Kamis, 19 November 2015

The Cloudy And Rainbow (Part 6)


Agustus  2003
Naura mendesah sebal saat Jihan berkata bahwa Dia tidak bisa mengantar Dirinya pulang, Naura menghela nafas pelan menunggu kendaraan umum yang akan membawanya pulang, mengingat Kakaknya yang masih di Yogya dan lagi – lagi kedua orang tuanya di luar kota, Naura tak bisa menelfon supirnya karena Dia sendiri meninggalkan ponselnya di rumah karena belum di charge. Suara klakson motor membuyarkan konsentrasinya pandangannya beralih pada sebuah motor yang berhenti tepat di depannya, Dia tak mengenali siapa pengendaranya karena tertutup oleh helm.
“Mau Ku antar Nona Naura??”
“Kamu siapa??” si pengendara kemudian melepas helmnya dan terlihat wajah tak asing bagi Naura.
“Ryan??”
“Iya, kenapa?? Kaget?”
“Tidak, kok bisa di sini??”
“Mau jemput Kamu lah..”
“Maaf gak bisa,”
“Kenapa?? Di belakang gak ada angkutan umum, Mereka lagi pada demo dan gak akan lewat sini,”
“Aku mau jalan kaki aja,”
“Bukankah itu jarak yang sangat jauh??”
“Lebih baik seperti itu,” Naura akan melangkah pergi namun dengan cepat Ryan mencekalnya.
“Mau kemana cintaku??”
“Lepasin Ryan,, lepas Jihan akan marah kalau mengetahui ini,”
“Marah?? Emang itu yang Aku mau,”
“Lepas ! Ryan !!” Naura terus meronta, sedang Ryan masih memegang tangan Naura kuat – kuat dan tertawa.
“LEPASIN TANGAN NAURA !!!” suara lantang bernada penuh amarah itu membuat Naura berhenti memberontak, Jihan nampak kalap dengan wajah memerah tidak terima melihat kekasihnya diperlakukan seperti itu. Seseorang  memberitahu Jihan jika Naura sedang di goda oleh anak SMA lain di depan gerbang dan itu langsung membuat Jihan meninggalkan pekerjaannya dan Jihan langsung kalap saat melihat siapa yang tengah memegangi tangan kekasihnya.
“Wah, sang pangeran datang nih,”
“Lepasin Naura !!!” Jihan menarik paksa lengan Naura membawanya ke belakang tubuhnya kemudian menghadiahi sebuah bogeman kepada Ryan, Ryan tersungkur jatuh dari motornya Ryan tak terima dan membalasnya akhirnya terjadi perkelahian antara Ryan dengan Jihan. Naura histeris saat Jihan tersungkur tepat di hadapannya kemudian berdiri dan kembali berkelahi dengan Ryan.
“Hentikan, !! Jihan udah!! Ryan udah !! jangan sakiti Jihan lagi,” Naura membawa Jihan ke belakang tubuhnya melindungi Jihan yang sudah babak belur.
“Lepas Ra!! biar Aku hajar orang yang udah kurang ajar sama Kamu,!”
“Udah Jihan, udah Aku gak mau Kamu terluka lebih dari ini, Ryan lebih baik sekarang Kamu pergi,”
“Awas aja nanti, tunggu pembalasanku,” Jihan akan kembali memukul Ryan namun dengan cepat Naura mencegah.
“Kita obati luka Kamu,”
“Gak Perlu !!! apa – apaan Kamu ini ha?? Mau jadi wanita murahan??”
“Aku kan udah bilang sama Kamu kalau Aku mau nungguin taksi aja,”
“Bisa minta jemput supir kan??”
“Ponsel Aku mati Jihan,”
“Ya ampun.. kapan sih Kamu akan berhenti berbuat ceroboh dan lalai??”
“Aku.. Aku...”
“Udah Naura, cukup !! Aku bener – bener kecewa sama Kamu !!” Jihan pergi meninggalkan Naura sendiri, Naura menatap punggung Jihan sendu kemudian menangis.
“Maaf Jihan, Aku gak bermaksud kecewain Kamu,” Naura balik badan tak berniat untuk mengejar Jihan, Dia ingin segera pulang dan menumpahkan semuanya dengan air mata dan dengan terpaksa Naura harus berjalan kaki. Sepanjang perjalanan Naura hanya menunduk bahunya bergetar rasanya terlalu sakit, dan ini adalah kali pertama Jihan marah padanya. Naura langsung membuka gerbang dan pintu utama lalu ke kamarnya dan mengunci diri tak mempedulikan para pelayan yang menatapnya penuh tanya, heran kenapa anak majikannya terlihat begitu sedih.
Jihan mengusap wajahnya kasar, merasa tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh Naura, saat ini Dia benar – benar kecewa dengan Naura, Jihan memutuskan untuk pulang moodnya sudah hancur dan Dia tidak bisa meneruskan pekerjaannya. Ada Dua gadis yang tersenyum puas melihat semuanya kemudian bertos ria.
“Ini baru permulaan,”
“Masih banyak permainan lain yang belum di mainkan,” kedua gadis itu tersenyum miring.
            Bu Salma heran saat Jihan pulang dengan wajah babak belur dan masam, dengan segera Dia mengobati luka di wajah Jihan, sedang Jihan hanya diam.
“Kamu berkelahi??”
“Ya,”
“Kenapa??”
“Naura,” Jihan menghela nafas pendek. “Naura di goda laki – laki lain di pinggir jalan,”
“Bagaimana bisa??”
“Dia sedang menunggu angkutan umum,”
“Bukannya para sopir sedang berdemo??”
“Itulah, harusnya Naura tahu dan menelfon supirnya untuk menjemput, tapi Naura bilang ponselnya mati,”
“Apa Kamu tidak mengantarnya pulang??”
“Aku banyak pekerjaan,”
“Jihan,”
“Aku marah sama Naura, dan ninggalin Naura sendiri,”
“Ya ampun Jihan, Kamu biarin Naura pulang sendiri?? Jalan kaki?? Dengan kondisi terluka, Dia pasti terluka karena Kamu marah dan tak mendengar penjelasannya,”
“Naura punya ponsel, dan harusnya Naura menelfon supirnya,’
“Bukankah tadi Kamu bilang, ponselnya mati?”
“Itu hanya alasan Bun,”
“Kapan Naura pernah berbohong padamu?? Kamu telah menyakitinya Jihan,”
“Kenapa Bunda jadi belain Naura sih ??”
“Jihan bukannya seperti itu,”
“Akh, taulah.. Jihan capek”
“Jihan, Jihan dengarkan Bunda Jihan !!” Jihan mengabaikan panggilan sang Bunda dan langsung masuk ke kamarnya. Karena cemas Bu Salma langsung menelfon ke rumah Naura dan di angkat oleh salah satu pelayannya, mereka bilang Naura pulang sendiri dan langsung masuk kamar dan mengunci diri karena saat Naura pulang kedua orang tuanya bertengkar lagi pelayannya bilang Naura dalam kondisi sangat lusuh dengan air mata membanjiri pipinya. Bu Salma meletakkan kembali gagang telfonnya mencoba menghubungi ponsel Naura tapi tidak aktif, Bu Salma mendesah pelayan yang tadi mengangkat telfonnya bilang jika Naura dalam kondisi seperti ini Naura tidak mau makan dan tetap mengunci diri di kamar bahkan mereka bilang Naura tidak sarapan tadi pagi. Hari sudah malam Bu Salma sudah sangat khawatir dengan Naura Dia ingin datang ke rumah Naura dan mengajak Jihan karena mungkin hanya Jihan yang mau Naura dengarkan Bu Salma bergegas menuju kamar Jihan dengan ragu Bu Salma mengetuk pintu kamar Jihan.
“Jihan, temui Naura dengarkan penjelasannya, Jihan... percayalah Naura tak pernah bermaksud mengecewakanmu,” Jihan yang mendengar ucapan Bu Salma mendengus sebentar kemudian membuka pintu kamarnya untuk sang Bunda.
“Bunda mohon sama Kamu, demi Bunda,” Jihan mengangguk kemudian berbalik untuk mengambil jaketnya.
“Demi Bunda,” Bu Salma hanya tersenyum.
            Satpam langsung membukakan pintu gerbang untuk Bu Salma dan Jihan dan langsung mempersilahkan untuk masuk.
“Nyonya yang tadi menelfon??” Bu Salma mengangguk.
“Dimana Naura??” pelayan itu menampakkan wajah sedih.
“Non Naura belum keluar kamar sejak pulang sekolah tadi, Kami sudah telfon Nyonya Alya dan Tuan Setiawan, Mereka bilang Kami harus membujuknya untuk makan,”
“Terus??”
“Kami sedang berusaha, mari Saya antar,” Bu Salma mendesah saat melihat Dua orang pelayan sedang membujuk Naura untuk makan.
“Non, Non Naura makan yaa, dari pagi kan Non gak makan,” tidak ada sahutan hanya suara isakan yang terdengar lirih.
“Kami sudah tidak tahu bagaimana cara membujuknya, Kami sudah telfon Den Gilang tapi tidak di angkat,” Bu Salma mendesah. Kemudian mengetuk pintu kamar Naura, kamar yang masih gelap Dia mengetahuinya saat tak melihat pancaran cahaya di bawah pintu.
“Sayang... ini Bunda buka pintunya yaa Kamu harus makan nanti sakit lho,” tak ada jawaban. Jihan yang sedari tadi hanya diam mulai merasa bersalah, jika saja Dia tidak emosi mungkin Naura tidak akan mengunci diri seperti ini.
“Kami sangat mengkhawatirkannya, Kami takut kalau sesak nafas Non Naura kambuh,” mata Jihan melotot, rasa bersalah menyelubungi seluruh batinnya, Jihan menyesal kenapa hanya karena masalah sepele Dirinya tega menyakiti Naura.
“Ya ampun, Naura sayang.. buka pintunya Bunda mohon,”
“Biar Jihan coba Bun,” Bu Salma menyingkir membiarkan Jihan mengetuk pintu kamar Naura dan membujuknya untuk makan.
“Ra.. Aku Jihan buka pintunya Ku mohon dan maafkan Aku,” Naura yang mendengar suara Jihan mendongak menatap lemah pintu kamarnya, tubuhnya terasa lemah dan tak bertenaga.
“Jihan,” panggilnya lirih kemudian Naura memegang dadanya yang terasa sesak, Naura selalu lupa pada penyakitnya saat bersedih. Tak kunjung mendapat jawaban Jihan menjadi khawatir.
“Apa pintu ini punya kunci serep??” para pelayan itu menggeleng.
“Non Naura mengambil semuanya,” Jihan mengusap wajahnya kasar, sedang Naura yang tengah kesakitan mencoba mengambil sesuatu di laci meja namun malah menjatuhkan bingkai foto keluarganya. Suara benda jatuh membuat Mereka semakin khawatir. Jihan teringat sesuatu, Dia merogoh sakunya mengambil kunci motornya, bukan hanya kunci motor saja yang ada di sana, ada kunci kamarnya dan kunci cadangan pintu yang saat ini ada di hadapannya.
“Jihan, ini kunci cadangan kamar Aku, Kamu bisa menggunakannya untuk menolongku,”
“Menolongmu??”
“Iya, kadang kalau Aku kesal Aku suka melempar kunci kamarku asal dan Aku selalu kesulitan menemukannya,”
“Baiklah, akan Kusimpan bersama kunci motor sekaligus kunci kamarku,”
“Terima kasih,”
Jihan memasukkan kuncinya ke lubang kunci kemudian memutarnya, pintu terbuka dan itu membuat semua orang yang ada disekitarnya menatap tak percaya, Jihan segera memasuki kamar Naura menyalakan lampunya dan matanya membola saat melihat Naura dalam kondisi sangat tidak baik barang – barang tak lagi di tempatnya dan Naura terduduk di samping ranjang dengan kondisi tidak baik, nafasnya tersengal dengan segera Jihan menghampiri Naura.
“Ra,,,” panggilnya lirih air matanya menetes begitu saja saat melihat Naura dalam kondisi sangat tidak baik.
“Ji...han..” Jihan segera menggendong Naura dan meletakkan tubuh Naura di atas ranjang dan melepaskan sepatu yang masih melekat di kaki Naura, bahkan Naura belum melepaskan seragam dan sepatunya. Jihan panik sangat panik.
“Cepat panggilkan Tuan Rizki,!” salah satu pelayan mengambil alih tubuh Naura, dan satunya lagi menelfon seseorang.
“Maaf Den, biarkan Kami membantu Non Naura,”
“Tidak, Naura membutuhkanku,”
“Jihan, Mereka tahu apa yang harus Mereka lakukan,” Bu Salma menarik Jihan menjauhi Naura, dan mereka panik saat tangan Naura yang menggenggam erat tangan Jihan melemas.
“Naura,, sayang bertahan”
“Tenang Jihan, tenang..” Jihan menggeleng, ini salahnya air matanya semakin deras menetes.
            Jihan menatap Naura yang masih terpejam dengan sendu, kemudian menggenggam tangan Naura erat, tangannya bergetar hebat dan lagi – lagi air matanya menetes Naura sudah di tangani oleh dokter dan dokter bilang sesak nafas Naura kambuh dan Naura mengalami dehidrasi Jihan mendesah menatap wajah Naura lekat.
“Maaf, maafkan Aku yang telah menyakitimu Aku benar – benar menyesal, Aku tahu Aku egois dan saat Kamu sadar nanti Kamu boleh kok pukul Aku, ngatain Aku semau Kamu, manja – manjaan sama Ayah Bundaku asal Kamu dalam kondisi sehat dan baik – baik saja, Kamu boleh kok manja sama Aku dan Aku akan selalu anter jemput Kamu kemanapun, yang penting Kamu baik – baik aja,” Bu Salma mendesah saat melihat Jihan yang begitu menyesal dengan perbuatannya.
“Kalau saja Aku mau dengerin kata Bunda, Kamu pasti gak akan kaya’ gini, maafin Aku yang udah marah sama Kamu,”
“Han, Kita pulang yaa??” Jihan menggeleng. “Jihan di sini aja Bun, jagain Naura,”                  
“Masih ada yang lain kan??”
“Gak, Jihan mau jaga Naura sampai Naura bangun dan Jihan akan langsung meminta maaf padanya,” Bu Salma menghela nafas pendek, kemudian menoleh saat ada yang memegang bahunya.
“Tidak apa Nyonya, Kami akan menjaga Mereka mari biar supir bisa mengantar Nyonya pulang,”
“Terima kasih,” Bu Salma tersenyum kemudian menghampiri Jihan.
“Bunda pulang dulu yaa??” Jihan mengangguk lemah, Bu Salma menepuk bahu Jihan sebelum benar – benar pergi untuk pulang.
Kadang saat Kita telah berbuat suatu kesalahan,
 maka penyesalan sungguh sangat menyakitkan dan Kita akan menjadi lebih baik karenanya,
berhati – hatilah penyesalan adalah hal yang paling ingin di hindari semua orang.
            Perlahan cahaya mentari mulai meninggi, Jihan sudah bangun sedari subuh dan masih mengamati Naura yang masih terpejam dengan tenang.
“Lama banget sih tidurnya?? Kaya’ kebo,” celetuknya menerawang ke arah jendela yang sudah tersibak tirainya.
“Siapa yang Kamu bilang kebo??” suara parau Naura membuat Jihan mengucek – ngucek matanya.
“Kamu udah bangun??”
“Belum,”
“Kok bisa ngomong?”
“Aku lagi mimpi,”
“Mimpi??”
“Iya, mimpi pangeran kecil yang menangisi Putri kecilnya yang sakit dan menjaganya sepanjang malam,”
“Terus terus,,”
“Ternyata itu bukan mimpi, tapi nyata Aku maafin Kamu kok” Jihan tersenyum kemudian mendekap Naura erat. “Aku tidak akan mengulanginya lagi,”
“Aku harap, kok Kamu gak sekolah??”
“Aku mau nungguin Kamu,”
“Kalau Kamu tetap di sini Aku tidak akan memaafkanmu, dasar tikus”
“Kau bilang apa??”
“Tadi malam Aku bermimpi si pangeran kecil akan membiarkan Putri kecilnya mengatai si pangeran kecil semaunya,”
“Ya ampun, lalu bagaimana kelanjutannya,”
“Dan itu bukan mimpi,”
“Ya ampun Kamu ini,” Naura terkekeh kemudian terkikik geli saat Jihan memainkan jemarinya di pinggangnya.
“Ahaha.. geli Jihan,” Naura tertawa lebar begitupun dengan Jihan, Mereka lupa jika kemarin Mereka dalam kesedihan luar biasa, Mereka lupa jika kemarin meneteskan banyak air mata, Mereka lupa yaa selalu lupa saat kebahagiaan kembali memeluk Mereka bahkan Naura lupa jika kemarin Dirinya membuat panik semua orang. Seperti apa yang pernah Naura bilang, bersama Jihan Naura kuat begitupun sebaliknya bersama Naura Jihan kuat.
            Naura masih saja mengikuti langkah Jihan dan memegang tangannya sembari terus merajuk dan memohon kepada Jihan untuk pergi bersekolah, dan Jihan menolak mentah – mentah dengan alasan tidak di perbolehkan oleh Pak Rizki.
“Tidak,”
“Aku mohon, Aku baik – baik saja Jihan”
“Tidak,”
“Aku mohon,”
“Om Rizki bilang Kamu istirahat dulu sampai benar – benar pulih,”
“Aku sudah sehat, Om Rizkinya saja yang berlebihan,”
“Lihat, wajahmu masih pucat seperti itu,” Naura merengut kesal.
“Dan Kamu belum bersiap – siap,” Naura memalingkan wajahnya.
“Aku akan sangat marah kalau Kamu berangkat sekolah, istirahatlah kak Gilang pulang hari ini,” senyum Naura mengembang matanya bersinar terang, dan Jihan suka melihat itu.
“Benarkah??”
“Benar, jadi tinggalah di rumah dan buat kak Gilang menyesal karena meninggalkanmu,”
“Ide bagus, baiklah Aku tinggal sana pergi sekolah entar telat lagi hush!”
“Ngusir nih??” Naura hanya terkekeh membuat Jihan mengacak gemas rambut Naura yang masih berantakan.
“Aku berangkat dulu, love you..” Jihan mengecup dahi Naura singkat, dan membuat Naura malu.
“Tunggu..” Naura mencekal lengan Jihan kemudian mencium punggung tangan Jihan.
“Aku juga mencintaimu,”
“Berasa suami istri tahu gak,”
“Haha.. Aku ingin menjadi istri yang baik,”
“Coba lakukan lagi,”
“Tidak mau, sudah sana pergi..”
“Iya – iya,” Jihan menghampiri motornya kemudian melambaikan tangannya sebelum akhirnya hilang di telan tikungan. Naura tersenyum lebar, kemudian memasuki rumahnya.
“Non, air hangatnya sudah siap”
“Makasih,” Naura mencium pipi sang pelayan gemas, kemudian melangkah riang menuju kamarnya untuk mandi. Sang pelayan tersenyum menggeleng – gelangkan kepalanya melihat tingkah anak majikannya.
“Aku suka melihatnya seperti itu,”
“Aku juga, Non Naura selalu tampak manis saat bahagia,” pelayan lain mengamini kemudian melanjutkan pekerjaannya masing – masing.
            Gilang membuka pintu kamar adiknya pelan kemudian menghampiri sang adik yang masih terbaring di atas ranjang, raut penyesalan memenuhi wajahnya.
“Maafkan Kakak,” lirih Gilang menggenggam tangan sang adik erat, pelayannya bilang adiknya belum sadar sejak kemarin. Sedang Naura, sang adik yang sedang berpura – pura pingsan tidak bisa untuk tidak tersenyum.
“Kakak janji, Kakak gak akan ninggalin Kamu lagi dan Kakak akan selalu ada buat Kamu meskipun Kamu sudah punya Jihan, Kakak juga akan selalu buat Kamu tersenyum,”
“Benarkah???” sudah tak tahan Naura bangkit dan menatap Kakaknya dengan mata bersinar.
“Kamu udah sadar??”
“Kak Gilang kena tipu, Aku udah baikan kok, pasti Jihan bilang yang enggak – enggak deh,” Gilang terdiam kemudian memeluk adiknya erat, tidak mau kehilangan sang adik.
“Kamu ini nakal yaa..” Naura hanya tertawa menikmati kebersamaannya bersama Gilang.
“Biarin, wlee” dengan gemas Gilang menggelitiki tubuh Naura dan itu membuat tubuh Naura memberontak kegelian. Mereka tertawa, sudah lama Mereka tidak seperti ini sudah lama sampai rasanya Mereka tidak ingin berhenti untuk melakukannya. Hari ini Mereka menghabiskan waktu berdua dengan canda tawa, tak peduli tentang kemarin yang berduka atau besok yang menjadi tanda tanya yang Mereka ingin adalah bagaimana membuat hari ini menjadi hari yang bersejarah dan hari yang membahagiakan, hari dimana Mereka bisa bersama seperti dulu dan bagi Mereka hari ini akan Mereka jadikan hari terbaik di antara hari – hari yang lain.

To Be Continued 
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar