Kamis, 19 November 2015

A Day In Our Life



Cinta itu seperti hujan
Yang tak akan pernah hilang,
Sampai air di dunia ini benar – benar kering

Gavya termenung memandang pemandangan pantai di hadapannya, sejenak Dia melirik ponselnya berwallpaper seorang artis korea terkenal Kim Hyun Joong orang yang Dia tahu berperan sebagai Yoon Ji Hoo di serial Boys Before Flowers favoritnya.
“Betapa susahnya menebak maumu, Kau seperti tokoh Yoon Ji Hoo di serial drama favoritku, kadang baik kadang acuh, huft..” keluhnya lirih.
“Apa yang Kamu fikirkan?? Cinta??” suara seseorang mengejutkan Gavya.
“Arn, Kau selalu mengagetkanku,”
“Aku pacarmu, apa tak boleh??” tandas seorang pria yang Gavya panggil Arn.
“Terserah,” Gavya nampak acuh dan kembali menekuni aktivitasnya. Arn diam menekuni komik narutonya dan itu membuat Gavya kesal.
“Kau terlalu acuh seperti karang Arn,” tutur Gavya memandang lurus ke arah pantai.
“Maksudmu??” Arn mulai mengacuhkan komiknya.
“Apa cinta itu hanya sebuah permainan??”
“Tidak, tapi membutuhkan sebuah permainan untuk mendapatkan cinta,” Arn memainkan pasir dengan kaki telanjangnya, meletakkan komik narutonya kemudian meraih ranting yang tak jauh darinya dan menggoreskan sesuatu di atas pasir.
“Sejarah??” tanya Gavya heran saat Arn menggoreskan kata itu.
“Ya, sejarah banyak artinya kenangan, peradaban, kebudayaan, pohon, tingkatan..” Arn menghela nafas, menjeda ucapannya.
“Bayangkan jika hanya ada satu peradaban di dunia ini, hanya ada satu kenangan, satu pohon, satu tingkatan, dan satu kebudayaan,,”
“Itu mengerikan,” jawab Gavya seraya menerawang deburan ombak.
“Bayangkan jika hanya ada satu sejarah di dunia ini, Ku beri tahu permainan itu bernama monopoli sejarah kotak emasnya bernama cinta tujuan akhirnya adalah kematian, mati dengan baik atau buruk karena hidup adalah pilihan”
“Kita hanya memilih mati atau hidup, iyakan Arn??”
“Ya, apa alasanmu memilih berhenti??”
“Karena Aku lelah Arn,”
“Kalau lelah, jangan berhenti bersandarlah”
“Lalu apa alasanmu membawaku kemari?? Apa Kau berniat untuk mempertahankan hubungan ini??”
“Karena Aku mencintaimu,”
“Aku lebih mencintaimu, Arn”
“Rasa cintamu tak akan pernah mengalahkan rasa cintaku,”
“Kau terlalu sombong,” Arn menuntun Gavya agar bersandar di bahunya.
“Tak ada yang pantas dibanggakan di dunia ini semua yang ada disini hanyalah titipan Tuhan dan kelak Tuhan akan menariknya kembali,”
“Bukankah apa yang telah di berikan tidak boleh di tarik kembali??”
“Hukum manusia berbeda dengan hukum Tuhan, jika didunia berzina akan di rajam sampai mati maka Tuhan menghukum dengan siksa neraka,” Gavya termenung mencoba menyerap apa yang Arn ucapkan.

Dengan lembut Arn membelai rambut panjang Gavya yang tertiup sang bayu, Gavya memejamkan matanya menikmati sentuhan jemari Arn yang membelai rambutnya, Gavya tersipu tentu saja selama ini Arn selalu bersikap acuh dan cenderung tak peduli. Mereka sama – sama terdiam seakan mengingat masa – masa yang teracuhkan, jika Gavya membayangkan sebuah keromantisan maka Arn hanya memberikan acuhan kepada Gavya jangankan membelai, memanjakannya saja tidak. Mereka hanya sekedar bergandengan tangan atau antar jemput saat ke sekolah atau kadang belajar bersama, Tiga tahun Mereka mencoba mempertahankan hubungan Mereka hingga hanya goresan tinta warna – warni dan tanda tangan menghiasi seragam Mereka dan disinilah Mereka menunggu senja memisahkan matahari dengan sinarnya.
“Gak kerasa yaa?? Gak sia – sia hasil belajar Kita,”
“Ya, Kita sudah berjuang awalnya Kita rival untuk mendapatkan juara kelas,”
“Lalu benci itu jadi cinta, Kita memutuskan untuk melangkah bersama dengan satu tujuan, kadang Aku di depan dan Kamu di belakang atau kadang sebaliknya, Kita tak pernah sejajar itu yang buatku takut,”
Gavya menghela nafas pendek, mencoba menetralisir detak jantungnya dan ini yang membuatnya mempertahankan hubungannya dengan Arn, sebuah alasan klasik.
“Aku mencintaimu, Arn” lirih Gavya dengan linangan air mata.
“Aku juga sangat mencintaimu,”

Gavya menarik nafas dalam, mencoba mengumpulkan kembali kekuatannya.
“Aku tak bisa berdiri tegak tanpamu Arn, meskipun kadang Kamu mengacuhkanku dan memilih bergelut dengan buku eksak atau komik narutomu, karena Aku sadar hadirnya Kamu di sisiku membawa kebahagiaan terbesar bernama kenyamanan,”
“Maaf, Aku tak memberikan lebih banyak kenangan untukmu, tentang kisah Kita Tiga tahun ini,”
“Tidak Arn, semua itu sudah lebih dari cukup, semua orang di dunia ini berbeda, itu yang Aku tahu.” Arn tersenyum tipis, jemarinya masih betah membelai rambut Gavya, Arn ingat saat Gavya selalu merangkul pundaknya layaknya sepasang sahabat atau kadang menciptakan ide gila untuk menjahili layaknya sepasang rival, tak banyak yang tahu jika Mereka sepasang kekasih yang masih bernafsu untuk menjahili pasangannya meskipun berstatus sebagai pacarnya, bagi Mereka itu hanya status. Banyak orang mencibir hubungan Mereka, tapi cinta telah menuntun Mereka sejauh ini.
“Cinta ini tak akan pernah hilang, hingga benar – benar telah hilang,”
“Aku tahu itu,”
“Menikmati senja sempurna dengan bermain air??” tawar Arn tersenyum nakal, menatap Gavya yang nampak berfikir lalu mengangguk tersenyum. Tangan kokoh Arn menuntun Gavya, Mereka berlari, menari bersama ombak yang terkena bias senja, Mereka tertawa dan bahagia dan senja berbisik.
“Semoga selalu bahagia...”

Arn nampak kecewa saat tak menemukan orang yang sangat ditunggunya tiba di bandara.
“Arn, ayo pesawat akan berangkat Lima menit lagi,”
“Tunggu sebentar lagi Yah, Gavya belum datang,”
“Tidak bisa Arn, Kau bisa menghubunginya nanti setelah sampai,” Arn mengangguk lesu mengikuti langkah Ayahnya yang hari ini mengantarnya ke Jerman untuk mengambil beasiswa kuliahnya. Namun gadis yang di tunggunya tak kunjung tiba dengan kecewa Arn duduk di kursinya menerawang ke arah jendela, mengenang kembali hari itu hari kelulusan dimana saat itu Dia bisa menghabiskan waktu seharian penuh dengan gadisnya yang harus merelakannya pergi jauh untuk kuliah dan ada alasan lain selain itu.

Lima tahun kemudian....

Arn tersenyum sumringah saat menginjakkan kakinya di lantai bandara, sudah Lima tahun dan Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar dan Arn harus menelan kekecewaan saat Gavya tak pernah menghubunginya barang sekalipun, sekarang Arn sadar apa yang dikatakan Gavya hari itu memanglah benar, Dia tidak  bisa berdiri tegak sempurna tanpa Gavya. Setidaknya Dia ingin menciptakan kenangan yang lebih sebelum masa itu tiba.
Hanya perlu beberapa detik Arn menunggu ada yang membukakan pintu setelah Dia menekan bel. Setelah merapikan pakaiannya Arn memutuskan untuk segera menemui Gavya dan memeluk gadis itu untuk melepas rindunya.
“Kak, Arn??” sapa seseorang yang membukakan pintu untuk Arn dengan tak percaya, Arn tersenyum ramah memegang kedua bahu pemuda berusia 15 tahun dihadapannya.
“Iya, wah Kamu udah besar sekarang Ris, pasti udah SMA deh padahal dulu masih kelas Lima SD,” pemuda itu hanya tersenyum tipis.
“Ada apa??”
“Masih nanya lagi, Aris.. Aris.. jelas mau ketemu Kakakmu lah,” pemuda 15 tahun yang bernama Aris itu hanya menunduk dalam.
“Siapa Ris?? Kok gak disuruh masuk?? Loh Arn?? Ayo masuk, udah lama gak main kesini kemana aja??” wanita itu membimbing Arn untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
“Arn kuliah Tan, di Jerman Gavya mana Tan??”  wanita paruh baya itu menunduk dalam nampak bersedih.
“Gavya di atas,”
“Loh tumben?? Kenapa??”
“Gavya bersama Tuhan,” mata Arn membola tak percaya dengan apa yang baru saja Dia dengar.
“Maksudnya??” wanita itu menghela nafas panjang, menerawang.
“Gavya mengalami kecelakaan hebat saat akan menuju bandara untuk melepas kepergianmu ke Jerman, Kami ingin memberitahumu tapi Gavya melarang disaat – saat terakhirnya, maafkan Kami,” Arna menunduk dalam, terjawab sudah pertanyaannya selama ini tentang Gavya yang tidak menghubunginya dan tentang Gavya yang tak datang di hari terakhirnya di Indonesia.
“Gak mungkin Tan,” Arn menggeleng kuat, tak percaya. “Ini mimpi kan Tan?? Bilang sama Aku kalau semua ini hanya mimpi,”
“Kami akan sangat bahagia jika semuanya hanya mimpi,”
“Dimana makamnya??”
“Aris akan mengantarmu,”

Arn menatap kosong pohon kelapa dihadapannya, kemudian duduk di bawahnya di tempat yang sama saat terakhir kalinya Dia datang bersama Gavya, rasanya baru kemarin Dia bercanda bersama Gavya sekarang semuanya seakan hanya mimpi.
“Gavya..” lirihnya saat melihat Gavya nampak duduk disampingnya, dengan segera Dia memeluk Gavya namun nihil, Dia hanya memeluk udara.
“Gavya !!! jangan tinggalin Aku Gav!! GAVYA!!!” Arn histeris memukulkan tangannya ke pasir, meremas pasir di genggamannya kuat – kuat. Aris hanya mampu terdiam melihat Arn yang histeris, Dia tak mampu berbuat apapun. Arn meremas kuat kepalanya saat merasakan sakit yang menusuk.
“Gavya,”  lirihnya sebelum akhirnya kegelapan menyelimutinya dan Aris berteriak panik.
Senja itu masih berdiri pongah di atas deburan ombak, menatap angkuh pada sepasang insan yang asik bermain, Mereka tertawa dan bercanda berlarian seakan langkah kacil Mereka akan menyaingi Dirinya, sang gadis mengulurkan tangannya mengajak sang pria untuk kembali melangkah bersama. Dan senja sempurna itu hanya mampu menunduk dalam dan bergumam kepada ombak dan pasir yang kini kosong.
“Jejak itu masih terasa, dan tak akan pernah hilang dari kehidupan
Meskipun jiwa tak lagi bersama raganya,
Hingga Tuhan memutuskan untuk menghapusnya”


`THE END`

#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar