”
“Yasudah, yuk pamitan !” Wirda hanya mengangguk pertanda setuju. Merekapun berpamitan kepada kedua orangtua Wirda.
            Malam minggu kali ini memang terasa beda, kalau biasanya Mereka hanya menghabiskan waktu dirumah Wirda untuk sekedar mengobrol atau share dengan ayah Wirda, kini Mereka jalan-jalan keluar menikmati suasana kota Semarang dimalam hari, Mereka tengah duduk sembari menikmati secangkir teh di angkringan yang ada di pinggir jalan, angkringan langganan Mereka saat pulang sekolah.
“Wir,”
“Ya?”
“Seneng gak?”
“Aku bahagia banget, karna akhirnya bisa jalan-jalan menikmati kota malam hari tanpa ada tanggung jawab di pundak, Kamu juga bahagia kan?”
“Aku? Bahagia lah bisa membuat Kamu bahagia seperti ini, rasanya Aku ingin seperti ini selamanya?”
“Maksudnya? Kamu mau pacaran terus ?’
“Ya enggaklah , maksudnya kita bisa selalu bersama sampai ajal yang akan memisahkan,”
“Gombal.”
“Aku gak gombal, Aku bersungguh-sungguh”
“Iya-iya, ekh iya Zayn kalau misalnya kita kelak putus kita masih berteman tidak?”
“Uhuk.. maksud Kamu?”
“Pelan Zayn”
“Kamu mau mutusin Aku?”
“Gini lho ini kan misalnya, kan Aku takut pertemanan kita bakal luntur, kan sayang”
“Lihat saja nanti, tergantung yang menyebabkan putus itu apa.” Wirda tak membalas Dia hanya tersenyum tipis dan menatap wajah Zayn lama seakan masih berusaha menyimpan wajah itu di memori otaknya.
“Ngeliatinnya gitu banget, “ suara Zayn membuatnya terkejut dan segera mengalihkan pandangannya menyembunyikan pipinya yang memerah.
“Ciee… yang curi-curi pandang kangen ya sama Aku?”
“Apaan sih,, gak gitu kok,”
“Lalu..”
“Aku Cuma..”
“Cuma apa?”
“Akh, Kamu ngeselin,” Zayn hanya terkekeh melihat ekspresi Wirda yang menurutnya sangatlah lucu dan itu juga mengundang tawa pemilik angkringan yang sudah sangat lama mengenal Mereka.
“Lihat tuh! mbak Wirda sama mas Zayn romantis banget, mbak Wirdanya digodain terus,” dan itu membuat Zayn tertawa semakin lebar dan Wirda semakin menjauhkan wajahnya dari pandangan mata semua orang wajahnya sudah sangat merah karna malu dengan gemas Dia mencubit pinggang Zayn dan membuat Zayn mengaduh dan memaksanya melihat wajah cemberut dan merah Wirda dan itu membuat Zayn semakin tertawa keras, karna sudah tak tahan Wirda segera berlalu
“Yah,ngambek Dia,” setelah membayar Zayn menyusul Wirda yang tengah menyedekapkan tangannya di dadanya di mana Dia memarkirkan motornya
“Wir,” Wirda tak menjawab Dia malah mengalihkan pandangannya dan itu membuat Zayn frustasi.
“Aku akan mengajakmu ke tempat terakhir, “ tanpa permisi Zayn menarik lengan Wirda dan menuju motornya yang terparkir lalu motor matic itu melaju diantara warna-warni lampu kota.
            Wajah cemberut Wirda telah hilang dan berganti dengan wajah cerah dan mata bersinar, meskipun bukan untuk pertamakalinya Dia kemari tapi ini untuk pertamakalinya Dia kemari saat malam hari, semua rasa kesalnya terbayarkan oleh pemandangan kota dari ketinggian,
“Gimana? Masih marah?” Wirda menghiraukan pertanyaan Zayn, lagian Dia juga tak benar-benar marah, hanya sedikit kesal dan jengah, respon itu membuat Zayn tersenyum menjatuhkan tubuhnya diatas rumput menatap bintang yang berkerlip nakal di angkasa yang menggelap karna malam dan entah kenapa Dia merasa sangat tenang saat melihat Wirda begitu bahagia menikmati suasana malam ini.
“Wir, Kamu tau? Berapa banyak cinta Aku ke Kamu?”
“Sebanyak bintang dilangitkan?”
“Kamu tau aja,”
“Kamu juga mengatakan itu malam minggu sebelum-sebelumya,”
“Hehe, Wir sini duduk samping Aku,” Wirda menurut mengambil tempat disamping Zayn menengadah keatas memejamkan matanya menghirup udara sejuk yang akan mengisi paru-parunya. Sejenak keadaan hening hanya suara binatang malam dan samar suara deru kendaraan menjadi intro untuk musik dan lagu kisah cinta Mereka.
“Tataplah bintang seakan kau menatapku, sambutlah bintang saat senja datang, dimana kejora menjadi awal semuanya,, awal munculnya bintang yang akan menemani bulan semalam suntuk tanpa lelah, pandanglah bintang tanpa Kamu menyibak awan yang biru dan putih itu, pandanglah.. sampai kau lelah untuk memandangnya sampai kau jengah untuk menatapnya dan menghitungnya, sampai 1001 malampun Kau akan tetap memandangnya, kecuali masa telah menjatuhkan nama kita dan Izrail siap untuk mengawasi sekaligus menjemput jiwa kita,” Zayn tersenyum saat mendengar suara Wirda yang lembut, dan itu sangat menenangkan hatinya.
“Meski kadang masa adalah objek paling egois,  Aku percaya semuanya pasti akan ada artinya, semuanya sudah ada yang mengatur, begitu bukan?”
“Iya, Zayn kalau misalnya Aku pergi ninggalin Kamu dari dunia ini, apa yang akan Kamu lakukan?”
“Kamu bilang apa sih?”
“Jawab, kalau misalnya bulan ini Kamu gak akan pernah liat Aku selamanya jangan sesali semuanya yaa, Aku akan sangat merasa bersalah”
“Wir, Kamu bilang apa sih?” Wirda hanya tersenyum beranjak menuruni bukit
“Aku mau pulang!!” teriakan Wirda membuat Zayn bangkit dan menyusul langkah Wirda yang ntah kenapa sangat cepat seakan tak mampu Ia kejar.
Malam itu menjadi pertanda ada yang salah dengan waktu, ada yang salah dengan hati Mereka yang gelisah dan resah, ada yang mengusik pikiran Mereka, ada yang membuat Mereka seakan menjadi seperti budak sang waktu, jam pasir terus melaju tak akan berpikir apapun lagi dan tanpa ampun menggoda dan menyiksa itu kenapa waktu adalah objek yang egois, waktu akan berjalan sangat cepat saat menikmati sang waktu dan waktu akan berjalan lambat saat merasa jengah dengan sang waktu.

Minggu, 5 Oktober 2014
            Pagi-pagi sekali Wirda sudah duduk di kursi meja belajarnya dengan tangan yang terus menari di bukunya, ntah apa yang ditulisnya karna tidak ada tugas sekolah sama sekali. Dia berhenti menulis menghela nafas sejenak pikirannya kembali melayang pada permintaan Bu Maryam yang ntah kenapa tak pernah bisa untuk dikomando untuk berhenti sampai Dia merasa jengah sendiri, bukannya Dia sudah membuat keputusan? Kenapa masih saja bimbang? Apa yang salah? Bukannya Ia hanya berniat untuk membantu bukan bermaksud apapun lagi, Dia jadi ingat pada Zayn mungkin itulah sumber kebimbangannya, mungkin.. tapi posisinya saat ini adalah membantu dan Dia merasa sangat bersalah bila memberi sebuah harapan palsu kepada anak Bu Maryam, Bu Maryam sudah sangat baik pada keluarganya, Dia melirik kalender meja di depannya menyadari suatu hal bahwa jatah waktunya tak banyak lagi dan Ia memutuskan untuk melakukan apa yang belum dilakukannya sebelum waktunya habis. Dia melirik ponselnya, hari ini Dia memutuskan untuk mengabaikan Zayn dan itu bukan demi Dirinya tapi karna rasa cintanya pada Zayn yang tak menginginkan Zayn terluka apalagi berduka, justru Ia akan membuat Zayn membencinya meskipun Ia juga harus menanggung rasa sakitnya karna separuh jiwanya telah bersatu dengan jiwa Zayn bahkan darah Mereka telah berbaur menjadi sebuah cinta, cinta itu pengorbanan.
            Danu resah sendiri di depan jendela kamarnya hari sudah menjelang siang tapi gadis yang dinantinya tidak kunjung muncul dan itu membuatnya gelisah dan dadanya menjadi sakit tak biasanya gadis itu tak muncul seharian seharusnya gadis itu akan keluar untuk membersihkan halaman, malah hari ini adiknya yang membersihkan halaman, sejenak Ia menghela nafas memutuskan untuk duduk di bibir kasur sembari menekan dadanya yang terasa sakit berharap sakit itu hilang, namun hasilnya nihil sakit itu tak kunjung menghilang, sejenak Ia memandang lukisan gadis itu menatapnya penuh rindu dan kasih. “Bunda!!!” teriaknya saat sakit itu melumpuhkan seluruh sendi-sendi tubuhnya membuatnya seakan terhimpit dinding, itu sakit dan Ia tak tau harus apa selain hatinya yang terus bertasbih dan merapal do’a dan mulut yang terus memanggil sang bunda yang diharapkan bisa menolongnya untuk berbaring jujur saja Ia masih tidak mampu mengurus Dirinya sendiri dan itu membuatnya merasa berkecil hati saat akan mendekati gadis pujaannya, bagaimana Ia menjaga seorang gadis kalau Ia sendiri tidak bisa menjaga Dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur bergantung kepada orang lain mengingat Ia tak pernah keluar rumah kecuali ditemani kedua orangtuanya, Ia merasa sangat lemah dan kacau dan itu membuatnya tak mampu berbuat banyak kecuali melukis yang memang tak membutuhkan tenaga banyak.
            Zayn duduk dengan gelisah saat Wirda tak kunjung membalas pesannya atau merespon panggilannya, sebenarnya Ia bisa saja mengecek langsung kerumah Wirda tapi mengingat prinsip Mereka selama ini bahwa `Diharamkan berkunjung kerumah saat hari Minggu kecuali ada tugas sekolah` membuatnya mengurungkan niatnya, Zayn mengusap wajahnya kasar hatinya merasa sangat tidak tenang apalagi mengingat perkataan Wirda semalam yang membuatnya tak mampu terlelap dengan tenang ada yang mengusik pikirannya dan hatinya membuatnya tidak tau harus bagaimana lagi dan sekarang bahkan Dirinya tak mampu tenang barang sedetikpun dan itu mengganggunya.
“Zayn… ini kakak boleh masuk??” suara seseorang yang mengetuk pintu kamarnya membuatnya mengalihkan pandangnya dari ponselnya,
“Masuk aja kak, gak dikunci kok,” setelah mendengar sahutan dari Zayn seseorang yang ternyata adalah sang Kakak masuk dan langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur sang adik sembari tersenyum sumringah tak jelas.
“Memangnya Kau pernah mengunci pintu kamarmu?”
“Yaa.. terserah Kau sajalah,”
“Zayn, Kau tau? Aku merasa sangat bahagia hari ini,”  
“Iya, Aku melihatnya dengan jelas itu Mar,”
“Dimana sopan santunmu? Panggi Aku Kak Amar, “
“Yaa terserah Kau lah,”
“Emmm Kurasa ada yang salah denganmu? Ada apa? Ada masalah dengan Wirda?”
“Kalau masalah kaya’a tidak, tapi ntah kenapa dari tadi pagi Wirda sama sekali tak membalas pesanku dan merespon panggilanku, Aku merasa sangat frustasi hari ini..” sejenak Amar terdiam tidak biasanya adiknya galau seperti ini dan Dia merasa sangat aneh dengan semua ini, dalam hatinya ada sebuah ketakutan, ketakutan akan suatu hal yang tidak sengaja Dia tau tentang.. akh Dia tak mampu jika harus melanjutkannya.
“Aku tidak akan sefrustasi ini kalau tadi malam Wirda tidak membicarakan sesuatu tentang perpisahan, tidak seperti biasanya Dia membicarakan perpisahan dan Aku takut kalau perpisahan yang diucapkan Wirda tadi malam benar-benar terjadi, Aku takut kehilangannya…” Amar bangkit dari posisi rebahannya apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi, Wirda sudah memulainya tidak terlalu awal tapi cukup membuat pikiran  Zayn kocar-kacir tidak jelas, Dia menepuk pundak Zayn mencoba memberinya kekuatan.
“Mungkin Wirda hanya bercanda,”
“Logikaku sebagai laki-laki berkata bahwa itu hanyalah sebuah candaan, tapi hati nuraniku berkata lain,, hati nuraniku bilang kalau Aku akan kehilangannya,”
“Cemen, cowok itu kebanyakan pake logika, bukan hati nurani udahlah gak usah terlalu dipikirin,” Amar menepuk sekali lagi pundak sang adik sebelum benar-benar pergi dari kamar sang adik, kalau boleh jujur Dia membenarkan hati nurani Zayn tapi disisi lain Dia tak mampu berbuat apapun apalagi untuk mencegah kepergian Wirda itu bahkan adalah hal yang sangat mustahil terjadi, enam tahun tinggal di Semarang membuat Dia tak lagi bisa untuk berpikir jernih, pikirannya sudah penuh dengan tugas-tugas kuliah dan Dia tak mampu berbuat apapun lagi, kalau boleh jujur sebenarnya Dia merindukan Bandung tempat kelahirannya tapi sialnya Dia harus terjebak dan mendekam di Ibukota Jawa Tengah ini bersama keluarganya sungguh kalau bukan karna Zayn Dia sudah lama pergi dari Semarang. Dia mengacak-acak rambutnya sebentar kemudian memutuskan untuk melangkah menuju kamarnya, rasanya Dia ingin mencurahkan kabahagiaannya kepada Zayn tapi mengingat kondisi psikis Zayn saat ini Dia tak bisa melakukan itu, mengumbar kebahagiaan di depan orang yang sedang frustasi.
            Danu masih terus mengikuti langkah sang Bunda yang sedang sibuk di dapur dan itu membuat sang Bunda agak sedikit jengah dan kesal, selama ini Danu tak pernah berbuat seperti ini terus membuntutinya .
“Danu bisakah Kamu tidak mengganggu Bunda?”
“Bun, kapan tamu Bunda datang?”
“Sebentar lagi, tunggulah saja.dan berhenti mengikuti Bunda,”
“Bunda, Aku ingin melihat gadis itu sudah sejak pagi Aku tak melihatnya dan Aku sangat merindukannya,” rajuknya kepada Bundanya yang tengah mengambil sesuatu di kulkas, Bu Maryam mendesah sebentar kemudian tersenyum memegang kedua pundak putranya “Dengar, Kau bisa melihatnya besok.. ini hanya sehari dan Kau seperti seabad tidak bertemu,”
“Bunda, ta….” Ucapan Danu terpotong oleh suara bel dan ketukan pintu lalu ucapan salam, Bu Maryam menurunkan tangannya dari pundak Danu tersenyum lebar.
“Tuh!, udah datang, samperin gih!”
“Bun sakit, “ keluh Danu memegang dadanya kuat.
“Jangan ngeles, bukain gih!” Danu hanya merengut kesal dan membuat Bu Maryam terkekeh, setelah Danu pergi dari hadapannya Dia melanjutkan mencari barang yang diinginkannya yang tadi sempat tertunda karna ulah Danu, sejenak Dia menggaruk kepalanya mencoba mengingat kembali benda apa yang diinginkannya, maklum saja Dia sudah cukup tua untuk mengingat dengan baik. Danu melangkah dengan kesal dan sebal merasa dipermainkan oleh sang Bunda, dengan lemas Dia memutar knop pintu,
“Waalaikumsa…. Lam” ucapannya terbata saat mendapati sang tamu yang ternyata adalah seorang gadis, bukan gadis sembarangan tapi gadis yang sangat dicintainya, gadis tetangga depan, Danu bisa merasakan jantungnya berdebar tak karuan, debaran yang terasa nyaman bukan debaran menyakitkan yang biasa dirasakannya saat penyakitnya kambuh, dan itu membuat sang tamu mengerenyit.
“Ini masih rumah Tante Maryam kan? Kamu siapa? Pembantu baru yaa?”
“Cantik, kupu-kupu cantik,” gadis itu mengerenyit “Kupu-kupu?” gadis itu menoleh kebelakang meneliti apakah ada kupu-kupu disana dan faktanya tidak ada kupu-kupu dibelakangnya dan tidak akan ada kupu-kupu di kompleks perumahan Mereka yang dekat dengan kota yang notabene pasti banyak polusi dan kupu-kupu tidak suka polusi udara.
“Ekh, tamunya udah datang..kok gak diajak masuk Dan?” suara Bu Maryam memecahkan lamunan Mereka tentang kupu-kupu. “Kalian gapapa kan?” Mereka menggeleng wajah Danu yang biasanya terlihat pucat kini nampak lebih segar dan cerah dari biasanya sedang sang gadis hanya mengerenyit bingung, “Ya sudah mari masuk, tante udah nunggu Kamu dari tadi,” gadis itu mengangguk sopan mengikuti langkah Bu Maryam.
“Iya, ekh ini anak tante?” tanyanya menunjuk Danu yang senyam senyum sendiri dari tadi, “Iya namanya Danu, Dan kenalin ini tamu Bunda,”
“Danu..” Danu mengulurkan tangannya dan disambut baik oleh Wirda
“Wirda, berarti Kamu yang suka di depan jendela ya?” Danu menggaruk tengkuknya yang tak gatal pipinya memerah karna malu, Wirda yang melihat itu tersenyum kecil
“Anak tante pemalu ya?”
“Ya gitu deh, owh iya Wir tante minta maaf yaa gak bisa nemenin Kamu ada urusan mendadak, Kamu sama Danu aja yaa… tolong titip Danu,”
“Gak masalah kok tan, Aku juga gak sibuk,”
“Ya sudah tante pamit yaaa udah ditungguin”
Mereka mengangguk kompak , “Ekh iya Dan, jangan berpikir macam-macam baik-baik sama Wirda jangan nakal, Bunda pergi dulu Assalamualaikum
“Iya Bun, waalaikumsalam”
“Waalaikumsalam”  sejenak hening masih mewarnai ruang tamu rumah Danu sepeninggalan Bu Maryam sejenak Mereka sibuk menjelajahi pikiran Mereka masing-masing Wirda dengan dunianya Danu juga dengan dunianya di awan yang tinggi Dia merasa melayang masih tidak percaya jika gadis pujaannya yang biasanya hanya mampu Dia lihat dengan jarak jauh kini ada disampingnya duduk disampingnya dan Dia akan menemani gadis pujaannya dengan senang hati, akh kenapa Bundanya tidak memberitahu kalau Wirda adalah tamunya maka dengan senang hati tanpa penolakan atau rajukan Danu akan menemani tamu sang Bunda dan menyenangkan sang tamu denga ikhlas dan tulus.
By The Way,  ngomong-ngomong kata tante Maryam Kamu pelukis ya?” pertanyaan Wirda sukses membawa Danu kembali mendarat di permukaan bumi dengan hati-hati bahkan secara terhormat, pelan Danu mengangguk rasanya lidahnya terlalu kelu  untuk berbicara apalagi suara Wirda yang tidak begitu baik untuk kesehatan jantungnya apalagi mengingat siang tadi penyakitnya kumat dan baru sore ini Dia bisa beraktifitas lebih  leluasa karna debaran menyakitkan itu telah lenyap untuk sesaat berganti debaran nyaman saat pertama kali menemukan wajah sang gadis pujaan di depan pintu rumahnya bahkan Dia tidak pernah membayangkan hal itu bisa terjadi padanya, bahkan dalam mimpi sekalipun.
“Dan….”
“Akh iya! Ada apa?”
“Apa Kau seorang pelukis?”
“Ya, apa Kau mau melihatnya?” Wirda mengangguk antusias Dia sangat menyukai lukisan dan semua yang berbau karya seni Dia menyukainya bahkan mencintainya Dia sering menghabiskan waktu di pameran lukisan atau buku bersama Zayn bahkan Dia pernah nekad ke Bali hanya untuk membeli lukisan di salah satu galeri di Kuta dan membuat Mereka harus berpuasa selama hampir satu bulan untuk mengganti uang tabungan yang Mereka ambil untuk membeli tiket ke Bali, Mereka memang gila benar-benar gila karna selalu berani mengambil langkah apa yang Mereka mau dan senangi dan itu yang membuat hubungan Mereka selalu baik-baik saja karna Mereka saling melengkapi dan mengerti antara yang satu dengan yang lain dan itu membuatnya menjadi semakin sulit. Akhirnya teguran Danu membangunkannya dari lamunan dan bergegas mengikuti langkah Danu menuju sebuah ruangan di lantai satu. Wirda melihat Danu memutar knop pintu dan memasuki ruangan yang gelap namun menjadi terang saat Danu menyalakan saklarnya bukan hanya ruangannya yang terang mata Wirda juga berbinar terang sorot matanya seakan sangat mengagumi pemandangan yang disuguhkan ruangan ini, ruangan yang Dia tahu ruang galery lukisan pribadi kepunyaan Danu. “Subhanallah.. indah banget Dan? Kalau saja semua lukisan ini ada di pameran maka sudah habis uang tabunganku untuk membeli, galery di Kuta pun kalah dengan ini,” gumam Wirda memandang kagum lukisan-lukisan kepunyaan Danu mengagumi dan berkali-kali mengucapkan pujian untuk Allah SWT karna telah menciptakan jemari Danu yang sangat berbakat dan Wirda berjanji dalam hatinya Dia tidak akan menyiakan bakat Danu, terlalu muda untuk Danu mati muda karna masih banyak hal di seluruh dunia yang perlu Danu lukiskan keindahannya.
“Kuta? Daerah mana? Apa masih di Semarang?” tanya Danu polos, terlalu sering di rumah dan mengindahkan tekhnologi membuatnya tidak tau dunia luar dan hanya fokus pada lukisannya saja, dan pertanyaan Danu berhasil membuat Wirda mengerenyit heran dan dengan kapasitas otaknya yang kadang melampaui cerdas itu Wirda langsung menyimpulkan sesuatu, Danu berbeda.
“Kuta itu ada di Pulau Bali pulau dengan Tanah Lotnya kota dengan pantai-pantainya yang indah dengan pasir putih yang lembut yang gak akan kita temui di Semarang, ada Ubud, Kuta, Sanur dan masih banyak lagi ada anjing Kintamani dan juga upacara ngabennya..” Danu masih bingung Dia menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal memandang Wirda yang masih asik menelusuri lukisan-lukisannya, salahkan Danu yang  mengindahkan kemajuan tekhnologi dan memilih fokus pada lukisan dan gadis pujaannya.
“Aku masih belum ngerti,”  Wirda mendesah kemudian berbalik menghadap Danu, yang masih memasang ekspresi bingung sekaligus ingin tahu, Wirda tersenyum membuka tasnya dan mencari sesuatu disana, Dia mencari brosur yang di dapatkannya saat di Bali, Dia punya banyak dan tidak keberatan jika membaginya satu. Setelah dapat Wirda menyerahkannya pada Danu “Bacalah, ini untukmu,” Danu menerimanya dengan heran lalu membaca apa yang tertera disana, sedang Wirda masih menelusuri lukisan yang lain dan pandangannya terhenti pada sebuah lukisan, lukisan seorang gadis dengan senyuman manisnya, gadis mirip dirinya.
“Dan.. kenapa ada Aku di lukisanmu?” Danu tergugup merasa telah tertangkap basah, hatinya merutuki sang Ayah yang telah memindahkan lukisan itu kemari.
“Uhm…..”
“Jangan-jangan, selama ini Kamu mata-matain Aku yaa? Buat dijadiin lukisan hayoo ngaku. Dasar lancang !!” Danu menelan ludah pahitnya.
“Tidak, A..Aku hanya melukis apa yang Ku lihat,” Wirda memicingkan matanya nampak menyelidiki sesuatu di wajah Danu dan berhasil membuat Danu gugup dan ntah kenapa Dia merasa geli dengan ekspresi Danu seperti ada bulu ayam menggelitiki perutnya, Dia ingin tertawa.
“Haha.. tidak usah gugup seperti itu, ekspresimu membuatku geli tau, haha.. Kau terlihat sangat jelek,, Aku suka ini kalau lukisannya dilihat orang Aku akan terkenal,” ucapan Wirda membuat wajah Danu mengendur lalu tersenyum, apa yang dipikirkannya tidak benar-benar terjadi dan Dia berulang kali merapalkan ucapan syukur di hatinya.
“Aku melukis Kamu karna Aku suka,” Wirda hanya tersenyum kecil penuh misteri ntah apa yang artinya yang jelas senyum itu terlihat sangat tulus. Pandangan Wirda kembali beralih kepada lukisan yang lain dan pandangannya terhenti pada sebuah lukisan, lukisan yang menggambarkan kebahagiaan sebuah keluarga, dan Dia sangat tahu siapa yang ada di lukisan tersebut itu keluarganya yang sedang berkumpul di pekarangan rumah untuk membersihkan pekarangan yang rutin dilakukan dua bulan sekali, lukisan itu menggambarkan Dirinya yang sedang menjaili sang adik dan kedua orang tuanya sibuk membenahi pakarangan tersenyum lebar akh keluarga bahagia, hanya ada tawa disana tak terasa air matanya menetes kemudian dengan cepat Dia menyekanya sebelum Danu menyadarinya dan mengajukan pertanyaan yang pasti akan membuatnya malu, Dia menyadari mungkin tawa yang dilukiskan Danu kelak akan berubah menjadi deraian air mata.
“Dan, Aku beli yang ini.. Kamu pasti tidak akan rela jika Aku mengambil lukisan wajahku, Kau akan galau nanti,”
“Tidak kalau Kau mau ambil saja, itung-itung sebagai ganti kelancangan Aku,” Wirda menggeleng mengibaskan tangannya “Tidak perlu, kalau Kau mau memberiku lukisan gratis berilah lukisan wajahmu,” Danu tertegun sesaat melihat Wirda menurunkan lukisan yang dibelinya perlahan, jujur Dia merasa aneh dengan permintaan Wirda, bagaimana Dia bisa melukis wajahnya sendiri? Itu konyol.
“Bagaimana bisa? Emang bisa melukis wajah sendiri?”
“Bisa saja, Kau bisa memakai fotomu atau Kau bisa melukis didepan kaca,”
“Ya, Aku akan berusaha..”
“Ku harap, lukisan itu telah jadi sebelum tanggal 12, boleh Aku ke kamar mandi?”
“Aku akan berusaha, silahkan” Wirda masih terdiam ditempatnya sembari cengar-cengir.
“Owh, maaf mari Ku antar,”
Setelah mengantar Wirda ke kamar mandi Danu duduk di sofa ruang tengah menatap lukisan yang dipilih Wirda yang menurutnya tidak begitu istimewa masih banyak lukisan yang lebih bagus dari pada ini tapi Danu tak memikirkan itu baginya melihat dan berbincang dengan gadis itu adalah hal yang sangat membahagiakan, Dia memainkan gitarnya pelan mencoba menikmati alunan yang diciptakannya, Dia memang mengacuhkan tekhnologi tapi Dia tak pernah mengacuhkan musik, baginya musik adalah temannya setelah lukisan. Kali ini setelah Wirda keluar dari kamar mandi Danu mengajak Wirda ke gazebo belakang rumahnya dimana ada kolam ikan dan taman disana, Wirda asik bermain dengan ikan di kolam sedang Danu asik dengan gitarnya.
“Kamu suka?”
“Aku suka,” Danu mendesah saat Wirda menyipratkan air padanya dan itu membuat Danu kesal dan berniat membalas perbuatan Wirda. Akhirnya meraka berperang air Mereka tertawa gembira di antara bias senja sore itu yang semakin menampakkan lembayungnya dan itu adalah hari terbaik bagi Danu.
“Dan” panggil Wirda saat Dia sudah lelah bermain air dan memakai jaketnya yang sempat dilepasnya tadi.
“Ya?”
“Apa Kamu bahagia?”
“Tentu, Aku sangat bahagia,” Danu berterus terang Dia memang bahagia bahkan sangat bahagia, “Bagaimana denganmu, apa Kau bahagia?”
“Aku juga bahagia,” Danu tersenyum Wirda sangat menyenangkan menurutnya.
“Terimakasih untuk hari ini,” ucap Danu saat Mereka kembali duduk di ruang tamu.
“Hari ini? Ralat Tuan Danu, Sore ini.”
“Terserah apa katamu yang penting Aku senang dan Kamupun senang,” Wirda terkekeh dan meninju bahu Danu yang juga terkekeh.
“Ish!, Kau preman ya?” Wirda berhenti terkekeh kemudian memajukan wajahnya didepan wajah Danu bahkan Dia bisa merasakan hembusan nafas Danu, Dia biasa melakukan ini pada teman-temannya di sekolah dan akan langsung mendapat tatapan tajam dan ceramahan panjang dari Zayn, mengingat Zayn mendadak hatinya menjadi rindu sosok Zayn sedang apakah kekasihnya itu? Mengingat ponselnya yang Dia nonaktifkan sejak siang tadi.
“Kalau Aku preman, Aku sudah mencabik-cabik tubuhmu sedari tadi “ suara otoriter Wirda membuat Danu gugup apalagi dengan posisi wajah Wirda yang sangat dekat dengannya dan menatapnya sarkastik dan penuh intimidasi dan sejenak Dia merasa berhadapan dengan seorang psikopat di film yang pernah Dia tonton di tv. Danu bernafas lega saat Wirda menjauhkan wajahnya dan langsung tergelak, lagi-lagi Dia dipermainkan dan Dia harus membalasnya.
“Haha.. Aku paling suka liat ekspresi itu menurutku itu sangat lucu, wajah gugup dan tegang,” Danu mendengus sebentar kemudian memajukan wajahnya seperti apa yang dilakukan Wirda padanya
“Aku juga”
Wirda terdiam bukan karna Dia gugup atau apa, tapi ada getaran tak biasa yang Dia rasakan, jantungnya berdebar tak karuan “Mungkinkah Aku jatuh cinta?? Lalu.. bagaimana dengan Zayn?” batinnya bertanya-tanya tak ingin berada diposisi ini lebih lama Wirda menjauhkan wajah Danu dari wajahnya.
“Maaf, Tuan Danu terhormat.. godaan Anda tidak berpengaruh”
Mendengar itu membuat Danu mendesah sebal, Dia merengut merasa kalah mungkin karna efek tak pernah keluar rumah membuatnya tak tahu bagaimana caranya menggoda seorang gadis.
“Setidaknya berpura-puralah berpengaruh apa Kau tidak punya sopan santun kepada klienmu?”
“Bukannya terbalik? Aku tamumu dan Aku yang seharusnya menjadi klien Anda,” Danu kembali merengut merasa kalah lagi dan membuat tawa Wirda pecah,
“Terserah Kau sajalah,”
“Aduh.. perutku sangat sakit, geli Aku  melihat tingkahmu” Danu mengkerucutkan bibirnya kesal menyedekapkan tangannya di depan dada dan menggembungkan pipinya, sekiranya itulah ekspresi ngambek di sinetron atau film yang pernah dilihatnya dan itu membuat Wirda terkekeh. “Sudahlah, jangan cemberut seperti itu” Wirda menarik pipi Danu dan membuat Danu tersenyum.
“Begini lebih baik,”
Danu tersenyum manis menatap dalam manik mata Wirda yang ntah kenapa terasa menyejukkan hatinya.
“Sudah hampir malam, Aku harus pulang”
“Tinggalah disini lebih lama, setidaknya sampai Bunda pulang,”
“Tidak bisa, sebentar lagi maghrib
“Tapi….”
“Maaf  Dan, lagian Kamu tidak sendirian di rumah kan?”
“Tapi..”
“Dan,”
“Baiklah, boleh Ku antar sampai depan gerbang rumahmu?”
“Tidak masalah, hanya bersebrangan kan?”
 “Terimakasih,”
“Pakai jaket Kamu,”
“Akh, gak perlu,”
“Tapi diluar dingin,”
“Udah gak perlu,”
“Ya sudah terserah Kamu,” Wirda pasrah saat Danu bersikeras untuk tidak memakai jaketnya, bukan apa-apa mengingat Dia sudah tahu kondisi Danu jadi Dia tak mau terjadi apa-apa dengan Danu, Dia akan merasa sangat bersalah. Danu mensejajarkan langkahnya dengan Wirda, perjalanan Mereka terasa panjang dan diselimuti keheningan padahal hanya 15 meter jauhnya tapi berasa sangat lambat seakan berjalan sejauh 15 kilometer padahal kenyataannya tidak. Tak terasa Mereka sampai di gerbang rumah Wirda Mereka berhenti sejenak, Wirda juga tak langsung masuk rumah.
“Makasih udah nganterin Aku pulang, jangan lupa pesananku” Wirda mengingatkan sembari mengambil alih lukisan yang di tadi dibelinya dari tangan Danu.
“Sama-sama, Aku pulang dulu selamat malam Assalamualaikum
Waalaikumsalam,” Danu pun berlalu dan semakin hilang ditelan gerbang rumahnya.

Bersambung ke Bagian 2
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar