Kamis, 19 November 2015

The Cloudy And Rainbow (Part 1)


Juli 2002
            Mos Time !!! Jihan terlonjak saat menyadari suatu hal, bahwa ini adalah hari pertamanya bersekolah. Rasanya berbeda terang saja sudah hampir satu tahun Dirinya tidak pernah menginjakkan kaki di sekolah, dalam hati Dia gentar, bagaimana jika tak ada yang berteman dengannya? Dengan berandalan sepertinya. Akh, Dia tak terlalu memikirkan itu Dia ingin berubah dan keinginan orangtuanya yang memintanya untuk bersekolah lagi akan Dia turuti dengan ikhlas meski sebenarnya Dia tak cukup percaya diri. Jihan meletakkan ponselnya bergegas untuk mandi kemudian berangkat kesekolah meskipun tangannya agak sedikit ngilu tapi tak apa dia bisa minta bantuan.
Jihan tertegun sesaat memandang gedung bertingkat di hadapannya, gedung yang akan jadi tempat belajarnya selama tiga tahun kedepan, gedung sekolah barunya, memang bukan sekolah favorit tapi sekolah dengan jumlah murid yang tidak begitu banyak dan sedikit ini sudah menghasilkan alumni – alumni yang luar biasa. Pandangannya beralih pada satu objek yang sedang tertawa bersama temannya, dia bisa melihat perbedaan dan tiba tiba hatinya merapal “Izinkan Dia membimbing langkahku, Tuhan” gadis dengan kepangan tempelnya membuatnya tanpa sadar tersenyum. Dia mendengar gadis berkepang itu berteriak “Binta sialan !! Kembali Kau,!!” Jihan tersenyum saat melihat gadis itu merengut kesal ada getaran aneh yang Dia rasakan. “Naura!!” gadis itu menoleh kearahnya Jihan tersenyum saat sang gadis menghampirinya, namun senyumnya luntur saat gadis itu hanya melewatinya begitu saja , ternyata gadis itu menghampiri seorang laki-laki. Mereka berbincang sebentar, sedang Jihan tersenyum tipis tadi Dia mendengar seseorang memanggil sebuah nama dan mungkin itu nama gadis itu Jihan menepuk jidatnya merasa bodoh.
“Masuk kelas ! jangan buat Kami kerepotan karna mengurusi orang gila sepertimu anak baru,” suara otoriter itu membuat Jihan merinding kemudian mengikuti langkah sang kakak kelas dengan berat. “Slow Jihan, gak semua senior kek Adolf Hitler,, jadilah diri sendiri,, You Are Jihan Maulana,” batinnya menyemangati Dirinya sendiri.
            Hari pertama masuk sekolah adalah hal yang sangat membahagiakan begitupun dengan Naura, tapi hari ini bukan hari pertamanya bersekolah sudah tiga hari yang lalu Naura memulai aktivitasnya di sekolah sebagai panitia MOS.
“Nauraaaa...!!!!” suara teriakan diikuti sebuah dekapan membuatnya tertawa, sudah lama Naura tidak bertemu Binta, sahabatnya.
“Kangen banget yaa??” tanya Naura di sela tawanya setelah Binta melepaskan pelukannya.
“Banget, double banget malah, ibaratnya ukuran baju, kangen Aku ke Kamu itu double xxxxlll...!!!”
“Lebay ! Gombal !!”
“Biarin !! ekh ya Ra... udah liat para Junior belum??”
“Lah ini mau,”
“Aku denger – denger sih, Mereka itu trouble maker,”
“Pe-du-li,”
“Jangan gitu dong Bu psikolog, Mereka butuh service,”
“Iya, kalau Cuma satu, lah kalau semuanya??”
“Resiko !!!!” Bintang menarik pipi Naura gemas, “Jadi Bu psikolog,” setelah mengucapkan itu Binta berlari menjauh.
“Binta Sialan !!! Sini Kau!! Aduh pipiku..” Naura berteriak sembari memegang pipinya yang terasa ngilu. “Naura !!” panggilan seseorang membuatnya menoleh kemudian menghampiri seseorang yang menatapnya jengah , sempat Naura melirik seseorang yang tersenyum tapi Dia tidak peduli “Mungkin bukan untukku,” batinnya tak peduli.
“Kacamatamu, sudah berapakali ini?” Naura hanya mendesah menerima kotak berisi kacamatanya. “Aku belum terbiasa Kak,”
“Iya Kakak tahu itu,”
“Lagian Kakak gak perlu repot – repot nganterin kacamata Aku , toh baru seperempat masih bisa liat jelas kok, Aku juga duduknya gak belakang – belakang amat kok,”
“Iya Kakak tahu itu, kalau bukan karna dipaksa Ayah dan Ibu Kakak juga gak mau, yaudah Kakak pamit yaa mau ke Yogya lagi,”
“Yaaah, berapa lama disana?”
“Seminggu,”
“Lama banget?”
“Ra, seminggu itu gak lama kok,”
“Iya deh,”
“Baik – baik yaa.. jangan nakal sama Ayah dan Ibu,” Naura mengangguk kemudian menyalami tangan sang Kakak.
“Baik – baik disana Kak, sering telfon,”
“Iya, Kakak berangkat dulu yaa,, bye”
“Bye, hati – hati dijalan Kak,” Naura melambaikan tangannya saat perlahan kijang innova milik kakaknya menjauh, tak terasa air matanya menetes dengan segera Naura menghapusnya.
“Naura !! ayo masuk buat pembukaan!!” Naura mengangguk kemudian melangkah menuju tempat MOS.
            “Namanya Naura,” Jihan terus merapalnya dalam hati saat satu persatu seniornya memperkenalkan diri, pandangan matanya tak pernah lepas dari sosok gadis berkepang yang tadi dilihatnya, bedanya sekarang gadis itu mengenakan kacamata. “Namanya Naura,” rapalnya lagi dan sebuah senyum terukir di bibirnya, “Namanya Naura, Naura Febriani.. kelas XI IPA,” kemudian Jihan kembali tersenyum “Naura, XI IPA” Jihan tenggelam dalam lamunannya tidak memperdulikan apa yang dilakukan oleh senior – seniornya hanya Naura yang Dia cari, hanya Naura yang Dia perhatikan, hanya Naura gadis berkepang itu.
            Sepi itu yang dirasakannya saat dirumah sendiri, membosankan itu pasti dan saat inilah Naura merasa kehilangan sosok Kakaknya, Naura meraih ponselnya berniat untuk menelfon Kakaknya, tapi niatnya urung saat pintu kamarnya diketuk. “Non, ada tamu buat Non Naura, laki – laki dua,”
“Akh ya, makasih Bi,” setelah sang asisten rumah tangganya pergi Naura bergegas menemui tamunya. Dengan malas Naura melangkah menuju ruang tamu, ada dua orang Laki-laki yang tengah duduk disana, Naura mengenal salah satunya Kakak kelasnya namanya Yoga, sedang yang ada disebelah Yoga Naura tak mengenalnya namun merasa pernah melihatnya.
“Ada apa Kak?”
“Ini mau minta catatan barang bawaan MOS buat besok,”
“Emang tadi gak nyatet?”
“Tangannya sakit katanya,”
“Owh, Aku ambilin dulu yaa,”
“Iya, maaf ngrepotin”
“Gapapa,” setelah urusan Mereka selesai, Yoga dan temannya berpamitan, setelah mengantar sampai ke depan pintu Naura bergegas kembali ke kamarnya dan melanjutkan rencananya untuk menelfon sang Kakak.
“Hallo Kak, Aku kangen banget sama Kakak..” seru Naura girang saat mendengar suara sang Kakak, perbincangan Mereka berlarut sampai tak terasa Naura tertidur Gilang, sang Kakak tersenyum saat Naura tak lagi bersuara “Mimpi indah Naura..” gumamnya pelan mengakhiri panggilannya.
“Kakak juga kangen sama Kamu,” Gilang menatap sebuah foto , foto Dirinya bersama Naura, mempunyai orang tua yang sibuk kadang membuatnya merasa kehilangan , kehadiran Naura menguatkannya, baginya Naura adalah satu – satunya benda berharga yang Dia miliki kalau bukan karna Naura mungkin Gilang sudah menyerah sedari dulu.
“Ra, Kamu kekuatan Kakak, Kakak janji akan selalu jaga Kamu,” Gilang meletakkan ponselnya diatas meja kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, perlahan Gilang terlelap.
            Jihan menatap kosong kedepan, dimana senior – seniornya sedang berceloteh riang, dan Jihan tak peduli sama sekali, sedari tadi Jihan tidak menemukan Naura dimanapun, sesekali Dia melihat Naura mondar mandir keluar masuk ruangan itupun tidak sepenuhnya Dia teliti, Jihan mendesah kemudian menenggelamkan wajahnya diantara kedua lengannya yang terlipat. “Naura, Kamu dimana?” batinnya gelisah.
“Ekhem,, perhatikan ke depan !” Jihan bangkit kemudian berdecak sebal “Ck, Adolf Hitler lagi,” rutuknya dalam hati kemudian dengan berat Jihan memperhatikan siapa yang tengah tersenyum lebar dan sangat manis di depan sana “Naura....” gumamnya pelan, matanya tak lepas dari sosok Naura yang tengah menerangkan sesuatu di depan sana. “Andai Aku bisa mengenalmu, menjadikanmu kekasih dan kelak akan meminangmu dalam sebuah janji hati... Aku akan menjadi lelaki paling beruntung, dan Aku akan selalu menjagamu,” batinnya bersajak. Jihan kagum dengan Naura dan kekagumannya  bertambah setelah berkunjung kerumah Naura kemarin, dan saat mendapat respon yang sangat baik, Jihan berdecak kagum saat melihat desain interior dan eksterior rumah Naura , rumah gadis itu begitu mempesona ditambah dengan banyaknya pelayan berseragam rapi betapa bahagianya kehidupan Naura, berbeda dengannya walaupun keluarganya cukup berada tapi jika dibandingkan dengan Naura Dia kalah. Namun yang mengherankan adalah tak banyak yang tahu seperti apa rumah Naura, begitu kata Yoga temannya yang merupakan Kakak kelas yang kemarin mengantarnya ke rumah Naura “Aku tahu dari temen SDnya,” begitu jawab Yoga saat ditanya darimana bisa tahu dimana rumah Naura. Gadis misterius, dan mungkin pemuda kemarin adalah Kakak Naura dan kalau tidak salah pemuda itu mengendarai Kijang Innova.
            Naura menatap heran temannya, Sandra yang terus menegur seseorang dengan nada dinginnya.
“Ada apa denganmu?”
“Gapapa, thanks dan gak usah sok perhatian,”
“San,”
“Nona Naura yang terhormat, sebaiknya jangan panggil namaku lagi, karna Aku membencimu,” Naura tak menjawab, tahu kenapa Sandra begitu antipati padanya. “Kak Gilang itu Kakakku,”
“Apa harus semesra itu?”
“Dia Kakakku dan Aku adiknya,”
“Pe – du – li “ ketus Sandra kemudian berlalu meninggalkan Naura
“Sandra !!!” Naura mendesah kemudian memilih duduk di kursi tak jauh dari posisinya, Naura menghela nafas panjang rasanya percuma menjelaskannya kepada Sandra.
“Kenapa sendirian Kak?” Naura mendongak dan mendapati seseorang yang kemarin datang kerumahnya bersama Yoga.
“Bukankah Kamu yang bersama Kak Yoga kemarin?”
“Ya, perkenalkan Aku Jihan.. Jihan maulana”
“Aku...”
“Naura, Naura Febriani, XI IPA” Naura tersenyum simpul.
            Jihan memegang dadanya yang terasa nyaman, setelah percakapan singkat di sekolah tadi, Jihan merasa melayang ke langit yang tinggi, Jihan menghela nafas sebentar merebahkan tubuhnya yang terasa lelah, “Tapi.. Naura itu tuan Putri kasta ksatria, sedang Aku kasta sudra apa pantas?” batinnya merasa sedih. “Akh, ini Indonesia bukan India,” Jihan memejamkan matanya kemudian terlelap dan bermimpi tentang sebuah mimpi yang indah.
            Perkemahan akan diadakan sebentar lagi, Naura yang menjabat sebagai sekretaris panitia merasa bingung sendiri apalagi mengingat kondisi tubuhnya yang tidak stabil di tambah kealpaan Kakak dan Kedua orangtuanya. Seperti malam ini Naura hanya berbaring di ranjangnya dengan selimut yang menyelimuti seluruh bagian tubuhnya.
“Naura,!!” suara bernada panik itu membuatnya menoleh, kemudian tersenyum saat tahu siapa yang datang ke kamarnya “Kakak,” panggilnya pelan saat wajah panik sang Kakak ada dihadapannya.
“Kamu sakit?, radang kamu kambuh ya?”
“Mungkin,”
“Kakak panggil dokter yaa..” Naura tak menjawab, hanya mengangguk dan menatap sang Kakak yang menelfon seseorang.
Gilang menatap lembut Naura yang sudah terlelap, Gilang merapikan poni Naura yang basah oleh keringat dingin “Ra.. cepet sembuh yaa,” Gilang mendesah memandang kosong arah langit – langit kamar kemudian termenung. Rumahnya memang luas, halamannya dipenuhi Bunga – Bunga kesukaan Naura, satu kamar di rumahnya sama dengan empat kamar kos paling murah di Yogya, mobil mewah berjajar di garansi, ponsel berjajar di meja belajar komputer terpajang di kamarnya dan kamar Naura tapi Mereka tidak bahagia, sumber kebahagiaan Gilang adalah Naura dan sumber kebahagiaan Naura adalah Gilang. Rumah ini terasa kosong meski puluhan lukisan terpajang di dinding di setiap ruangan, ruangan ini terasa kosong meski puluhan guci cantik menghiasi setiap sudut ruangan, rumah ini terasa kosong meski belasan pegawai hilir mudik membersihkan dan merawat rumah ini. Suara dering ponsel membangunkannya dari lamunannya.
Panggilan masuk `Ibu`
“Hallo Bu, yaaa.. baru aja tidur., radangnya kambuh, Naura baik – baik saja kalau kalian ada disini” Gilang mengakhiri panggilannya dan mematikan ponselnya, Gilang merasa kecewa dengan kedua orangtuanya yang terlalu sibuk dan tidak memperhatikan Dirinya dan Naura, memang usianya sudah 20 tahun tapi Gilang juga membutuhkan kedua orangtuanya entah untuk alasan apa.
            Jihan menatap cemas Naura yang terlihat pucat dari kelasnya, Jihan yang saat ini hampir di setiap pagi menanti Naura di dekat pintu gerbang merasa perih sekaligus ingin tahu apa yang membuat Naura sakit, yaa Naura sakit itu yang dilihatnya saat pertama kali Naura turun dari mobil Kakaknya. Jihan mendesah kemudian berbalik memasuki kelasnya, melihat Naura lama – lama hanya akan membuatnya perih dan merasa sakit, entah karena apa Jihan pun masih bertanya – tanya.
 Jihan menepi di pinggir lapangan, entah kenapa Dia merasa tidak enak badan saat kegiatan latihan persiapan kemah sedang berlangsung setelah mendapatkan izin untuk istirahat Jihan segera beranjak menuju UKS, “Mungkin karena tidak ada Naura disana..” batinnya menebak apa yang terjadi padanya tak terasa Jihan telah sampai di depan pintu UKS, Jihan menghela nafas sejenak sebelum akhirnya memutar knop pintu dan suara lantunan musik klasik langsung memenuhi indra pendengarannya, Dia juga mendapati seorang gadis tengah sibuk di depan komputer OSIS.
“Kamu sakit? Uhuk... cemen banget sih ?”
“Seharusnya Aku yang nanya, Kakak kan lagi sakit, kok masih mainan komputer bukannya istirahat,”
“Yang sakit uhuk... tenggorokannya tapi yang lain masih normal, berbaringlah jangan membuat Dirimu absen sekolah besok,”
“Kenapa?” gadis yang ternyata Naura itu menoleh, menghadap Jihan yang menatapnya penuh tanya.
“Para guru akan menyalahkan panitia, kalau Aku mengganggu Aku bisa pergi,”
“Bukannya orang sakit harus ditemani??” Jihan mengambil gelas kemudian mengisinya dengan air putih di teko yang tersedia.
Naura terkekeh pelan kemudian terbatuk, melihat itu Jihan segera menyodorkan segelas air putih yang baru di tuangkannya yang sebenarnya untuk Dirinya kepada Naura. “Minum dulu Kak..” Naura tersenyum manis menerimanya dengan senang hati kemudian meneguknya. “Makasih, Jihan” Jihan hanya tersenyum.
“Namamu Jihan kan?”
“Iya Kakak..”
“Ku kira salah..uhuk,”
“Udah minum obat?” Naura menggeleng pelan setelah meletakkan gelas di meja. “Aku lupa membawanya, biasanya Aku minta tolong Kakakku untuk mengantarkannya tapi Aku sadar Aku lupa mengcharge ponselku dan Aku tidak ingin merepotkannya,” Jihan menyodorkan ponselnya, ponsel yang tidak bagus memang dibanding dengan ponsel yang biasa Naura pakai dan ponsel Naura adalah ponsel paling bagus di antara semua siswa di sini bahkan ada yang belum mempunyai ponsel. Naura tersenyum tipis mengacak rambut Jihan gemas. “Ikh... adik kelasku ini lucu banget sih..?” Jihan merengut kemudian ikut terkekeh.
“Hp Aku memang jelek, rumah Aku aja seluas halaman rumah Kakak mungkin,” Naura terkekeh.
“Apalah arti rumah istana tanpa kehangatan, Jihan” suara Naura melemah nampak sedih, “Apalah arti pondok bambu kalau disana kehangatan selalu memeluk, apalah arti mobil mewah yang berjejer di garansi , tapi Kita gak bahagia.. Kamu tahu kebahagiaan itu gak di ukur dari seberapa kaya, seberapa pintar, seberapa cantik atau tampannya seseorang, gak di ukur dari seberapa sempurnanya kehidupan seseorang, bukan Jihan.. bukan, kebahagiaan akan datang saat ada Dua hal yang selalu terjaga Cinta dan Kasih,” Jihan terdiam memandang wajah pucat Naura, bibirnya yang memucat mengukir sebuah senyuman manis.
“Kakak gak usah sedih, Aku Jihan Maulana mau kok nemenin Kakak dirumah gantiin Kakaknya Kakak kalau lagi ke Yogya,”
“Darimana Kamu tahu kalau Kak Gilang kuliah di Yogya?”
“Kakaknya Kakak pernah nganterin Kakak  pakai Kijang Innova berplat Yogya,” Naura terkekeh saat melihat ekspresi Jihan saat mengatakan hal tersebut.
“Kalau boleh tahu, Kakak punya mobil berapa?”
“Sepuluh,”
“Wah... banyak banget.!”
“Kamu boleh ambil kok, mau yang pakai remote control atau manual??”
“Mobil mainan?”
“Iya, yang mobil beneran belum boleh, yang punya Cuma Kak Gilang, ada Lima mobil yang Dua berplat Yogya dan direntalin, Ayah dan Ibu juga memberikan rumah ke Kak Gilang di sana dan dijadikan kos – kosan,”
“Pintar juga Kak Gilang, Kakak gak mau coba??”
“Rental mobil mainan?  Siapa yang mau nyewa? Kamu??”
“Haha.. mungkin,” Naura meninju lengan Jihan, membuat Jihan meringis.
“Rese’” Mereka tertawa.
“Kalau Aku punyanya motor bebek, udah yang paling kenceng mau coba?”
“Emmm.. gak deh entar motor mainan lagi,”
“Yang ini beneran, ekh iya kalau mobil aja Sepuluh.. motornya berapa?”
“Lima,”
“Hah ?? Lima ?”
“Iya, Lima... Lima kali lipatnya,”
“Lima Puluh dong,”
“Hahaha.. iya di toko mainan,”
“Kakak.. bercanda mulu ikh,,” Naura terkekeh, kemudian mematikan musik dan komputer yang sedari tadi mengiringi percakapan Mereka.
“Biar gak tegang,” bisik Naura pelan
“Karna katanya sih.. di sini ada makhluk lain, tepatnya di belakangmu.. haha..!” setelah mengucapkan itu Naura meninggalkan Jihan yang kini merinding dan mengawasi kesekeliling.
“Kak Naura !!! jangan tinggalin Aku!! ikh angker nih tempat..!” Jihan juga keluar mencari Naura tapi tak menemukan siapapun, karna terlanjur takut Jihan memutuskan untuk istirahat di kelas saja.
            Malam yang membosankan itu yang ada dalam benak Jihan, Dia mendesah membiarkan teman – teman satu kelompoknya meninggalkannya di tenda.
“Han.. !! Kita mau pensi nih..!!”
“Entar nyusul.!!” Jihan menatap arlojinya jengah, ekor matanya menangkap sosok yang dikenalnya berjalan menuju suatu tempat, karna penasaran Jihanpun mengikutinya. Naura mendesah pelan saat sudah sampai di tempat tujuan, kemudian mengenakan earphonenya dan matanya tak lepas dari satu titik, bintang paling bersinar dan bercahaya, Kejora. Jihan tersenyum saat melihat Naura duduk tak jauh darinya entah kenapa Dia merasa sejuk dan nyaman saat melihat Naura. Jihan mengambil posisi di samping Naura, mengambil earphone yang terpasang di telinga kiri Naura dan memasangkannya di telinga kanannya.
“Ekh..” Naura tersentak kaget, kemudian tersenyum manis saat tahu siapa yang kini duduk di samping kirinya.
 “Jihan,” Jihan hanya tersenyum lebar.
“Bolehkan ??” Naura mengangguk kemudian kembali menatap bintang favoritnya.
“Suka bintang ??” tanya Jihan mengikuti arah pandang Naura, ada banyak bintang di sana dan itu membuat Jihan kembali tersenyum manis.
“Bahkan Cinta,”
“Cinta??”
“Iya cinta, cinta mati”
“Pernah jatuh cinta?”
“Pernah, sekali.. cinta pertama”
“Menurut Kakak, cinta itu apa sih ?”
“Seperti kehidupan, artikanlah dari mana Kamu memandang,” Jihan mangut – mangut, suasana kembali hening.
“Kakak capek?”
“Tentu,”
“Kalau Kakak lagi lelah, Kakak ngapain?”
“Lelah dalam hal apa?”
“Hidup,”
“Menyendiri, mencari ketenangan atau kalau saja boleh, Aku ingin bersandar di bahu seseorang,”
“Kakak punya pacar?”
“Pacar? Pernah sekali sih.. pacaran tapi karena pelarian” Naura menjeda ucapannya, menunduk.
“Pelarian karena perasaan galau karna cinta pertamaku,”
“Kenapa??”
“Aku tidak bisa menjelaskannya,”
“Terus, mant...”
“Aku tak pernah ingin menemuinya lagi,” Jihan terdiam, Dia dapat merasakan perasaan bersalah dari dalam diri Naura, kemudian Jihan bersandar dibahu Naura, Naura terkejut dan ingin protes tapi Jihan sudah terlebih dahulu memotong.
“Biarkan Aku bersandar di bahu Kakak,” Naura tersenyum membiarkan Jihan bersandar di bahunya.
“Aku sedang lelah, letih karena kehidupanku, Kakak pasti gak tahu kalau Aku sebenarnya seumuran sama Kakak bahkan mungkin lebih tua dari Kakak, satu tahun Aku gak sekolah dan Aku hancur Ayah sering marah, Ibu sering menangis, Aku rusak.. hancur Kak, Mereka membawaku kesini, awalnya Aku memberontak bahkan sempat berniat mengakhiri semuanya, tapi air mata Ibu yang memelukku dan memohon kepadaku membuatku luluh, Kakak tahu Aku merasa lebih baik sekarang kedua orang tuaku juga lebih memperhatikanku, Setelah Aku di sini Aku jauh dari segala hal yang membuatku hancur, yaaah.. walaupun Aku belum bisa beradaptasi, Aku berandalan, trouble maker..”
“Tidak, di mataku Kamu tak terarah ke jalan yang benar,” Naura menggenggam tangan Jihan,
“Kamu hanya perlu mencari dan menelusuri jalan lurus bernama kebenaran itu,” Jihan menunduk, menggeleng pelan.
“Gelap Kak, jalanku terlalu gelap,” Naura meraih pundak Jihan
“Hey, hanya jalanmu yang gelap, Kamu masih mempunyai lentera bernama hati nurani yang akan menerangi jalanmu dan Kamu mempunyai penopang bernama tekad dan keinginan yang akan terus bersamamu, menemani langkahmu,” Jihan mendongak menatap Naura dalam, menyelami lagi mata yang membuatnya jatuh cinta pada gadis di hadapannya ini.
“Aku butuh seseorang yang terus mengingatkanku kala Aku khilaf,” kini giliran Jihan yang menggenggam tangan Naura.
“Kak, bantu Aku, bantu Aku melewati jalan itu, Aku gak bisa berjalan sendiri, Aku.. cinta sama Kakak” Naura terdiam memandang wajah penuh pengharapan Jihan, wajah dengan bentuk oval dengan hidung mancung dan mata almond yang menyiratkan perasaan kasih dan cinta, tidak begitu tampan tapi di mata Naura, Jihan adalah pria yang manis, yang tahu cara memperlakukan perempuan dengan baik di mana Dirinya merasakan kenyamanan saat bersama Jihan, sama seperti saat Dirinya bersama Gilang, sang Kakak.
“Jihan..”
“Kak, Aku..”
“Kenapa Aku, Jihan?”
“Karena hatiku di pilih dan memilih Kakak,” Naura memejamkan matanya, kemudian membukanya dan menatap Jihan.
“Aku akan membantu,”
“Terima kasih, Aku janji Aku akan selalu membuat Kakak bahagia selalu, hingga kepedihan ikut tersenyum karenanya,”
“Jangan berjanji,”
“Aku akan berusaha,” Jihan mendekap Naura, malam itu bintang menjadi saksi bisu kisah Mereka.
Seandainya bisa terulang kembali......

To Be Continued 
#Khichand_Lee 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar