Sabtu,
4 Oktober 2014
Dia masih terpaku di
depan jendela kamarnya, pandangannya masih tertuju pada objek bergerak di
depannya di taman seberang rumahnya, senyum tak pernah lepas dari bibirnya,
matanya bergerak liar mengikuti gerak gerik objek yang di amatinya menari-nari
sembari memainkan selang yang mengalirkan air yang akan menyejukkan tanaman
yang tengah di siram. Entah kenapa Dia merasa seperti tanaman itu, sejuk seakan
Dia baru diguyur air dari Nirwana. Dia masih terus memandang objek
bergerak yang ternyata adalah seorang
gadis cantik dengan jilbabnya, anak tetangga depan yang sampai saat inipun tak Dia
tau namanya. Sebenarnya Bu Maryam, sang Bunda telah menawarkan untuk memberitau
nama gadis itu, namun Dia menolak dengan alasan Dia ingin tahu dan mendengarnya
langsung dari gadis itu saat Dia mempunyai keberanian untuk mengajak gadis itu
berkenalan. Gadis itu memang cantik, gadis yang telah menjadi tetangganya sejak
enam tahun belakangan dan selama enam tahun itu pula Dia mengagumi gadis itu
bahkan mencintainya, gadis yang tidak tahu siapa Dia tapi Dia tahu banyak
tentang gadis itu. Menurutnya hal yang paling Dia suka adalah saat bulan
Ramadhan tiba, dimana Dia bisa melihat
gadis itu setiap hari senin dengan tentengan di tangannya, tentengan
yang Dia tahu akan diantarkan ke masjid
kompleks. Dia juga bisa melihat gadis itu mengenakan mukenanya dan bercengkrama
dengan sang adik saat akan dan sesudah sholat tarawih. Masih banyak lagi kebisaaan
gadis itu yang mampu Dia ucapkan dengan lancar, terang saja enam tahun bukanlah
waktu yang sebentar untuk mengamati seorang gadis. Dia menghela nafas sebentar menutup
kembali tirai jendela kamarnya setelah gadis itu memasuki rumahnya,
pandangannya beralih pada sebuah lukisan di dinding kamarnya, lukisan karyanya
yang menggambarkan wajah dengan senyuman seorang gadis, siapa lagi kalau bukan
gadis itu.
“Danu,” panggilan seseorang yang Dia
tahu adalah sang Bunda menbuatnya menoleh dan mendapati sang Bunda
menghampirinya. “Iya, Bun?” sahutnya sopan membiarkan sang Bunda duduk di bibir
kasurnya.
“Sudah diminum obatnya?”
“Sudah,”
“Bohong, memangnya Bunda tidak tau,,”
“Bunda, Aku kan sudah lima belas tahun, dan gadis itu kekuatanku
setelah Ayah dan Bunda,”
“Iya, Bunda tahu.. Kamu akan sakit lagi
nanti,”
“Aku memang sudah sakit Bun,”
“Danu, penyakit jantung Kamu itu bukan
penyakit sepele , nak”
Dia, Dia adalah Danu Prasetya pemuda
berkulit putih bersih dan bermata almond itu mengidap panyakit jantung bawaan
dan sebuah anugrah saat Dia mampu bertahan selama dan sejauh ini. Bu Maryam,
sang Bunda membelai rambut Danu penuh sayang kalau boleh jujur Bu Maryam sangat
takut jika Danu akan benar-benar menyerah kelak.
“Bunda, Danu boleh minta suatu hal
tidak?”
“Tentu, apa Sayang?”
“Izinkan Aku bertemu gadis itu,” Bu
Maryam tersenyum
“Tentu, tapi jangan terlalu memaksakan
jantung Kamu gak akan kuat,”
“Iya Bun,”
“Sekarang, minum obatnya, besok sore
temenin Bunda menemani tamu yaaa..”
“Yaah,, Bunda Aku pasti
bakal di kacangin,”
“Sudah jangan protes Danu, pokoknya Kamu
pasti senang,”
“Aku harap,” Danu menyerahkan kembali
gelas kosong kepada Bu Maryam setelah selesai meminum obatnya. “Sudah, sekarang
istirahatlah.. sudah waktunya istirahat,” Danu menggeleng.
“Danuuu,, jangan buat
Bunda telfon Ayah,”
“Baiklah,” Danu menurut, Dia merebahkan
tubuhnya diatas ranjangnya, sedang Bu Maryam akan menunggu untuk memastikan
jika Danu benar-benar terlelap. Bu Maryam tersenyum pilu, membelai lembut surai
hitam Danu hatinya pilu dan sedih mengingat kondisi Danu semakin lemah, Dia
ingat bagaimana perjuangannya bersama suaminya untuk membuat Danu tetap di sisi
Mereka, mengingat Danu adalah anak semata wayang dan Dia tidak akan bisa
mempunyai anak lagi, Dia ingat bagaimana perjuangan
Mereka sejak Danu baru lahir ke Dunia sungguh Dia tidak akan rela Danunya pergi
itulah yang membuat Danu dilarang keluar rumah tanpa ada yang menjaga termasuk
pergi sekolah, Danu hanya Homeschooling
bahkan sejak kepindahan Mereka enam tahun lalu Danu tidak pernah keluar kecuali
bersamanya atau suaminya Dia tak akan membiarkan orang lain membuat Danu
kesakitan, kalau boleh jujur sebenarnya Dia ingin gadis yang di kagumi Danu
enyah tapi Dia juga sadar gadis itu juga yang menjadi kekuatan Danu setelah Dirinya
dan suaminya. Bu Maryam menyeka air matanya yang menetes diantara kerut wajahnya yang tak muda lagi menatap
lembut Danu yang telah terpejam begitu damai, Bu Maryam mengecup hangat dahi Danu
sebelum benar- benar meninggalkan Danu seorang diri.
Seorang
gadis cantik tengah asyik bercermin di depan kaca seraya bersenandung pelan,
merapikan lagi jilbabnya yang agak berantakan, senyum tak pernah lepas dari
bibir mungilnya bagaimana tidak setelah seminggu tak dikunjungi kekasihnya Dia
merasa rindu, lagi-lagi Dia tersenyum kecil kemudian mendudukkan diri di bibir
kasur sembari menunggu sang kekasih yang katanya berada di perjalanan. Entah
apa yang di pikirkannya sehingga membuat senyumnya luntur , Dia merenung
sejenak menyadari jika waktunya tidak banyak lagi Dia berusaha mencerna ucapan
tetangga depan rumahnya yang memohon dengan deraian air mata untuk menemani
putranya yang sangat mencintainya, memang Dia sempat beberapa kali memergoki
seseorang selalu mengawasinya lumayan tampan sih, tapi baginya kekasihnya
adalah pria yang paling tampan setelah sang Papa. Akhirnya Dia memutuskan untuk
mengabulkan permintaan Bu Maryam tetangga depannya, dan itu mendapat protes
keras dari kedua orang tuanya Mereka bilang anaknya Bu Maryam tidak akan mampu
menjaganya sebaik Mereka dan kekasihnya dan Dia tahu kenapa, Namun justru
itulah yang mendorongnya untuk mengabulkan permintaan Bu Maryam.
“KAK WIRDA!!!!” Dia terlonjak saat
pangilan yang memekakan telinga itu mampir di telinganya, Dia mengelus-elus
telinganya memastikan kalau Dia tidak akan tuli mendadak. Dia, Dia adalah Wirda
Permana gadis tetangga Danu yang sangat Danu cintai, gadis cantik dengan sifat
jailnya itu telah membuat semua orang jatuh cinta namun hanya satu yang
dipilihnya, kekasih tercintanya yang tak akan tergadaikan dengan apapun meski
dunia jatuh ke pelukannya. Wirda mendengus sebentar menarik nafas dalam-dalam
“ADA APA???” suara yang tak kalah
memekakannya mampir di seluruh penjuru rumah, dan membuat orang-orang di
dalamnya menutup telinganya. “KAK ZAYN UDAH NUNGGU GAK MALU APA? TERIAK GAK
JELAS?” sahutan adiknya membuatnya kesal oke Dia mengakui kali ini adiknya
menang karna pasti Dia akan diceramahi oleh kekasihnya, Dia mendengus kesal
membuka pintu dan mendapati sang adik tersenyum penuh kemenangan, Dia berhenti
sebentar kemudian menatap tajam sang adik dan itu berhasil membuat sang adik
lari terbirit-birit.
Wirda mengambil tempat di sofa di depan
kekasihnya siap mendengarkan ceramah panjang lebar dari kekasihnya.
“Say.” Belum sempat sang kekasih
melanjutkan ucapannya Wirda terlebih dahulu memotongnya,
“Zayn, please Aku lagi gak mau dengar ceramahan
dari Kamu,”
“Tap..”
“Ku mohon mengertilah Aku benar-benar
sedang kesal hari ini, Aku tahu Kamu mau bilang apa, pasti gini ‘Wir, sudahlah Kamu
itu perempuan gak pantes teriak-teriak kaya tadi, udah tahu Dilla jail masih diladenin, mending sekarang Kamu
duduk manis..’ Aku bahkan bisa mengucapkannya dengan mata terpejam”
“Wir..”
“Tolong mengertilah..”
“Wirda, Aku tau, Aku gak akan nyeramahin
Kamu justru Aku mau ngajak Kamu jalan-jalan keluar,”
“Emang udah ijin sama Mama Papa??”
“Udah,”
“Nah loh,, emang Kamu udah disini sejak
kapan?”
“Satu jam yang lalu,”
“Ya ampun, ini udah jam 4 dan Aku belum Ashar Kamu tunggu bentar yaa,, Aku
sholat dulu,” Zayn, kekasihnya hanya mengangguk memandang kepergian Wirda
dengan heran. Kalau boleh jujur Dia merasa sangat beruntung bisa memiliki
kekasih seperti Wirda, Dia ingat saat SMP
dulu saat Dia tercebur kedalam limbah kotor yang tak beradab , Wirdalah yang
menuntunnya untuk kembali ke jalan yang benar dan alasan itulah yang membuat
meraka bertahan sejauh ini. Dia ingat saat Wirda berusaha meyakinkannya saat Dirinya
diolok-olok oleh teman lamanya.
“Zayn, teman itu masih banyak Kamu bebas
memilih mana yang akan jadi teman Kamu dan musuh Kamu, Kamu bebas memilih teman
yang bisa merubah Kamu ke arah yang lebih baik bukan malah menjerumuskanmu,”
“Tapi….”
“Gak ada kata tapi Zayn, ingat masih ada
Aku yang dengan senang hati akan menemanimu, Kamu tau gak ada seorangpun yang bisa
ikut campur atas kepribadian seseorang, karna pada hakikatnya kepribadian
adalah yang membedakan kita dari yang lain”
Begitulah mungkin yang dikatakan Wirda
kala itu dan mampu membuatnya bergeming mencoba mencerna ucapan Wirda saat itu.
Menurutnya Wirda adalah sang pelindung hati, ntah kenapa Dia bisa dengan mudah
berubah saat disisi Wirda seakan ada aura tersendiri yang membuatnya tak mampu
berkelakuan buruk baik di depan atau dibelakang Wirda dan itu adalah sebuah
tanda tanya besar untuknya. Wirda telah berhasil membuatnya menjadi pribadi
yang lebih baik membuatnya tahu siapa Allah SWT dan bagaimana cara mengimaninya
walau tidak sedalam para Kyai setidaknya Dia selalu segan jika melanggar
larangan-Nya. Sudah enam tahun Dia mengenal Wirda, bersahabat dengan Wirda dan
selama tiga tahun belakangan hubungan Mereka lebih dari sekedar sahabat, seluruh
sekolah tahu bagaimana hubungan Mereka yang seakan tak pernah ada masalah, itu
karna kerelaan Wirda untuk mengalah argumen darinya tak sedikit yang iri dengan
hubungan Mereka bahkan pernah mencoba menghancurkan hubungan Mereka tapi dengan kepala dingin mereka bisa menyelesaikannya meskipun sebenarnya hatinya
panas. Dia juga masih ingat bagaimana Wirda sangat murka padanya saat Wirda
mendapati Dirinya tengah sakau dan dengan kasar Wirda menariknya ke panti
rehabilitasi dan pada saat itulah benih cinta itu tumbuh subur oleh
pertemuan-pertemuan Mereka. awalnya Dirinya memang
menolak namun Wirda tetap kekeuh dengan pendiriannya dan Dia bisa melihat air
mata Wirda mengalir deras karnanya, karna sifat keras kepalanya dan air mata
itulah yang membuatnya merasa seakan meleleh dan hatinya yang terlanjur membeku
perlahan mencair.
“Wir Aku mohon hentikan ini semua !!!!”
“Gak, ! gak akan pernah!”
“Kamu itu hanya temanku !!”
“Justru karna itu, karna Aku temanmu
makanya Aku membawamu kemari.. teman yang baik
mengingatkan saat temannya berbuat salah bukan malah membungkus kesalahan
temannya, dan Aku ingin menjadi teman yang baik untukmu, untuk Dirimu Zayn..”
“Wir,.. “
Mulai saat itulah Dia bertekad untuk
berubah saat melihat airmata Wirda meluncur dengan bebas di pipinya dan ntah
kenapa hatinya turut terluka kepercayaan yang dulu hilang kini perlahan kembali
masa lalunya benar-benar telah dikubur dalam tanpa mampu Dia gapai lagi dan
seharusnya memang seperti itu.
“Zayn..” suara seseorang yang sangat Dia
kenal membangunkannya dari lamunannya suara kekasihnya siapa lagi kalau bukan Wirda yang telah duduk sembari
menopang dagu.
“Aku udah disini lima menit yang lalu
ngeliatin Kamu lagi melamun, asik bener ngelamunin apa sih? Cewek ya?”
“Gak lah, Aku ngelamunin masa lalu kita,
“
“Udahlah toh udah jadi masa lalu,”
“Iya, jadi Kamu maukan jalan-jalan
keluar?”
“Kalau Aku sih.. kalau Mama sama Papa
ngijinin Aku gak masalah, emang mau kemana?”
“Adadeh, berangkat sekarang aja yuk ! Kamu
udah siap kan?”
“Udah kok,”
“Yasudah, yuk pamitan !” Wirda hanya
mengangguk pertanda setuju. Merekapun berpamitan kepada kedua orangtua Wirda.
Malam
minggu kali ini memang terasa beda, kalau biasanya
Mereka hanya menghabiskan waktu dirumah Wirda untuk sekedar mengobrol atau share dengan ayah Wirda, kini Mereka
jalan-jalan keluar menikmati suasana kota Semarang dimalam hari, Mereka tengah
duduk sembari menikmati secangkir teh di angkringan yang ada di pinggir jalan,
angkringan langganan Mereka saat pulang sekolah.
“Wir,”
“Ya?”
“Seneng gak?”
“Aku bahagia banget, karna akhirnya bisa
jalan-jalan menikmati kota malam hari tanpa ada tanggung jawab di pundak, Kamu
juga bahagia kan?”
“Aku? Bahagia lah bisa membuat Kamu bahagia
seperti ini, rasanya Aku ingin seperti ini selamanya?”
“Maksudnya? Kamu mau pacaran terus ?’
“Ya enggaklah , maksudnya kita bisa
selalu bersama sampai ajal yang akan memisahkan,”
“Gombal.”
“Aku gak gombal, Aku bersungguh-sungguh”
“Iya-iya, ekh iya Zayn kalau misalnya
kita kelak putus kita masih berteman tidak?”
“Uhuk.. maksud Kamu?”
“Pelan Zayn”
“Kamu mau mutusin Aku?”
“Gini lho ini kan misalnya, kan Aku takut
pertemanan kita bakal luntur, kan sayang”
“Lihat saja nanti, tergantung yang
menyebabkan putus itu apa.” Wirda tak membalas Dia hanya tersenyum tipis dan
menatap wajah Zayn lama seakan masih berusaha menyimpan wajah itu di memori
otaknya.
“Ngeliatinnya gitu banget, “ suara Zayn
membuatnya terkejut dan segera mengalihkan pandangannya menyembunyikan pipinya
yang memerah.
“Ciee… yang curi-curi pandang kangen ya
sama Aku?”
“Apaan sih,, gak gitu kok,”
“Lalu..”
“Aku Cuma..”
“Cuma apa?”
“Akh, Kamu ngeselin,” Zayn hanya
terkekeh melihat ekspresi Wirda yang menurutnya sangatlah lucu dan itu juga
mengundang tawa pemilik angkringan yang sudah sangat lama mengenal Mereka.
“Lihat tuh! mbak Wirda sama mas Zayn
romantis banget, mbak Wirdanya digodain terus,” dan itu membuat Zayn tertawa
semakin lebar dan Wirda semakin menjauhkan wajahnya dari pandangan mata semua
orang wajahnya sudah sangat merah karna malu dengan gemas Dia mencubit pinggang
Zayn dan membuat Zayn mengaduh dan memaksanya melihat wajah cemberut dan merah Wirda
dan itu membuat Zayn semakin tertawa keras, karna sudah tak tahan Wirda segera
berlalu
“Yah,ngambek Dia,” setelah membayar Zayn
menyusul Wirda yang tengah menyedekapkan tangannya di dadanya di mana Dia
memarkirkan motornya
“Wir,” Wirda tak menjawab Dia malah
mengalihkan pandangannya dan itu membuat Zayn frustasi.
“Aku akan mengajakmu ke tempat terakhir,
“ tanpa permisi Zayn menarik lengan Wirda dan menuju motornya yang terparkir
lalu motor matic itu melaju diantara warna-warni
lampu kota.
Wajah
cemberut Wirda telah hilang dan berganti dengan wajah cerah dan mata bersinar,
meskipun bukan untuk pertamakalinya Dia kemari tapi ini untuk pertamakalinya Dia
kemari saat malam hari, semua rasa kesalnya terbayarkan oleh pemandangan kota
dari ketinggian,
“Gimana? Masih marah?” Wirda
menghiraukan pertanyaan Zayn, lagian Dia juga tak benar-benar marah, hanya
sedikit kesal dan jengah, respon itu membuat Zayn tersenyum menjatuhkan
tubuhnya diatas rumput menatap bintang yang
berkerlip nakal di angkasa yang menggelap
karna malam dan entah kenapa Dia merasa sangat tenang saat melihat Wirda begitu
bahagia menikmati suasana malam ini.
“Wir, Kamu tau? Berapa banyak cinta Aku
ke Kamu?”
“Sebanyak bintang dilangitkan?”
“Kamu tau aja,”
“Kamu juga mengatakan itu malam minggu
sebelum-sebelumya,”
“Hehe, Wir sini duduk samping Aku,” Wirda
menurut mengambil tempat disamping Zayn menengadah
keatas memejamkan matanya menghirup udara sejuk yang akan mengisi paru-parunya.
Sejenak keadaan hening hanya suara binatang malam dan samar suara deru
kendaraan menjadi intro untuk musik dan lagu kisah cinta Mereka.
“Tataplah bintang seakan kau menatapku,
sambutlah bintang saat senja datang, dimana kejora menjadi awal semuanya,, awal
munculnya bintang yang akan menemani bulan semalam suntuk tanpa lelah,
pandanglah bintang tanpa Kamu menyibak awan yang biru dan putih itu,
pandanglah.. sampai kau lelah untuk memandangnya sampai kau jengah untuk
menatapnya dan menghitungnya, sampai 1001 malampun Kau akan tetap memandangnya,
kecuali masa telah menjatuhkan nama kita dan Izrail siap untuk mengawasi
sekaligus menjemput jiwa kita,” Zayn tersenyum saat mendengar suara Wirda yang
lembut, dan itu sangat menenangkan hatinya.
“Meski kadang masa adalah objek paling
egois, Aku percaya semuanya pasti akan
ada artinya, semuanya sudah ada yang mengatur, begitu bukan?”
“Iya, Zayn kalau misalnya Aku pergi
ninggalin Kamu dari dunia ini, apa yang akan Kamu lakukan?”
“Kamu bilang apa sih?”
“Jawab, kalau misalnya bulan ini Kamu
gak akan pernah liat Aku selamanya jangan sesali semuanya yaa, Aku akan sangat
merasa bersalah”
“Wir, Kamu bilang apa sih?” Wirda hanya
tersenyum beranjak menuruni bukit
“Aku mau pulang!!” teriakan Wirda membuat Zayn bangkit dan menyusul langkah
Wirda yang ntah kenapa sangat cepat seakan
tak mampu Ia kejar.
Malam itu menjadi pertanda ada yang
salah dengan waktu, ada yang salah dengan hati Mereka yang gelisah dan resah,
ada yang mengusik pikiran Mereka, ada yang membuat Mereka seakan menjadi
seperti budak sang waktu, jam pasir terus melaju tak akan berpikir apapun lagi
dan tanpa ampun menggoda dan menyiksa itu kenapa waktu adalah objek yang egois,
waktu akan berjalan sangat cepat saat menikmati sang waktu dan waktu akan
berjalan lambat saat merasa jengah dengan sang waktu.
Minggu,
5 Oktober 2014
Pagi-pagi
sekali Wirda sudah duduk di kursi meja belajarnya dengan tangan yang terus
menari di bukunya, ntah apa yang ditulisnya karna tidak ada tugas sekolah sama
sekali. Dia berhenti menulis menghela nafas sejenak pikirannya kembali melayang
pada permintaan Bu Maryam yang ntah kenapa tak pernah bisa untuk dikomando
untuk berhenti sampai Dia merasa jengah sendiri, bukannya Dia sudah membuat
keputusan? Kenapa masih saja bimbang? Apa yang salah? Bukannya Ia hanya berniat
untuk membantu bukan bermaksud apapun lagi, Dia jadi ingat pada Zayn mungkin
itulah sumber kebimbangannya, mungkin.. tapi posisinya saat ini adalah membantu
dan Dia merasa sangat bersalah bila memberi sebuah harapan palsu kepada anak Bu
Maryam, Bu Maryam sudah sangat baik pada keluarganya, Dia melirik kalender meja
di depannya menyadari suatu hal bahwa jatah waktunya tak banyak lagi dan Ia
memutuskan untuk melakukan apa yang belum dilakukannya sebelum waktunya habis. Dia
melirik ponselnya, hari ini Dia memutuskan untuk mengabaikan Zayn dan itu bukan
demi Dirinya tapi karna rasa cintanya pada Zayn yang tak menginginkan Zayn
terluka apalagi berduka, justru Ia akan membuat Zayn membencinya meskipun Ia
juga harus menanggung rasa sakitnya karna separuh jiwanya telah bersatu dengan
jiwa Zayn bahkan darah Mereka telah berbaur menjadi sebuah cinta, cinta itu
pengorbanan.
Danu
resah sendiri di depan jendela kamarnya hari sudah menjelang siang tapi gadis
yang dinantinya tidak kunjung muncul dan itu membuatnya gelisah dan dadanya
menjadi sakit tak biasanya gadis itu tak
muncul seharian seharusnya gadis itu akan keluar untuk membersihkan halaman,
malah hari ini adiknya yang membersihkan halaman, sejenak Ia menghela nafas
memutuskan untuk duduk di bibir kasur sembari menekan dadanya yang terasa sakit
berharap sakit itu hilang, namun hasilnya nihil sakit itu tak kunjung
menghilang, sejenak Ia memandang lukisan gadis itu menatapnya penuh rindu dan
kasih. “Bunda!!!” teriaknya saat sakit itu melumpuhkan seluruh sendi-sendi
tubuhnya membuatnya seakan terhimpit dinding, itu sakit dan Ia tak tau harus
apa selain hatinya yang terus bertasbih dan merapal do’a dan mulut yang terus
memanggil sang bunda yang diharapkan bisa menolongnya untuk berbaring jujur
saja Ia masih tidak mampu mengurus Dirinya sendiri dan itu membuatnya merasa
berkecil hati saat akan mendekati gadis pujaannya, bagaimana Ia menjaga seorang
gadis kalau Ia sendiri tidak bisa menjaga Dirinya sendiri. Dia sudah terlanjur
bergantung kepada orang lain mengingat Ia tak pernah keluar rumah kecuali
ditemani kedua orangtuanya, Ia merasa sangat lemah dan kacau dan itu membuatnya
tak mampu berbuat banyak kecuali melukis yang memang tak membutuhkan tenaga
banyak.
Zayn
duduk dengan gelisah saat Wirda tak kunjung membalas pesannya atau merespon
panggilannya, sebenarnya Ia bisa saja mengecek langsung kerumah Wirda tapi
mengingat prinsip Mereka selama ini bahwa `Diharamkan berkunjung kerumah saat
hari Minggu kecuali ada tugas sekolah` membuatnya mengurungkan niatnya, Zayn
mengusap wajahnya kasar hatinya merasa sangat tidak tenang apalagi mengingat
perkataan Wirda semalam yang membuatnya tak mampu terlelap dengan tenang ada
yang mengusik pikirannya dan hatinya membuatnya tidak tau harus bagaimana lagi
dan sekarang bahkan Dirinya tak mampu tenang barang sedetikpun dan itu mengganggunya.
“Zayn… ini kakak boleh masuk??” suara
seseorang yang mengetuk pintu kamarnya membuatnya mengalihkan pandangnya dari
ponselnya,
“Masuk aja kak, gak dikunci kok,”
setelah mendengar sahutan dari Zayn seseorang yang ternyata adalah sang Kakak
masuk dan langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur sang adik sembari tersenyum
sumringah tak jelas.
“Memangnya Kau pernah mengunci pintu
kamarmu?”
“Yaa.. terserah Kau sajalah,”
“Zayn, Kau tau? Aku merasa sangat
bahagia hari ini,”
“Iya, Aku melihatnya dengan jelas itu
Mar,”
“Dimana sopan santunmu? Panggi Aku Kak
Amar, “
“Yaa terserah Kau lah,”
“Emmm Kurasa ada yang salah denganmu?
Ada apa? Ada masalah dengan Wirda?”
“Kalau masalah kaya’a tidak, tapi ntah
kenapa dari tadi pagi Wirda sama sekali tak membalas pesanku dan merespon
panggilanku, Aku merasa sangat frustasi hari ini..” sejenak Amar terdiam tidak
biasanya adiknya galau seperti ini dan Dia merasa sangat aneh dengan semua ini,
dalam hatinya ada sebuah ketakutan, ketakutan akan suatu hal yang tidak sengaja
Dia tau tentang.. akh Dia tak mampu jika harus melanjutkannya.
“Aku tidak akan sefrustasi ini kalau
tadi malam Wirda tidak membicarakan sesuatu tentang perpisahan, tidak seperti
biasanya Dia membicarakan perpisahan dan Aku takut kalau perpisahan yang
diucapkan Wirda tadi malam benar-benar terjadi, Aku takut kehilangannya…” Amar
bangkit dari posisi rebahannya apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi, Wirda sudah memulainya tidak terlalu awal tapi
cukup membuat pikiran Zayn kocar-kacir
tidak jelas, Dia menepuk pundak Zayn mencoba memberinya kekuatan.
“Mungkin Wirda hanya bercanda,”
“Logikaku sebagai laki-laki berkata
bahwa itu hanyalah sebuah candaan, tapi hati nuraniku berkata lain,, hati
nuraniku bilang kalau Aku akan kehilangannya,”
“Cemen, cowok itu kebanyakan pake
logika, bukan hati nurani udahlah gak usah terlalu dipikirin,” Amar menepuk
sekali lagi pundak sang adik sebelum benar-benar pergi dari kamar sang adik,
kalau boleh jujur Dia membenarkan hati nurani Zayn tapi disisi lain Dia tak
mampu berbuat apapun apalagi untuk mencegah kepergian Wirda itu bahkan adalah
hal yang sangat mustahil terjadi, enam tahun tinggal di Semarang membuat Dia
tak lagi bisa untuk berpikir jernih, pikirannya sudah penuh dengan tugas-tugas
kuliah dan Dia tak mampu berbuat apapun lagi, kalau boleh jujur sebenarnya Dia
merindukan Bandung tempat kelahirannya tapi sialnya Dia harus terjebak dan
mendekam di Ibukota Jawa Tengah ini bersama keluarganya sungguh kalau bukan
karna Zayn Dia sudah lama pergi dari Semarang. Dia mengacak-acak rambutnya
sebentar kemudian memutuskan untuk melangkah menuju kamarnya, rasanya Dia ingin
mencurahkan kabahagiaannya kepada Zayn tapi mengingat kondisi psikis Zayn saat
ini Dia tak bisa melakukan itu, mengumbar kebahagiaan di
depan orang yang sedang frustasi.
Danu
masih terus mengikuti langkah sang
Bunda yang sedang sibuk di dapur dan itu membuat sang Bunda agak sedikit jengah
dan kesal, selama ini Danu tak pernah berbuat seperti ini terus membuntutinya .
“Danu bisakah Kamu tidak mengganggu
Bunda?”
“Bun, kapan tamu Bunda datang?”
“Sebentar lagi, tunggulah saja.dan
berhenti mengikuti Bunda,”
“Bunda, Aku ingin melihat gadis itu
sudah sejak pagi Aku tak melihatnya dan Aku sangat merindukannya,” rajuknya
kepada Bundanya yang tengah mengambil sesuatu di kulkas, Bu Maryam mendesah
sebentar kemudian tersenyum memegang kedua pundak putranya “Dengar, Kau bisa
melihatnya besok.. ini hanya sehari dan Kau seperti seabad tidak bertemu,”
“Bunda, ta….” Ucapan Danu terpotong oleh
suara bel dan ketukan pintu lalu ucapan salam, Bu Maryam menurunkan tangannya
dari pundak Danu tersenyum lebar.
“Tuh!, udah datang, samperin gih!”
“Bun sakit, “ keluh Danu memegang
dadanya kuat.
“Jangan ngeles, bukain gih!” Danu hanya
merengut kesal dan membuat Bu Maryam terkekeh, setelah Danu pergi dari
hadapannya Dia melanjutkan mencari barang yang diinginkannya yang tadi sempat tertunda karna ulah Danu,
sejenak Dia menggaruk kepalanya mencoba mengingat kembali benda apa yang
diinginkannya, maklum saja Dia sudah cukup tua untuk mengingat dengan baik. Danu
melangkah dengan kesal dan sebal merasa dipermainkan oleh sang Bunda, dengan
lemas Dia memutar knop pintu,
“Waalaikumsa…. Lam” ucapannya terbata
saat mendapati sang tamu yang ternyata adalah seorang gadis, bukan gadis
sembarangan tapi gadis yang sangat dicintainya, gadis tetangga depan, Danu bisa
merasakan jantungnya berdebar tak karuan, debaran yang terasa nyaman bukan
debaran menyakitkan yang biasa dirasakannya saat penyakitnya kambuh, dan itu
membuat sang tamu mengerenyit.
“Ini masih rumah Tante Maryam kan? Kamu
siapa? Pembantu baru yaa?”
“Cantik, kupu-kupu cantik,” gadis itu
mengerenyit “Kupu-kupu?” gadis itu menoleh kebelakang meneliti apakah ada
kupu-kupu disana dan faktanya tidak ada kupu-kupu dibelakangnya dan tidak akan
ada kupu-kupu di kompleks perumahan Mereka yang dekat dengan kota yang notabene
pasti banyak polusi dan kupu-kupu tidak suka polusi udara.
“Ekh, tamunya udah datang..kok gak
diajak masuk Dan?” suara Bu Maryam memecahkan lamunan Mereka tentang kupu-kupu.
“Kalian gapapa kan?” Mereka menggeleng wajah Danu yang biasanya terlihat pucat
kini nampak lebih segar dan cerah dari biasanya
sedang sang gadis hanya mengerenyit bingung, “Ya sudah mari masuk, tante udah
nunggu Kamu dari tadi,” gadis itu mengangguk sopan mengikuti langkah Bu Maryam.
“Iya, ekh ini anak tante?” tanyanya
menunjuk Danu yang senyam senyum sendiri dari tadi, “Iya namanya Danu, Dan
kenalin ini tamu Bunda,”
“Danu..” Danu mengulurkan tangannya dan
disambut baik oleh Wirda
“Wirda, berarti Kamu yang suka di depan
jendela ya?” Danu menggaruk tengkuknya yang tak gatal pipinya memerah karna
malu, Wirda yang melihat itu tersenyum kecil
“Anak tante pemalu ya?”
“Ya gitu deh, owh iya Wir tante minta
maaf yaa gak bisa nemenin Kamu ada urusan mendadak, Kamu sama Danu aja yaa…
tolong titip Danu,”
“Gak masalah kok tan, Aku juga gak
sibuk,”
“Ya sudah tante pamit yaaa udah
ditungguin”
Mereka mengangguk kompak , “Ekh iya Dan,
jangan berpikir macam-macam baik-baik sama Wirda jangan nakal, Bunda pergi dulu
Assalamualaikum”
“Iya Bun, waalaikumsalam”
“Waalaikumsalam”
sejenak hening masih mewarnai ruang tamu rumah
Danu sepeninggalan Bu Maryam sejenak Mereka sibuk menjelajahi pikiran Mereka
masing-masing Wirda dengan dunianya Danu juga dengan dunianya di awan yang
tinggi Dia merasa melayang masih tidak percaya jika gadis pujaannya yang biasanya hanya mampu Dia lihat dengan jarak jauh kini ada
disampingnya duduk disampingnya dan Dia akan menemani gadis pujaannya dengan
senang hati, akh kenapa Bundanya tidak memberitahu kalau Wirda adalah tamunya
maka dengan senang hati tanpa penolakan atau rajukan Danu akan menemani tamu
sang Bunda dan menyenangkan sang tamu denga ikhlas dan tulus.
“By
The Way, ngomong-ngomong kata tante
Maryam Kamu pelukis ya?” pertanyaan Wirda sukses membawa Danu kembali mendarat
di permukaan bumi dengan hati-hati bahkan secara terhormat, pelan Danu
mengangguk rasanya lidahnya terlalu kelu untuk berbicara apalagi suara Wirda yang tidak
begitu baik untuk kesehatan jantungnya apalagi mengingat siang tadi penyakitnya
kumat dan baru sore ini Dia bisa beraktifitas lebih leluasa karna debaran menyakitkan itu telah
lenyap untuk sesaat berganti debaran nyaman saat pertama kali menemukan wajah
sang gadis pujaan di depan pintu rumahnya bahkan Dia tidak pernah membayangkan
hal itu bisa terjadi padanya, bahkan dalam mimpi sekalipun.
“Dan….”
“Akh iya! Ada apa?”
“Apa Kau seorang pelukis?”
“Ya, apa Kau mau melihatnya?” Wirda mengangguk
antusias Dia sangat menyukai lukisan dan semua yang berbau karya seni Dia
menyukainya bahkan mencintainya Dia sering menghabiskan waktu di pameran
lukisan atau buku bersama Zayn bahkan Dia pernah nekad ke Bali hanya untuk
membeli lukisan di salah satu galeri di Kuta dan
membuat Mereka harus berpuasa selama hampir satu bulan untuk mengganti uang
tabungan yang Mereka ambil untuk membeli tiket ke Bali, Mereka memang gila
benar-benar gila karna selalu berani mengambil langkah apa yang Mereka mau dan
senangi dan itu yang membuat hubungan Mereka selalu baik-baik saja karna Mereka
saling melengkapi dan mengerti antara yang satu dengan yang lain dan itu
membuatnya menjadi semakin sulit. Akhirnya teguran Danu membangunkannya dari
lamunan dan bergegas mengikuti langkah Danu menuju sebuah ruangan di lantai
satu. Wirda melihat Danu memutar knop pintu dan memasuki ruangan yang gelap
namun menjadi terang saat Danu menyalakan saklarnya bukan hanya ruangannya yang
terang mata Wirda juga berbinar terang sorot matanya seakan sangat mengagumi
pemandangan yang disuguhkan ruangan ini, ruangan yang Dia tahu ruang galery
lukisan pribadi kepunyaan Danu. “Subhanallah..
indah banget Dan? Kalau saja semua lukisan ini ada di pameran maka sudah habis
uang tabunganku untuk membeli, galery di Kuta pun kalah dengan ini,” gumam Wirda
memandang kagum lukisan-lukisan kepunyaan Danu mengagumi dan berkali-kali
mengucapkan pujian untuk Allah SWT karna telah menciptakan jemari Danu yang
sangat berbakat dan Wirda berjanji dalam hatinya Dia tidak akan menyiakan bakat
Danu, terlalu muda untuk Danu mati muda karna masih banyak hal di seluruh dunia
yang perlu Danu lukiskan keindahannya.
“Kuta? Daerah mana? Apa masih di
Semarang?” tanya Danu polos, terlalu sering di rumah dan mengindahkan tekhnologi membuatnya tidak tau dunia
luar dan hanya fokus pada lukisannya saja, dan pertanyaan Danu berhasil membuat
Wirda mengerenyit heran dan dengan kapasitas otaknya yang kadang melampaui
cerdas itu Wirda langsung menyimpulkan sesuatu, Danu berbeda.
“Kuta itu ada di Pulau Bali pulau dengan
Tanah Lotnya kota dengan pantai-pantainya yang indah dengan pasir putih yang
lembut yang gak akan kita temui di Semarang, ada Ubud, Kuta, Sanur dan masih
banyak lagi ada anjing Kintamani dan juga upacara ngabennya..” Danu masih
bingung Dia menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal memandang Wirda yang
masih asik menelusuri lukisan-lukisannya, salahkan Danu yang mengindahkan kemajuan tekhnologi dan memilih
fokus pada lukisan dan gadis pujaannya.
“Aku masih belum ngerti,” Wirda mendesah kemudian berbalik menghadap Danu,
yang masih memasang ekspresi bingung sekaligus ingin tahu, Wirda tersenyum
membuka tasnya dan mencari sesuatu disana, Dia mencari brosur yang di
dapatkannya saat di Bali, Dia punya banyak dan tidak keberatan jika membaginya
satu. Setelah dapat Wirda menyerahkannya pada Danu “Bacalah, ini untukmu,” Danu
menerimanya dengan heran lalu membaca apa yang tertera disana, sedang Wirda
masih menelusuri lukisan yang lain dan pandangannya terhenti pada sebuah
lukisan, lukisan seorang gadis dengan senyuman manisnya, gadis mirip dirinya.
“Dan.. kenapa ada Aku di lukisanmu?” Danu
tergugup merasa telah tertangkap basah, hatinya merutuki sang Ayah yang telah
memindahkan lukisan itu kemari.
“Uhm…..”
“Jangan-jangan, selama ini Kamu
mata-matain Aku yaa? Buat dijadiin lukisan hayoo ngaku. Dasar lancang !!” Danu
menelan ludah pahitnya.
“Tidak, A..Aku hanya melukis apa yang Ku
lihat,” Wirda memicingkan matanya nampak menyelidiki sesuatu di wajah Danu dan
berhasil membuat Danu gugup dan ntah kenapa Dia merasa geli dengan ekspresi Danu
seperti ada bulu ayam menggelitiki perutnya, Dia ingin tertawa.
“Haha.. tidak usah gugup seperti itu,
ekspresimu membuatku geli tau, haha.. Kau terlihat sangat jelek,, Aku suka ini
kalau lukisannya dilihat orang Aku akan terkenal,” ucapan Wirda membuat wajah Danu
mengendur lalu tersenyum, apa yang dipikirkannya tidak benar-benar terjadi dan
Dia berulang kali merapalkan ucapan syukur di hatinya.
“Aku melukis Kamu karna Aku suka,” Wirda
hanya tersenyum kecil penuh misteri ntah apa yang artinya yang jelas senyum itu
terlihat sangat tulus. Pandangan Wirda kembali beralih kepada lukisan yang lain
dan pandangannya terhenti pada sebuah lukisan, lukisan yang menggambarkan
kebahagiaan sebuah keluarga, dan Dia sangat tahu siapa yang ada di lukisan
tersebut itu keluarganya yang sedang berkumpul di pekarangan rumah untuk membersihkan
pekarangan yang rutin dilakukan dua bulan sekali, lukisan itu menggambarkan Dirinya
yang sedang menjaili sang adik dan kedua orang tuanya sibuk membenahi
pakarangan tersenyum lebar akh keluarga bahagia, hanya ada tawa disana tak
terasa air matanya menetes kemudian dengan cepat Dia menyekanya sebelum Danu
menyadarinya dan mengajukan pertanyaan yang pasti akan membuatnya malu, Dia
menyadari mungkin tawa yang dilukiskan Danu kelak akan berubah menjadi deraian
air mata.
“Dan, Aku beli yang ini.. Kamu pasti
tidak akan rela jika Aku mengambil lukisan wajahku, Kau akan galau nanti,”
“Tidak kalau Kau mau ambil saja, itung-itung sebagai ganti kelancangan
Aku,” Wirda menggeleng mengibaskan tangannya “Tidak perlu, kalau Kau mau
memberiku lukisan gratis berilah lukisan wajahmu,” Danu tertegun sesaat melihat
Wirda menurunkan lukisan yang dibelinya perlahan, jujur Dia merasa aneh dengan
permintaan Wirda, bagaimana Dia bisa melukis wajahnya sendiri? Itu konyol.
“Bagaimana bisa? Emang bisa melukis
wajah sendiri?”
“Bisa saja, Kau bisa memakai fotomu atau
Kau bisa melukis didepan kaca,”
“Ya, Aku akan berusaha..”
“Ku harap, lukisan itu telah jadi
sebelum tanggal 12, boleh Aku ke kamar mandi?”
“Aku akan berusaha, silahkan” Wirda
masih terdiam ditempatnya sembari cengar-cengir.
“Owh, maaf mari Ku antar,”
Setelah mengantar Wirda ke kamar mandi Danu
duduk di sofa ruang tengah menatap lukisan yang dipilih Wirda yang menurutnya
tidak begitu istimewa masih banyak lukisan yang lebih bagus dari pada ini tapi Danu
tak memikirkan itu baginya melihat dan berbincang dengan gadis itu adalah hal
yang sangat membahagiakan, Dia memainkan gitarnya pelan mencoba menikmati
alunan yang diciptakannya, Dia memang mengacuhkan tekhnologi tapi Dia tak pernah mengacuhkan musik, baginya musik
adalah temannya setelah lukisan. Kali ini setelah Wirda keluar dari kamar mandi
Danu mengajak Wirda ke gazebo belakang rumahnya dimana ada kolam ikan dan taman
disana, Wirda asik bermain dengan ikan di kolam sedang Danu asik dengan
gitarnya.
“Kamu suka?”
“Aku suka,” Danu mendesah saat Wirda
menyipratkan air padanya dan itu membuat Danu kesal dan berniat membalas
perbuatan Wirda. Akhirnya meraka berperang air Mereka tertawa gembira di antara
bias senja sore itu yang semakin menampakkan lembayungnya dan itu adalah hari
terbaik bagi Danu.
“Dan” panggil Wirda saat Dia sudah lelah
bermain air dan memakai jaketnya yang sempat dilepasnya tadi.
“Ya?”
“Apa Kamu bahagia?”
“Tentu, Aku sangat bahagia,” Danu
berterus terang Dia memang bahagia bahkan sangat bahagia, “Bagaimana denganmu,
apa Kau bahagia?”
“Aku juga bahagia,” Danu tersenyum Wirda
sangat menyenangkan menurutnya.
“Terimakasih untuk hari ini,” ucap Danu
saat Mereka kembali duduk di ruang tamu.
“Hari ini? Ralat Tuan Danu, Sore ini.”
“Terserah apa katamu yang penting Aku
senang dan Kamupun senang,” Wirda terkekeh dan meninju bahu Danu yang juga
terkekeh.
“Ish!, Kau preman ya?” Wirda berhenti
terkekeh kemudian memajukan wajahnya didepan wajah Danu bahkan Dia bisa
merasakan hembusan nafas Danu, Dia biasa melakukan ini pada teman-temannya di
sekolah dan akan langsung mendapat tatapan tajam dan ceramahan panjang dari Zayn,
mengingat Zayn mendadak hatinya menjadi rindu sosok Zayn sedang apakah
kekasihnya itu? Mengingat ponselnya yang Dia nonaktifkan sejak siang tadi.
“Kalau Aku preman, Aku sudah
mencabik-cabik tubuhmu sedari tadi “ suara otoriter Wirda membuat Danu gugup
apalagi dengan posisi wajah Wirda yang sangat dekat dengannya dan menatapnya
sarkastik dan penuh intimidasi dan sejenak Dia merasa berhadapan dengan seorang
psikopat di film yang pernah Dia tonton di tv. Danu bernafas lega saat Wirda
menjauhkan wajahnya dan langsung tergelak, lagi-lagi Dia dipermainkan dan Dia
harus membalasnya.
“Haha.. Aku paling suka liat ekspresi
itu menurutku itu sangat lucu, wajah gugup dan tegang,” Danu mendengus sebentar
kemudian memajukan wajahnya seperti apa yang dilakukan Wirda padanya
“Aku juga”
Wirda terdiam bukan karna Dia gugup atau
apa, tapi ada getaran tak biasa yang Dia rasakan, jantungnya berdebar tak
karuan “Mungkinkah Aku jatuh cinta?? Lalu.. bagaimana dengan Zayn?” batinnya
bertanya-tanya tak ingin berada diposisi ini lebih lama Wirda menjauhkan wajah Danu
dari wajahnya.
“Maaf, Tuan Danu terhormat.. godaan Anda
tidak berpengaruh”
Mendengar itu membuat Danu mendesah
sebal, Dia merengut merasa kalah mungkin karna efek tak pernah keluar rumah
membuatnya tak tahu bagaimana caranya menggoda seorang gadis.
“Setidaknya berpura-puralah berpengaruh
apa Kau tidak punya sopan santun kepada klienmu?”
“Bukannya terbalik? Aku tamumu dan Aku
yang seharusnya menjadi klien Anda,” Danu
kembali merengut merasa kalah lagi dan membuat tawa Wirda pecah,
“Terserah Kau sajalah,”
“Aduh.. perutku sangat sakit, geli Aku melihat tingkahmu” Danu mengkerucutkan
bibirnya kesal menyedekapkan tangannya di depan dada dan menggembungkan
pipinya, sekiranya itulah ekspresi ngambek di sinetron atau film yang pernah
dilihatnya dan itu membuat Wirda terkekeh. “Sudahlah, jangan cemberut seperti
itu” Wirda menarik pipi Danu dan membuat Danu tersenyum.
“Begini lebih baik,”
Danu tersenyum manis menatap dalam manik
mata Wirda yang ntah kenapa terasa menyejukkan hatinya.
“Sudah hampir malam, Aku harus pulang”
“Tinggalah disini lebih lama, setidaknya
sampai Bunda pulang,”
“Tidak bisa, sebentar lagi maghrib”
“Tapi….”
“Maaf Dan, lagian
Kamu tidak sendirian di rumah kan?”
“Tapi..”
“Dan,”
“Baiklah, boleh Ku antar sampai depan gerbang rumahmu?”
“Baiklah, boleh Ku antar sampai depan gerbang rumahmu?”
“Tidak masalah, hanya bersebrangan kan?”
“Terimakasih,”
“Pakai jaket Kamu,”
“Akh, gak perlu,”
“Tapi diluar dingin,”
“Udah gak perlu,”
“Ya sudah terserah Kamu,” Wirda pasrah
saat Danu bersikeras untuk tidak memakai jaketnya, bukan apa-apa mengingat Dia
sudah tahu kondisi Danu jadi Dia tak mau terjadi apa-apa dengan Danu, Dia akan
merasa sangat bersalah. Danu mensejajarkan langkahnya dengan Wirda, perjalanan Mereka
terasa panjang dan diselimuti keheningan padahal hanya 15 meter jauhnya tapi berasa sangat lambat
seakan berjalan sejauh 15 kilometer
padahal kenyataannya tidak. Tak terasa Mereka sampai di gerbang rumah Wirda Mereka
berhenti sejenak, Wirda juga tak langsung masuk rumah.
“Makasih udah nganterin Aku pulang,
jangan lupa pesananku” Wirda mengingatkan sembari mengambil alih lukisan yang
di tadi dibelinya dari tangan Danu.
“Sama-sama, Aku pulang dulu selamat
malam Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam,”
Danu pun berlalu dan semakin hilang ditelan gerbang rumahnya.
Bersambung ke Bagian 2
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar