Agustus 2003
Naura mendesah sebal
saat Jihan berkata bahwa Dia tidak bisa mengantar Dirinya pulang, Naura
menghela nafas pelan menunggu kendaraan umum yang akan membawanya pulang,
mengingat Kakaknya yang masih di Yogya dan lagi – lagi kedua orang tuanya di
luar kota, Naura tak bisa menelfon supirnya karena Dia sendiri meninggalkan
ponselnya di rumah karena belum di charge.
Suara klakson motor membuyarkan konsentrasinya pandangannya beralih pada sebuah
motor yang berhenti tepat di depannya, Dia tak mengenali siapa pengendaranya
karena tertutup oleh helm.
“Mau Ku antar Nona Naura??”
“Kamu siapa??” si pengendara kemudian
melepas helmnya dan terlihat wajah tak asing bagi Naura.
“Ryan??”
“Iya, kenapa?? Kaget?”
“Tidak, kok bisa di sini??”
“Mau jemput Kamu lah..”
“Maaf gak bisa,”
“Kenapa?? Di belakang gak ada angkutan
umum, Mereka lagi pada demo dan gak akan lewat sini,”
“Aku mau jalan kaki aja,”
“Bukankah itu jarak yang sangat jauh??”
“Lebih baik seperti itu,” Naura akan
melangkah pergi namun dengan cepat Ryan mencekalnya.
“Mau kemana cintaku??”
“Lepasin Ryan,, lepas Jihan akan marah
kalau mengetahui ini,”
“Marah?? Emang itu yang Aku mau,”
“Lepas ! Ryan !!” Naura terus meronta,
sedang Ryan masih memegang tangan Naura kuat – kuat dan tertawa.
“LEPASIN TANGAN NAURA !!!” suara lantang
bernada penuh amarah itu membuat Naura berhenti memberontak, Jihan nampak kalap
dengan wajah memerah tidak terima melihat kekasihnya diperlakukan seperti itu. Seseorang
memberitahu Jihan jika Naura sedang di
goda oleh anak SMA lain di depan gerbang dan itu langsung membuat Jihan
meninggalkan pekerjaannya dan Jihan langsung kalap saat melihat siapa yang
tengah memegangi tangan kekasihnya.
“Wah, sang pangeran datang nih,”
“Lepasin Naura !!!” Jihan menarik paksa
lengan Naura membawanya ke belakang tubuhnya kemudian menghadiahi sebuah
bogeman kepada Ryan, Ryan tersungkur jatuh dari motornya Ryan tak terima dan
membalasnya akhirnya terjadi perkelahian antara Ryan dengan Jihan. Naura
histeris saat Jihan tersungkur tepat di hadapannya kemudian berdiri dan kembali
berkelahi dengan Ryan.
“Hentikan, !! Jihan udah!! Ryan udah !!
jangan sakiti Jihan lagi,” Naura membawa Jihan ke belakang tubuhnya melindungi Jihan
yang sudah babak belur.
“Lepas Ra!! biar Aku hajar orang yang
udah kurang ajar sama Kamu,!”
“Udah Jihan, udah Aku gak mau Kamu
terluka lebih dari ini, Ryan lebih baik sekarang Kamu pergi,”
“Awas aja nanti, tunggu pembalasanku,” Jihan
akan kembali memukul Ryan namun dengan cepat Naura mencegah.
“Kita obati luka Kamu,”
“Gak Perlu !!! apa – apaan Kamu ini ha??
Mau jadi wanita murahan??”
“Aku kan udah bilang sama Kamu kalau Aku
mau nungguin taksi aja,”
“Bisa minta jemput supir kan??”
“Ponsel Aku mati Jihan,”
“Ya ampun.. kapan sih Kamu akan berhenti
berbuat ceroboh dan lalai??”
“Aku.. Aku...”
“Udah Naura, cukup !! Aku bener – bener
kecewa sama Kamu !!” Jihan pergi meninggalkan Naura sendiri, Naura menatap
punggung Jihan sendu kemudian menangis.
“Maaf Jihan, Aku gak bermaksud kecewain
Kamu,” Naura balik badan tak berniat untuk mengejar Jihan, Dia ingin segera
pulang dan menumpahkan semuanya dengan air mata dan dengan terpaksa Naura harus
berjalan kaki. Sepanjang perjalanan Naura hanya menunduk bahunya bergetar
rasanya terlalu sakit, dan ini adalah kali pertama Jihan marah padanya. Naura
langsung membuka gerbang dan pintu utama lalu ke kamarnya dan mengunci diri tak
mempedulikan para pelayan yang menatapnya penuh tanya, heran kenapa anak
majikannya terlihat begitu sedih.
Jihan mengusap wajahnya kasar, merasa tidak
percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh Naura, saat ini Dia benar – benar
kecewa dengan Naura, Jihan memutuskan untuk pulang moodnya sudah hancur dan Dia
tidak bisa meneruskan pekerjaannya. Ada Dua gadis yang tersenyum puas melihat
semuanya kemudian bertos ria.
“Ini baru permulaan,”
“Masih banyak permainan lain yang belum
di mainkan,” kedua gadis itu tersenyum miring.
Bu
Salma heran saat Jihan pulang dengan wajah babak belur dan masam, dengan segera
Dia mengobati luka di wajah Jihan, sedang Jihan hanya diam.
“Kamu berkelahi??”
“Ya,”
“Kenapa??”
“Naura,” Jihan menghela nafas pendek. “Naura
di goda laki – laki lain di pinggir jalan,”
“Bagaimana bisa??”
“Dia sedang menunggu angkutan umum,”
“Bukannya para sopir sedang berdemo??”
“Itulah, harusnya Naura tahu dan
menelfon supirnya untuk menjemput, tapi Naura bilang ponselnya mati,”
“Apa Kamu tidak mengantarnya pulang??”
“Aku banyak pekerjaan,”
“Jihan,”
“Aku marah sama Naura, dan ninggalin Naura
sendiri,”
“Ya ampun Jihan, Kamu biarin Naura
pulang sendiri?? Jalan kaki?? Dengan kondisi terluka, Dia pasti terluka karena
Kamu marah dan tak mendengar penjelasannya,”
“Naura punya ponsel, dan harusnya Naura
menelfon supirnya,’
“Bukankah tadi Kamu bilang, ponselnya
mati?”
“Itu hanya alasan Bun,”
“Kapan Naura pernah berbohong padamu??
Kamu telah menyakitinya Jihan,”
“Kenapa Bunda jadi belain Naura sih ??”
“Jihan bukannya seperti itu,”
“Akh, taulah.. Jihan capek”
“Jihan, Jihan dengarkan Bunda Jihan !!” Jihan
mengabaikan panggilan sang Bunda dan langsung masuk ke kamarnya. Karena cemas Bu
Salma langsung menelfon ke rumah Naura dan di angkat oleh salah satu
pelayannya, mereka bilang Naura pulang sendiri dan langsung masuk kamar dan
mengunci diri karena saat Naura pulang kedua orang tuanya bertengkar lagi
pelayannya bilang Naura dalam kondisi sangat lusuh dengan air mata membanjiri
pipinya. Bu Salma meletakkan kembali gagang telfonnya mencoba menghubungi
ponsel Naura tapi tidak aktif, Bu Salma mendesah pelayan yang tadi mengangkat
telfonnya bilang jika Naura dalam kondisi seperti ini Naura tidak mau makan dan
tetap mengunci diri di kamar bahkan mereka bilang Naura tidak sarapan tadi
pagi. Hari sudah malam Bu Salma sudah sangat khawatir dengan Naura Dia ingin
datang ke rumah Naura dan mengajak Jihan karena mungkin hanya Jihan yang mau Naura
dengarkan Bu Salma bergegas menuju kamar Jihan dengan ragu Bu Salma mengetuk
pintu kamar Jihan.
“Jihan, temui Naura dengarkan
penjelasannya, Jihan... percayalah Naura tak pernah bermaksud mengecewakanmu,” Jihan
yang mendengar ucapan Bu Salma mendengus sebentar kemudian membuka pintu
kamarnya untuk sang Bunda.
“Bunda mohon sama Kamu, demi Bunda,” Jihan
mengangguk kemudian berbalik untuk mengambil jaketnya.
“Demi Bunda,” Bu Salma hanya tersenyum.
Satpam
langsung membukakan pintu gerbang untuk Bu Salma dan Jihan dan langsung
mempersilahkan untuk masuk.
“Nyonya yang tadi menelfon??” Bu Salma
mengangguk.
“Dimana Naura??” pelayan itu menampakkan
wajah sedih.
“Non Naura belum keluar kamar sejak
pulang sekolah tadi, Kami sudah telfon Nyonya Alya dan Tuan Setiawan, Mereka
bilang Kami harus membujuknya untuk makan,”
“Terus??”
“Kami sedang berusaha, mari Saya antar,”
Bu Salma mendesah saat melihat Dua orang pelayan sedang membujuk Naura untuk
makan.
“Non, Non Naura makan yaa, dari pagi kan
Non gak makan,” tidak ada sahutan hanya suara isakan yang terdengar lirih.
“Kami sudah tidak tahu bagaimana cara
membujuknya, Kami sudah telfon Den Gilang tapi tidak di angkat,” Bu Salma
mendesah. Kemudian mengetuk pintu kamar Naura, kamar yang masih gelap Dia
mengetahuinya saat tak melihat pancaran cahaya di bawah pintu.
“Sayang... ini Bunda buka pintunya yaa
Kamu harus makan nanti sakit lho,” tak ada jawaban. Jihan yang sedari tadi
hanya diam mulai merasa bersalah, jika saja Dia tidak emosi mungkin Naura tidak
akan mengunci diri seperti ini.
“Kami sangat mengkhawatirkannya, Kami
takut kalau sesak nafas Non Naura kambuh,” mata Jihan melotot, rasa bersalah
menyelubungi seluruh batinnya, Jihan menyesal kenapa hanya karena masalah
sepele Dirinya tega menyakiti Naura.
“Ya ampun, Naura sayang.. buka pintunya
Bunda mohon,”
“Biar Jihan coba Bun,” Bu Salma
menyingkir membiarkan Jihan mengetuk pintu kamar Naura dan membujuknya untuk
makan.
“Ra.. Aku Jihan buka pintunya Ku mohon
dan maafkan Aku,” Naura yang mendengar suara Jihan mendongak menatap lemah
pintu kamarnya, tubuhnya terasa lemah dan tak bertenaga.
“Jihan,” panggilnya lirih kemudian Naura
memegang dadanya yang terasa sesak, Naura selalu lupa pada penyakitnya saat
bersedih. Tak kunjung mendapat jawaban Jihan menjadi khawatir.
“Apa pintu ini punya kunci serep??” para
pelayan itu menggeleng.
“Non Naura mengambil semuanya,” Jihan
mengusap wajahnya kasar, sedang Naura yang tengah kesakitan mencoba mengambil
sesuatu di laci meja namun malah menjatuhkan bingkai foto keluarganya. Suara
benda jatuh membuat Mereka semakin khawatir. Jihan teringat sesuatu, Dia
merogoh sakunya mengambil kunci motornya, bukan hanya kunci motor saja yang ada
di sana, ada kunci kamarnya dan kunci cadangan pintu yang saat ini ada di
hadapannya.
“Jihan,
ini kunci cadangan kamar Aku, Kamu bisa menggunakannya untuk menolongku,”
“Menolongmu??”
“Iya,
kadang kalau Aku kesal Aku suka melempar kunci kamarku asal dan Aku selalu
kesulitan menemukannya,”
“Baiklah,
akan Kusimpan bersama kunci motor sekaligus kunci kamarku,”
“Terima
kasih,”
Jihan memasukkan kuncinya ke lubang
kunci kemudian memutarnya, pintu terbuka dan itu membuat semua orang yang ada
disekitarnya menatap tak percaya, Jihan segera memasuki kamar Naura menyalakan
lampunya dan matanya membola saat melihat Naura dalam kondisi sangat tidak baik
barang – barang tak lagi di tempatnya dan Naura terduduk di samping ranjang dengan
kondisi tidak baik, nafasnya tersengal dengan segera Jihan menghampiri Naura.
“Ra,,,” panggilnya lirih air matanya
menetes begitu saja saat melihat Naura dalam kondisi sangat tidak baik.
“Ji...han..” Jihan segera menggendong Naura
dan meletakkan tubuh Naura di atas ranjang dan melepaskan sepatu yang masih
melekat di kaki Naura, bahkan Naura belum melepaskan seragam dan sepatunya. Jihan
panik sangat panik.
“Cepat panggilkan Tuan Rizki,!” salah
satu pelayan mengambil alih tubuh Naura, dan satunya lagi menelfon seseorang.
“Maaf Den, biarkan Kami membantu Non Naura,”
“Tidak, Naura membutuhkanku,”
“Jihan, Mereka tahu apa yang harus
Mereka lakukan,” Bu Salma menarik Jihan menjauhi Naura, dan mereka panik saat
tangan Naura yang menggenggam erat tangan Jihan melemas.
“Naura,, sayang bertahan”
“Tenang Jihan, tenang..” Jihan
menggeleng, ini salahnya air matanya semakin deras menetes.
Jihan
menatap Naura yang masih terpejam dengan sendu, kemudian menggenggam tangan Naura
erat, tangannya bergetar hebat dan lagi – lagi air matanya menetes Naura sudah
di tangani oleh dokter dan dokter bilang sesak nafas Naura kambuh dan Naura
mengalami dehidrasi Jihan mendesah menatap wajah Naura lekat.
“Maaf, maafkan Aku yang telah
menyakitimu Aku benar – benar menyesal, Aku tahu Aku egois dan saat Kamu sadar
nanti Kamu boleh kok pukul Aku, ngatain Aku semau Kamu, manja – manjaan sama
Ayah Bundaku asal Kamu dalam kondisi sehat dan baik – baik saja, Kamu boleh kok
manja sama Aku dan Aku akan selalu anter jemput Kamu kemanapun, yang penting
Kamu baik – baik aja,” Bu Salma mendesah saat melihat Jihan yang begitu
menyesal dengan perbuatannya.
“Kalau saja Aku mau dengerin kata Bunda,
Kamu pasti gak akan kaya’ gini, maafin Aku yang udah marah sama Kamu,”
“Han, Kita pulang
yaa??” Jihan menggeleng. “Jihan di sini aja Bun, jagain Naura,”
“Masih ada yang lain kan??”
“Gak, Jihan mau jaga Naura sampai Naura
bangun dan Jihan akan langsung meminta maaf padanya,” Bu Salma menghela nafas
pendek, kemudian menoleh saat ada yang memegang bahunya.
“Tidak apa Nyonya, Kami akan menjaga
Mereka mari biar supir bisa mengantar Nyonya pulang,”
“Terima kasih,” Bu Salma tersenyum
kemudian menghampiri Jihan.
“Bunda pulang dulu yaa??” Jihan
mengangguk lemah, Bu Salma menepuk bahu Jihan sebelum benar – benar pergi untuk
pulang.
Kadang
saat Kita telah berbuat suatu kesalahan,
maka penyesalan sungguh sangat menyakitkan dan
Kita akan menjadi lebih baik karenanya,
berhati
– hatilah penyesalan adalah hal yang paling ingin di hindari semua orang.
Perlahan
cahaya mentari mulai meninggi, Jihan sudah bangun sedari subuh dan masih
mengamati Naura yang masih terpejam dengan tenang.
“Lama banget sih tidurnya?? Kaya’ kebo,”
celetuknya menerawang ke arah jendela yang sudah tersibak tirainya.
“Siapa yang Kamu bilang kebo??” suara
parau Naura membuat Jihan mengucek – ngucek matanya.
“Kamu udah bangun??”
“Belum,”
“Kok bisa ngomong?”
“Aku lagi mimpi,”
“Mimpi??”
“Iya, mimpi pangeran kecil yang
menangisi Putri kecilnya yang sakit dan menjaganya sepanjang malam,”
“Terus terus,,”
“Ternyata itu bukan mimpi, tapi nyata
Aku maafin Kamu kok” Jihan tersenyum kemudian mendekap Naura erat. “Aku tidak
akan mengulanginya lagi,”
“Aku harap, kok Kamu gak sekolah??”
“Aku mau nungguin Kamu,”
“Kalau Kamu tetap di sini Aku tidak akan
memaafkanmu, dasar tikus”
“Kau bilang apa??”
“Tadi malam Aku bermimpi si pangeran
kecil akan membiarkan Putri kecilnya mengatai si pangeran kecil semaunya,”
“Ya ampun, lalu bagaimana
kelanjutannya,”
“Dan itu bukan mimpi,”
“Ya ampun Kamu ini,” Naura terkekeh
kemudian terkikik geli saat Jihan memainkan jemarinya di pinggangnya.
“Ahaha.. geli Jihan,” Naura tertawa
lebar begitupun dengan Jihan, Mereka lupa jika kemarin Mereka dalam kesedihan
luar biasa, Mereka lupa jika kemarin meneteskan banyak air mata, Mereka lupa
yaa selalu lupa saat kebahagiaan kembali memeluk Mereka bahkan Naura lupa jika
kemarin Dirinya membuat panik semua orang. Seperti apa yang pernah Naura
bilang, bersama Jihan Naura kuat begitupun sebaliknya bersama Naura Jihan kuat.
Naura
masih saja mengikuti langkah Jihan dan memegang tangannya sembari terus merajuk
dan memohon kepada Jihan untuk pergi bersekolah, dan Jihan menolak mentah –
mentah dengan alasan tidak di perbolehkan oleh Pak Rizki.
“Tidak,”
“Aku mohon, Aku baik – baik saja Jihan”
“Tidak,”
“Aku mohon,”
“Om Rizki bilang Kamu istirahat dulu
sampai benar – benar pulih,”
“Aku sudah sehat, Om Rizkinya saja yang
berlebihan,”
“Lihat, wajahmu masih pucat seperti
itu,” Naura merengut kesal.
“Dan Kamu belum bersiap – siap,” Naura
memalingkan wajahnya.
“Aku akan sangat marah kalau Kamu
berangkat sekolah, istirahatlah kak Gilang pulang hari ini,” senyum Naura
mengembang matanya bersinar terang, dan Jihan suka melihat itu.
“Benarkah??”
“Benar, jadi tinggalah di rumah dan buat
kak Gilang menyesal karena meninggalkanmu,”
“Ide bagus, baiklah Aku tinggal sana
pergi sekolah entar telat lagi hush!”
“Ngusir nih??” Naura hanya terkekeh
membuat Jihan mengacak gemas rambut Naura yang masih berantakan.
“Aku berangkat dulu, love you..” Jihan
mengecup dahi Naura singkat, dan membuat Naura malu.
“Tunggu..” Naura mencekal lengan Jihan
kemudian mencium punggung tangan Jihan.
“Aku juga mencintaimu,”
“Berasa suami istri tahu gak,”
“Haha.. Aku ingin menjadi istri yang
baik,”
“Coba lakukan lagi,”
“Tidak mau, sudah sana pergi..”
“Iya – iya,” Jihan menghampiri motornya
kemudian melambaikan tangannya sebelum akhirnya hilang di telan tikungan. Naura
tersenyum lebar, kemudian memasuki rumahnya.
“Non, air hangatnya sudah siap”
“Makasih,” Naura mencium pipi sang
pelayan gemas, kemudian melangkah riang menuju kamarnya untuk mandi. Sang
pelayan tersenyum menggeleng – gelangkan kepalanya melihat tingkah anak
majikannya.
“Aku suka melihatnya seperti itu,”
“Aku juga, Non Naura selalu tampak manis
saat bahagia,” pelayan lain mengamini kemudian melanjutkan pekerjaannya masing
– masing.
Gilang
membuka pintu kamar adiknya pelan kemudian menghampiri sang adik yang masih
terbaring di atas ranjang, raut penyesalan memenuhi wajahnya.
“Maafkan Kakak,” lirih Gilang
menggenggam tangan sang adik erat, pelayannya bilang adiknya belum sadar sejak
kemarin. Sedang Naura, sang adik yang sedang berpura – pura pingsan tidak bisa
untuk tidak tersenyum.
“Kakak janji, Kakak gak akan ninggalin
Kamu lagi dan Kakak akan selalu ada buat Kamu meskipun Kamu sudah punya Jihan,
Kakak juga akan selalu buat Kamu tersenyum,”
“Benarkah???” sudah tak tahan Naura
bangkit dan menatap Kakaknya dengan mata bersinar.
“Kamu udah sadar??”
“Kak Gilang kena tipu, Aku udah baikan
kok, pasti Jihan bilang yang enggak – enggak deh,” Gilang terdiam kemudian
memeluk adiknya erat, tidak mau kehilangan sang adik.
“Kamu ini nakal yaa..” Naura hanya
tertawa menikmati kebersamaannya bersama Gilang.
“Biarin, wlee” dengan gemas Gilang
menggelitiki tubuh Naura dan itu membuat tubuh Naura memberontak kegelian. Mereka
tertawa, sudah lama Mereka tidak seperti ini sudah lama sampai rasanya Mereka
tidak ingin berhenti untuk melakukannya. Hari ini Mereka menghabiskan waktu
berdua dengan canda tawa, tak peduli tentang kemarin yang berduka atau besok
yang menjadi tanda tanya yang Mereka ingin adalah bagaimana membuat hari ini
menjadi hari yang bersejarah dan hari yang membahagiakan, hari dimana Mereka
bisa bersama seperti dulu dan bagi Mereka hari ini akan Mereka jadikan hari
terbaik di antara hari – hari yang lain.
To Be Continued
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar