Juli
2002
Mos
Time !!! Jihan terlonjak saat menyadari suatu hal, bahwa ini adalah hari
pertamanya bersekolah. Rasanya berbeda terang saja sudah hampir satu tahun
Dirinya tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah, dalam hati Dia gentar,
bagaimana jika tak ada yang berteman dengannya? Dengan berandalan sepertinya.
Akh, Dia tak terlalu memikirkan itu Dia ingin berubah dan keinginan orangtuanya
yang memintanya untuk bersekolah lagi akan Dia turuti dengan ikhlas meski
sebenarnya Dia tak cukup percaya diri. Jihan meletakkan ponselnya bergegas
untuk mandi kemudian berangkat kesekolah meskipun tangannya agak sedikit ngilu
tapi tak apa dia bisa minta bantuan.
Jihan tertegun sesaat memandang gedung
bertingkat di hadapannya, gedung yang akan jadi tempat belajarnya selama tiga
tahun kedepan, gedung sekolah barunya, memang bukan sekolah favorit tapi
sekolah dengan jumlah murid yang tidak begitu banyak dan sedikit ini sudah
menghasilkan alumni – alumni yang luar biasa. Pandangannya beralih pada satu
objek yang sedang tertawa bersama temannya, dia bisa melihat perbedaan dan tiba
tiba hatinya merapal “Izinkan Dia membimbing langkahku, Tuhan” gadis dengan
kepangan tempelnya membuatnya tanpa sadar tersenyum. Dia mendengar gadis
berkepang itu berteriak “Binta sialan !! Kembali Kau,!!” Jihan tersenyum saat
melihat gadis itu merengut kesal ada getaran aneh yang Dia rasakan. “Naura!!”
gadis itu menoleh kearahnya Jihan tersenyum saat sang gadis menghampirinya,
namun senyumnya luntur saat gadis itu hanya melewatinya begitu saja , ternyata
gadis itu menghampiri seorang laki-laki. Mereka berbincang sebentar, sedang Jihan
tersenyum tipis tadi Dia mendengar seseorang memanggil sebuah nama dan mungkin
itu nama gadis itu Jihan menepuk jidatnya merasa bodoh.
“Masuk kelas ! jangan buat Kami
kerepotan karna mengurusi orang gila sepertimu anak baru,” suara otoriter itu
membuat Jihan merinding kemudian mengikuti langkah sang kakak kelas dengan berat.
“Slow Jihan, gak semua senior kek Adolf
Hitler,, jadilah diri sendiri,, You
Are Jihan Maulana,” batinnya menyemangati Dirinya sendiri.
Hari
pertama masuk sekolah adalah hal yang sangat membahagiakan begitupun dengan Naura,
tapi hari ini bukan hari pertamanya bersekolah sudah tiga hari yang lalu Naura
memulai aktivitasnya di sekolah sebagai panitia MOS.
“Nauraaaa...!!!!” suara teriakan diikuti
sebuah dekapan membuatnya tertawa, sudah lama Naura tidak bertemu Binta,
sahabatnya.
“Kangen banget yaa??” tanya Naura di
sela tawanya setelah Binta melepaskan pelukannya.
“Banget, double banget malah, ibaratnya ukuran baju, kangen Aku ke Kamu itu double xxxxlll...!!!”
“Lebay ! Gombal !!”
“Biarin !! ekh ya Ra... udah liat para
Junior belum??”
“Lah ini mau,”
“Aku denger – denger sih, Mereka itu trouble maker,”
“Pe-du-li,”
“Jangan gitu dong Bu psikolog, Mereka
butuh service,”
“Iya, kalau Cuma satu, lah kalau
semuanya??”
“Resiko !!!!” Bintang menarik pipi Naura
gemas, “Jadi Bu psikolog,” setelah mengucapkan itu Binta berlari menjauh.
“Binta Sialan !!! Sini Kau!! Aduh
pipiku..” Naura berteriak sembari memegang pipinya yang terasa ngilu. “Naura
!!” panggilan seseorang membuatnya menoleh kemudian menghampiri seseorang yang
menatapnya jengah , sempat Naura melirik seseorang yang tersenyum tapi Dia
tidak peduli “Mungkin bukan untukku,” batinnya tak peduli.
“Kacamatamu, sudah berapakali ini?” Naura
hanya mendesah menerima kotak berisi kacamatanya. “Aku belum terbiasa Kak,”
“Iya Kakak tahu itu,”
“Lagian Kakak gak perlu repot – repot
nganterin kacamata Aku , toh baru seperempat masih bisa liat jelas kok, Aku
juga duduknya gak belakang – belakang amat kok,”
“Iya Kakak tahu itu, kalau bukan karna
dipaksa Ayah dan Ibu Kakak juga gak mau, yaudah Kakak pamit yaa mau ke Yogya lagi,”
“Yaaah, berapa lama disana?”
“Seminggu,”
“Lama banget?”
“Ra, seminggu itu gak lama kok,”
“Iya deh,”
“Baik – baik yaa.. jangan nakal sama
Ayah dan Ibu,” Naura mengangguk kemudian menyalami tangan sang Kakak.
“Baik – baik disana Kak, sering telfon,”
“Iya, Kakak berangkat dulu yaa,, bye”
“Bye, hati – hati dijalan Kak,” Naura
melambaikan tangannya saat perlahan kijang innova milik kakaknya menjauh, tak
terasa air matanya menetes dengan segera Naura menghapusnya.
“Naura !! ayo masuk buat pembukaan!!” Naura
mengangguk kemudian melangkah menuju tempat MOS.
“Namanya
Naura,” Jihan terus merapalnya dalam hati saat satu persatu seniornya
memperkenalkan diri, pandangan matanya tak pernah lepas dari sosok gadis
berkepang yang tadi dilihatnya, bedanya sekarang gadis itu mengenakan kacamata.
“Namanya Naura,” rapalnya lagi dan sebuah senyum terukir di bibirnya, “Namanya Naura,
Naura Febriani.. kelas XI IPA,” kemudian Jihan kembali tersenyum “Naura, XI
IPA” Jihan tenggelam dalam lamunannya tidak memperdulikan apa yang dilakukan
oleh senior – seniornya hanya Naura yang Dia cari, hanya Naura yang Dia
perhatikan, hanya Naura gadis berkepang itu.
Sepi
itu yang dirasakannya saat dirumah sendiri, membosankan itu pasti dan saat
inilah Naura merasa kehilangan sosok Kakaknya, Naura meraih ponselnya berniat
untuk menelfon Kakaknya, tapi niatnya urung saat pintu kamarnya diketuk. “Non,
ada tamu buat Non Naura, laki – laki dua,”
“Akh ya, makasih Bi,” setelah sang
asisten rumah tangganya pergi Naura bergegas menemui tamunya. Dengan malas Naura
melangkah menuju ruang tamu, ada dua orang Laki-laki yang tengah duduk disana, Naura
mengenal salah satunya Kakak kelasnya namanya Yoga, sedang yang ada disebelah
Yoga Naura tak mengenalnya namun merasa pernah melihatnya.
“Ada apa Kak?”
“Ini mau minta catatan barang bawaan MOS
buat besok,”
“Emang tadi gak nyatet?”
“Tangannya sakit katanya,”
“Owh, Aku ambilin dulu yaa,”
“Iya, maaf ngrepotin”
“Gapapa,” setelah urusan Mereka selesai,
Yoga dan temannya berpamitan, setelah mengantar sampai ke depan pintu Naura
bergegas kembali ke kamarnya dan melanjutkan rencananya untuk menelfon sang
Kakak.
“Hallo Kak, Aku kangen banget sama
Kakak..” seru Naura girang saat mendengar suara sang Kakak, perbincangan Mereka
berlarut sampai tak terasa Naura tertidur Gilang, sang Kakak tersenyum saat Naura
tak lagi bersuara “Mimpi indah Naura..” gumamnya pelan mengakhiri panggilannya.
“Kakak juga kangen sama Kamu,” Gilang
menatap sebuah foto , foto Dirinya bersama Naura, mempunyai orang tua yang
sibuk kadang membuatnya merasa kehilangan , kehadiran Naura menguatkannya,
baginya Naura adalah satu – satunya benda berharga yang Dia miliki kalau bukan
karna Naura mungkin Gilang sudah menyerah sedari dulu.
“Ra, Kamu kekuatan Kakak, Kakak janji
akan selalu jaga Kamu,” Gilang meletakkan ponselnya diatas meja kemudian
merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, perlahan Gilang terlelap.
Jihan
menatap kosong kedepan, dimana senior – seniornya sedang berceloteh riang, dan Jihan
tak peduli sama sekali, sedari tadi Jihan tidak menemukan Naura dimanapun,
sesekali Dia melihat Naura mondar mandir keluar masuk ruangan itupun tidak
sepenuhnya Dia teliti, Jihan mendesah kemudian menenggelamkan wajahnya diantara
kedua lengannya yang terlipat. “Naura, Kamu dimana?” batinnya gelisah.
“Ekhem,, perhatikan ke depan !” Jihan
bangkit kemudian berdecak sebal “Ck, Adolf
Hitler lagi,” rutuknya dalam hati kemudian dengan berat Jihan memperhatikan
siapa yang tengah tersenyum lebar dan sangat manis di depan sana “Naura....”
gumamnya pelan, matanya tak lepas dari sosok Naura yang tengah menerangkan
sesuatu di depan sana. “Andai Aku bisa mengenalmu, menjadikanmu kekasih dan
kelak akan meminangmu dalam sebuah janji hati... Aku akan menjadi lelaki paling
beruntung, dan Aku akan selalu menjagamu,” batinnya bersajak. Jihan kagum
dengan Naura dan kekagumannya bertambah
setelah berkunjung kerumah Naura kemarin, dan saat mendapat respon yang sangat
baik, Jihan berdecak kagum saat melihat desain interior dan eksterior rumah Naura
, rumah gadis itu begitu mempesona ditambah dengan banyaknya pelayan berseragam
rapi betapa bahagianya kehidupan Naura, berbeda dengannya walaupun keluarganya
cukup berada tapi jika dibandingkan dengan Naura Dia kalah. Namun yang
mengherankan adalah tak banyak yang tahu seperti apa rumah Naura, begitu kata
Yoga temannya yang merupakan Kakak kelas yang kemarin mengantarnya ke rumah Naura
“Aku tahu dari temen SDnya,” begitu jawab Yoga saat ditanya darimana bisa tahu
dimana rumah Naura. Gadis misterius, dan mungkin pemuda kemarin adalah Kakak Naura
dan kalau tidak salah pemuda itu mengendarai Kijang Innova.
Naura
menatap heran temannya, Sandra yang terus menegur seseorang dengan nada
dinginnya.
“Ada apa denganmu?”
“Gapapa, thanks dan gak usah sok
perhatian,”
“San,”
“Nona Naura yang terhormat, sebaiknya
jangan panggil namaku lagi, karna Aku membencimu,” Naura tak menjawab, tahu
kenapa Sandra begitu antipati padanya. “Kak Gilang itu Kakakku,”
“Apa harus semesra itu?”
“Dia Kakakku dan Aku adiknya,”
“Pe – du – li “ ketus Sandra kemudian
berlalu meninggalkan Naura
“Sandra !!!” Naura mendesah kemudian
memilih duduk di kursi tak jauh dari posisinya, Naura menghela nafas panjang
rasanya percuma menjelaskannya kepada Sandra.
“Kenapa sendirian Kak?” Naura mendongak
dan mendapati seseorang yang kemarin datang kerumahnya bersama Yoga.
“Bukankah Kamu yang bersama Kak Yoga
kemarin?”
“Ya, perkenalkan Aku Jihan.. Jihan
maulana”
“Aku...”
“Naura, Naura Febriani, XI IPA” Naura
tersenyum simpul.
Jihan
memegang dadanya yang terasa nyaman, setelah percakapan singkat di sekolah
tadi, Jihan merasa melayang ke langit yang tinggi, Jihan menghela nafas
sebentar merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, “Tapi.. Naura itu tuan Putri
kasta ksatria, sedang Aku kasta sudra apa pantas?” batinnya merasa sedih. “Akh,
ini Indonesia bukan India,” Jihan memejamkan matanya kemudian terlelap dan
bermimpi tentang sebuah mimpi yang indah.
Perkemahan
akan diadakan sebentar lagi, Naura yang menjabat sebagai sekretaris panitia
merasa bingung sendiri apalagi mengingat kondisi tubuhnya yang tidak stabil di
tambah kealpaan Kakak dan Kedua orangtuanya. Seperti malam ini Naura hanya
berbaring di ranjangnya dengan selimut yang menyelimuti seluruh bagian
tubuhnya.
“Naura,!!” suara bernada panik itu
membuatnya menoleh, kemudian tersenyum saat tahu siapa yang datang ke kamarnya
“Kakak,” panggilnya pelan saat wajah panik sang Kakak ada dihadapannya.
“Kamu sakit?, radang kamu kambuh ya?”
“Mungkin,”
“Kakak panggil dokter yaa..” Naura tak
menjawab, hanya mengangguk dan menatap sang Kakak yang menelfon seseorang.
Gilang menatap lembut Naura yang sudah
terlelap, Gilang merapikan poni Naura yang basah oleh keringat dingin “Ra..
cepet sembuh yaa,” Gilang mendesah memandang kosong arah langit – langit kamar
kemudian termenung. Rumahnya memang luas, halamannya dipenuhi Bunga – Bunga
kesukaan Naura, satu kamar di rumahnya sama dengan empat kamar kos paling murah
di Yogya, mobil mewah berjajar di garansi, ponsel berjajar di meja belajar
komputer terpajang di kamarnya dan kamar Naura tapi Mereka tidak bahagia,
sumber kebahagiaan Gilang adalah Naura dan sumber kebahagiaan Naura adalah Gilang.
Rumah ini terasa kosong meski puluhan lukisan terpajang di dinding di setiap
ruangan, ruangan ini terasa kosong meski puluhan guci cantik menghiasi setiap
sudut ruangan, rumah ini terasa kosong meski belasan pegawai hilir mudik
membersihkan dan merawat rumah ini. Suara dering ponsel membangunkannya dari
lamunannya.
Panggilan
masuk `Ibu`
“Hallo Bu, yaaa.. baru aja tidur.,
radangnya kambuh, Naura baik – baik saja kalau kalian ada disini” Gilang mengakhiri
panggilannya dan mematikan ponselnya, Gilang merasa kecewa dengan kedua
orangtuanya yang terlalu sibuk dan tidak memperhatikan Dirinya dan Naura,
memang usianya sudah 20 tahun tapi Gilang juga membutuhkan kedua orangtuanya
entah untuk alasan apa.
Jihan
menatap cemas Naura yang terlihat pucat dari kelasnya, Jihan yang saat ini
hampir di setiap pagi menanti Naura di dekat pintu gerbang merasa perih
sekaligus ingin tahu apa yang membuat Naura sakit, yaa Naura sakit itu yang
dilihatnya saat pertama kali Naura turun dari mobil Kakaknya. Jihan mendesah
kemudian berbalik memasuki kelasnya, melihat Naura lama – lama hanya akan
membuatnya perih dan merasa sakit, entah karena apa Jihan pun masih bertanya –
tanya.
Jihan
menepi di pinggir lapangan, entah kenapa Dia merasa tidak enak badan saat
kegiatan latihan persiapan kemah sedang berlangsung setelah mendapatkan izin
untuk istirahat Jihan segera beranjak menuju UKS, “Mungkin karena tidak ada Naura
disana..” batinnya menebak apa yang terjadi padanya tak terasa Jihan telah
sampai di depan pintu UKS, Jihan menghela nafas sejenak sebelum akhirnya memutar
knop pintu dan suara lantunan musik klasik langsung memenuhi indra
pendengarannya, Dia juga mendapati seorang gadis tengah sibuk di depan komputer
OSIS.
“Kamu sakit? Uhuk... cemen banget sih ?”
“Seharusnya Aku yang nanya, Kakak kan
lagi sakit, kok masih mainan komputer bukannya istirahat,”
“Yang sakit uhuk... tenggorokannya tapi
yang lain masih normal, berbaringlah jangan membuat Dirimu absen sekolah
besok,”
“Kenapa?” gadis yang ternyata Naura itu
menoleh, menghadap Jihan yang menatapnya penuh tanya.
“Para guru akan menyalahkan panitia,
kalau Aku mengganggu Aku bisa pergi,”
“Bukannya orang sakit harus ditemani??” Jihan
mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air putih di teko yang tersedia.
Naura terkekeh pelan kemudian terbatuk,
melihat itu Jihan segera menyodorkan segelas air putih yang baru di tuangkannya
yang sebenarnya untuk Dirinya kepada Naura. “Minum dulu Kak..” Naura tersenyum
manis menerimanya dengan senang hati kemudian meneguknya. “Makasih, Jihan” Jihan
hanya tersenyum.
“Namamu Jihan kan?”
“Iya Kakak..”
“Ku kira salah..uhuk,”
“Udah minum obat?” Naura menggeleng pelan
setelah meletakkan gelas di meja. “Aku lupa membawanya, biasanya Aku minta
tolong Kakakku untuk mengantarkannya tapi Aku sadar Aku lupa mengcharge ponselku dan Aku tidak ingin
merepotkannya,” Jihan menyodorkan ponselnya, ponsel yang tidak bagus memang
dibanding dengan ponsel yang biasa Naura pakai dan ponsel Naura adalah ponsel
paling bagus di antara semua siswa di sini bahkan ada yang belum mempunyai
ponsel. Naura tersenyum tipis mengacak rambut Jihan gemas. “Ikh... adik kelasku
ini lucu banget sih..?” Jihan merengut kemudian ikut terkekeh.
“Hp Aku memang jelek, rumah Aku aja
seluas halaman rumah Kakak mungkin,” Naura terkekeh.
“Apalah arti rumah istana tanpa
kehangatan, Jihan” suara Naura melemah nampak sedih, “Apalah arti pondok bambu
kalau disana kehangatan selalu memeluk, apalah arti mobil mewah yang berjejer
di garansi , tapi Kita gak bahagia.. Kamu tahu kebahagiaan itu gak di ukur dari
seberapa kaya, seberapa pintar, seberapa cantik atau tampannya seseorang, gak
di ukur dari seberapa sempurnanya kehidupan seseorang, bukan Jihan.. bukan,
kebahagiaan akan datang saat ada Dua hal yang selalu terjaga Cinta dan Kasih,” Jihan
terdiam memandang wajah pucat Naura, bibirnya yang memucat mengukir sebuah
senyuman manis.
“Kakak gak usah sedih, Aku Jihan Maulana
mau kok nemenin Kakak dirumah gantiin Kakaknya Kakak kalau lagi ke Yogya,”
“Darimana Kamu tahu kalau Kak Gilang
kuliah di Yogya?”
“Kakaknya Kakak pernah nganterin
Kakak pakai Kijang Innova berplat
Yogya,” Naura terkekeh saat melihat ekspresi Jihan saat mengatakan hal
tersebut.
“Kalau boleh tahu, Kakak punya mobil
berapa?”
“Sepuluh,”
“Wah... banyak banget.!”
“Kamu boleh ambil kok, mau yang pakai remote control atau manual??”
“Mobil mainan?”
“Iya, yang mobil beneran belum boleh,
yang punya Cuma Kak Gilang, ada Lima mobil yang Dua berplat Yogya dan
direntalin, Ayah dan Ibu juga memberikan rumah ke Kak Gilang di sana dan
dijadikan kos – kosan,”
“Pintar juga Kak Gilang, Kakak gak mau
coba??”
“Rental mobil mainan? Siapa yang mau nyewa? Kamu??”
“Haha.. mungkin,” Naura meninju lengan Jihan,
membuat Jihan meringis.
“Rese’” Mereka tertawa.
“Kalau Aku punyanya motor bebek, udah
yang paling kenceng mau coba?”
“Emmm.. gak deh entar motor mainan
lagi,”
“Yang ini beneran, ekh iya kalau mobil
aja Sepuluh.. motornya berapa?”
“Lima,”
“Hah ?? Lima ?”
“Iya, Lima... Lima kali lipatnya,”
“Lima Puluh dong,”
“Hahaha.. iya di toko mainan,”
“Kakak.. bercanda mulu ikh,,” Naura
terkekeh, kemudian mematikan musik dan komputer yang sedari tadi mengiringi
percakapan Mereka.
“Biar gak tegang,” bisik Naura pelan
“Karna katanya sih.. di sini ada makhluk
lain, tepatnya di belakangmu.. haha..!” setelah mengucapkan itu Naura
meninggalkan Jihan yang kini merinding dan mengawasi kesekeliling.
“Kak Naura !!! jangan tinggalin Aku!!
ikh angker nih tempat..!” Jihan juga keluar mencari Naura tapi tak menemukan
siapapun, karna terlanjur takut Jihan memutuskan untuk istirahat di kelas saja.
Malam
yang membosankan itu yang ada dalam benak Jihan, Dia mendesah membiarkan teman
– teman satu kelompoknya meninggalkannya di tenda.
“Han.. !! Kita mau pensi nih..!!”
“Entar nyusul.!!” Jihan menatap
arlojinya jengah, ekor matanya menangkap sosok yang dikenalnya berjalan menuju
suatu tempat, karna penasaran Jihanpun mengikutinya. Naura mendesah pelan saat
sudah sampai di tempat tujuan, kemudian mengenakan earphonenya dan matanya tak
lepas dari satu titik, bintang paling bersinar dan bercahaya, Kejora. Jihan
tersenyum saat melihat Naura duduk tak jauh darinya entah kenapa Dia merasa
sejuk dan nyaman saat melihat Naura. Jihan mengambil posisi di samping Naura,
mengambil earphone yang terpasang di telinga kiri Naura dan memasangkannya di
telinga kanannya.
“Ekh..” Naura tersentak kaget, kemudian
tersenyum manis saat tahu siapa yang kini duduk di samping kirinya.
“Jihan,”
Jihan hanya tersenyum lebar.
“Bolehkan ??” Naura mengangguk kemudian
kembali menatap bintang favoritnya.
“Suka bintang ??” tanya Jihan mengikuti
arah pandang Naura, ada banyak bintang di sana dan itu membuat Jihan kembali
tersenyum manis.
“Bahkan Cinta,”
“Cinta??”
“Iya cinta, cinta mati”
“Pernah jatuh cinta?”
“Pernah, sekali.. cinta pertama”
“Menurut Kakak, cinta itu apa sih ?”
“Seperti kehidupan, artikanlah dari mana
Kamu memandang,” Jihan mangut – mangut, suasana kembali hening.
“Kakak capek?”
“Tentu,”
“Kalau Kakak lagi lelah, Kakak ngapain?”
“Lelah dalam hal apa?”
“Hidup,”
“Menyendiri, mencari ketenangan atau
kalau saja boleh, Aku ingin bersandar di bahu seseorang,”
“Kakak punya pacar?”
“Pacar? Pernah sekali sih.. pacaran tapi
karena pelarian” Naura menjeda ucapannya, menunduk.
“Pelarian karena perasaan galau karna
cinta pertamaku,”
“Kenapa??”
“Aku tidak bisa menjelaskannya,”
“Terus, mant...”
“Aku tak pernah ingin menemuinya lagi,” Jihan
terdiam, Dia dapat merasakan perasaan bersalah dari dalam diri Naura, kemudian Jihan
bersandar dibahu Naura, Naura terkejut dan ingin protes tapi Jihan sudah
terlebih dahulu memotong.
“Biarkan Aku bersandar di bahu Kakak,” Naura
tersenyum membiarkan Jihan bersandar di bahunya.
“Aku sedang lelah, letih karena
kehidupanku, Kakak pasti gak tahu kalau Aku sebenarnya seumuran sama Kakak
bahkan mungkin lebih tua dari Kakak, satu tahun Aku gak sekolah dan Aku hancur
Ayah sering marah, Ibu sering menangis, Aku rusak.. hancur Kak, Mereka
membawaku kesini, awalnya Aku memberontak bahkan sempat berniat mengakhiri
semuanya, tapi air mata Ibu yang memelukku dan memohon kepadaku membuatku
luluh, Kakak tahu Aku merasa lebih baik sekarang kedua orang tuaku juga lebih
memperhatikanku, Setelah Aku di sini Aku jauh dari segala hal yang membuatku
hancur, yaaah.. walaupun Aku belum bisa beradaptasi, Aku berandalan, trouble
maker..”
“Tidak, di mataku Kamu tak terarah ke
jalan yang benar,” Naura menggenggam tangan Jihan,
“Kamu hanya perlu mencari dan menelusuri
jalan lurus bernama kebenaran itu,” Jihan menunduk, menggeleng pelan.
“Gelap Kak, jalanku terlalu gelap,” Naura
meraih pundak Jihan
“Hey, hanya jalanmu yang gelap, Kamu
masih mempunyai lentera bernama hati nurani yang akan menerangi jalanmu dan
Kamu mempunyai penopang bernama tekad dan keinginan yang akan terus bersamamu,
menemani langkahmu,” Jihan mendongak menatap Naura dalam, menyelami lagi mata
yang membuatnya jatuh cinta pada gadis di hadapannya ini.
“Aku butuh seseorang yang terus
mengingatkanku kala Aku khilaf,” kini giliran Jihan yang menggenggam tangan Naura.
“Kak, bantu Aku, bantu Aku melewati
jalan itu, Aku gak bisa berjalan sendiri, Aku.. cinta sama Kakak” Naura terdiam
memandang wajah penuh pengharapan Jihan, wajah dengan bentuk oval dengan hidung
mancung dan mata almond yang menyiratkan perasaan kasih dan cinta, tidak begitu
tampan tapi di mata Naura, Jihan adalah pria yang manis, yang tahu cara
memperlakukan perempuan dengan baik di mana Dirinya merasakan kenyamanan saat
bersama Jihan, sama seperti saat Dirinya bersama Gilang, sang Kakak.
“Jihan..”
“Kak, Aku..”
“Kenapa Aku, Jihan?”
“Karena hatiku di pilih dan memilih
Kakak,” Naura memejamkan matanya, kemudian membukanya dan menatap Jihan.
“Aku akan membantu,”
“Terima kasih, Aku janji Aku akan selalu
membuat Kakak bahagia selalu, hingga kepedihan ikut tersenyum karenanya,”
“Jangan berjanji,”
“Aku akan berusaha,” Jihan mendekap Naura,
malam itu bintang menjadi saksi bisu kisah Mereka.
Seandainya
bisa terulang kembali......
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar