Rabu, 02 Maret 2016

Footprint



**


            Angin berhembus pelan, menerbangkan dedaunan kering yang berjatuhan. Tap...tap...tap.. suara derap langkah terdengar pelan membuat suasana menjadi mencekam. Tap. Derap langkah itu berhenti. Sepoi masih berhembus pelan, burung – burung terbang menyingkir. Selang beberapa detik terdengar sebuah isakan. Isakan seseorang, seseorang yang menatap lurus sebuah bangku panjang bercat putih yang kusam di bawah pohon mangga yang tidak berbuah. Seseorang dengan seragam putih abunya yang lusuh dengan jejak air mata dipipinya. Seseorang dengan paras cantik berlebihan dilengkapi lesung pipi yang terlihat manis saat tersenyum dan rambut panjang hitam berkilau lurus sepinggang. Cantik, karya Tuhan yang mendekati sempurna. Entah apa yang membuat aura kecantikannya lenyap, dan entah apa yang membuatnya tetap memaku pandangannya pada bangku itu, yang jelas Dia terluka. Luka yang tidak terlihat, luka yang tidak berdarah, luka yang tidak tergores, luka yang tidak ada yang tahu bagaimana wujud luka itu, hanya saja luka itu terasa sakit, sangat sakit. Membuat dada sesak dengan linangan air mata, luka yang mampu membuat seseorang berpuasa berhari – hari tanpa makan. Luka yang mampu membuat seseorang membisu berhari – hari. Luka yang membuat seseorang tergeletak lemah di ranjang. Dan luka yang juga mampu membuat seseorang mengakhiri hidupnya dengan sia – sia. Luka yang tidak terlihat, tapi sakit. Dan luka itu mampu membuat gadis dengan kecantikan berlebih itu murung, sedih dan menangis. Tap.. tap... tap.. gadis itu kembali melangkah menghampiri bangku panjang itu, kemudian duduk kembali menangis.

 **
Angin masih bersemilir sepoi, suasana hening. Hanya suara gesekan ranting dan dedaunan yang jatuh tertiup bayu. Dua orang insan masih khusyuk duduk di atas bangku bercat putih di bawah pohon mangga yang baru selesai berbuah. Dua insan itu masih memakai seragam putih biru, seragam yang penuh dengan coretan tanda tangan dan kata – kata manis juga penyemangat hanya di bagian dada sebelah kiri Mereka yang bersih, rapi dan tanpa coretan sedikitpun.
“Apa harus pergi??” gadis cantik yang sedari tadi diam, mulai angkat bicara menatap sosok pria tampan disampingnya. Pria itu berdehem. “Ya,” jawabnya singkat.
“Kenapa??” gadis itu mengguncang bahu pria yang duduk disampingnya, air matanya menetes. “Kenapa Kamu diam??” pria itu menghela nafas panjang, membawa sang gadis kembali ke pelukannya.
“Maafkan Aku,” bisiknya pelan, ditelinga gadis yang sedang didekapnya. “Maafkan Aku, Cia..” pria itu semakin mendekap erat gadis dipelukannya, mencoba menahan tangisnya. Tangis sedih dan penyesalan. Sedih karena harus pergi dan menyesal karena Dia tidak mampu mengutarakan alasan kepergiannya. Yang sebenarnya, yang sejujurnya tanpa harus membohongi gadis yang begitu disayangnya itu.
“Aku mencintaimu..” bisikan lirih itu terdengar ditelinganya, sesaat tubuhnya membeku. Ada yang bergejolak dalam dadanya ada yang menari di perutnya. Pria berparas tampan itu tersenyum melepaskan dekapannya. “Aku juga mencintaimu..” mendengar ucapan itu, gadis itu malah semakin menangis, terisak. “Karena Kamu sahabatku,” dan penegasan yang terpotong itu membuat tangis gadis berparas cantik itu menangis semakin hebat.
“Bukan... Aku mencintaimu, benar – benar mencintaimu,” pria tampan itu memasang wajah bingung, dahinya sengaja dibuat terlipat. Karena sesungguhnya Dia tahu apa yang dimaksud gadis dihadapannya, karena Dirinyapun memiliki perasaan yang sama, hanya saja Dia tidak mau mengakuinya. Karena alasan kenapa Dia pergilah alasannya. “Maksudmu??”
“Aku mencintaimu, sebagaimana seorang wanita mencintai seorang laki – laki,”

“Ci.. plisss jangan bercanda,” gadis itu menggeleng. “Aku ingin mengatakan ini sejak dulu, tapi Aku takut kehilanganmu..Aku takut Kamu menjauh dariku,,”

“Ci..” pria itu menggenggam tangan Cia `sang gadis`. “Tapi hubungan Kita hanya sebatas persahabatan, selamanya akan seperti itu, gak lebih..”

“Tapi Aku maunya lebih Sam..,”

“Tidak Ci..” gadis itu melepaskan genggaman tangan sang pria, kembali menangis. “Aku kurang apa?? Aku kurang apa Sam?? Aku cantik, pinter, kaya, Aku kurang apa?? Sam??” Sam `sang pria` menggeleng pelan, menarik nafas dalam mencoba menguatkan hatinya. “Aku gak nyari yang cantik, pinter dan kaya Ci..tapi Aku mencari orang yang Aku cintai,”

“Kamu mencintaiku kan??” Sam mengangguk “Ya, tapi Aku mencari Cinta dan bukan cinta persahabatan Ci, tapi cinta yang sesungguhnya, Kamu memang cantik.. bodoh kalau Aku gak mengatakan Kamu cantik,, bahkan Tuhan menggoreskan kecantikan berlebih kepadamu, tapi Aku gak bisa Ci.. dari kecil Kita udah sama – sama.. tumbuh sama – sama, akan terlalu sempurna saat Kita juga bersatu..”  Cia menangis semakin keras, berusaha mengeluarkan kesakitannya. “Maafkan Aku Ci,, tapi Kita masih tetap sahabatan kok,”


“Tapi semuanya akan beda Sam,, karena Cinta sudah membuatnya jadi beda, dan Eidelweys yang selama ini Kita petik, gak akan menolong karena cinta itu udah menyamainya..”

“Ci...”

“Gak Sam, semuanya akan beda, Aku pikir Kamu juga memiliki perasaan yang sama, dan setelah Aku mengatakan ini, Aku pikir Kamu tidak akan pergi” Sam menunduk, memainkan jemarinya kemudian mengambil spidol di saku kemejanya, menimangnya sebentar.
            “Ci, kemari..” Sam kembali membawa Cia kedalam pelukannya. Sam mendekap hangat tubuh Cia yang lebih mungil darinya itu. Hatinya menjerit “Tebakanmu tidak salah Ci, Aku memang mencintaimu.. sangat mencintaimu, dan mungkin Aku yang lebih dulu menyadari bahwa Aku mencintaimu.. tapi.. Aku tidak bisa Ci,”
“Ci, Kita belum bertukar tanda tangan kan??” Cia mendongak, menatap wajah tampan Sam dengan linangan air mata, Sam yang melihat itu menangis dalam hati, lalu segera kembali memeluk Cia dan menyeka air mata Cia. “Maafkan Aku..” batin Sam pilu.
Sedangkan Cia masih betah membisu, masih betah memeluk tubuh sahabat yang paling dicintainya itu, sahabatnya yang akan pergi. Cia tidak berkata apapun saat Sam bertanya, hanya anggukan dan gelengan yang diberikan Cia dan tangis Cia kembali pecah saat Sam membubuhkan tanda tangannya di dada kirinya dan dengan tangan bergetar Cia menggoreskan tanda tangannya di dada kiri Sam kemudian menulis kata I Love You, Sam.
Dan Sam hanya mempu terdiam, kemudian kembali mendekap Cia yang menangis. Sam bukannya tidak mau, Dia mau tapi sebuah alasan membuatnya harus pergi, dan Sam tidak mau melihat air mata Cia saat Dia pergi. Ditengah tangis Cia, sebenarnya Sam juga menangis dan tanpa Sam sadari Cia mengetahuinya dan itu yang semakin membuat Cia semakin mengeratkan dekapannya.

**
            Kejadian itu sudah Dua tahun yang lalu. Gadis itu, Cia. Gadis yang berparas kelewat cantik yang tengah menangis itu adalah Cia. Gadis yang kehilangan aura kecantikannya dan juga gadis yang terluka. Terluka, jelas saja karena selama Dua tahun setelah kepergian Sam ke luar negeri dengan alasan ingin melanjutkan kuliah disana, pria yang masih begitu dicintainya itu pulang. Seharusnya Cia kembali, seharusnya Cia bahagia namun itu hanya sebentar, karena Sam-nya pulang dengan membawa duka, Sam-nya pulang tidak untuk memeluknya kembali, Sam-nya memang sudah pulang, tapi Sam-nya sudah berhenti bergerak. Sam-nya meninggal.

“Sam...” lirih Cia di sela tangisnya. Masih teringat jelas dekapan Sam hari itu, dekapan yang begitu nyaman hingga membuatnya jatuh tertidur. Masih teringat jelas saat samar Sam membisikkan kepadanya bahwa Sam juga mencintainya, sangat mencintainya.

Sam pulang, meninggalkan jejak, bahkan sebelum Cia sempat mengucapkan selamat tinggal, Cia menyesal, seharusnya Dia tidak tidur, seharusnya Dia tetap terjaga, maka Sam akan tetap disisinya karena Cia tidak akan pernah mengijinkan Sam pergi.

**
            Sam menderita sakit parah cukup lama, bahkan sebelum Sam mengenal Cia. Namun Sam menutupinya dari Cia. Itu yang Cia tahu dari kedua orang tua Sam, saat Cia berkunjung dan masih berharap bahwa Sam masih hidup. Namun harapan tinggalah harapan, Sam sudah tiada hanya namanya yang tergores di nisan. Cia semakin murung, semakin sering duduk di bangku panjang penuh kenangan itu, kemudian menangis.

            Kenangan demi kenangan itu membuat jejak – jejak dalam pikirannya, dan setiap jejak itu menggoreskan canda tawa yang terasa menyakitkan dihati. Saat jejak – jejak itu mulai menjelajah dan menguasai maka tak urung jika air mata yang akan mengungkapkan semuanya. Ya jejak itu yang membuat seseorang menjadi terluka.**** 

#Khichand_Lee