Senin, 09 Januari 2017

Lost - Part 11

Hari berlalu, lana tidak masuk sekolah selama tiga hari setelah tragedi pingsannya di hari itu, sedangkan dias hanya duduk melamun sepanjang hari tidak berminat untuk datang ke sekolah, lusita sendiri tetap sekolah dan tetap berusaha bersikap normal, meskipun masih terlihat canggung di hadapan hamdi dan lyara. Hari keempat lusita akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah dias, membujuk laki – laki yang terluka itu, dan saat ini lusita hanya mampu menahan tangisnya saat melihat kedua tangan dias di perban. “Yas,” panggilnya pelan, mencoba menggenggam tangan dias, mencoba mentransfer kehangatan. “Kamu ngapain disini? Nanti lyara marah sama kamu,” lusita menggeleng. “Lyara marah karena aku salah, lagian hamdi juga gak curiga dan lyara belum cerita apa – apa ke hamdi, aku khawatir sama kamu,”
“Aku bodoh Lus,”
“Enggak,”
“Aku bukan sahabat yang baik buat hamdi, aku.. aku pecundang Lus, aku.. ya Tuhan rasanya sakit banget Lus,” lusita menyeka air matanya sendiri kasar. “Dengar, kita Cuma perlu bersikap baik – baik aja dihadapan hamdi, aku yakin hamdi gak akan kenapa – napa, kita jalani hari kaya’ biasanya, anggap aja lyara gak tahu apa – apa, bukannya lyara punya masalah sama ingatannya, jadi kita bisa beralibi, aku tahu ini salah tapi Cuma ini cara biar kita gak jadi pengkhianat di mata hamdi, setidaknya sampai kita berdua sama – sama yakin tentang perasaan kita,” dias hanya menunduk, air mata yang sejak kemarin ditahannya menetes juga, lusita yang melihat itu langsung mendekap dias, mencoba menenangkan dias dengan kehangatannya. Di ambang pintu lana menatap mereka dengan perasaan campur aduk.
            Lusita yang merasa dias sudah jauh lebih baik bergegas pulang, namun saat sampai di gerbang tangannya di cekal, lana menatapnya penuh tanya dan cenderung tajam.
“Kenapa kakak ngelakuin ini semua,??”
“Maksud kamu apa??”
“Kenapa kakak harus ada di kehidupan kak dias?? Kenapa kakak gak jujur sama kak hamdi tentang perasaan kakak?? Kenapa kakak malah lebih milih menjalin hubungan diam – diam dengan kak dias??”
“Siapa yang bilang?? Lyara??”
“Bukan, aku denger semuanya tadi, kalian jahat banget sih??”
“Bukan itu, aku gak mau hamdi benci sama aku, dias juga sama, kita terpaksa bohong karena gak mau buat hamdi sakit,”
“Kenapa kalian berfikir seolah kalianlah yang menguasai kak hamdi,”
“Kamu gak tahu rasanya di benci Lan, itu sakit sakit banget,”
“Tapi kalau kakak di benci karena kesalahan yang udah kakak buat, adil kan??” lusita mematung di tempatnya, sedangkan lana melangkah menuju rumahnya, menghiraukan lusita yang terdiam kaku di depan pintu gerbang.
            Dewa menghela nafas panjang saat mendapati lyara tengah melamun di kursinya, setelah adegan memalukannya waktu itu, dia menjadi lebih dekat dengan lyara dan menyatakan perasaannya kepada gadis itu dan disambut baik meskipun hubungannya harus secara sembunyi – sembunyi.  Lyara memang bercerita kalau hamdi sedang jatuh sakit, sehingga tidak ada yang menemaninya di rumah, akhirnya setelah berfikir lama dewa memutuskan untuk menghampiri lyara. “Ra,” tegurnya pelan, takut mengejutkan lyara yang sedang termenung. “Kenapa Wa??”
“Harusnya aku yang nanya gitu, kamu lagi kenapa?? Kok murung gitu??”
“Kak hamdi,”
“Kenapa?? Perasaan belum sembuh – sembuh aja,”
“Aku gak tahu Wa,”
“Kak hamdi pasti sembuh kok, pulang sekolah jadi ke rumah aku kan??” lyara mengangguk, sebenarnya dia masih penasaran dengan sosok ibu dewa yang menurutnya `sakit` namun sampai detik ini dia belum berani untuk menanyakannya. “Yaudah nanti mau langsung atau ganti baju dulu??”
“Langsung aja deh, abis ke rumah kamu kita ke RS yaa,” dewa mengangguk, menurutnya apapun  itu asal membuat lyara senang dia akan melakukannya. Sedangkan tak jauh, lana yang tengah merangkul bahu aira melepaskan rangkulan itu, menatap kebersamaan dewa dan lyara penuh tanya, kemudian ekor matanya mencari keberadaan bastian, sejak malam itu bastian tidak masuk sekolah karena sakit dan jujur dia benar – benar bingung dengan semua yang terjadi akhir – akhir ini, dias yang akhirnya sekolahpun sekarang menjadi begitu pendiam, malam itu luka dimalam itu masih basah dan terasa sakit.
            Dea membaca komik di tangannya dengan perasaan tidak karuan, jelas saja sudah beberapa hari ini bastian tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, mungkin kalau lana bisa dimaklumi namun pemuda berkulit pucat itu hanya ijin selama tiga hari sedangkan bastian sudah hari kelima tidak masuk sekolah membuatnya merasa begitu khawatir. Lyara yang menyadari kemurungan sahabatnya itu hanya mampu menatap dea dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mereka berdua sama – sama tidak tahu kondisi bastian. Mereka tidak tahu kalau bastian sedang tergolek lemah di ranjangnya dengan tatapan kosong dan jangan lupakan matanya yang bengkak, bu sandra mati – matian menahan tangis melihat kondisi putra semata wayangnya, sebuah fakta yang selama ini disembunyikan dari bastian akhirnya terkuak setelah malam itu dan sampai sekarang putra paling disayangnya itu masih belum bisa menerimanya. “Bu,” bastian melirih, memanggil wanita hebat yang sudah merawatnya dengan sabar seorang diri. Bu sandra yang mendengar itu bergegas menghampiri putranya itu, senang akhirnya putranya mau berbicara setelah sekian hari. “Bu, kalau aku buta siapa yang bakal jagain Ibu??”
“Kamu gak akan buta sayang, kalau kamu berhenti ngambek, Ibu akan lakuin apapun biar kamu sembuh,  kamu jangan kaya’ gini lagi yaaa Ibu takut kalau kamu kaya’ gini,” air mata bu sandra menetes begitupun dengan bastian. “Kita ke rumah sakit yaa, kita obatin mata bengkakmu, kalau dirumah terus kamu gak bisa lihat lyara, kamu gak kangen?? Makanya bengkaknya harus sembuh biar bisa sekolah dan lihat lyara lagi,” bastian mengangguk kemudian dengan dibantu bu sandra bangkit dari posisinya dan melangkah tertatih menuju mobil. Dia akan melakukan apapun demi tetap melihat lyara.
            Lusita menatap dias yang sedang termenung di pinggir lapangan basket, saat ini adalah istirahat makan siang sebelum pemadatan untuk UN, lusita tahu dias belum makan hingga dia memutuskan untuk membawakan makanan untuk dias. “Yas,makan dulu yaa aku suapin,” dias menggeleng membuat lusita menghela nafas panjang. “Yas, kamu jangan gini terus dong, kalau kamu kaya’ gini semua orang bakal curiga,”
“Sakit Lus,” lusita hanya menghela nafas panjang, perban masih melilit kedua tangan dias sepertinya kakaknya tidak berniat melepas perban itu sampai lukanya benar – benar sembuh, bukan luka ditangan saja namun juga luka di hati dias. “Kenapa jadi aneh, harusnya kita baik – baik aja, kemarin sandiwara kita lumayan kan?? Setidaknya hamdi masih menganggap kita ada Yas, seenggaknya hamdi gak benci sama kita,”
                 
“Sekarang enggak, kalau dia udah tahu,?” lusita benci bila diingatkan seperti itu, dia tidak mau menjadi pecundang, demi apapun tidak mau. “Sekarang ya sekarang Yas, jangan mikirin besok yang gak pasti, aku mohon Yas, kita Cuma bersikap normal aja kok,” dias menghela nafas panjang kemudian bangkit dan meninggalkan lusita tanpa kata.
            Hamdi menatap jam dinding yang berada di kamar rawatnya, kemudian menghela nafas panjang biasanya lyara akan berkunjung untuk menemaninya jalan – jalan ditaman, namun hari ini lyara bilang ada urusan dengan dewa dan datang terlambat, jadilah hamdi duduk merenung sendiri, memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Sebenarnya hamdi sudah merengek minta pulang kepada kakek dan paman – pamannya, namun mereka sama sekali tidak menggubrisnya dan menahannya di rumah sakit lebih lama, namun sekarang dia bersyukur karena infus yang membuat tangannya kebas bukan main sudah dilepas, tinggal pemulihan kondisi begitu kata kakeknya. Menurutnya, proses pemulihan itu bisa dilakukan dirumah namun sang kakek benar – benar melarangnya dengan alasan tidak bisa mengontrol. “Sekarang udah tahu gimana rasanya kan??” hamdi tersenyum mengingat ucapan lyara saat hamdi melaporkan perihal kelakuan kakek dan pamannya. Namun kemudian berubah murung saat sang kakek dan paman sama sekali tidak memberitahunya perihal sakitnya selain bengkak di perutnya yang sekarang sudah memudar. Merasa bosan, akhirnya dengan tubuh yang masih lemas hamdi turun dari ranjang berniat jalan – jalan sendiri di taman, hamdi menyambar jaket yang kemarin dibawakan lyara memakainya kemudian berjalan keluar kamar, sejenak dia melihat kesekeliling kemudian tersenyum  dan memakai tudung jaketnya, berjalan mengendap seperti pencuri, dalam hati hamdi tertawa ingin melihat bagaimana ekspresi kakeknya saat tidak mendapatinya di kamar, menyenangkan hamdi baru tahu perasaan lyara saat mencoba kabur dari rumah sakit.
            Lyara yang kedua kalinya memasuki halaman rumah dewa masih saja terkagum dengan bunga – bunga indah yang terawat begitu baik di halaman yang tidak begitu luas itu. Dilihatnya ibu dewa, melisa sedang menyiram tanaman dengan senyuman manisnya namun sekali lagi tatapan mata melisa kosong. Dan itu sukses membuat dahi lyara berkerut. “Ra, ayo,” ajakan dewa membuatnya bergegas mengikuti laki – laki berkulit putih bersih itu.
“Wa, kenapa ibu kamu nyiram tanamannya sekarang, bukannya paling bagus itu sore sama pagi yaa?” dewa menelan saliva pahitnya, pertanyaan itu juga sedari dulu ditanyakan, namun bukannya mendapat jawaban dewa malah dianggap angin lalu. “Aku udah nanya itu ratusan kali, tapi ibu Cuma jawab dia maunya sekarang,”
“Aneh,”
“Ayo masuk, kita harus selesaiin pekerjaan kita kan??” lyara mengangguk mengikuti langkah dewa dengan lunglai. Lyara menghela nafas panjang saat melisa langsung berlari begitu melihatnya, berlari ketakutan sembari menutup kedua telinganya dan itu membuat lyara mengambil satu kesimpulan.
            Aira menatap wajah lana dengan senyuman yang terpatri kuat, dia tidak menyangka bahwa sekarang dia menjadi kekasih lana, orang yang sudah lama dikaguminya itu dan berhasil membuat lana jauh dari lyara, namun kemudian senyuman itu luntur saat lana terlihat berbeda belakangan ini. Bahkan beberapa kali lana terlihat enggan dengan rangkulannya. “Kamu sekarang aneh, kamu kenapa Say??” lana tersenyum kemudian menggeleng merasa semakin bersalah saat melihat wajah aira yang menatapnya penuh cinta dan wajah lyara yang terluka karena malam itu. Lana menghela nafas panjang, sampai saat itu tanda tanya itu masih berputar di otaknya, dia merutuki dirinya sendiri yang begitu lemah sehingga tidak mendengar apa jawaban sang kakak. Dan sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya, mengingat kondisi dias yang sangat menyedihkan, bahkan kakaknya itu semakin pendiam, makan tidak lagi teratur, kerjaan sang kakak hanya duduk melamun, tidak peduli dengan teriakan lita yang menyuruhnya ini  dan itu, awalnya semuanya begitu runyam ayah dan ibunya berulang kali menegur, namun dias hanya diam, pun saat fandi ataupun lita memarahi dias, hingga mereka mencoba memahami dias setelah percobaan bunuh diri dias, mereka mencoba memberi dias waktu untuk berfikir dan menenangkan diri. Lana menghela nafas panjang, yang dia tahu ada sebuah hubungan spesial antara dias yang notabene sahabat hamdi dan lusita yang merupakan kekasih hamdi, ada pengkhianatan disana yang membuat dias uring – uringan dan membuat lusita menjadi jahat dan egois sebenarnya dia tidak tega mengatakan itu namun itulah yang bisa disimpulkannya dari semua kekacauan malam itu dan dias semakin terpuruk saat dipaksa berpura – pura, setahunya kakaknya tidak pernah berpura – pura. Dan lana bisa mengambil kesimpulan bahwa dias tertekan, lana mengepalkan tangannya dia membenci lusita.
            Hamdi yang tengah jalan – jalan dan bersorak riang karena aksi kaburnya tidak diketahui tidak melihat jalannya hingga menabrak seseorang. “Ekh, maaf..” hamdi membantu orang yang telah ditabraknya kemudian memberikan senyumannya membuat orang yang ditabraknya yang merupakan seorang gadis melongo. “Cucu direktur tidak ada dikamarnya, kita harus mencarinya jangan sampai kita kena skors,” mendengar percakapan perawat yang melangkah dengan terburu – buru membuat hamdi sedikit panik. “Sekali lagi, maaf.. aku harus pergi,” selanjutnya hamdi berlari – lari kecil, berniat bersembunyi sejauh mungkin, dia baru sebentar menghirup udara bebas. Sedangkan gadis yang bertabrakan dengan hamdi tadi hanya menatap hamdi dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Hamdi menghentikan langkahnya di taman yang menurutnya jauh dari perhatian orang – orang, hamdi mengatur nafasnya yang sedikit sesak karena berlari – lari, duduk di sebuah kursi yang tersedia kemudian bibirnya melengkungkan senyuman, hamdi sekarang mengerti kenapa lyara sangat suka kabur, karena rasanya menyenangkan membuat orang panik. Senyuman itu luntur saat kepalanya mulai terasa sakit, membuatnya menghela nafas. Hamdi menyenderkan punggungnya di punggu bangku panjang yang muat dua orang itu. “Hey, ini milikmu kan??” tiba- tiba gadis yang ditabraknya tadi menyodorkan earphone dan mp3 playernya, hamdi tersenyum merutuki otaknya yang melupakan benda kesayangan lyara yang dititipkan kepadanya sebagai penghibur saat bosan dengan ocehan sang kakek. “Akh iya, terima kasih, duduklah,” gadis itu duduk disamping hamdi dengan bingung. “Aku hamdi,”
“Anya,”
“Kamu ngapain disini??”
“Jemput kakak sepupuku, dia perawat disini tapi kaya’nya lama gara – gara disuruh nyari cucu direktur dulu,” hamdi ingin tertawa sebenarnya, dia benar – benar merasakan bagaimana menjadi lyara, tawanya sudah tidak  bisa dibendung langsung lepas begitu saja membuat anya kebingungan dengan teman barunya itu. “Kenapa kamu ketawa??”
“Cucu direktur itu pasti nakal yaa,”
“Gitu deh, aku sebenarnya disuruh bantu tapi aku malah kesini buat nyari kamu, lagian kak ira gak ngasih tahu ciri – cirinya gimana,” mendengar nama itu membuat hamdi kembali tergelak, dan membuat anya heran untuk kesekian kali. Suara dering ponsel anya membuat tawa hamdi berhenti, anya mengangkat telfon dari kakak sepupunya itu kemudian mendengus sebal. “Yaudah, aku disuruh bantu nih, aku pergi dulu yaa, kalau aja nanti aku ketemu sama cucu direktur itu aku bakal bejek – bejek,” hamdi kembali tertawa membuat anya semakin heran, namun meninggalkan hamdi begitu saja, lihatlah anya tidak tahu kalau yang sedari tadi berbicara dengannya adalah orang yang dicarinya.
            Lyara yang melihat hamdi tertawa sendiri bergegas menghampiri kakak sepupunya yang sepertinya sedang dalam mode kurang waras. “Kak,?? Kakak waras, perlu aku panggil tante sarah??” hamdi yang mendengar suara lyara menghentikan tawanya, menyeka air mata disudut matanya, kemudian menatap lyara yang sudah duduk anteng disampingnya. “Kamu tahu gak Ly, kakak baru ngrasain gimana asyiknya buat orang panik,” lyara yang masih belum nyambung menatap hamdi penuh tanya. “Oke, kakak jelasin kamu tahu kan kalau aku belum boleh keluar rumah sakit, dan gak boleh jalan – jalan kalau gak ditemani sama orang lain, dan kamu tahu kakak ngelakuin apa yang kamu lakuin dulu, jalan – jalan tanpa orang lain, sendirian dan aduuh kamu tahu mbak ira aja gak tahu kalau ada disampingnya berkat jaket ini, dan aku ketemu adik sepupu mbak ira dia juga disuruh nyari aku dan kamu tahu anya sama sekali gak tahu kalau orang yang dicarinya ada dihadapannya, Ly.. sumpah itu.... au,” cerita hamdi terpotong rintihannya karena telinganya terasa panas, sedangkan lyara hanya tersenyum di tempatnya sebenarnya sudah sejak tadi lyara memperingatkan tentang kehadiran kakek hendra dan om farkhan namun hamdi masih asyik bercerita membuatnya tidak tega sekarang lyara hanya tersenyum meringis saat kedua telinga hamdi dijewer, ayolah lyara pernah merasakan itu dan rasanya pasti sangat panas. “Jangan membuat semua orang khawatir hamdi, kamu ini yaa sudah berani kabur lihat nanti kakek akan menunda kepulanganmu dari rumah sakit dan memberimu obat tidur dengan infus di kedua lenganmu biar kamu gak kemana – mana,”
“Kakek, Om lepas dong panas nih telinga hamdi, Ly tolong kakak..”
“Emang si kak, buat orang lain cemas itu asyik, tapi gak asyik kalau ketahuan hehe, aku pernah dihukum seperti itu dulu, ingat??” hamdi menghela nafas panjang, rasa panas ditelinganya berganti rasa nyeri yang menyakitkan dibagian kepalanya, refleks hamdi memijat bagian kepala yang terasa sakit, dan itu membuat kakek hendra dan om farkhan melepaskan tangannya dari telinga hamdi dan lyara menjerit karena melihat hamdi mimisan, dan mereka semakin panik saat tubuh hamdi perlahan limbun. Hamdi pingsan untuk kesekian kalinya.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Lost - Part 10

Lyara termenung di ambang pintu, disampingnya bastian terheran. Kemudian mengikuti arah pandang lyara, dan mendapati kedua kakak kelasnya duduk di sofa di ruang tamu keluarga Dharma. “Ra..” lyara tersentak, kemudian melangkah menemui kedua kakak tingkatnya itu. “Tumben main kak, ada apa??” lyara bertanya dengan dingin, tanpa duduk terlebih dahulu, membuat bastian mengerenyit. “Kamu baru jalan sama bastian yaa?” salah satu diantara mereka berusaha menggoda, mencoba mencairkan suasana.
“Namanya Iyan, jangan basa basi Aku hanya butuh jawaban, bukan pertanyaan,” jawaban lyara membuat kedua kakak kelas di hadapannya yang merupakan lusita dan dias bungkam. “Baiklah, kami disini ingin mengetahui, keberadaan hamdi,”
“Menurut kalian??”                                                     
“Kami sudah mencari ke rumahnya, dan pelayan di sana bilang, hamdi belum pulang,”
“Mungkin saat ini sudah,” lusita dan dias menghela nafas panjang, mereka tidak tahu kalau akibatnya akan menjadi seperti ini. Setelah Kemarin, tanpa sengaja lyara melihat mereka sedang jalan – jalan berdua, bergandengan dan... mereka tidak bisa menjelaskannya. “Kalian mengkhianatinya, kenapa kalian mencarinya, hidupnya sudah cukup menderita, jangan tambah lagi penderitaannya, hidupnya sudah banyak luka, jangan tambah luka itu, jangan lukai hatinya.. ku mohon, jangan teruskan pengkhianatan kalian, jangan sampai kak hamdi tahu..” bastian yang melihat lyara begitu emosi mengerenyit heran. Lusita menghela nafas kasar. “Itu semua salah paham !! Aku sama dias gak ada hubungan apa – apa !! kamu ngerti gak siih?? Kamu itu dah dewasa lyara ! kamu bukan anak kecil lagi yang harus di manja!! Kamu mikir gak sih !!! jawab lyara !! jawab !! apa kejadian malam itu belum cukup buat kamu jauh dari hamdi !!??” lyara tersenyum miring. “Aku tidak akan pernah menjauh dari kak hamdi, karena Dia kakakku, berbicara dewasa dan salah paham.. sebenarnya siapa yang mengalami dua hal itu??” lusita mengepalkan tangannya kuat, Dia sudah lelah terus mengalah. “Kalau begitu ambil hamdi !! beritahu kepadanya tentang pandanganmu kepada kami !!” lyara tersenyum miring. “Aku tidak akan memberitahunya, kalau kalian memang bukan pecundang akuilah itu di depan kak hamdi,” lyara berkata dengan begitu tenang. “Bilang, hamdi, Aku cemburu dengan kedekatanmu dengan lyara jadinya saat dias mendekat Aku mau saja, karena Aku juga menyukainya.. tapi Aku mencintaimu, bla.. bla... blaa,” tangan lusita terangkat, namun kemudian air matanya menetes. “Asal kakak tahu, betapa kak hamdi sangat mencintai kakak, melebihi apapun, kak hamdi selalu cerita sama Aku kalau Dia Cuma mau kakak jadi istrinya, kakak melayani Dia, kakak membelai Dia, manjain Dia, mungkin hari ini, mungkin sekarang kak hamdi memanjakanku, tapi satu hal yang perlu kakak tanamkan dalam otak kakak, kak hamdi sangat mencintai kakak, teruskan apa yang membuat kakak bahagia, tapi ku mohon jangan tunjukkan itu di depan kak hamdi..” dias menatap lyara tidak percaya, apalagi saat melihat lusita menangis semakin keras. Saat lyara berbalik, dias mencekal lengan lyara kemudian menamparnya begitu saja, membuat lyara tersentak,pun dengan bastian. Mata bulat lyara melotot, menatap tajam dias yang terlihat sangat marah. “Kenapa kakak melakukan ini?? Kakak marah ?? tersinggung? Aku tidak tahu kalau sahabat yang selalu di banggain kak hamdi di depanku adalah orang yang temperamen, pecundang, pengkhianat dan kasar !!”
“Diam !! tahu apa kamu tentang Aku??”
“Aku tahu semuanya, karena kak hamdi bercerita kepadaku, bahwa kakak adalah sahabat terbaik kak hamdi !!” tangan dias kembali mengepal, kembali menampar lyara untuk kedua kalinya. “KAK DIAS ?? APA YANG KAKAK LAKUKAN??” setelah teriakan penuh emosi itu bergema, lyara jatuh tidak sadarkan diri di pelukan bastian. Dan itu membuat tangan bastian mengepal kuat.
            Lana menatap pintu jati yang tertutup rapat, setelah dias menampar lyara dan berakhir dengan ambruknya lyara di pelukan bastian juga amarah bastian yang langsung mengusirnya juga dias dan lusita. Lana menghembuskan nafas kesal, Dia tidak tahu kalau kakaknya menampar lyara dan dia tidak tahu apa akibat dari bentakannya. Lana menghela nafas panjang, akhir – akhir ini setelah keputusannya menyatakan perasaan palsunya kepada aira, lyara menjadi jauh darinya dan dia sangat merindukan lyara. Lana akhirnya berbalik, bertahan juga tidak ada gunanya karena pastilah bastian tidak mengijinkannya untuk masuk, sepanjang perjalanan ada sebuah pertanyaan yang terlontar dari hatinya tentang bastian. Laki – laki itu begitu marah saat lyara tersakiti, dan penampilan laki -  laki itu sangat berbeda dengan bastian yang selama ini dia kenal, kaca mata persegi yang membingkai mata bastian lenyap dari tempatnya dan juga behel yang biasanya terpasang juga lenyap membuatnya sedikit pangling dengan bastian dan stylenya yang lebih kepada lain dari biasanya, bukan hanya itu perhatian dan kemarahan bastian juga menjadi tanda tanya besar di otaknya hingga otaknya mengambil kesimpulan bahwa selama ini ada musuh terselubung yang ingin berdiri di sisi lyara selain dewa, anak baru itu. Dan tanda tanya besar di otaknya adalah tentang pertengkaran kakaknya dengan lyara, tantang lusita dan tentang kealpaan hamdi di rumah keluarga dharma itu. Lana harus menanyakan hal itu kepada kakaknya.
            Bastian membelai lembut rambut lyara yang sedikit lepek karena keringat, bastian menghela nafas panjang menatap wajah yang terlihat polos saat terpejam dan wajah yang terlihat semakin cantik saat mata bening itu terbuka. Bastian menghela nafas panjang, bosan juga dengan suasana hening yang tercipta bastian memijat pelipisnya sedikit mengurut bagian matanya saat dirasakan mulai pening dan berdenyut. Bastian menghela nafas panjang, saat menyadari bahwa dia melupakan sesuatu kemudian dengan langkah pelan bastian meninggalkan kamar lyara, dia harus pulang. Belum sempurna bastian menginjak anak tangga terakhir suara seseorang menghampiri indera pendengarannya. “Bas?? Ya Tuhan,” suara itu bergegas menghampiri, menuntunnya. “Harusnya kamu memakai kaca matamu, kamu selalu membuat Ibu khawatir Bas,” bastian tersenyum saat wanita yang telah merawat dan mendidiknya seorang diri itu memakaikan kaca mata untuknya. “Aku udah gapapa Bu, Ibu ngapain kesini??” wanita itu tersenyum membelai pipi bastian lembut menatap mata bastian yang memerah. “Ada urusan pekerjaan sayang, tadi udah selesai jadi kita pulang yuk !” bastian mengangguk. “Lagian kamu juga harus meminum vitamin untuk matamu itu,” bastian tersenyum menurut saja tidak menyadari bahwa wanita yang dipanggilnya ibu itu menyeka air mata di sudut matanya. “Kamu kesini bawa motor??”
“Ya iyalah Bu, emang mau bawa apa lagi?? Mobil?”
“Kita tinggal motornya ya sayang, kita pulang naik taksi saja,”
“Tapi Bu, bagaimana besok aku sekolah??”
“Ibu antar, lagian ini sekalian mau ngambil mobil di bengkel kok, gapapa kan??” bastian mengangguk saja tangannya terangkat ingin mengucek matanya yang gatal, namun tangan sang ibu mencegahnya. “Jangan di kucek, nanti kotorannya tambah masuk lho,” bastian hanya pasrah, mengangguk saja sedangkan wanita berkaca mata itu mempercepat langkahnya, dia ingin lekas sampai rumah. Sedangkan di ambang pintu keluarga dharma, bu nirma dan pak dharma menatap kepergian sepasang anak ibu itu dengan pandangan iba “Kasihan sandra ya mas, dia hanya memiliki bastian, akan sangat sakit saat bastian pergi dari hidupnya,”
“Seorang ibu akan melakukan apapun untuk mempertahankan anaknya, bahkan dengan nyawa sekalipun, sandra tidak akan membiarkan bastian pergi begitu saja, saat ini farkhan sedang mengusahakan yang terbaik bersama rekannya untuk bastian,”
“Semoga mereka selalu diberi kebahagiaan,” pak dharma tersenyum, merangkul bahu istrinya erat kemudian mengecup kening istrinya lembut, sedangkan matanya menyorotkan sebuah perasaan bersalah.
            Hamdi meringis saat jarum suntik menusuk bagian lengannya, tangannya yang terbebas jarum infus yang semula mencengkeram erat perutnya perlahan melemas, nafasnya yang tadinya tersengal juga mulai normal, kakek hendra baru menyuntikkan obat penghilang rasa sakit pada hamdi, sedangkan hamdi sendiri menelan saliva pahitnya sakit yang dirasakannya sejak lyara pergi berangsur  hilang, nafasnya masih sedikit memburu wajah kakeknya buram oleh air mata namun dia bisa merasakan kakek hendra menyeka air matanya, menyingkirkan tangannya dari perutnya dan membuka pakaiannya dan menghela nafas panjang saat mengamati lebih dalam. “Ham, tidur aja,” hamdi tidak menjawab tenaganya seolah habis tubuhnya terasa sangat lemas sekaligus kaku. “Kakek mau apa??” hamdi mencoba bertanya meskipun suaranya terdengar seperti bisikan sedangkan kakek hendra tersenyum, kembali mengacingkan kembali piyama hamdi. “Gapapa,” kakek hamdi tersenyum kemudian mengambil masker oksigen yang berada disamping ranjang hamdi, memakaikannya dengan telaten di bagian mulut dan hidung hamdi. “Kek..” hamdi mencoba melirih namun urung saat suntikan kedua di lengannya membuat dunianya gelap. Kakek hamdi menghela nafas panjang, memastikan hamdi benar – benar terlelap kemudian memanggil anak – anaknya yang berdiri menunggu di depan pintu. “Bagaimana keadaan hamdi Yah, aku sungguh panik waktu suster ira memberitahu hamdi kesakitan, maafkan kami Yah karena gak bisa menjaganya,” kakek hendra tersenyum menggeleng pelan. “Tidak apa, Ayah tahu kalian mempunyai kesibukan masing – masing, kondisi hamdi stabil hanya saja di kehilangan banyak energi saat mendapat serangan tadi, perutnya benar – benar membengkak dan ternyata bengkak itu tidak hanya di perutnya,”
“Maksud ayah??” farkhan mencoba bertanya, bingung dengan maksud sang ayah. “Dadanya juga mengalami pembengkakan, dan ayah menebak pembengkakan itu ada di jantungnya,” ketiga anak mantunya yang juga dokter itu melotot kompak. “Luka di dada gak melulu soal jantung yah,” farkhan mencoba menyanggah. “Tapi kak, luka di dada gak bisa dianggap remeh gitu aja, untuk membuktikannya kita harus mengadakan pemeriksaan lebih lanjut,” cakra angkat bicara, sebagai seorang spesialis dia tentu yang paling khawatir. “Kita adakan pemeriksaan setelah nafas hamdi normal, mungkin beberapa menit lagi infusnya juga harus diganti dan kalian bisa mempersiapkan segalanya sebelum terapi pertama untuk hamdi dimulai, karena sebelum terapi organ vital hamdi yang satu itu harus stabil,” cakra, satria dan farkhan mengangguk paham, sedangkan kakek hamdi tersenyum, melirik hamdi yang masih terlelap dalam pengaruh obat biusnya. “Kakek akan lakukan apapun buat kamu Ham, kakek gak akan ngelepasin satu cucu kakek lagi, cukup revan, jangan lyara kamu atau yang lain, kakek janji,” mendengar itu membuat ketiga dokter muda juga menghela nafas panjang hanya mampu mengusap bahu ayah mereka.
            Lana menatap dias penuh penekanan, dia berharap kakaknya itu menjawab pertanyaannya yang sedari tadi berputar di otaknya. “Kak jawab aku kak !” lana mengguncangkan bahu dias kuat namun dias hanya diam masih berusaha meresapi perkataan lyara. “Kenapa lyara bisa semarah itu sama kakak?? Dan apa hubungan kakak sama kak lusi? Dan apa hubungannya dengan kak hamdi, jawab aku kak, kenapa kakak tiba – tiba nampar lyara, dan kenapa ada bastian disana, kenapa kak lusi nangis disana?? Jawab aku kak ! jangan buat aku gila dengan semua pertanyaan ini kak,” dias menghela nafas panjang saat nafas lana mulai tidak beraturan. “Aku mencintai lusi,” jawaban dias yang singkat namun mewakili semua pertanyaan itu namun lana tidak mendengar jawaban itu karena lana sudah terlebih dahulu jatuh pingsan di samping dias, sedangkan dias hanya memandang kosong ke arah kamarnya yang berantakan kemudian membuka telapak tangannya yang terasa kebas dan gelap. Fandi yang melihat kedua adiknya tergeletak tidak sadarkan diri langsung panik dan khawatir, yang pertama di tolongnya adalah lana, dia membopong tubuh adik bungsunya menuju kamar. “Lita !!! tolongin dias, cepet !!” lita yang datang tergopoh langsung masuk kamar dias dan memekik pelan saat melihat kedua telapak tangan adiknya itu berlumur darah.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Lost - Part 9

Hamdi duduk termenung di pohon mangga belakang sekolah, tidak peduli dengan perutnya yang meronta kelaparan, pasalnya perutnya terasa sangat nyeri dan ngilu. Hari ini adalah jadwalnya menghindari semua orang, yaa Dia memang bersekolah namun tidak masuk kelas sama sekali, Dia tidak ingin siapapun melihat lebam di wajahnya. Hamdi menghela nafas panjang saat kepalanya kembali terasa sakit, Dia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya akhir – akhir ini kepalanya sering terasa sakit, bermain basketpun terasa sangat melelahkan, bahkan mimisan yang sering muncul bersamaan dengan sakit di kepalanya, semua itu membuatnya gundah. Hamdi menyenderkan tubuhnya di batang pohon yang kokoh, Dia ingin istirahat sebentar, berharap sakit di kepalanya yang semakin bertindak anarkis menghilang. “Hamdi,!” namun teguran seseorang dengan nada berwibawa membuat hamdi tertegun, menegakkan tubuhnya kembali dan menemukan sosok laki – laki yang berusia hampir senja menatapnya tajam. “Turun sekarang juga,” hamdi menelan salivanya, meskipun sakit di kepalanya berhasil membuat pandangannya buram, namun hamdi tahu siapa yang menegurnya. Dengan perlahan Dia mencari pijakan untuk turun, namun naas, keseimbangannya goyah hamdi terjatuh dari pohon. “Hamdi,!!” laki – laki beruban itu membantu hamdi bangkit. “Maaf,” hamdi mencengkeram erat kepalanya, sakit itu semakin menyiksanya. Laki – laki berumur yang sebenarnya ingin menegur hamdi itu panik saat darah mengalir dari hidung cucu pertamanya, di ikuti limbunnya tubuh sang cucu ke arahnya, dan mendadak hatinya terenyuh saat melihat lebam di wajah sang cucu.
            Kakek hendra menghela nafas panjang, hamdi masih dibiarkan terpejam, di tatapnya sang besan dengan tatapan lelah. Di elusnya lembut surai hitam hamdi, para perawat sedang memasang infus di lengan hamdi, cucunya itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan.
“Hendra.. ada apa dengan hamdi??” kakek hendra menghela nafas panjang. “Kita bicarakan di ruanganku, mari..” kakek andi mengangguk mengikuti langkah sang besan, sebelumnya menatap hamdi yang masih terlelap.
            Kakek hendra membolak – balikkan map biru di tangannya, hasil pemeriksaan hamdi tempo hari. Kemudian di tatapnya sang besan dengan sedih, menyodorkan map itu dengan berat. Kakek andi, menerima dengan ragu, kemudian mulai membuka lembaran yang tersimpan di map itu.
“Aku gak ngerti, langsung saja jelaskan..” kakek andi meletakkan map itu, Dia tidak begitu paham dengan medis. “Ada sel kanker terdeteksi di tubuh hamdi, itu hasil pemeriksaan tempo hari, dua hari sebelum panca dan shilla pulang, pelayan di rumah hamdi menelfonku dengan panik, mereka bilang hamdi pingsan, badannya panas, aku pikir itu demam biasa, namun saat melihat kondisinya dan melihat tumpukan tisu bekas darah di kamarnya, aku mengambil sample darahnya dan mengeceknya, dan ini hasilnya,” kakek andi menggelengkan kepalanya pelan, tidak percaya. “Bagaimana bisa?? Dia itu seorang atlet, pola hidup Dia pasti sangat sehat, coba cek ulang,” kakek hendra menghela nafas panjang, menyenderkan punggungnya di punggung kursi. “Awalnya Aku juga tidak percaya, aku sudah mengatakannya kepada farkhan untuk cek  ulang, dan farkhan menyanggupi, hasilnya tetap sama, ada sel kanker terdeteksi, bahkan saat cakra, satria dan dokter lain mengeceknya, tidak ada kesalahan dalam hal ini,” kakek andi menunduk wajahnya sangat muram. “Tapi, saat farkhan mengatakan bahwa pemeriksaan dari sampel darah saja tidak cukup, dan harus ada pemeriksaan yang lain, jujur itu membuatku bernafas lega,” kakek andi mengangkat kepalanya yang terasa berat. “Tapi, saat melihat wajah hamdi begitu pucat, di hari kepulangan kedua orang tuanya, Aku pesimis,” kakek andi mengangguk.
“Aku sempat melihat pergerakan aneh, hamdi tiba – tiba buru – buru ke kamarnya sembari menutupi wajahnya, dan tak lama, setelah kau datang bersama yang lain, hamdi turun dan bajunya sudah di ganti, hendra.. aku ingin yang terbaik untuk Dia, kalau memang sel kanker itu ada, lakukan yang terbaik..”
“Permasalahannya bukan di situ, hamdi sudah kelas 3 SMA, Dia sudah besar, Dia pasti ingin membanggakan panca dan shilla, hanya saja mereka selalu memandang hamdi rendah, kau tahu itu kan??” kakek andi mengangguk membenarkan. “Dan aku ingin hamdi semangat meraihnya, kalau hasil pemeriksaan kali menjelaskan lebih rinci, aku tidak ingin hamdi mengetahuinya,”
“Bagaimana caranya??”
“Untuk beberapa hari ini, hamdi perlu di rawat intensif, ada pembengkakan di perutnya, dan cedera otak ringan, dan kau tahu kenapa kakinya bisa terkilir??” kakek andi tersenyum. “Dia jatuh dari pohon tadi, dan Aku terlambat menolongnya, Dia sudah jatuh terlebih dahulu dan kepalanya membentur pohon, anak itu Dia adalah cucu paling hiperaktif,”
“Seandainya kamu lebih cepat,” ucapan kakek hendra membuat kakek andi mendelik. “Ku pikir Dia pingsan karena terbentur, karena Dia sempat memegang kepalanya sebelum akhirnya jatuh  ke pelukanku, jadi bagaimana rencananya??”
“Kalau memang benar, aku akan membuat hamdi tertidur terus dan melakukan terapi lebih lanjut, dalam keadaan tidak sadarnya, dan memberinya obat – obatan,” kakek andi mengangguk. Kesepakatan Dua kakek itu benar – benar membuat semuanya menjadi baik, andai saja hamdi tahu, namun sayang Dia bahkan tidak tahu apapun dari siapapun.
            Hamdi membuka matanya pelan, di tatapnya sekeliling terlihat asing, seingatnya dia tadi bertemu dengan kakeknya, ayah dari sang ibu di halaman belakang sekolah. Sang kakek menegurnya yang tengah berbaring di atas pohon, kemudian dia tidak ingat apapun. Hamdi mengangkat tangannya saat merasakan perih di kepalanya, namun hanya menggantung saat menyadari ada sesuatu di lengannya, hamdi mencoba mengangkat tubuhnya namun naas, bagian perutnya terasa sangat sakit membuat hamdi mengerang kecil dan kembali ke posisinya. Hamdi menelusuri ruangan yang saat ini Dia tempati, saat melihat jam dinding yang menunjukkan jam pulang sekolah, hamdi lekas bangkit namun sekali lagi sakit di bagian perutnya dan pening yang menderanya membuatnya ingin menyerah.
“Hamdi... jangan bangun dulu, oke?” entah dari mana datangnya, dua kakeknya dan beberapa pamannya menghampirinya. Sekarang hamdi sadar kalau sekarang Dia berada di salah satu ruang rawat rumah sakit sang kakek. “Kamu ini, mau kemana heum??” om farkhan, sang paman bertanya sembari membantu hamdi untuk berbaring kembali dan memasang kembali infus yang sempat di lepas hamdi, dan itu membuat hamdi meringis saat jarum infus menusuk bagian lengannya, om farkhan juga memasang alat pengukur tekanan darah di lengannya.
“Aku ingin pulang, ini sudah jam pulang sekolah,” jawaban hamdi membuat kedua kakeknya mendelik. “Hamdi, kamu bahkan tidak masuk kelas hari ini, kenapa mau pulang?? Kau membuat lyara khawatir hamdi,” hamdi menunduk, entahlah perlakuan tidak biasa yang di tunjukkan oleh kedua kakeknya dan pamannya membuatnya gundah. “Kalau Aku tidak pulang lebih cepat, ayah dan ibu akan marah lagi,”
“Ham, perutmu bengkak, kepalamu terluka dan kakimu terkilir, kamu tidak baik – baik saja,”
“Aku baik,” hamdi mencoba bangkit namun kembali meringis. “Jangan terlalu di paksakan, biar kami yang mengatakan kepada mereka bahwa kau sakit, lagian mereka terbang ke amrik lagi hari ini,” mendengar penuturan sang kakek membuat hamdi menunduk, membuang pandangannya ke jendela yang terbuka lebar. “Tinggalin hamdi sendiri,” mereka mematung untuk sejenak. “Biar om periksa dulu kondisi kamu,”
“Tinggalin hamdi sendiri,” mereka menyerah dan berlalu meninggalkan hamdi yang merenung menatap pemandangan taman rumah sakit di hadapannya. “Seharusnya kalian gak usah pulang aja, kalau pada akhirnya ninggalin aku sendiri lagi dalam kondisi kaya’ gini,” gumamnya pelan, membiarkan air mata mewakili perasaannya.
            Lyara menatap hamdi dengan tatapan sebal, sudah beberapa kali Dia menyodorkan sendok ke mulut kakak sepupunya itu, namun hamdi masih bergeming.
“Kak.. makan dulu ikh,” hamdi masih diam, hatinya masih terluka. “Kak.. Aku gak mau kalau kakak sakit lagi, jadi makan kumohon,” hamdi menatap lyara, adik sepupunya yang paling dekat dengannya itu berkaca – kaca. Kemudian hamdi menghambur ke dekapan gadis mungil itu, terisak pelan. Lyara hanya mampu mengelus punggung hamdi pelan, mencoba menenangkan, sembari membalas dekapan hamdi. “Kakak tenang, masih ada Aku sama yang lain, yang tetap sama kakak.. jadi jangan sedih, asal kakak gak ninggalin Aku, dan gak lupain Aku.. kak, Aku tetap disini sama kakak.. selamanya,” hamdi tidak membalas, Dia hanya ingin mengeluarkan isi hatinya, perasaannya yang hancur begitu saja. Dan kedua kakek hamdi hanya mampu melihat itu dengan iba. Sesungguhnya yang terlihat kuat itu yang lemah, atau sebaliknya, karena kita tidak tahu yang benar yang mana, mana yang benar – benar kuat dan mana yang lemah selemah – lemahnya, karena mata terkadang bisa di bohongi meskipun tidak pernah bisa untuk berbohong.
            Lusi menatap langit semarang dengan perasaan gundah, di pahanya dias memejamkan matanya, menikmati angin malam yang dingin dan sejuk, hal yang sangat jarang di rasakannya di kota semarang. Lusita menghela nafas panjang, sedari tadi perasaannya gundah, saat hamdi tidak masuk kelas, padahal Dia melihat dengan jelas motor hamdi terparkir di parkiran sekolah. Saat bertanya kepada lyara bersama dias, lyara malah berpaling dan menatap tajam tangannya yang bertautan dengan dias. Lyara bungkam, membuatnya merasa semakin bersalah.
“Yas, hamdi sebenarnya dimana yaa??” dias hanya berdehem, tidak tertarik sama sekali dengan topik yang di bahas lusi. Dias kemudian bangkit dari posisinya, kemudian menatap lusita. “Kita ke rumahnya,”
“Aku gak tahu Dia lagi dimana, di rumah lyara atau di rumahnya,”
“Kita cari di dua – duanya, Aku yang mengantarmu,”
“Kenapa??”
“Aku tidak mau Kamu sedih karenanya..” lusita menghela nafas panjang, saat dias berjalan mendahuluinya. Tiba – tiba sebuah perasaan hadir dalam dadanya.
            Lyara memandang langit malam hampa, ada sebuah perasaan yang tak biasa yang di rasakannya. Melihat lana dan aira selalu berdua membuatnya sakit. Biasanya lyara akan bercerita kepada hamdi, namun melihat kondisi hamdi sekarang, membuatnya enggan. Dia tidak ingin menambah beban hamdi. Lyara menghela nafas panjang, mencoba menahan air matanya. “Kalau mau nangis, nangis aja,” lyara menoleh, dan mendapati bastian yang dikenalnya sebagai Iyan, tersenyum manis. Lyara menggeleng, masih menghela nafas panjang. Bastian tersenyum, mengambil posisi disamping lyara. “Aku tahu kamu lagi nahan air mata kamu, gak usah malu Kita kan udah sahabatan sejak dulu,” lyara menatap bastian sebentar, kemudian mendekap Bastian erat, wajahnya Dia sembunyikan di dada bastian, bahunya bergerak naik – turun tidak karuan. Sedangkan bastian mengelus rambut lyara yang terurai dengan lembut, tidak mengucapkan sepatah katapun, membiarkan lyara menangis semaunya, tidak peduli dengan bajunya yang basah, karena menurutnya selain hamdi hanya kepadanyalah lyara bergantung, dan karena bastian sangat mencintai dan menyayangi lyara. Lyara melepaskan dekapannya, masih terisak kecil, bastian tersenyum pedih menyeka air mata lyara pelan. “Kamu kenapa??”
“Iyan, Kamu pernah gak? Jatuh cinta sama seseorang, tapi orang itu malah jatuh cinta sama orang lain??” bastian tersenyum samar, kemudian mengangguk. “Pernah,”
“Apa yang Kamu lakukan??”
“Mendukungnya, menjadi sandarannya,”
“Meskipun sakit??” bastian mengangguk. “Sakitnya gak seberapa, dari pada melihat orang yang Kita cintai kesakitan atau bersedih,”
“Walaupun cemburu??” bastian mengangguk. “Iya, yang perlu dilakukan adalah sibuk, melakukan kegiatan yang bermanfaat,” dalam hati bastian tertawa, karena Dia tidak pernah bisa berhenti untuk memikirkan lyara. “Iyan, apa Kita harus menangis karenanya??” bastian menggeleng tapi kemudian mengangguk. “Terkadang, Kita juga boleh menangis, saat bebannya terlalu berat,” lyara menghela nafas panjang, menyenderkan kepalanya di bahu bastian. “Iyan..”
“Ya??”
“Kenapa Kita gak pernah ketemu??” bastian tidak menjawab. “Kamu akan mencariku saat Kamu menangis, dan Aku akan tahu saat Kamu bersedih, jadi.. Aku yang akan menghampirimu, sudah malam.. ayo pulang!” lyara mengangguk. Kalau saja lyara sadar, kalau saja lyara bisa membedakan. Namun bagaimana jika hidup ini pilihan, dan lyara harus memilih, antara bastian yang selalu ada untuknya, dan sangat mencintainya namun tidak pernah mengungkapkannya dan dikenalnya dengan nyata atau lana dicintainya dan mencintainya tapi memilih berpura – pura mencintai orang lain. Tidak, lyara tidak sebodoh itu untuk memilih, karena Dia tidak akan memilih siapapun, Dia ingin Dewa yang mencintainya, yang selalu ada untuknya dan menjadi miliknya.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Lost - Part 8

Suasana bandara ramai, lyara terlihat mengamati sekeliling dengan riang. Disampingnya hamdi juga mengamati bandara. Tanpa sepatah katapun terucap dari bibir Mereka, semua orang tahu jika Mereka terlihat sangat bahagia. Hamdi menatap lyara yang terlihat bahagia, bahkan Dia sampai lupa kalau tadi malam lyara mendiamkannya. Sedangkan lusi, dias dan lana tidak ikut karena harus bersekolah, sedangkan Dia meminta izin tidak masuk sekolah, untuk hari ini saja hamdi ingin bersama kedua orang tuanya. “Kak..” hamdi menoleh, lyara masih memaku pandangannya sebelum akhirnya mengamatinya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. “Kenapa?? Ada yang salah??” tiba – tiba lyara memasang wajah sedih, di tatapnya hamdi dalam. “Kakak kurusan, pasti lagi cacingan yaa??” lyara memegang pundak hamdi, matanya berkaca – kaca. “Nanti Aku beliin obat cacing buat kakak, biar Kakak gagah seperti harimau lagi..,” hamdi terdiam, memang lyara menyampaikannya dengan nada riang, namun ekspresi sedih yang tergurat jelas di wajah sepupunya itu membuatnya menjadi sedih. “Selama ini, kakak udah jaga Aku, Kakak jadi capek, jadi kurus... Aku kasih jatah waktu libur selama Dua minggu, kakak gak perlu antar jemput Aku lagi, kakak berliburlah sama om panca dan tante shilla.. yaa??” hamdi masih bergeming, diam saja. Lyara mendekap hamdi erat, air mata lyara menetes. “Kakak,, setelah ini bersenang – senanglah, perhatikan kak lusi, nanti kalau dicuekin kabur lho..” hamdi mengangguk, melepas dekapan lyara, kemudian menyeka air mata lyara. “Dan satu, Kakak harus makan teratur, dan Kakak harus gagah lagi oke?? Masa’ atlet basket cungkring?? Kesenggol langsung jatuh,” hamdi terkekeh, mengacak poni lyara. “Siap.. Bu dokter,” lyara tertawa begitupun dengan hamdi. Sedangkan bu nirma dan pak dharma melihat kebersamaan itu dengan haru. Suara pengumuman di bandara membuat mereka bergegas berdiri, dan hati hamdi bergetar saat melihat kedua orang tuanya datang, di ikuti kedua adiknya menghampirinya. “Wahh.. Kamu pasti lyara, udah gedhe yaa sekarang..” bu shilla langsung memeluk lyara erat begitupun dengan pak panca. Sedangkan hamdi masih berfikir “Mungkin setelah ini Aku”  batinnya. Kemudian mereka memeluk pak dharma dan bu nirma. “Mas.. Mbak, lama gak kelihatan,” hamdi menghela nafas panjang, kedua adiknya terlihat memeluk lyara, bermanja – manja dengan lyara. “Mungkin setelah ini,,” hamdi masih mencoba berfikir positif. Senyumnya melebar saat kedua orang tuanya menghampirinya, tidak ada pelukan untuk hamdi. “Kamu sudah besar, bagaimana apa Kamu sudah menaikkan nilaimu??” senyum hamdi luntur berganti senyum kaku, kemudian mengangguk. “Sudah,” kedua orang tuanya hanya mengangguk, sedangkan kedua adiknya tidak menoleh ke arahnya sedikitpun. “Sini, hamdi bantu bawa, Yah.. Bu..” mereka tersenyum senang, membiarkan hamdi membawa koper mereka. “Anak yang baik,” kemudian berlalu, sedangkan hamdi menunduk. “Aku belum bilang kalau Aku kangen Kalian...” gumamnya lirih, sedangkan lyara menatap hamdi sedih. Hamdi berfikir kalau kedua orang tuanya akan langsung memeluknya, apa arti semua ucapan sayang mereka selama ini di telfon?? Sebatas itukah? Bahkan suara mereka terdengar lebih bersahabat dari yang Dia dengar langsung tadi. “Kak.. ayo!” teguran lyara membuat hamdi tersadar, dengan segera Dia menyeka matanya yang basah kemudian mengikuti langkah mereka, sesekali menatap punggung kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang di gandeng mereka, sedangkan Dia berada di posisi paling belakang. Hamdi tidak tahu kalau yang selama ini menelfonnya dan ditelfonnya adalah orang lain, yang hanya menyampaikan pesan dari kedua orang tuanya, orang yang menjadi sahabat sang Ibu di negeri orang.
            Hamdi beberapa kali menatap kedua orang tuanya yang sedang bercanda bersama keluarga besar yang lain, pandangannya beralih kepada Andre dan andrea, kedua adiknya yang juga bercanda bersama sepupunya yang lain, lyara ada di sana sedangkan dirinya duduk di pojok ruangan. Hamdi menghela nafas panjang, saat kepalanya tiba – tiba terasa sakit dan lagi sesuatu mengalir dari hidungnya, hamdi segera berlari menuju kamarnya kemudian membersihkan darahnya di kamar mandi kamarnya. Hamdi memegang kepalanya yang terasa sangat berat dan pening mimisannya belum juga berhenti, kepalanya juga semakin pusing, tubuhnya lemas. Pandangannya berkunang – kunang, rasanya kesadarannya sudah nyaris terengut, namun saat mendengar gelak tawa di ruang tamu dan ruang keluarga, hamdi berusaha mempertahankan kesadarannya, perlahan sakit itu berkurang, mimisannya pun berhenti. Hamdi membasuh wajahnya agar terlihat fresh, ditatapnya sejenak wajahnya yang basah terkena air, pantulan wajahnya terlihat sangat pucat, kemudian hamdi berbalik memandang cermin yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bajunya terlihat kebesaran di tubuhnya,  hamdi mengingat kembali ucapan lyara di bandara. Dan hamdi membenarkan, karena Dia merasa semua bajunya kebesaran di tubuhnya. Hamdi berjanji agar Dia bisa kembali seperti dulu, untuk lyara. Akh.. andai saja hamdi tahu, perihal apa yang terjadi di tubuhnya, akh andai saja hamdi tahu kalau salah satu pamannya, berhari – hari bersedih memikirkannya. Andai saja hamdi tahu, kalau pelayan di rumahnya menatapnya iba, sembari menimang sirsak di tangan mereka. Andai saja hamdi tahu itu semua.
            Hamdi memutuskan kembali bergabung setelah mengganti bajunya yang terkena darah, dilihatnya para pamannya yang berprofesi dokter baru saja datang begitu juga dengan kakeknya. “Hamdi !!” kakeknya memanggil, hamdi mengangkat alisnya tumben sang kakek ingat namanya biasanya sang kakek hanya mengingat nama cucunya yang lain. Namun, tanpa mau pusing memikirkan hamdi menghampiri sang kakek yang duduk dikelilingi para pamannya. “Wah.. kakek ada kemajuan nih... udah ingat Aku,” sang kakek terkekeh, menepuk pundak hamdi, kemudian menghadapkan cucu keduanya tepat ke arahnya. Mata elangnya menatap hamdi tegas, laki - laki yang hampir berusia senja itu tersenyum, meraba wajah hamdi lembut, kemudian memeluk hamdi. Kakek hendra, laki – laki yang sudah lama mengabdi untuk masyarakat itu menepuk – nepuk tubuh hamdi. Sedangkan hamdi sendiri bingung, heran dengan perlakuan sang kakek. “Kek,”
“Kakek kangen sama kamu, Ham..” hamdi terkekeh melepaskan dekapan sang kakek, kemudian menggelengkan kepalanya. “Kakek.. kakek.. kita sering ketemu kan kek?? Aku pengen banget main sama kakek, tapi kakek sibuk terus kan??” 
“Yasudah, mulai sekarang kakek bakal mau kamu ajak main,” hamdi mengangkat alisnya. “Ha?? Emang kakek ada waktu??”
“Kakek akan meluangkan waktu buat kamu, sebelum kamu kehabisan waktu,” ucapan kakek hendra membuat anak – anaknya yang juga berprofesi sebagai dokter mendelik, menggeleng – gelengkan kepala sembari menatap hamdi yang terlihat lebih kurus dan pucat. “Aku kehabisan waktu??” kakek hendra mengangguk. “Setelah ini, kamu ujian, lulus.. orang kuliah lebih sibuk dari dokter,” hamdi mengangguk kemudian tersenyum. “Hamdi pengen kaya kakek, menolong dan menyelamatkan nyawa orang lain, meskipun tak jarang tidak bisa berbuat apapun untuk orang lain,”
“Karena memang sudah takdir, dan dokter bukan Tuhan.. itu perkataannmu saat kami ngedrop karena gak bisa menyelamatkan revan,” hamdi mengangguk saja. Andai saja hamdi tahu, kalau sang kakek berusaha menahan air matanya, melihat hamdi yang semakin kurus dan wajah yang terlihat sangat pucat. Di tatapnya sang anak dan sang menantu asyik mengobrol dengan anak – anaknya yang lain, kemudian beralih memandang si cucu kembarnya, dan pandangannya kembali beralih kepada hamdi yang bercanda bersama anak menantu yang lain. Kakek hendra menghela nafas panjang, diantara keluarga inti hamdi, tidak ada yang berbicara dengan hamdi.
            Hamdi menunduk menatap sang ayah dan ibunya yang terlihat marah, ya marah entah untuk alasan apa. Hamdi baru saja menyodorkan hasil raportnya selama ini atas permintaan sang ayah dan ibu. “Kamu ini memang tidak bisa di andalkan, bagaimana kamu bisa meneruskan bisnis ayah, atau menjadi dokter seperti paman – pamanmu yang lain, kalau nilai tertinggimu adalah olahraga??” hamdi tidak menjawab, masih menyusun kata – kata yang tepat. “Yah.. Bu, hamdi yakin bisa, ayah dan ibu pasti bangga, hamdi berhasil mengharumkan nama sekolah,lewat...” plak !! sebuah tamparan mendarat di pipinya, tangan sang ayah baru saja mendarat di pipinya, perih, panas, sakit. “Lewat apa?? Haa?? Belajar yang benar !! benahi akademikmu, baru kami bangga, basket tidak ada gunanya,!!” praang !! sang ayah menyapu medali yang di susun hamdi di almari, medali kemenangannya, medali yang hamdi kira akan membuat kedua orang tuanya tersenyum. “Selama Kami di sini, tidak ada kata basket,  belajar yang benar !!! luluslah dengan nilai terbaik ! buat kami bangga !! paham??” hamdi tidak merespon, masih tetap pada posisinya, bahkan saat kedua orang tuanya pergi meninggalkannya dan mengunci kamarnya. Perlahan tangannya di angkat, mengelus pipinya yang terkena tamparan sang ayah, sakit yang menusuk Dia hiraukan, hatinya lebih terluka. Kemudian, di keheningan malam, di temani bintang dan bulan yang terpasang di langit – langit kamarnya, hamdi terisak sendirian. Hamdi mati rasa, bahkan saat malam merangkak naik, hamdi masih saja merenung, wajahnya bertambah pucat, sebelum akhirnya hamdi jatuh tertidur.
            Lyara menatap hamdi yang terlihat pucat, lyara ingin sekali bertanya namun urung saat mengingat ucapannya kemarin di bandara. Lyara akhirnya berbalik, memilih untuk duduk di taman sekolah, di kelas lana asyik bermesraan dengan aira, sedangkan dea belum berangkat, dia tidak mempunyai teman yang cocok untuk di ajak ngobrol. “Lyara..” suara serak hamdi membuat lyara menoleh, hamdi terlihat lebih memperihatinkan saat dilihat dari dekat. “Ya ampun kak.. tadi malam bergadang??” hamdi mengangguk, menunjukkan cengiran lebarnya. “Iya, habis.. kakak kangen banget sama ayah dan ibu dan adik – adik kakak, jadinya kami ngobrol sampai malam, tengah malam malah..” lyara mangut – mangut, lega karena hamdi tidak memiliki masalah apapun. “Owh, iya.. nanti siang kan ada pertandingan, Aku boleh nonton kan??” hamdi tidak berani menatap lyara. “Kak??” hamdi tersenyum, kemudian mengangguk. “Boleh,”
“Asyik... di rumah bosen, ayah sama ibu nanti pulang malam,.. tapi Aku boleh nebeng kan??” hamdi terkekeh. “Gak boleh,” lyara cemberut, membuat hamdi semakin ingin menggoda lyara. “Bolehlah..” lyara tersenyum, “Makasih...”. kemudian mereka bangkit saat bel jam pertama berbunyi.
            Hari sudah gelap saat hamdi menginjakkan kakinya di teras rumahnya, ayah dan ibunya yang dilihatnya pertama kali saat hamdi membuka pintu. Mereka menatapnya tajam, jelas saja, seragamnya belum diganti dan di tangannya ada medali mvpnya. “Basket lagi??” hamdi mengangguk ragu, membuat kedua orang tuanya semakin tajam menatapnya. “Hamdi !! kemari nak..” nada suara sang ayah merendah, membuat ketakutan hamdi surut. Perlahan hamdi melangkah menghampiri kedua orang tuanya, dan satu tamparan kembali mendarat di pipinya, bukan satu namun berkali – kali. Triiing medali hamdi beradu dengan keramik rumahnya hamdi tersungkur saat sang ayah menendang bagian perutnya. “Kamu emang gak berubah hamdi !! masih tetap jadi anak pembangkang !!” hamdi menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memohon. “Hamdi cinta basket yah.. bu, tapi hamdi gak pernah lupa kok sama pelajaran,”
“Omong kosong !!” pak panca dan bu shilla pergi begitu saja, tidak peduli dengan hamdi tersungkur kesekian kalinya. seorang pelayan paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah itu menghampiri hamdi dan membantu hamdi bangkit. Kemudian dengan telaten mengobati luka hamdi. “Mas, hamdi istirahat aja yaa.. mas hamdi hari ini keren,” hamdi tersenyum mengangguk saja dan hanya memandang medali yang di raih dengan susah payah  di atas meja belajarnya kosong. “Bi..” pelayan paruh baya itu menoleh, menatap hamdi dengan alis berkerut. “Yaa.. ada yang bisa saya bantu??” hamdi menggeleng, “Makasih..” pelayan paruh baya itu tersenyum. “Ini sudah kewajiban saya mas..istirahat yaa mas,, besok bibi bangunin,” hamdi mengangguk saja, masih memandang arah pintu. Kemudian hamdi menatap langit – langit kamarnya hingga jatuh tertidur.


To Be Continue
#Khichand_Lee