Kamis, 19 November 2015

The Cloudy And Rainbow (Part 5)


Naura tersenyum lebar saat sudah sampai di depan rumah Jihan, sejenak Naura menghirup udara segar yang di hembuskan angin.
“Jihan, penampilan Aku udah oke kan??”
“Udah cantik kok,”
“Tapi Aku risih,”
“Kenapa??”
“Aku gak pernah pakai baju kaya gini sebelumnya,” Jihan tersenyum menatap Naura yang saat ini memakai gaun selutut warna soft pink dengan tatanan rambut kepang modern dengan penjepit kupu – kupu berwarna senada dengan gaunnya dan wedges berwarna senada dengan pita putih di atasnya terlihat sangat cantik dan feminim di mata Jihan, di tambah dengan aksesoris tambahan seperti gelang dan tas selempang yang sangat cocok dengan Naura, sangat kontras dengannya yang masih memakai baju sekolah yang agak basah.
“Kalau risih, pake lagi aja seragam Kamu,”
“Pulang lagi dong,” memang Naura sempat pulang ke rumahnya dan berganti baju yang menarik perhatiannya saat perjalanan pulang dan merengek kepada Jihan untuk mampir membeli, sebelumnya Naura tak pernah semanja itu.
“Makanya, Kamu udah cantik kok, emang kaya’ tadi kaya’ tikus kecebur got,”
“Ikh.. Kamu tuh yang kaya’ tikus kecebur got,”
“Udah yuk, masuk” Jihan akan merangkul Naura, namun Naura menghindar.
“Baju Kamu kan basah, entar Aku ketularan lagi,” Jihan terkekeh mengacak poni Naura kemudian menyeret tangan Naura, Naura sangat lambat menurutnya.
“Pelan Jihan...”
“Cepet siput,” Naura hanya mendengus, tidak terima Dirinya disebut siput.
“Dasar tikus,”
“Siput,”
“Tikus,!!”
“Siput,!!”
“Ikhh dasar tikus kecebur got,!!”
“Dasar siput lelet,!!”
“Tikus jorok,!”
“Siput lelet..!!”
“Ekh.. ada apa ini?? Kok malah bertengkar gak masuk?” suara seseorang menghentikan aksi debat mereka Bu Salma, Bunda Jihan sudah berdiri di ambang pintu, menatap heran kepada anaknya yang asik berdebat dengan kekasihnya.
“Bunda... anak Bunda nakal deh,” rajuk Naura langsung memeluk Bu Salma, Bu Salma tersenyum menyambut pelukan Naura.
“Dasar pengadu, itu kan Bunda Aku,”
“Bunda Aku,”
“Aku,”
“Aku tikus got,”
“Aku siput,”
“Sudah – sudah kalian ini, ayo masuk Bunda udah nungguin dari tadi,” Bu Salma merangkul Naura untuk masuk.
“Wlee..” Naura menjulurkan lidahnya kemudian bermanja ria dengan Bu Salma. Jihan mendesah maklum, hanya kepada Bundanya Naura bermanja – manja dan saat akan datang ke rumah Naura langsung berubah manja dan agak menyebalkan. Dan Jihan memakluminya mengingat Naura yang selalu kesepian di rumahnya, itu yang Dia tahu sejauh ini, kedua orang tua Naura sangat sibuk dan tak memperhatikan anak – anaknya.
“Aku bahagia kalau lihat Kamu bahagia Nauraku..” gumam Jihan pelan kemudian melangkah masuk, Dia ingin segera mandi.
            Naura dan Bu Salma duduk di ruang makan, sembari menata bahan kue yang tadi dibawa Naura.
“Bun, Aku boleh bantu kan??”
“Boleh kok, tapi apa gak sayang?? Sama gaunnya??”
“Gak lah, kan pake celemek Bun,” Bu Salma tersenyum, entah kenapa Dia sangat menyayangi Naura seperti Dia menyayangi Jihan, putra semata wayangnya. Dengan lembut Bu Salma membelai puncak kepala Naura.
“Ayo Bun, Kita mulai masak,”
“Ayo, gak sabaran banget sih??”
“Aku kan pengen jadi istri yang baik,” Bu Salma terkekeh gemas mendengar jawaban Naura yang terdengar polos.
“Baiklah,, ayo,” Mereka mulai membuat kue bersama Naura tampak begitu bahagia saat bersama Bu Salma  Naura tak pernah merasa sebahagia ini saat bersama Ibunya, akh Ibu Naura akan melupakan sosok yang melahirkannya saat bersama Bu Salma. Jihan yang baru saja mandi dan berganti pakaian tersenyum melihat itu, setidaknya Naura akan melupakan kejadian  di sekolah tadi dan melupakan segala kesedihannya, rasanya sangat menyakitkan jika melihat Naura menangis dan tersakiti, Jihan menghela nafas pendek kemudian memutuskan untuk menonton tv sembari menunggu Mereka selesai.
“Apa Kau menyakitinya anakku??” Jihan menoleh saat menyadari ada seseorang yang kini duduk di sampingnya.
“Ayah, udah pulang?” Jihan langsung menyalami tangan Pak Arif, sang Ayah.
“Ayah tanya sama Kamu, apa Kamu menyakitinya anakku??”
“Maksud Ayah??”
“Aku melihat bekas luka itu di wajahmu, dan jejak air mata di wajahmu,” Jihan meraba wajahnya, rasanya Dia baru saja mandi.
“Kau merasakan luka yang di rasakannya, dan Kau menangis karena Dia terluka, ayolah anakku, itu benar kan??”
“Iya Ayah, Aku melukainya dengan menyembunyikan sesuatu darinya, dan itu sangat menyakitinya,”
“Jangan ulangi lagi anakku, Dia sangat rapuh.. jangan Kau sembunyikan apapun darinya, jangan Kau sembunyikan masa lalumu,”
“Iya Yah, Aku janji”
“Jangan berjanji, buktikan”
“Yah, bagaimana cara membahagiakan seorang wanita??”
“Jangan pernah membuatnya bersedih dan bertanya – tanya, jangan membohonginya, jangan hancurkan kepercayaannya, Kau tahu wanita tidak suka di bohongi dan satu jadilah diri Kamu sendiri, dengan begitu Dia juga akan jadi Dirinya sendiri tanpa topeng,” Jihan mengangguk paham, Pak Arif menepuk bahu Jihan, kemudian tersenyum.
“Yah, menurut Ayah apakah Naura jodohku??” Pak Arif melirik kebersamaan istrinya dengan Naura lalu tersenyum.
“Bundamu selalu menginginkan anak perempuan seperti Naura, lihat Bundamu begitu bahagia, carilah yang seperti Naura untuk membuat Bundamu bahagia, Dia sangat menyayangi Naura melebihi apapun,”
“Ayah berlebihan,”
“Tidak ini fakta,” Naura yang tak sengaja menoleh ke ruang keluarga dan mendapati Pak Arif sudah pulang langsung menegur Bu Salma yang tengah menghias kuenya.
“Bunda,, Soulmate Bunda pulang tuh,” goda Naura sembari menaik – naikkan alisnya.
“Haa??”
“Cie.. pipi Bunda merah cie,”
“Akh, Kamu kuenya sudah selesai nih ayo Kita bawa ke sana,”
“Ayo – ayo,” dengan semangat Naura melepas celemeknya merapikan penampilannya kemudian bergegas menghampiri Pak Arif.
“Ayah,” Pak Arif menoleh dan Naura langsung memeluknya. Jihan yang melihatnya mendengus tak suka.
“Hey, Putri kecil,”
“Ayah Aku udah besar tahu,”
“Baiklah, Kau kan tahu Jihan masih kecil, makanya Ku sebut dirimu Putri kecil,”
“Bunda apa Aku kecil??” Bu Salma tersenyum kecil.
“Dasar manja,” celetuk Jihan merasa kesal karena tidak di anggap keberadaannya.
“Ayah,, Bunda Jihannya nakal,” Bu Salma dan Pak Arif terkekeh.
“Dasar pengadu, Mereka kan Ayah dan Bundaku,”
“Punyaku,”
“Punyaku, siput..”
“Dasar pangeran kecil,”
“Hey, berani – beraninya Kau ini,”
“Apa??”
“Sini Kau, sini akan Aku beri pelajaran padamu,” Naura bersembunyi di balik tubuh Pak Arif, meminta perlindungan. “Ayah,” rengek Naura manja, Pak Arif tersenyum.
“Sudah – sudah kalian ini, lebih baik sekarang Kita makan kuenya, oke??” mereka mengangguk semangat, Jihan langsung duduk dan bersikap manis begitupun dengan Naura. Jihan tersenyum saat melihat Naura begitu manja kepada kedua orang tuanya, biasanya seorang gadis akan menjaga imagenya saat bertemu orang tua sang pria, namun Naura berbeda, Naura justru menampakkan Dirinya yang sebenarnya, Naura yang kurang kasih sayang, Naura yang manja, Naura yang rapuh dan Naura yang ingin selalu di lindungi, hanya seperti saat inilah Jihan bisa melihat Naura dengan sifat aslinya, Naura yang terlihat dewasa dan berwibawa kini lenyap, topengnya terlepas begitu saja.
            Malam ini Putri duduk bersama Ryan di teras rumahnya, Putri sengaja mengundangnya untuk mencurahkan isi hatinya.
“Pokoknya Aku mau gadis itu menderita,”
“Memangnya siapa gadis itu??”
“Gadis itu pacarnya Jihan, Yan..Dia udah ngrebut Jihan dari Aku,”
“Jihan??”
“Iya, Jihan,” Ryan termenung rasanya Dia pernah mendengar nama itu sebelum Putri bercerita tentang ini.
”Maaf Ryan.. Jihan memang kekasihku.....”
“....sekarang cintaku hanya untuk Jihan pergilah..”
Ryan terhenyak, sekarang Dia ingat siapa Jihan dan siapa yang mengucapkan nama itu.
“Jihan anak SMA 01??”
“Iya lah, Aku sengaja nusul kesana, ekh tahunya udah punya cewek,” Ryan terdiam, jika hanya ada satu nama Jihan di sekolah Putri maka Jihan yang dimaksud Putri adalah Jihan yang tempo hari Dia pukul di depan sekolahnya sendiri dan Jihan yang tempo hari Naura bela, jika hanya ada satu Jihan di sekolah Putri maka pacar Jihan yang dimaksud Putri adalah Naura, gadis yang sangat di cintainya.
“Ikh, Kamu ini kenapa sih?? Diem mulu,” Ryan tersadar dari lamunannya kemudian segera bertanya.
“Put, nama cewek itu siapa??”
“Naura,”
“Ada berapa Naura, berapa Jihan di sekolah??”
“Ya satu lah,”
“Maaf Aku gak bisa bantu Put, Naura adalah gadis yang sangat Aku cintai,” Putri melongo tak percaya, kemudian tertawa remeh.
“Terus, Kamu rela? Naura bersama orang lain??”
“Aku bahagia  kalau Naura bahagia,” Putri bangkit dari duduknya masih tidak percaya dengan pernyataan Ryan.
“Munafik,”
“Maksudnya??”
“Kamu munafik, Aku bahagia kalau Naura bahagia, realitas aja Yan.. kenyataannya Kamu gak bahagia,”
“Siapa bilang??”
“Mulut bisa bohong, tapi tidak dengan hati, Kamu sakit kan? Jatuh?? Patah hati, Yan dengan Kamu bantu Aku, Naura akan dengan mudah jatuh ke tanganmu milikmu hanya milikmu bagaimana??” Ryan merenung sejenak, tersenyum kemudian mengangguk.
“Sepakat,”
“Rencana akan Kita buat setelah satu partner Kita gabung,”
“Siapa??”
“Seseorang yang juga membenci Naura,”
            Naura menghela nafas,  bahkan Dia belum mengganti gaunnya, semangatnya untuk makan malam bersama pupus saat Ayah dan Ibunya bertengkar hebat, rasanya terlalu sakit dan sesak saat kedua orang tuanya bertengkar di susul sang kakak yang baru sembuh dari sakitnya langsung ke Yogya tanpa memikirkannya, Gilang yang sudah jengah langsung pergi ke Yogya melupakan adiknya yang menangis senggukan di kamarnya. Sejenak dia termenung saat melihat sebuah bingkai foto di meja sebelah ranjangnya, fotonya bersama Jihan foto yang diberikan Jihan saat ulang tahunnya. Naura meraihnya kemudian entah kenapa bibirnya mengukirkan sebuah senyuman manis, Naura memeluknya erat sampai tak terasa Dia terlelap.
Jihan mendesah, ada rasa tidak enak di dadanya, seperti rasa sakit yang mendalam dan Dia tidak tahu kenapa, Dia beranjak dari duduknya kemudian menghampiri kedua orang tuanya di ruang keluarga.
“Yah Bun, kok perasaan Aku sakit banget ya??”
“Kamu di putusin Naura??”
“Enggak, gak tahu kenapa rasanya sakit banget, sama kaya’ dulu pas liat kalian sering bertengkar,” Bu Salma dan Pak Arif bertukar toleh kemudian memandang putranya cemas.
“Apa orang tua Naura bertengkar lagi ya??”
“Mungkin,”
“Aku sangat mengkhawatirkannya, sejak tadi ponselnya tidak aktif,”
“Sudah cek ke rumah??” Jihan menggeleng.
“Doakan saja Jihan, semoga Naura baik – baik saja, malam sudah larut Naura juga mungkin sudah tidur,”
“Tapi Yah.. Bun..”
“Menurutlah, Naura tahu Dia harus apa,” Jihan mendesah kemudian mengangguk lesu.
“Ya udah, Jihan ke kamar dulu, selamat malam”
“Malam sayang,” Pak Arif dan Bu Salma menatap putra semata wayangnya cemas.
“Mas, Aku jadi kasihan sama Naura..”
“Kok bisa??”
“Karena Aku Bundanya Jihan,”
“Apa hubungannya??”
“Jika Jihan dapat merasakan apa yang dirasakan Naura, maka Aku dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Jihan,”
“Dan Karena Aku suamimu maka Aku bisa merasakan apa yang Kamu rasakan??” Bu Salma mendengus sebal.
“Aku tahu, Naura selalu manja saat bersama Kita, dan Naura ibarat Putri kecil Kita,”
“Aku sangat menyayanginya,”
“Aku juga,”
            Jihan harap – harap cemas menunggu Naura di depan gerbang, hari ini Dia tak menjemput Naura karena Naura tak memintanya untuk menjemput dan Dia juga tidak menawarkan diri untuk menjemput, senyumnya mengembang saat melihat sedan yang biasa digunakan untuk mengantar Naura berhenti tepat di hadapannya, dengan segera Jihan membukakan pintu untuk Naura dan Naura yang melihatnya tersenyum manis.
“Selamat pagi Putri cantik,” Naura hanya tersenyum dan itu membuat Jihan khawatir apalagi melihat wajah Naura yang nampak tak bersemangat dengan kantung mata menghiasi manik indah Naura. Jihan menggandeng tangan Naura mengantar Naura menuju kelasnya, seperti biasanya.
“Aku tahu apa yang terjadi tadi malam, jangan bersedih”
“Rasanya terlalu sakit Jihan,” Jihan mencelos mendengar suara parau di ikuti air mata yang menetes di pipi Naura. Dengan segera Jihan menghentikan langkahnya dan menyeka air mata Naura.
“Aku tahu itu, Aku juga pernah merasakannya,”
“Kamu tahu, bisa lihat Kamu hari ini adalah hiburan paling membahagiakan”
“Maksudmu??”
“Liat foto Kamu aja, Aku merasa kuat apalagi di samping Kamu,” Jihan tersenyum menyeka air mata Naura, “Kalau gitu, senyum dong” Naura tersenyum manis dan itu membuat Jihan lega.
“Ayo,” Naura mencekal lengan Jihan.
“Aku takut,”
“Ada Aku yang selalu melindungimu,” Naura menurut, rasa takut yang sejak kemarin menggelayutinya surut saat itu juga.

To Be Continued
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar