Naura tersenyum lebar
saat sudah sampai di depan rumah Jihan, sejenak Naura menghirup udara segar
yang di hembuskan angin.
“Jihan, penampilan Aku udah oke kan??”
“Udah cantik kok,”
“Tapi Aku risih,”
“Kenapa??”
“Aku gak pernah pakai baju kaya gini
sebelumnya,” Jihan tersenyum menatap Naura yang saat ini memakai gaun selutut
warna soft pink dengan tatanan rambut kepang modern dengan penjepit kupu – kupu
berwarna senada dengan gaunnya dan wedges berwarna senada dengan pita putih di
atasnya terlihat sangat cantik dan feminim di mata Jihan, di tambah dengan
aksesoris tambahan seperti gelang dan tas selempang yang sangat cocok dengan Naura,
sangat kontras dengannya yang masih memakai baju sekolah yang agak basah.
“Kalau risih, pake lagi aja seragam
Kamu,”
“Pulang lagi dong,” memang Naura sempat
pulang ke rumahnya dan berganti baju yang menarik perhatiannya saat perjalanan
pulang dan merengek kepada Jihan untuk mampir membeli, sebelumnya Naura tak
pernah semanja itu.
“Makanya, Kamu udah cantik kok, emang
kaya’ tadi kaya’ tikus kecebur got,”
“Ikh.. Kamu tuh yang kaya’ tikus kecebur
got,”
“Udah yuk, masuk” Jihan akan merangkul Naura,
namun Naura menghindar.
“Baju Kamu kan basah, entar Aku
ketularan lagi,” Jihan terkekeh mengacak poni Naura kemudian menyeret tangan Naura,
Naura sangat lambat menurutnya.
“Pelan Jihan...”
“Cepet siput,” Naura hanya mendengus,
tidak terima Dirinya disebut siput.
“Dasar tikus,”
“Siput,”
“Tikus,!!”
“Siput,!!”
“Ikhh dasar tikus kecebur got,!!”
“Dasar siput lelet,!!”
“Tikus jorok,!”
“Siput lelet..!!”
“Ekh.. ada apa ini?? Kok malah
bertengkar gak masuk?” suara seseorang menghentikan aksi debat mereka Bu Salma,
Bunda Jihan sudah berdiri di ambang pintu, menatap heran kepada anaknya yang
asik berdebat dengan kekasihnya.
“Bunda... anak Bunda nakal deh,” rajuk Naura
langsung memeluk Bu Salma, Bu Salma tersenyum menyambut pelukan Naura.
“Dasar pengadu, itu kan Bunda Aku,”
“Bunda Aku,”
“Aku,”
“Aku tikus got,”
“Aku siput,”
“Sudah – sudah kalian ini, ayo masuk
Bunda udah nungguin dari tadi,” Bu Salma merangkul Naura untuk masuk.
“Wlee..” Naura menjulurkan lidahnya
kemudian bermanja ria dengan Bu Salma. Jihan mendesah maklum, hanya kepada
Bundanya Naura bermanja – manja dan saat akan datang ke rumah Naura langsung
berubah manja dan agak menyebalkan. Dan Jihan memakluminya mengingat Naura yang
selalu kesepian di rumahnya, itu yang Dia tahu sejauh ini, kedua orang tua Naura
sangat sibuk dan tak memperhatikan anak – anaknya.
“Aku bahagia kalau lihat Kamu bahagia Nauraku..”
gumam Jihan pelan kemudian melangkah masuk, Dia ingin segera mandi.
Naura
dan Bu Salma duduk di ruang makan, sembari menata bahan kue yang tadi dibawa Naura.
“Bun, Aku boleh bantu kan??”
“Boleh kok, tapi apa gak sayang?? Sama
gaunnya??”
“Gak lah, kan pake celemek Bun,” Bu
Salma tersenyum, entah kenapa Dia sangat menyayangi Naura seperti Dia
menyayangi Jihan, putra semata wayangnya. Dengan lembut Bu Salma membelai
puncak kepala Naura.
“Ayo Bun, Kita mulai masak,”
“Ayo, gak sabaran banget sih??”
“Aku kan pengen jadi istri yang baik,” Bu
Salma terkekeh gemas mendengar jawaban Naura yang terdengar polos.
“Baiklah,, ayo,” Mereka mulai membuat
kue bersama Naura tampak begitu bahagia saat bersama Bu Salma Naura tak pernah merasa sebahagia ini saat
bersama Ibunya, akh Ibu Naura akan melupakan sosok yang melahirkannya saat
bersama Bu Salma. Jihan yang baru saja mandi dan berganti pakaian tersenyum
melihat itu, setidaknya Naura akan melupakan kejadian di sekolah tadi dan melupakan segala
kesedihannya, rasanya sangat menyakitkan jika melihat Naura menangis dan
tersakiti, Jihan menghela nafas pendek kemudian memutuskan untuk menonton tv
sembari menunggu Mereka selesai.
“Apa Kau menyakitinya anakku??” Jihan
menoleh saat menyadari ada seseorang yang kini duduk di sampingnya.
“Ayah, udah pulang?” Jihan langsung
menyalami tangan Pak Arif, sang Ayah.
“Ayah tanya sama Kamu, apa Kamu
menyakitinya anakku??”
“Maksud Ayah??”
“Aku melihat bekas luka itu di wajahmu,
dan jejak air mata di wajahmu,” Jihan meraba wajahnya, rasanya Dia baru saja
mandi.
“Kau merasakan luka yang di rasakannya,
dan Kau menangis karena Dia terluka, ayolah anakku, itu benar kan??”
“Iya Ayah, Aku melukainya dengan
menyembunyikan sesuatu darinya, dan itu sangat menyakitinya,”
“Jangan ulangi lagi anakku, Dia sangat
rapuh.. jangan Kau sembunyikan apapun darinya, jangan Kau sembunyikan masa
lalumu,”
“Iya Yah, Aku janji”
“Jangan berjanji, buktikan”
“Yah, bagaimana cara membahagiakan
seorang wanita??”
“Jangan pernah membuatnya bersedih dan
bertanya – tanya, jangan membohonginya, jangan hancurkan kepercayaannya, Kau
tahu wanita tidak suka di bohongi dan satu jadilah diri Kamu sendiri, dengan
begitu Dia juga akan jadi Dirinya sendiri tanpa topeng,” Jihan mengangguk
paham, Pak Arif menepuk bahu Jihan, kemudian tersenyum.
“Yah, menurut Ayah apakah Naura
jodohku??” Pak Arif melirik kebersamaan istrinya dengan Naura lalu tersenyum.
“Bundamu selalu menginginkan anak
perempuan seperti Naura, lihat Bundamu begitu bahagia, carilah yang seperti Naura
untuk membuat Bundamu bahagia, Dia sangat menyayangi Naura melebihi apapun,”
“Ayah berlebihan,”
“Tidak ini fakta,” Naura yang tak
sengaja menoleh ke ruang keluarga dan mendapati Pak Arif sudah pulang langsung
menegur Bu Salma yang tengah menghias kuenya.
“Bunda,, Soulmate Bunda pulang tuh,”
goda Naura sembari menaik – naikkan alisnya.
“Haa??”
“Cie.. pipi Bunda merah cie,”
“Akh, Kamu kuenya sudah selesai nih ayo
Kita bawa ke sana,”
“Ayo – ayo,” dengan semangat Naura
melepas celemeknya merapikan penampilannya kemudian bergegas menghampiri Pak
Arif.
“Ayah,” Pak Arif menoleh dan Naura
langsung memeluknya. Jihan yang melihatnya mendengus tak suka.
“Hey, Putri kecil,”
“Ayah Aku udah besar tahu,”
“Baiklah, Kau kan tahu Jihan masih
kecil, makanya Ku sebut dirimu Putri kecil,”
“Bunda apa Aku kecil??” Bu Salma
tersenyum kecil.
“Dasar manja,” celetuk Jihan merasa
kesal karena tidak di anggap keberadaannya.
“Ayah,, Bunda Jihannya nakal,” Bu Salma
dan Pak Arif terkekeh.
“Dasar pengadu, Mereka kan Ayah dan
Bundaku,”
“Punyaku,”
“Punyaku, siput..”
“Dasar pangeran kecil,”
“Hey, berani – beraninya Kau ini,”
“Apa??”
“Sini Kau, sini akan Aku beri pelajaran
padamu,” Naura bersembunyi di balik tubuh Pak Arif, meminta perlindungan.
“Ayah,” rengek Naura manja, Pak Arif tersenyum.
“Sudah – sudah kalian ini, lebih baik
sekarang Kita makan kuenya, oke??” mereka mengangguk semangat, Jihan langsung
duduk dan bersikap manis begitupun dengan Naura. Jihan tersenyum saat melihat Naura
begitu manja kepada kedua orang tuanya, biasanya seorang gadis akan menjaga
imagenya saat bertemu orang tua sang pria, namun Naura berbeda, Naura justru
menampakkan Dirinya yang sebenarnya, Naura yang kurang kasih sayang, Naura yang
manja, Naura yang rapuh dan Naura yang ingin selalu di lindungi, hanya seperti
saat inilah Jihan bisa melihat Naura dengan sifat aslinya, Naura yang terlihat
dewasa dan berwibawa kini lenyap, topengnya terlepas begitu saja.
Malam
ini Putri duduk bersama Ryan di teras rumahnya, Putri sengaja mengundangnya
untuk mencurahkan isi hatinya.
“Pokoknya Aku mau gadis itu menderita,”
“Memangnya siapa gadis itu??”
“Gadis itu pacarnya Jihan, Yan..Dia udah
ngrebut Jihan dari Aku,”
“Jihan??”
“Iya, Jihan,” Ryan termenung rasanya Dia
pernah mendengar nama itu sebelum Putri bercerita tentang ini.
”Maaf
Ryan.. Jihan memang kekasihku.....”
“....sekarang
cintaku hanya untuk Jihan pergilah..”
Ryan terhenyak, sekarang Dia ingat siapa
Jihan dan siapa yang mengucapkan nama itu.
“Jihan anak SMA 01??”
“Iya lah, Aku sengaja nusul kesana, ekh
tahunya udah punya cewek,” Ryan terdiam, jika hanya ada satu nama Jihan di
sekolah Putri maka Jihan yang dimaksud Putri adalah Jihan yang tempo hari Dia
pukul di depan sekolahnya sendiri dan Jihan yang tempo hari Naura bela, jika hanya
ada satu Jihan di sekolah Putri maka pacar Jihan yang dimaksud Putri adalah Naura,
gadis yang sangat di cintainya.
“Ikh, Kamu ini kenapa sih?? Diem mulu,” Ryan
tersadar dari lamunannya kemudian segera bertanya.
“Put, nama cewek itu siapa??”
“Naura,”
“Ada berapa Naura, berapa Jihan di
sekolah??”
“Ya satu lah,”
“Maaf Aku gak bisa bantu Put, Naura
adalah gadis yang sangat Aku cintai,” Putri melongo tak percaya, kemudian
tertawa remeh.
“Terus, Kamu rela? Naura bersama orang
lain??”
“Aku bahagia kalau Naura bahagia,” Putri bangkit dari
duduknya masih tidak percaya dengan pernyataan Ryan.
“Munafik,”
“Maksudnya??”
“Kamu munafik, Aku bahagia kalau Naura
bahagia, realitas aja Yan.. kenyataannya Kamu gak bahagia,”
“Siapa bilang??”
“Mulut bisa bohong, tapi tidak dengan
hati, Kamu sakit kan? Jatuh?? Patah hati, Yan dengan Kamu bantu Aku, Naura akan
dengan mudah jatuh ke tanganmu milikmu hanya milikmu bagaimana??” Ryan merenung
sejenak, tersenyum kemudian mengangguk.
“Sepakat,”
“Rencana akan Kita buat setelah satu partner
Kita gabung,”
“Siapa??”
“Seseorang yang juga membenci Naura,”
Naura
menghela nafas, bahkan Dia belum
mengganti gaunnya, semangatnya untuk makan malam bersama pupus saat Ayah dan
Ibunya bertengkar hebat, rasanya terlalu sakit dan sesak saat kedua orang
tuanya bertengkar di susul sang kakak yang baru sembuh dari sakitnya langsung
ke Yogya tanpa memikirkannya, Gilang yang sudah jengah langsung pergi ke Yogya
melupakan adiknya yang menangis senggukan di kamarnya. Sejenak dia termenung
saat melihat sebuah bingkai foto di meja sebelah ranjangnya, fotonya bersama Jihan
foto yang diberikan Jihan saat ulang tahunnya. Naura meraihnya kemudian entah
kenapa bibirnya mengukirkan sebuah senyuman manis, Naura memeluknya erat sampai
tak terasa Dia terlelap.
Jihan mendesah, ada rasa tidak enak di
dadanya, seperti rasa sakit yang mendalam dan Dia tidak tahu kenapa, Dia
beranjak dari duduknya kemudian menghampiri kedua orang tuanya di ruang
keluarga.
“Yah Bun, kok perasaan Aku sakit banget
ya??”
“Kamu di putusin Naura??”
“Enggak, gak tahu kenapa rasanya sakit
banget, sama kaya’ dulu pas liat kalian sering bertengkar,” Bu Salma dan Pak
Arif bertukar toleh kemudian memandang putranya cemas.
“Apa orang tua Naura bertengkar lagi
ya??”
“Mungkin,”
“Aku sangat mengkhawatirkannya, sejak
tadi ponselnya tidak aktif,”
“Sudah cek ke rumah??” Jihan menggeleng.
“Doakan saja Jihan, semoga Naura baik –
baik saja, malam sudah larut Naura juga mungkin sudah tidur,”
“Tapi Yah.. Bun..”
“Menurutlah, Naura tahu Dia harus apa,” Jihan
mendesah kemudian mengangguk lesu.
“Ya udah, Jihan ke kamar dulu, selamat
malam”
“Malam sayang,” Pak Arif dan Bu Salma
menatap putra semata wayangnya cemas.
“Mas, Aku jadi kasihan sama Naura..”
“Kok bisa??”
“Karena Aku Bundanya Jihan,”
“Apa hubungannya??”
“Jika Jihan dapat merasakan apa yang
dirasakan Naura, maka Aku dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Jihan,”
“Dan Karena Aku suamimu maka Aku bisa
merasakan apa yang Kamu rasakan??” Bu Salma mendengus sebal.
“Aku tahu, Naura selalu manja saat
bersama Kita, dan Naura ibarat Putri kecil Kita,”
“Aku sangat menyayanginya,”
“Aku juga,”
Jihan
harap – harap cemas menunggu Naura di depan gerbang, hari ini Dia tak menjemput
Naura karena Naura tak memintanya untuk menjemput dan Dia juga tidak menawarkan
diri untuk menjemput, senyumnya mengembang saat melihat sedan yang biasa
digunakan untuk mengantar Naura berhenti tepat di hadapannya, dengan segera Jihan
membukakan pintu untuk Naura dan Naura yang melihatnya tersenyum manis.
“Selamat pagi Putri cantik,” Naura hanya
tersenyum dan itu membuat Jihan khawatir apalagi melihat wajah Naura yang
nampak tak bersemangat dengan kantung mata menghiasi manik indah Naura. Jihan
menggandeng tangan Naura mengantar Naura menuju kelasnya, seperti biasanya.
“Aku tahu apa yang terjadi tadi malam,
jangan bersedih”
“Rasanya terlalu sakit Jihan,” Jihan
mencelos mendengar suara parau di ikuti air mata yang menetes di pipi Naura.
Dengan segera Jihan menghentikan langkahnya dan menyeka air mata Naura.
“Aku tahu itu, Aku juga pernah
merasakannya,”
“Kamu tahu, bisa lihat Kamu hari ini
adalah hiburan paling membahagiakan”
“Maksudmu??”
“Liat foto Kamu aja, Aku merasa kuat
apalagi di samping Kamu,” Jihan tersenyum menyeka air mata Naura, “Kalau gitu,
senyum dong” Naura tersenyum manis dan itu membuat Jihan lega.
“Ayo,” Naura mencekal lengan Jihan.
“Aku takut,”
“Ada Aku yang selalu melindungimu,” Naura
menurut, rasa takut yang sejak kemarin menggelayutinya surut saat itu juga.
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar