Jihan mematung menatap malas Naura yang
duduk memunggunginya sembari menatap kosong kedepan, jika tidak dipaksa Hendra
mungkin Jihan tidak akan menemui kekasihnya yang Dia abaikan hampir seharian
ini. Dan matanya membola, saat melihat Naura duduk dengan tatapan kosong dan
air mata membasahi pipi gadisnya.
“Ra..”
“Jangan cegah Aku, ketika Aku ingin
menangis, jangan cegah Aku meskipun Aku ingin, karena beginilah Aku dengan air
mata, air mata yang berbicara tentang alasan yang tak kumengerti, alasan kenapa
harus menangis untuk mengurangi sesak dan sakit di dada, alasan kenapa air mata
diciptakan menghiasi sebagian dunia, kenapa air mata bisa melampiaskan amarah,
kenapa air mata selalu menetes di pipi, bukan terbang seperti angin, hanya air
mata yang tahu kenapa Aku menangis,”
“Ra...”
“Aku pulang di jemput supir, kalau Kamu
mau nerusin pekerjaan Kamu gapapa kok, Aku gak akan ganggu,” ucapan Naura
membuat Jihan tertegun, tidak mengerti.
“Ra..” Jihan mencekal lengan Naura saat
Naura akan beranjak pergi, kemudian memeluknya.
“Maaf,” bisik Jihan merasa bersalah.
“Gapapa kok, Aku ngerti,” Naura
melepaskan pelukan Jihan, menatap Jihan nanar.
“Maaf,”
“Aku tahu Jihan, saat Aku cari Kamu dan
Aku hanya menemukan kebohongan dan pada akhirnya Aku menemukan kejujuran
meskipun itu tidak langsung, makasih Jihan Aku janji gak akan gangguin Kamu
kalau lagi sibuk, Aku pulang dulu ya, jaga diri Kamu baik – baik,” Naura
mengecup kening Jihan, agak berjinjit kemudian tersenyum membelai paras
kekasihnya. Berbisik, “Aku mencintaimu,” kemudian berlalu dari hadapan Jihan.
Sedang Jihan hanya diam memandang kepergian Naura, mendesah kemudian memutuskan
untuk kembali ke ruang OSIS.
Jihan
mendesah frustasi menatap ponselnya yang tak bergetar sedari tadi, biasanya
Naura akan menelfonnya dan terus mengiriminya pesan setiap malam, namun malam
ini berbeda Naura tak menghubunginya sama sekali membuatnya kembali mendesah
merasa menyesal kenapa dirinya tidak bisa mengontrol emosinya dan membuat
gadisnya menjauh darinya, efek disalah – salahkan membuatnya menjadi jengah dan
lepas kontrol, Jihan mengusap wajahnya kasar kemudian bangkit dari posisinya
menyambar jaket dan kunci motor.
“Mau kemana Han??”
“Minta maaf,”
“Minta maaf??”
“Aku menyakiti Naura hari ini,”
“Gak bisa besok??”
“Atau Aku akan menyesal Bun,”
“Ya sudah, hati – hati,”
“Makasih Bun,” Jihan mencium punggung
tangan bu salma kemudian bergegas untuk pergi ke rumah Naura.
Jihan melepas helmnya,
pandangannya tertuju pada satu objek, Naura tengah duduk di bangku taman
sembari menatap bintang, dan terdengar suara ribut – ribut dari dalam rumah,
membuat Jihan mengangguk mafhum.
“Ra..”
“Jihan, tumben main??” Jihan tak
membalas, langsung memeluk Naura erat, entah karena efek malam atau apa, tapi
Jihan merasakan kalau tubuh Naura terasa dingin.
“Aku merindukanmu, maafkan Aku.. Aku
lagi banyak masalah makanya Aku terbawa emosi,”
“Dimarahin??”
“Ya, begitulah..”
“Pasti nyrempet hubungan Kita,”
“Ya, maafin Aku yaa..”
“Aku udah maafin Kamu kok, justru Aku
yang minta maaf udah ganggu Kamu,”
“Kamu tahu, kalau gak dikangenin sama
Kamu, rasanya ada yang hilang, Kamu boleh minta Aku gendong, tidur dipangkuan
Aku bahkan tidur bareng Aku juga gapapa, asal Kamu bahagia dan gak nangis,”
“Kamu bisa aja,” Mereka terkekeh,
kemudian melepaskan pelukan Mereka.
“Aku mau tanya, kenapa sih?? Akhir –
akhir ini Kamu jadi manja gini??”
“Loh bukannya Kamu yang janjiin??”
“Benarkah??”
“Iya,”
“Ya ampun Aku lupa, maaf ya..”
“Selain itu, karena Aku emang takut Jihan,
gak ada Kamu disamping Aku itu tidak begitu jadi masalah asal Aku masih bisa
melihatmu dan memastikan kalau Kamu baik – baik aja,”
“Ya ampun Naura.. Kamu gak percaya kalau
Aku bisa jaga diri??”
“Bukannya gitu, tapi Aku butuh
perlindungan Kamu,” ucapan Naura membuatnya tertegun, percakapan yang
menurutnya berputar – putar itu membuat Jihan tidak bisa berkata apa – apa
lagi.
Naura
segera menghampiri Binta saat melihat Binta melintas, namun dengan cepat Binta
menghindar membuat Naura mau tak mau mengejar.
“Bin,, Binta tunggu!!”
“Jangan pernah muncul lagi dihadapan
Aku, melihat Kamu buat Aku benci!!”
“Aku bisa jelasin semuanya Bin,”
“Gak ada yang perlu dijelasin lagi,
biarin Aku pergi,”
“Bin..” Naura mendesah, menerawang arah
depan, rasanya Dia adalah sahabat terburuk untuk Binta, Naura mendesah pasrah
melangkah lunglai menuju kantin menemui Jihan.
Desember
2003, penghujung tahun..
Tahun
baru akan segera datang, banyak yang menyambutnya antusias begitupun dengan
Jihan dan Naura, saat ini Mereka tengah berada di halaman belakang rumah Jihan,
merayakan tahun baru bersama. Dengan manja Naura bersender di dada Jihan,
memainkan pita yang ada ditangannya, sesekali tersenyum saat melihat kerlip
bintang gemintang di langit.
“Naura..”
“Ya??”
“Aku mencintaimu,”
“Aku juga,”
“Ra, kalau misalnya Kamu suka sama cowok
lain, Kamu mau jujur gak sama Aku??”
“Enggak,”
“Kenapa??”
“Entar, diromantisin lagi sama Kamu,
kaya nasibnya anak kelas satu,” Jihan terkekeh mengacak gemas rambut Naura.
“Dikira Aku apaan,”
“Aunty
bilang Kamu kan cewek,”
“Nakal yaa,, udah kumat nakalnya,” Naura
hanya nyengir lebar.
“Wish Kamu malam ini apa??” baik Jihan
maupun Naura sama – sama diam. Jihan diam menunggu Naura menjawab
pertanyaannya, sedang Naura diam karena sedang memikirkan jawabannya.
“Aku ingin selalu cinta sama Kamu,”
Jihan terkekeh. “Itu bukan suatu jawaban Nauraku,” Naura hanya terkekeh lucu.
“Aku ingin kisah cintaku maupun kisah
cinta Kamu berakhir bahagia,”
“Loh?? Bukan kisah cinta Kita??”
“Kan Aku dan Kamu jadi Kita,” jawaban
polos itu membuat Jihan terkekeh, tidak habis pikir kenapa Naura memiliki
jawaban yang sangat menggelitik perutnya. Bu Salma dan Pak Arif yang menatap
Mereka dari kejauhan tersenyum bahagia.
“Mereka sangat bahagia meski tanpa
kata,”
“Ya, memang..”
Jihan dan Naura sama – sama diam, suara
dentang jam menyadarkan Mereka bahwa lembaran baru akan di mulai, Mereka
menunduk berharap menyampaikan harapan kepada Tuhan, agar tahun yang akan
Mereka lewati menjadi tahun yang lebih baik dari tahun yang telah Mereka lalui
dan banyak lagi harapan Mereka. Mereka membuka mata kemudian menatap kagum
kembang api yang menari lincah di angkasa, di langit malam yang gelap. Mereka
menatapnya seakan menatap masa depan Mereka.
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar