“OKE !! KITA CERAI !!!”
tubuh Naura mematung di ambang pintu melihat kedua orang tuanya kembali
bertengkar dan mengatakan sebuah kata yang mungkin tak pernah Dia harapkan ada
dalam hidupnya.
“Gak Masalah, oke, Aku akan balik ke
Yogya dan Gilang ikut sama Aku..”
“Jangan pernah hubungi Kita lagi,”
“Ayah.. Ibu..” suara parau Naura membuat
Mereka menoleh Gilang yang saat itu ada di sisi sang Ayah menatap Naura kosong.
“Pergi ke kamar Naura,”
“Gak, kalian jangan pisah jangan bawa
pergi Kak Gilang,” pipi gadis rapuh itu berlinangan air mata, mencoba memohon.
“Gak bisa Naura!!” Bu Alya berkata
dengan keras.
“Ayah akan tetap bawa Kak Gilang,”
“Naura butuh Kak Gilang.., Kak..” Gilang
hanya diam di tempatnya tak berniat berbuat apapun.
“Kemasi barangmu Gilang,” Gilang
mengangguk melangkah menuju kamarnya mengemasi barang – barangnya, air mata
Naura semakin deras berjatuhan.
“Kenapa kalian harus pisah?? Kenapa??”
Naura berteriak mencoba memberitahu jika dirinya masih sangat membutuhkan
Mereka, namun Mereka hanya diam mengacuhkan Naura, tak kehabisan akal Naura
menghampiri Kakaknya yang tengah berkemas, memeluk Kakaknya.
“Kak.. kenapa?? Kak jangan pergi,”
Gilang tak menjawab, terlalu sulit untuk berkata – kata.
“Kak.. kalau Kakak pergi Aku sama
siapa?? Kalau Kakak pergi Aku mau curhat sama siapa?? Kak.. ku mohon..” Gilang
melepaskan pelukan Naura kemudian menyeret kopernya.
“Kak !!!” Naura mengejar Kakaknya meraih
tangannya namun entah kenapa Gilang menampiknya dan itu membuat air mata Naura
semakin deras mengalir.
“Kakak..” panggilnya lirih.
“Ingat Naura Gilang, tidak ada yang
boleh berhubungan,”
“Kenapa??”
“TIDAK YA TIDAK NAURA!! TURUTI UCAPAN
IBU!!!” Naura memejamkan matanya tidak pernah menyangka Ibunya akan semarah
ini.
“Yah...”
“Tetap tidak Naura, dan tidak ada yang
boleh melanggar..”
“Kak..”
“Ayo Gilang,” Gilang menurut mengikuti
langkah Ayahnya, Naura berlari menyusul Dua laki – laki yang paling disayangnya
itu.
“Kakak..” Gilang luluh menghadap
adiknya, kemudian memeluk adiknya untuk yang terakhir mungkin, Naura menangis
semakin mengeratkan pelukannya.
“Kamu kuat Kamu akan baik – baik aja,
oke?? Kamu gadis yang kuat adik Kakak yang paling kuat, Kamu masih punya Jihan,
Ibu, Binta dan masih banyak teman – teman Kamu,”
“Gak Kak, Mereka gak sayang sama Aku,”
“Siapa bilang??” Gilang tidak mengerti
jika adiknya itu akan menambah luka esok harinya. Dengan penuh kasih Gilang
mengecup puncak kepala Naura lama. Naura terisak air mata semakin membanjiri
pipinya.
“Kakak pergi dulu yaaa.. Kita bisa curi
– curi kok, oke??” Gilang menyeka air mata Naura yang entah kenapa tak bisa
berhenti mengalir. Naura menggeleng.
“Gak Kak,”
“Pliss oke??” Naura menggeleng kuat
tidak terima. Gilang mengacak rambut adiknya sebelum akhirnya memasuki mobil.
Naura menangis di tempat bahunya bergetar hebat isakannya terdengar lirih dan
mengundang tangis siapapun yang mendengarnya. Tak jauh Bu Alya juga menangis
kemudian memilih menuju kamarnya menenangkan diri. Lutut Naura melemas, Naura
jatuh terduduk, menangis sesekali mengerang ini cerita sedih pertamanya dan
mungkin besok atau lusa akan ada cerita sedih kedua dan Dia tidak punya
siapapun untuk bersandar, para pelayan yang melihat itu menyeka air matanya
merasa sedih apalagi melihat Naura yang menangis seperti itu.
“Masuk yuk Non, udah malam..” Naura
menurut saat salah satu pelayannya menuntunnya menuju kamar, tubuhnya terasa
sangat lemas, pelan sang pelayan mendudukkan Naura di ranjangnya, menyerahkan
segelas air putih, Naura menggeleng.
“Tinggalin Naura sendiri,” sang pelayan
mengangguk patuh membiarkan Naura beristirahat.
Pagi
itu Naura kedatangan tamu saat Naura tengah melamun menatap sarapannya hampa.
Sang pelayan langsung mempersilahkan masuk, dan mengatakan bahwa Naura sedang
sarapan. Aunty Sara masuk menghampiri
keponakannya yang tengah melamun.
“Morning
honey,” Naura menoleh kemudian tersenyum.
“Aunty
membawanya,”
“Apa??”
“Rinz,
come here honey,” Naura menatap malas arah masuk terlihatlah seorang pemuda
bertubuh tegap dengan paras tampan kebulean menyeret kopernya.
“What’s
wrong??”
“Ini keponakan Aunty, namanya Naura,” pria itu tersenyum ramah menyodorkan
tangannya, Naura tak membalas hanya menyebutkan namanya “Naura,”
“Yang sopan Naura,” Naura hanya mendesah
acuh, sedang pria itu hanya tersenyum.
“No
Problem Aunty..Naura, my name is Rinz”
Naura mengangguk tanda mengerti.
“Aku berangkat dulu Aunty, udah siang nanti Rinz bisa di bantu pelayan,” Sara tersenyum
mengangguk, membiarkan keponakannya pergi begitu saja.
“She
is beautifull,” gumam pria bernama Rinz itu, Sara tersenyum kemudian
membantu Rinz membereskan barangnya dan mengajaknya sarapan.
Naura
mendesah menatap gerbang sekolahnya ragu, rasanya Dia tidak siap sungguh, hingga
teguran sang supir menyadarkannya dan membuatnya melangkah keluar, sang supir
mendesah pelan, merasa iba dengan anak majikannya itu. Naura menarik nafas
dalam kemudian menghembuskannya, langkahnya terasa sangat berat apalagi jika
mengingat kejadian tadi malam, air matanya kembali menetes dengan segera Dia
menyekanya karena Dia akan menemukan alasan untuk tersenyum.
“Naura,” panggilan seseorang membuatnya
menoleh, kemudian tersenyum.
“Ayo, ke kelas,”
“Hari ini kosong,”
“Aku lupa, Kita ke kantin aja yuk,”
Naura hanya mengangguk mengikuti langkah Jihan.
“Hey.. Kamu harus berjalan di sampingku
sayang,” Naura tersenyum menurut.
“Tumben gak bawel,”
“Kenapa?? Gak boleh??”
“Gak sih, aneh aja jadi canggung gak
asik,”
“Kamu bisa aja, udah sampai mana
persiapan acara perpisahannya??”
“Lumayanlah, udah bisa ditinggal, gak
krasa ya?”
“Seharusnya Kamu gak boleh gitu tahu,”
“Sekali – kali, karena Mereka yang lebih
sering,”
“Sabar aja,” Mereka duduk di kantin
tempat biasa Mereka duduk, hari ini baik kelas X,XI maupun XII bebas mau
berangkat atau tidak dan boleh pulang kapan saja.
“Udah sarapan??” Naura menggeleng lesu.
“Gak nafsu,”
“Gak boleh gitu tahu,”
“Biarin,”
“Sarapan yaa?? Aku suapin,”
“Gak Jihan,”
“Harus mau,”
“Gak,”
“Harus,”
“Gak mau, tikus..”
“Harus mau, siput..”
“Gak,”
“Iya,”
“Oke deh,” Jihan tersenyum lebar
menyuapi Naura dengan nasi goreng yang baru dipesannya, sesekali Mereka
tertawa. Putri yang melihatnya mengepalkan tangannya kuat.
“Ternyata Naura melanggar aturan, awas
aja” Putri merogoh sakunya menelfon seseorang.
“Hallo..”
Jihan
menunggu Naura yang izin ke toilet, merasa bosan Jihan menopang dagunya, Naura
terlalu lama di toilet. Tidak tahu kapan datang, tiba – tiba Ryan datang dan
langsung memukul Jihan dan membuat Jihan terpental jatuh dengan sudut bibir
berdarah.
“Apa lagi??” tanya Jihan sewot, tidak
terima.
“Sekarang Aku minta Kamu putusin Naura
!!”
“Mutusin Naura?? Itu adalah hal mustahil
Aku lakukan!!”
“Kamu harus mutusin Naura, Jihan”
pandangan Jihan beralih kepada Putri yang tengah menatapnya tajam.
“Maksudnya??”
“Lihat ini, dan dengarkan ini..” dengan
ragu Jihan menerima, Putri memberikannya sebuah foto, foto dimana laki – laki
yang baru saja memukulnya mencium pipi gadis yang sangat dicintainya, matanya
membola tak percaya.
“Mustahil,”
“Sekarang dengarkan isi rekaman itu,” dengan ragu Jihan memncet tonbolnya lalu terdengar suara gadisnya. Naura berdiri dengan kaki bergetar menatap apa yang ada dihadapannya takut.
“Sekarang dengarkan isi rekaman itu,” dengan ragu Jihan memncet tonbolnya lalu terdengar suara gadisnya. Naura berdiri dengan kaki bergetar menatap apa yang ada dihadapannya takut.
“Aku
jadian sama Jihan karena ingin merubahnya, gak tahu kenapa Jihan yang minta yaa
Aku terima aja, mau gimana lagi??kalau bertanya Aku cinta sama Jihan apa enggak
Aku gak tahu,”
“Ryan....
Aku minta maaf, udah salah sama Kamu, Aku
janji gak akan ngulangi lagi, A..ku mencin..taimu”
Nafas Naura tercekat, saat melihat Jihan
mengepalkan kedua tangannya air mata lolos begitu saja di pipinya.
“Naura itu cintanya sama Aku, bukan sama
Kamu.. tahu??” Jihan terdiam.
“Jihan,” sadar Naura ada disekitarnya,
Jihan langsung menghadap gadis itu.
“APA MAKSUDNYA NAURA??!!! KAMU MAU
MEMPERMAINKAN AKU??!!” Naura menggeleng, Dia tidak pernah mempermainkan Jihan.
“Ak..Aku..”
“Semua kata cinta dan sayang yang selama
ini Kamu ucapkan itu bohong?? Ha?? Jawab jangan diam aja,!!!”
“Aku..”
“Dari awal Aku udah bilang, Kakak gak
perlu nerima Aku kalau Kakak Cuma kasihan, apalagi hanya ingin merubah
hidupku!! Sumpah Aku gak nyangka Kakak sebusuk itu,”
“Jihan,” Naura melirih Jihan tak pernah
memanggilnya Kakak lagi setelah jadian.
“Jangan bilang gak tahu!!”
“Iya Jihan,!! Iya!! Semua itu benar!!
Puas!!” Naura berteriak, sedang Putri tersenyum puas.
“Haha.. Aku dipermainkan, untungnya Aku
gak pernah cinta sama Kakak, mulai detik ini kita PUTUS !!!!” air mata Naura
semakin deras mengalir, Jihan mengatur nafasnya yang terengah.
“Jihan...”
“Gak ada kesempatan kedua Kak, gak ada...”
Jihan beranjak pergi meninggalkan Naura yang menangis untuk kedua kalinya, ini
cerita sedih kedua.
“Udahlah Naura sayang... sekarang hanya
ada Kita,” Ryan merangkul bahu Naura, namun dengan cepat Naura menepisnya.
“KITA?? OMONG KOSONG!!! Kamu udah gak
cinta sama Aku, tapi Kamu udah jatuh cinta sama orang lain, Ryan,”
“Ya gak mungkin lah... Aku Cuma cinta
sama Kamu, dan sekarang udah gak ada penghalang,”
“Seseorang tidak akan pernah tega
menyakiti hati orang yang di cintainya, kalau Kamu cinta sama Aku, Kamu gak
akan berbuat seperti ini, Kamu akan membiarkan Aku bahagia sama Jihan, orang
yang jelas – jelas Aku cinta, dan gak ngancem Aku kaya gini, kalau Kamu cinta
sama Aku, Kamu akan rela melepaskan Aku dan saat ini hati yang tidak ingin Kamu
sakiti adalah hati Putri, terima kasih buat hari ini, sampai jumpa..” Naura
berlalu dari kantin, seisi kantin yang sedari tadi menyaksikan bagaimana Jihan
dan Naura tertawa dan bagaimana Jihan dan Naura mengakhiri hubungan dan Naura
meninggalkan kantin tak ada yang berkata ataupun membela, Rehan yang seharusnya
senang menunduk sedih melihat Naura menangis seperti itu sedang disampingnya
Oji menenangkan.
“Sumpah Aku bakal benci banget sama
Mereka berdua,” gerutu Rehan kesal, menyesalkan berakhirnya best couple itu. Sedang
Ryan terpaku di tempatnya, menunduk, Putri tersenyum puas.
Naura berlari terus
berlari, sedang Sandra yang mengejar Naura akhirnya mencekal lengan Naura ingin memperbaiki semua
dan meminta maaf.
“Ra,” Naura berhenti, masih terisak.
“Aku benar – benar menyesal,”
“Semuanya udah terjadi, lihat apa yang
Kamu mau udah tercapai, Aku hancur kehidupan sempurna Aku di mata Kamu udah
selesai,”
“Aku akan memperbaiki semuanya,”
“Gak ada yang perlu diperbaiki, San
semuanya udah terjadi dan Aku udah siap jauh – jauh hari, sekarang bahkan Aku
sudah tidak bisa menatap Kak Gilang,”
“Aku minta maaf soal itu,”
“Gak San, semuanya udah hancur lebur..
hati Aku, hati Jihan,”
“Ra,,”
“Biarin Aku pergi,” Naura melepaskan
tangan Sandra kemudian berlari menuju rumahnya, Sandra mendesah ditempatnya
rasa bersalah kian menggunung dihatinya, Ryan yang melihatnya juga menunduk
sedih, ucapan Naura masih berputar di kepalanya.
Jihan
mengendarai motornya dengan kecepatan gila, berharap dapat mengurangi rasa
sakit yang di hatinya, Dia tidak pernah menyangka jika cinta akan semenyakitkan
ini, Dia tak pernah tahu kalau Naura tega mmebohonginya semua yang Dia jalani
dan semua yang Dia pertahankan sudah usai dan sia – sia namun Jihan tetaplah
Jihan yang mencintai Naura, tidak akan berubah hingga Tuhan sendiri yang akan
merubahnya. Sesampainya di rumah Dia langsung masuk kamar tak memperdulikan
Bundanya, dengan brutal Jihan meluapkan emosinya kepada benda – benda
disekitarnya, tangannya menyapu bersih meja belajarnya, kamar yang tadinya rapi
kini nampak berantakan oleh tangan Jihan, karena lelah Jihan terduduk menangis
tertahan, untuk saat ini Dia merasa sangat lemah, Jihan menghiraukan ketukan
pintu bundanya yang memanggil – manggil namanya , untuk saat ini Dia tidak
peduli Dia merasa sangat hancur. Di tempat yang berbeda Naura terduduk di sisi
ranjangnya menangis terisak bahunya bergetar hebat, kamarnya juga berantakan,
sama seperti Jihan Dia juga merasa hancur. Sedang diluar kamarnya Rinz mengetuk
pintu kamar Naura,merasa khawatir dengan gadis yang mampu membuatnya penasaran
itu. Untuk kali ini baik Naura maupun Jihan merasa sama – sama di titik paling
bawah, dengan berderai air mata Mereka meratapi takdir yang membentang lebar di
hadapan Mereka, Jihan tidak menyangka akan ada perpisahan menyakitkan seperti
ini. Mereka masih terisak, terpukul dan berusaha menerima. Ketakutan itu telah
terjawab, kekhawatiran dan pengandaian itu telah mempunyai jawaban, kisah
Mereka berakhir cukup sampai disitu, tak ada yang tahu apa yang terjadi besok.
Bu Salma menatap suaminya nanar masih betah di depan kamar putranya, entah
kenapa Dia merasa terluka.
“Yah...”
“Sudahlah, biarkan Jihan sendiri,” Bu
Salma mengangguk membiarkan suaminya merangkul tubuhnya. Sedang Rinz mendesah
pendek menyerah, kemudian berlalu mungkin gadis itu membutuhkan waktu sendiri.
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar