Sabtu, 17 September 2016

Lost - Part 4

Lyara mengetuk – ngetukkan pensil ke dahinya bosan, di depan kelas guru sejarah sedang menerangkan sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia, lyara menghela nafas sebal seingatnya guru menyebalkan di depannya pernah menyampaikan hal itu dan ini kembali di ulang membuatnya menghela nafas sebal. “Oke anak – anak, Saya akan memberikan tugas kelompok, karena jumlah siswa disini genap, maka Saya akan membaginya menjadi Enam belas kelompok, itu artinya Satu kelompok terdiri dari Dua orang,” pak herman tersenyum sendiri di depan kelas, Dia berniat mengerjai murid nakalnya. “Dan Saya yang menentukan kelompoknya,” pak herman bisa mendengar desahan kesal dari murid – murid di kelasnya. “Maulana Irsyad dengan Aira Tri Hapsari..” lana dan aira berpandangan, sedangkan lyara tersenyum manis. “Dea Agustina dengan Bastian Ade Mahendra,” satu persatu murid XI IPA 1 disebutkan namanya, lyara yang tidak dikunjung disebut menjadi cemas, begitupun dengan dewa “Dan kelompok yang terakhir, Lyara Dharni Dharmanirma dengan Dewa Sindhunata,” pak herman tersenyum puas, Dia mengangkat kepalanya ingin melihat ekspresi murid nakalnya namun Dia heran, karena lyara sang murid nakalnya tidak terlihat gugup atau malu sedikitpun padahal jika mengingat kejadian saat lyara menyebut dewa sebagai aktor idolanya lyara seharusnya malu jika bertemu dengan dewa, ini sangat aneh. “Tugasnya apa Pak???” lyara yang tersenyum sendiri melihat wajah bingung guru sejarahnya angkat bicara ingin menggoda guru sejarahnya itu, untuk kali ini lyara merasa bersyukur dengan kekurangannya yang satu itu. “Emm tugasnya Kalian mencari referensi Sejarah dari buku lain atau internet, atau kalau perlu dari mantan pahlawan sekalian, tentang sejarah indonesia..”
“Mantan pahlawan?? Jadi Kita harus ke Kali Bata gitu?? Atau ke depan Rumah Sakit Kariadi??”
“Memangnya mau ngapain??”
“Bertanya dengan mantan pahlawan lah..”
“Memangnya disana ada??”
“Banyak, arwahnya,” jawaban lyara membuat pak herman menggeram, Dia berusaha sabar. Sedangkan lana yang sudah terbiasa melihat lyara dan guru sejarahnya adu mulut hanya mampu menggeleng – gelengkan kepalanya, kemudian menghela nafas lega saat bel berbunyi itu artinya lyara dan pak herman tidak bisa melanjutkan acara adu mulut Mereka.
            Dewa tersungkur setelah punggungnya menabrak ujung lemari, nafasnya terengah – engah. Ditatapnya sosok pria berbadan tegap di hadapannya, yang baru saja melayangkan pukulan telak di wajahnya. “Pa.. Aku Cuma mau kerja kelompok, Aku akan pulang lebih cepat, Aku janji..” pria paruh baya itu malah menatap dewa tajam. “Aku gak akan ngecewain Papa lagi,” pria paruh baya itu menghela nafas lelah kemudian mengangguk pelan. “Baik, jangan pulang terlambat, jaga Mamamu, Papa harus ke korea lagi.. ada banyak urusan yang harus diselesaikan disana..” dewa mengangguk pelan, menatap kepergian sang Ayah lemah, ingin rasanya dewa bercerita kepada kedua orangtuanya tentang lyara yang memanggilnya dengan nama aktor korea karena wajahnya yang blasteran, namun dewa hanya mampu membayangkan itu dalam mimpi, karena kedua orangtuanya dan saudara – saudaranya tidak seindah paras yang telah digoreskan Tuhan kepadanya.
            Lyara tersenyum riang saat membuka pintu, baru kali ini tamu di rumahnya berbeda, biasanya hanya aira, dea dan lana yang mengunjungi rumahnya. Namun baru kali ini juga lyara tidak seriang itu menyambut tamunya, saat melihat wajah tamunya. “Dewa??”
“Iya, ini Aku lyara..” lyara menggeleng “Ada apa dengan wajahmu??” dewa meraba wajahnya agak panik, kemudian tersenyum “Tadi jatuh,” lyara hanya mengangguk, meskipun tahu luka di sudut bibir teman barunya itu bukan luka karena jatuh, bagaimana bisa ??. “Oh.. gitu, ayo masuk !!” dewa tersenyum lega, kemudian mengikuti langkah riang gadis mungil di depannya. Dewa menatap kesekeliling, banyak foto keluarga di ruang tamu lyara terlihat sangat lucu saat kecil, dewa tersenyum.
“Semua orang berfikir, kalau Kami keluarga bahagia,” suara lyara membuat dewa mengalihkan perhatian, lyara sudah duduk lesehan di depannya membuka laptopnya. “Kalian terlihat seperti keluarga bahagia,”
“Sebenarnya tidak sesederhana itu, begitupun dengan luka di sudut bibirmu bukan??”
“Ini hanya jatuh lyara,,”
“Begitupun dengan keluargaku, hanya lengkap,, tapi bukan itu alasannya dewa,” dewa menatap lyara yang terlihat berbeda dari yang dilihatnya disekolah. “Aku terlahir di tengah keluarga yang sedang genting lyara... Papaku keturunan korea, Mamaku asli Indonesia tapi memiliki darah keturunan korea dari Kakeknya.. sejak kedua orang tuaku menikah Mereka memutuskan untuk tinggal di korea, semua orang memanggil Mereka dengan Tuan dan Nyonya Park, keluarga bahagia bukan?? Dan kebahagiaan itu bertambah saat satu persatu Kakak – Kakakku lahir,” dewa menjeda ucapannya, Dia heran kenapa Dia bisa seterus terang ini kepada lyara, di tatapnya lyara yang tengah fokus dengan laptopnya. “Kamu lahir di korea??” pertanyaan lyara membuat dewa terkesiap, lyara mendengarkannya. “Kemudian situasi genting itu terjadi saat Mama mengandungku, waktu itu kondisi Mama sangat lemah, Papa sedang ada masalah di perusahaan, dan tiba – tiba Kakak Mama  membawa Mama ke Indonesia, jelas saja Papa marah.., Papa menemukanku dan Mama setelah Aku lahir saat itu Mama ada di pinggir jalan, baru saja melahirkanku Mama sangat lemah Kami dibawa ke rumah sakit, dokter bilang Mama tidak bisa hamil lagi,” dewa mendongak mencoba menahan air matanya. “Dan Mama tidak pernah menyapaku, Papa juga tidak pernah membawa Kami ke korea lagi, Aku bahkan hanya tahu korea dari TV,” lyara mengangkat wajahnya, menatap mata dewa yang berkaca – kaca. “Papa pernah bilang, kalau diantara saudara – saudaraku yang lain, Aku yang paling sempurna, wajah korea benar – benar tercetak rapi di wajahku, tapi Aku tidak pernah melihat saudara – saudaraku,” dewa menghela nafas panjang “Kamu berandalan??” pertanyaan lyara membuat dewa terdiam sesaat kemudian mengangguk lemah. “Ya, akhirnya Papa memutuskan untuk memindahkanku kesini,” lyara mangut – mangut. “Tapi satu hal yang mengganjal dewa,” dewa menunduk saat mendengar kata yang dilontarkan lyara “Tidak ada nama Korea di nama lengkapmu,” dan dewa baru menyadari kejanggalan itu.
            Lana menatap aira yang tengah sibuk di depan laptop, mengerjakan bagiannya, gadis yang saat ini memilih mengikat asal rambutnya itu tampak manis. Lana tersenyum, aira terlihat lebih anggun dan dewasa daripada lyara. Lana terkesiap saat ponselnya tiba – tiba berbunyi, tertulis Ibu di layar ponselnya, lana menghela nafas berat. “Angkat saja, siapa tahu penting,” suara aira membuat lana mendesah kemudian mengangkat telfon dari sang Ibu.
“Ya bu.., iya, sebentar lagi, Aku tidak akan lupa.. Yaa.. Aku menyayangimu Ibu” aira mengangkat wajahnya, menatap lana yang menyimpan ponselnya. “Ada apa? Kau disuruh pulang lebih cepat??” lana tersenyum manis, menggeleng pelan. “Tidak, hanya bertanya kapan Aku pulang,” aira mangut – mangut. “Aira.. Aku ingin bertanya,” aira menghentikan aktivitasnya menatap lana penuh tanya. “Sejak kapan Kau mengenal lyara??” aira menghela nafas panjang menatap lana intens. “Sejak lyara pertama kali masuk di SMP,”
“Apa Dia mengingatmu keesokan harinya??” aira menggeleng. “Dan sebenarnya Aku tidak suka itu,”
“Lalu apa yang membuatmu marah tempo hari??” aira bungkam, “Tidak ada, sudah kerjakan lagi, guru sejarah itu akan marah jika Kita lalai,” lana tahu kalau aira berusaha mengalihkan pembicaraan. Lana memegang tangan aira yang tengah menari di atas keyboard membuat aira menghentikan aktivitasnya. “Jawab Aku Aira....” aira terdiam, menatap lana yang menatapnya dalam, membuatnya tiba – tiba merasa hangat, ada getar – getar aneh yang dirasakannya.
            Dias menatap langit – langit kamarnya sembari tersenyum manis, Dia masih teringat senyuman gadis anak baru itu. Membuatnya tiba – tiba merasa melayang, namun satu hal yang membuat senyumnya luntur. “Kenalin Yas!! Pacarku, Lusita,” kenyataan kalau anak baru tadi, Lusita adalah kekasih sahabatnya hamdi. Dias membuang nafasnya kesal, kemudian bangkit dari posisinya menyambar jaket dan bola basket, Dia ingin bermain basket. Suara pantulan bola basket terdengar menggema, dias mendriblenya dengan kacau, sejalan dengan pikirannya yang kacau. “Hey !! bukan seperti itu cara main basket!!” seruan seseorang membuat dias menghentikan aktivitasnya, menatap seorang gadis dengan setelan baju santainya melangkah perlahan kearahnya. “Aku tidak mengira kalau Kita satu kompleks,” dias tersenyum, Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Kau pendiam ternyata,, kejar Aku!!” dias terkesiap saat bola basket ditangannya direbut paksa, dias mengejar gadis itu yang mendrible bola sangat baik, bahkan menghindarinya dengan sangat baik pula. “Hey !! Kau terlihat kacau,” gadis itu bersuara saat Mereka saling berhadapan, tersenyum meremehkan. “Seharusnya kemampuanmu lebih dariku,” dias berhenti, nafasnya terengah diatatapnya gadis yang tengah tersenyum menatapnya, lesung pipinya yang manis membuat gadis itu lebih cantik. “Lusita Anggraini,” gadis itu kembali berkata. “Dias Mahardika,” dias menghela nafas panjang, melangkah menuju bangku penonton yang kosong. Lusita, gadis itu mengikuti.  “Ada apa denganmu?? Kau seperti seseorang yang punya banyak masalah,” dias tersenyum, menggeleng. “Tidak, Aku hanya lelah,”
“Kau memang sehati dengan hamdi,” dias menoleh, menatap lusita yang tengah memandangnya. “Sehati??” lusita mengangguk “Aku mengajaknya jalan – jalan tadi, tapi Dia bilang, Dia kelelahan Dia sedang istirahat,” dias mengangguk paham. “Ohh Iya !! siapa yang mengajarimu bermain basket??”
“Hamdi, revan dan lyara”
“Revan??” dias bertanya, nama revan terasa tidak asing ditelinganya. “Iya, mendiang revan tepatnya, Kakak kandung lyara,” dias mengangguk paham, Dia ingat hamdi pernah bercerita tentang revan padanya. “Tunggu..” ucapan dias yang tiba – tiba membuat lusita menoleh, mengerenyitkan alisnya bingung. “Lyara bisa main basket??” lusita mengangguk “Bahkan Dia lebih lincah daripada Aku, memangnya Kau tidak pernah melihatnya??” dias menggeleng “Apa Dia belum sembuh total?? Ku pikir Dia sudah sembuh,” pernyataan lusita membuatnya bingung. “Sembuh??” lusita mengangguk “Ya, sejak usia Tiga bulan dokter memvonis lyara kelainan jantung, tapi gadis kecil seperti lyara adalah gadis yang periang, yang tidak mau dikekang, Dia suka main basket, hingga pada suatu hari...” lusiata menjeda ucapannya “Lyara kambuh parah, kemudian kecelakaan dan revan sekaligus lyara sama – sama kritis??” lusita mengangguk. “Lalu revan mendonorkan miliknya kepada lyara,??”
“Ya, bagaimana Kau tahu??”
“Hamdi yang menceritakannya,” lusita mengangguk “Kau tahu, kadang Aku suka iri dengan lyara,”
“Iri??”
“Ya, Dia selalu dapat perhatian dari orang,” dias diam, kemudian menerawang dan dalam hati membenarkan ucapan lusita. Keadaan hening, hingga suara ponsel berdering membuat lusita terkejut. “Hallo.. ada apa Lyara?? Apa?? Baik Aku akan segera kesana,, tunggu jangan panik lyara, panggil Om farkhan saja.. Aku segera kesana,” wajah lusita yang sedari tadi tenang berubah panik, dias yang melihatnya bingung. “Ada apa??” lusita hanya menggeleng, tidak ingin menjelaskan “Antarkan Aku kepada hamdi !!”
            Hamdi menarik nafas panjang, dadanya terasa sesak sedari tadi, entah kenapa Diapun tidak tahu yang jelas beberapa bulan belakangan tubuhnya terasa tidak enak, ada yang mengganggu, hamdi memejamkan matanya kemudian kembali terbuka saat menyadari kepalanya begitu pening di ikuti darah yang mengalir dari hidungnya. Hamdi mendesah bangkit dari posisinya berniat membasuh darahnya di kamar mandi, namun saat kakinya menapak lantai, keseimbangannya goyah dunia seperti berputar – putar kemudian gelap, hamdi pingsan di ikuti jatuhnya bingkai fotonya dengan lusita dan lyara. Lyara yang baru saja menyelesaikan kerja kelompoknya berniat untuk menemui hamdi.  “Kak..” lyara mendesah kesal, kemudian membuka pintu kamar hamdi. “Kak hamdi..” bola mata bulat itu menelusuri kamar, kakinya melangkah pelan, waspada siapa tahu hamdi berniat mengerjainya. Namun langkahnya terhenti sesaat. “KAK HAMDI !!!” lyara panik saat mendapati hamdi terbaring di lantai. “Kak hamdi..” lyara menghampiri hamdi, memangku kepala hamdi. “Kakak..” air matanya menetes. “Bibi !!!!” lyara berteriak kencang berulang kali, sembari terus berusaha menyadarkan hamdi yang betah terpejam. “Ada apa lyara??” suara seseorang bersama dengan rombongan pekerja di rumah keluarga Dharma membuat lyara mendongak. “Tolong kakak..” orang yang ternyata dewa itu menerobos masuk di ikuti pegawai di rumah besar itu, membantu lyara memindahkan hamdi ke ranjang. “Bibi.. tolong hubungi Om farkhan,, dewa bisa ambilkan ponsel kak hamdi??” lyara berkata begitu tenang, sembari membersihkan noda darah di hidung hamdi, meskipun air mata sudah menganak sungai di pipinya. “Ini,” dewa menyerahkan ponsel hamdi kepada lyara, kemudian lyara menghubungi lusita. “Hallo.. Kak lusita ini Aku lyara..”
            Jam menunjukkan pukul Lima sore, tapi hamdi belum membuka matanya lyara duduk termenung di samping hamdi. Dewa duduk di sofa bersama dias dan om farkhan, lusita duduk di samping hamdi, hening suasana begitu hening. Hingga lyara menyadari ada pergerakan kecil dari sepupunya itu. “Kak hamdi..” suara lyara membuat om farkhan bergegas berdiri, begitupun dengan dias dan dewa. Hamdi membuka matanya pelan, kepalanya masih terasa pening. “Hamdi..” suara yang sangat dikenalnya membuatnya menoleh, mendapati lusita tersenyum manis. “Syukurlah akhirnya Kamu sadar juga, Ham.. kalau Kamu pingsan lebih lama, mungkin Om akan membawamu ke rumah sakit,” suara om farkhan membuat hamdi tersenyum tipis. “Jangan buat Aku khawatir Kakak..” suara lyara yang terdengar serak membuat hamdi menoleh kepada lyara, di rengkuhnya lyara erat. “Maaf,, jangan bersedih lagi, sekarang Kamu tahu kan apa yang di rasakan Kami saat Kamu drop??” lyara menatap hamdi yang terlihat pucat. “Kakak.. masih sempat – sempatnya menasehatiku,” hamdi terkekeh mengacak rambut lyara gemas. “Jangan sakit lagi, Aku janji gak akan buat kakak lelah lagi,” hamdi hanya tersenyum mengecup puncak kepala lyara penuh kasih. Dan pemandangan itu menimbulkan kecewa di hati seseorang. “Ham.. kekasihmu juga ingin ditenangkan,” hamdi tersenyum tipis, “Kau tahu, gadisku selalu bisa menenangkan dirinya sendiri, Lusita gadis yang mandiri.. iya kan Lus??” lusita mengangguk tersenyum manis, meskipun ribuan kecewa menggulung di hatinya.
            Lusita termenung di jendela kamarnya, menatap malam yang bertabur bintang, dirabanya dadanya, masih tersisa bekas kecewa itu. Hamdi selalu menganggap bahwa dirinya baik – baik saja, hamdi selalu menganggap kalau Dia akan baik – baik saja, hamdi selalu menganggapnya gadis kuat, hamdi selalu menganggapnya gadis yang mandiri, padahal tidak Dia tidak baik – baik saja, Dia bukan gadis yang kuat, dan Dia bukan juga gadis yang mandiri. Hamdi salah justru Dia berharap hamdi memanjakannya, melindunginya, menjaganya seperti hamdi memanjakan, melindungi dan menjaga lyara. Lusita menghela nafas panjang, mengingat itu membuatnya sesak, apalagi saat hamdi lebih memilih mendekap dan menenangkan lyara daripada dirinya, lusita menyeka air matanya. Dia tidak bisa jika mendadak marah kepada hamdi dengan alasan cemburu dengan lyara, hamdi pasti akan tertawa karena lyara adalah sepupu hamdi dan tidak ada alasan hamdi untuk mencintai lyara melebihi cintanya kepadanya. Suara ponsel bergetar membuat lusita terkesiap, sebuah nomor baru tak dikenal menelfonnya, dengan ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ini siapa??”
“Aku dias,” lusita menepuk dahinya, terkekeh pelan Dia lupa kalau tadi sempat memberikan nomornya kepada dias. “Owh, maaf Aku lupa jika tadi Aku sempat memberikan nomorku kepadamu,” terdengar suara kekehan di seberang, membuat hatinya tiba – tiba terhibur, menghangat. “Tidak masalah, suaramu seperti orang yang banyak masalah,”
“Hey.. itu kata –kata milikku,”
“Haha... tidak ada yang benar – benar milik Kita di dunia ini,, apa Kau baik – baik saja??”
“Kenapa Kau bertanya seperti itu?? Aku baik,” lusita tersenyum pahit, ingin sekali Dia mengutarakan isi hatinya. “Apa Kau tidak cemburu??” lusita semakin sesak mengingat itu. “Cemburu?? Untuk apa??”
“Lyara,” jawaban dias membuat lusita diam seribu kata. “Tidak.. Aku tidak cemburu,”
“Bagaimana kalau Kita membalasnya??”
“Membalas??”
“Ya !! besok Kita berangkat bersama dan Kau mencoba meminta izin kepada hamdi,” lusita tersenyum, “Baik, Aku setuju”
            Dewa menatap langit yang bertabur bintang hampa, kepalanya Dia senderkan di pintu depan rumahnya, matanya menyiratkan kesedihan luar biasa. Tidur di luar !! Kau mengingkari janjimu !! `Papa` tulisan di depan pintu itu membuatnya sedih, yang Dia tahu Ayahnya berangkat ke Korea, itu yang dikatakan Ayahnya tadi tapi kenyataan kalau yang menulis memo di depan pintu adalah Ayahnya tidak bisa di pungkiri, Dia sangat mengenal karakter tulisan Ayahnya. Dewa menyeka air matanya pelan, kemudian meremas perutnya, Dia belum makan dan Dia sangat tahu Maagh yang di deritanya sejak SD itu kambuh. Dewa menggeser tubuhnya, Dia tidak mau jika ketiduran nanti, akan terjungkal saat Ibunya membuka pintu. Dewa memejamkan matanya, angin sejuk , rasa sakit dan kantuk membuatnya jatuh tertidur, terlihat lelap meskipun dalam posisi yang tidak nyaman.tak berselang lama pintu terbuka, memperlihatkan sosok paruh baya yang terlihat lelah, kemudian menghela nafas panjang menghampiri dewa yang tertidur pulas, wajah polos itu membuat laki – laki dengan marga Park itu terenyuh. “Mianhae... maafkan Appamu ini, Aku hanya ingin melindungimu.. Kau tahu eommamu mengamuk tadi, dan Appa tidak mau kalau eommamu melukaimu,” di elusnya pelan rambut putra bungsunya kemudian membawanya ke dekapannya. “Maafkan Appa... Maaghmu pasti kambuh, tapi Kau tidak akan aman jika tidur di rumah untuk malam ini, maafkan Appa.. mianhae..” air mata laki – laki paruh baya itu menetes. “Bukan.. maafkan Papa... dewa, suatu saat Papa akan membawamu ke Korea, berkenalan dengan Kakak – kakakmu, dan keluarga besar Kita, tapi Kau harus membantu Papa untuk menyembuhkan Mama, Mama sakit sayang.. jiwanya terguncang karena nyaris di perkosa oleh Kakaknya sendiri, tapi satu hal yang Papa tahu, Kalau Kamu anak Papa, darah daging Papa.. Papa menyayangimu anakku,” di kecup penuh sayang puncak kepala dewa, memeluknya hingga Dia sendiri jatuh tertidur.
            Bintang yang bertaburan di langit menjadi pemandangan tersendiri untuk aira, wajahnya terlihat bahagia dan memerah. Di rabanya dadanya, ada getar – getar aneh yang membuat perasaannya terasa hangat, di rabanya pergelangan tangan kanannya kemudian tersipu malu. Lana membuatnya terkejut dan bahagia, Dia bertanya – tanya kenapa Dia merasa senyaman ini dengan lana, entahlah getar – getar itu benar – benar membuatnya melayang, suara dering ponsel membuatnya terkesiap ada nomor baru masuk, dengan ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ada apa dengan siapa?? Disini dengan aira Tri Hapsari, ada yang bisa Ku bantu??” terdengar suara gelak tawa disana, membuat aira mengerenyit. “Aku Lana, apa seperti itu caramu menjawab telfon?? Ku pikir Kamu bisa menebak,” mendengar jawaban lana membuat aira tersipu malu. “Kau baru saja memberikan nomormu tadi,”
“Maafkan Aku, mungkin Aku terlalu asyik menatap bintang,”
“Ya, Bintang malam ini sangat cantik, jadi bagaimana dengan tugasnya?? Apa ada yang kurang??” aira berpikir sebentar. “Kurasa tidak, tinggal presentasi saja kan?? Itu bisa di handle..”
“Ya, Aku percaya padamu kalau Kamu bisa di andalkan... Ya Bu !! Aku akan segera kesitu, Iya... !!” suara lana membuat aira mengerenyit. “Siapa??” tanya aira penasaran. “Ibu, Dia mengajakku makan malam, sudah waktunya makan malam, kalau gitu sudah dulu yaaa.. sampai ketemu besok,”
“Ya, selamat malam..” aira menurunkan ponselnya dari telinganya, jam digital ponselnya menunjukkan pukul setengah delapan, jam makan malam sudah lewat. “Pasti ada sesuatu,” gumam aira pelan, kembali menatap bintang. Prangggg !!! suara benda pecah membuat atensinya beralih, kemudian aira menghela nafas panjang saat suara benda pecah itu di susul teriakan – teriakan yang menjemukan, aira menekuk lututnya memutuskan untuk menghiraukan suara – suara itu, menatap bintang yang entah kenapa menghilang satu – persatu. Terkadang aira membenci hidupnya sendiri.
            Lana memandang bintang yang bertabur indah itu sejenak, sebelum beranjak dan memenuhi panggilan ibunya, di tatapnya ponselnya sembari tersenyum, aira sangat berbeda dengan lyara, aira sangat dewasa pembawaannya, tidak seperti lyara yang kekanakkan, namun tetap saja Dia merasa cemas, karena lyara tidak merespon panggilannya dan pesan – pesannya. “Lana !!!” suara panggilan Kakak perempuannya membuatnya bergegas, namun suara dering ponselnya menghentikan langkahnya, nama lyara tertera di sana, Dia memutuskan untuk mengangkatnya. “Hallo ! dari mana saja?? Keasyikan berduaan sama dewa yaaa??” lana memberondong lyara, Dia sungguh khawatir dengan gadis itu. Lana memutuskan melangkah menuju ruang tengah, dimana semua keluarganya sudah menunggu. “Maafkan Aku, tadi kak hamdi sakit.. jadinya Aku tidak sempat menelfonmu atau membalas pesanmu, Aku janji tidak akan mengulangi lagi..” lana tersenyum saat mendapati keluarganya tengah bercengkrama. “Lana !! dasar ! cewek mulu diurusin !!” celetukan lita membuat lana memeletkan lidahnya. “Siapa?? Lan?? Kak lita yaa??” lana mengangguk “Ya, memang kak hamdi sakit apa??”
“Aku tidak tahu, Om farkhan bilang hanya kelelahan, besok juga pulih.. ada apa di rumahmu, kedengarannya seru,” lana tersenyum “Kumpul keluarga,”
“Wah Asyik sekali !!! pasti rame banget deh !!” lana tertawa sumbang, membuat lyara mengerenyit. “Lana tawamu jelek !!” mendengar ledekan lyara membuat lana bungkam. “Memangnya begitu??” terdengar suara kekehan kecil di seberang membuat lana tersenyum. “Lyara !! kesini sayang..!!” suara lain terdengar di telinga lana. “Maafkan Aku, Ibu dan Ayah sudah menungguku, selamat malam, sampai ketemu besok,” panggilan berakhir, lana memutuskan meletakkan ponselnya di meja dekat kamarnya, kemudian menghampiri keluarganya. “Wah.. sudah lengkap nih !! jadi di mulai dari siapa dulu??” semua anggota keluarga itu berpandangan kemudian pandangan mereka tertuju kepada lana. “Lana !! Kamu duluan,”
“Kok Aku??, gak adil akh.. harusnya yang gedhe dulu.. kak fandi kek,”
“Kali ini yang kecil dulu,,, wlee” fandi memeletkan lidahnya membuat lana mendengus sebal. “Baiklah.. mulai dari mana??”
“Lyara !!” seru mereka kompak, membuat pipi lana mendadak panas. Lana menceritakan petualangannya bersama lyara Satu minggu ini, tidak seperti biasanya Dia yang jarang bercerita, kini banyak cerita yang Dia ceritakan, dalam hatinya Dia sungguh bersyukur dengan momen ini, momen yang akan selalu dirindukannya, momen yang akan selalu menghangatkan hatinya yang dingin, momen yang tidak akan terlupakan.
            Bastian termenung di jendela, menatap bintang di langit dengan hampa, masih jelas di ingatannya saat kerja kelompok tadi bersama dea. Gadis tomboy yang kesehariannya di kelas seperti tidak mengenal laki – laki dan cuek mendadak berubah feminim saat Dia datang ke rumahnya untuk kerja kelompok. “Hanya untuk menemuimu,” jawab gadis itu saat Dia bertanya untuk menggoda, seperti biasa seperti yang dilakukannya kepada teman – temannya, namun persepsi dea lain. Dan itu membuatnya menghela nafas panjang, di tatapnya lagi gemintang di langit kemudian tersenyum manis. “Bastian, ayo ! bergegas Kita harus ke rumah Pak dharma.. bukankah?? Kau ingin..” suara sang Ibu yang sengaja di gantung membuatnya bangkit dengan cepat. “Ibu jangan membahasnya..” bastian menggerutu sembari memakai jaketnya, sedang sang ibu hanya tersenyum. Setelah selesai dan mengambil kontak motornya bastian bergegas menemui Ibunya. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi, tertera nama dea disana, membuatnya menghela nafas panjang, memang Dia pernah menjalin hubungan tapi itu hanya kisah masa lalu, sudah lama sekali dan sudah berakhir Dua tahun yang lalu, bastian memutuskan untuk mengabaikannya. “Kenapa tidak di angkat sayang??” pertanyaan sang Ibu membuatnya tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Bukan sesuatu yang penting Ibu, ayo !! bukankah Kita harus bergegas??” ajakan bastian membuat wanita berkaca mata itu tersenyum. “Baik – baik.. Kau memang selalu tidak sabar untuk bertemu dengan...”
“Sudah Ku bilang jangan membahasnya lagi Ibu,” bastian menatap Ibunya “Itu membuatku malu,” wanita tiga puluh tahunan itu terkekeh,  merangkul putra semata wayangnya ke depan, rumah sederhana itu terasa menghangatkan orang di dalamnya. “Ibu.. apa Ibu tidak kesepian??” pertanyaan putra semata wayangnya membuat langkahnya terhenti, dahinya berkerut heran. “Kesepian??” bastian mengangguk, tersenyum manis di tatapnya sang ibu lama sekali. “Ibu masih muda, masih cantik.. dan Aku sudah besar, apa Ibu tidak berfikir untuk menikah lagi??” mata wanita itu berkaca – kaca, di tatapnya putra semata wayangnya penuh kasih, putranya yang begitu baik dan pengertian, putranya yang tidak menjadi seperti apa yang tidak di inginkan, tidak seperti kebanyakan . “Bagaimana denganmu??” tanyanya pelan. “Aku sudah besar Ibu, Aku tidak apa.. ingin sekali Aku memanggil seorang laki – laki yang melindungi ibu, dengan sebutan Ayah.. sesuatu yang abstrak untukku, bukan??” wanita berkaca mata itu merengkuh putranya erat, di elus dan di cium puncak kepala bastian berkali – kali. Bastian hanya diam, menikmati kenyamanan yang menjalar di hatinya, membalas pelukan wanita yang sudah mengandungnya, mendidiknya sendiri hingga menjadi seperti ini. “Ibu, jujur saja.. Aku ingin mempunyai Ayah, sejak pertama kali melihat teman – temanku di gendong Ayahnya,” wanita berkaca mata itu mengangguk. “Ibu yang akan menjadi Ayah untukmu, anakku,” sungguh dalam hatinya ingin sekali mengabulkan keinginan putra semata wayangnya, namun rasa traumanya membuatnya ragu. Sedangkan bastian menghela nafas panjang, selalu seperti ini. “Tapi.. kenapa Ibu percaya sama Om Dharma??” air mata wanita itu menetes. “Karena Tuan Dharma yang telah menolong Ibu,” tidak terasa air mata bastian menetes. “Ibu.. jangan mencintainya,” wanita itu menggeleng kuat. “Tidak.. tidak akan sayang,” bastian mencoba percaya, walau air mata sang Ibu meragukannya.
            Dea memandang gemintang dengan hampa, kedua lututnya di tekuk, sesekali mengecek ponselnya. Dea menghembuskan nafas kasar, memegang dadanya, di mana di dalamnya ada luka yang menganga lebar dan terasa perih. Dea adalah tipe orang yang tidak mudah tertarik dengan seseorang, tapi sekali Dia tertarik Dia akan terus tertarik dan tidak bisa melepaskan diri, dea gadis itu seperti tidak mengenal laki – laki sekarang, dandanan dan perilakunya seperti seseorang yang kesepian. Dea menghela nafas panjang, di sekanya lembut air mata yang tiba – tiba membasahi pipinya. Masih teringat jelas, kenangan indah bersama bastian, teman sekaligus orang yang sangat dicintainya itu sangat romantis dan penuh kejutan membuatnya tidak bisa untuk tidak tersenyum. Namun pria dengan penampilan sederhana dan selalu menjadi rekor berangkat paling pagi di sekolah itu, tidak benar – benar menyayanginya, entahlah.. membuat keputusan seperti itu membuat dadanya mendadak nyeri. “Itu semua udah berlalu, Dua tahun yang lalu... lupakan aja lah !! cinta monyet juga, hahaha,, ya gak??” ucapan bastian masih terngiang di telinganya membuatnya kembali meneteskan air mata. Bastian salah, salah besar, mungkin bastian menganggap kalau cinta mereka itu hanya cinta monyet anak SMP, namun bagi dea rasa cintanya kepada bastian adalah cinta yang sebenarnya, cinta yang berbalut air mata, cinta yang berbalut luka dan cinta yang membuatnya lemah tak berdaya dan yang paling penting Dia tidak mempunyai alasan  kenapa rasa itu bisa tumbuh subur di hatinya.
            Lyara memandang gemintang di halaman, di sampingnya bastian menemani, sembari terus menatap pipi putih lyara. “Malam ini cerah yaa??” lyara menoleh, mengalihkan atensinya kepada bastian, laki – laki yang malam ini memakai kemeja lengan pendek berwarma abu – abu lembut di balut dengan jaket putih dan celana jins dan sepatu kets warna putih itu terlihat mengarahkan telunjuknya ke langit, mulutnya bergumam. “Memang, Kamu lagi ngapain??” bastian menghentikan aktivitasnya kemudian tersenyum kepada lyara. “Menghitung bintang,”
“Memang bintang bisa di hitung??” tanya lyara polos, gadis dengan alis tebal dan hidung mancung itu menatap gemintang yang bertebaran, mencoba menghitung dalam hati. “Bisa,” bastian berseru senang. “Gimana??”
“Sini..” bastian meraih tangan lyara kemudian mengarahkannya ke langit. “Coba, Kamu hitung,”
“Itu sangat banyak, Yan..” bastian tersenyum, “Coba pejamkan mata kamu, terus kamu bayangin kalau kamu lagi di bukit penuh bintang, lalu kamu coba hitung,” lyara memejamkan matanya mulai bergumam “Satu,,, dua.. Tiga..” lyara masih bergumam, sesekali tersenyum manis, kemudian tertawa geli dan menggeliat, sontak lyara membuka matanya, menatap pelaku yang sudah menggelitiki pinggangnya. “Iyan !! ikh... geli tahu !!” bastian hanya tertawa lebar. Lyara menatap mata bastian. “Iyan !! sering – sering main ke sini yaa!!” serunya memelas, setelah berhasil meloloskan diri dari jari nakal bastian, sedangkan bastian tersenyum. “Siap !!”
“Iyan !! ayo pulang sayang !!” bastian mengalihkan atensinya kepada sang Ibu yang melambai, “Iya !!! Ra.. Aku pulang dulu yaa.. nanti bakal sering ketemu kok,” lyara hanya mengangguk senang, melambai kepada bastian. Kemudian kembali terduduk merenung, Dia sangat tahu siapa yang baru saja menemaninya, wajahnya tidak asing dan Dia sudah terbiasa bermain bersamanya. “Iyan.. kenapa Kamu di sekolah tidak pernah menyapaku?? Apa karena kekuranganku?? Kamu mengira Aku tidak mengenalmu??” lyara menghela nafas panjang “Apa?? Hanya mirip yaa??” lyara menggendikkan bahunya, kemudian bangkit dan meninggalkan bintang yang membentuk barisan di langit yang gelap.

            Puzzle kedua kehidupan Mereka, dengan masalah Mereka, dengan karakter Mereka namun sebuah benang Merah bernama persahabatan dan cita – cita menyatukan Mereka, sebuah benang merah bernama ambisi dan cinta, rasa ingin memiliki dan arti pengorbanan. Mereka berbeda, namun Mereka tetap saling berhubungan satu sama lain.

To Be Continue
#Khichand_Lee

Senin, 05 September 2016

Lost - Part 3

Semuanya berjalan baik – baik saja, lyara yang sudah kembali ke sekolah dan bercengkrama dengan teman – teman dan Guru sejarahnya. Disusul lana yang masuk beberapa hari kemudian, lana terlihat sehat sangat sehat sampai – sampai lyara merasa seperti mimpi kalau lana pernah sakit. Namun bukan itu yang menjadi intinya, banyak potongan puzzle yang masih belum ditemukan untuk menyusun takdir Mereka.
            Ulangan kenaikan kelas sudah berlalu, penerimaan raport juga sudah dilaksanakan, upacara perpisahan untuk kelas Tiga juga terselenggara dengan baik. Lyara sedang bergerak riang saat ini, di depan ruang kelas baru Mereka, matanya bersinar ceria,di hadapannya dea dan aira juga tengah tertawa menimpali perkataan lyara. Sedangkan lana yang sudah duduk di kursinya hanya menggeleng – gelengkan kepalanya, sekaligus merasa bersalah juga, karenanya lyara jarang bertemu dengan kedua temannya. Lana tersenyum kecil kemudian memasang earphone di telinganya, Dia butuh ketenangan. Lyara tersenyum manis saat telah sampai di kursinya, dengan usil lyara menyentil telinga lana yang tersumpal earphone, membuat lana yang akan jatuh tertidur terkesiap bangun, kemudian mengucek – ngucek matanya, menatap lyara yang tengah terkikik geli. “Ada apa Ra??”
“Aku mau duduk,” mendengar jawaban lyara membuat lana tersenyum kikuk, kemudian menggeser tubuhnya. “Ku dengar hari ini ada anak baru,” ucapan lana membuat lyara yang baru saja mengeluarkan buku barunya yang bergambar hewan lucu menatap lana penuh antusias. “Wah ! Kau jadi penguping sekarang,” ucapan lyara membuat lana mendengus sebal. “Aku tidak sengaja mendengarnya, dan kabarnya Dia masuk kelas Kita,”
“Benarkah?? Wah !! menyenangkan sekali sepertinya,” ucapan lyara yang selalu antusias membuat lana mengacak – acak poni gadis itu, membuat lyara mendesah sebal kemudian berpura – pura kesal, lana panik dan berusaha membujuk lyara. Pemandangan itu membuat seseorang yang duduk tak jauh dari Mereka merasa panas, dan sakit hati. Mendengar suara tawa lyara dan lana membuatnya merasa jika Dia juga pantas mendapatkan itu. Suara canda itu lenyap, begitupun suara – suara lain di kelas itu, suara ketukan sepatu yang terdengar menyeramkan membuat mulut sekelas itu diam. “Selamat pagi anak – anak, selamat datang di kelas baru Kalian, XI IPA 1,”
“Pagi...” siswa yang berjumlah 31 anak itu menjawab sekenanya, pandangan Mereka tertuju kepada sosok asing disamping guru yang merupakan wali kelas Mereka itu. Sedangkan lyara menatap sosok itu sembari mengingat sesuatu kemudian Dia membuka tasnya mencari ponselnya menatap potret seseorang di wallpaper kuncinya, kemudian kembali menatap sosok itu, berulang kali. “Ya !!! Ada Lee Hyun Woo disini !!” teriakan lyara membuat semua kepala menoleh ke arahnya, sedangkan lana menatap gadis teman semejanya itu tajam. “Ada apa lyara?? Apa Kau baru saja mendapatkan info dari teman K-popmu??” suara wali kelasnya tidak membuat lyara berhenti bergumam, lyara kesal dengan wali kelas barunya itu, heran juga kenapa guru sejarah itu menjadi wali kelas IPA, bukan IPS saja. “Tidak, tapi pria disamping Anda, Akh Pak guru Anda terlihat kalah pamor dengannya,” celetukan lyara mengundang tawa diseluruh kelas tak terkecuali sosok asing yang belum sempat memperkenalkan diri itu. Guru sejarah itu menghela nafas sebal.”Diam semuanya, nak.. silahkan berkenalan dengan teman – temanmu,” sosok asing itu tersenyum manis, membuat lyara kembali melihat ponselnya. “Halo semua.. perkenalkan namaku..”
“Namamu.. Lee Hyun Woo kan?? Apa Kau sekarang tinggal di Indonesia??” ucapan sosok itu terpotong ucapan lyara, sedangkan lana sudah menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. “Lyara... Dia bukan Lee... Hyun.. Woo..” ucapan terbata sang wali kelas, disambut tawa oleh lyara “Pak guru, Anda pasti tidak mendapat berita terbaru dari teman K-pop Anda,” ucapan lyara membuat guru sejarah bernama Pak Herman itu geram, kemudian menarik nafas panjang, Dia tidak ingin membuat murid nakalnya itu keluar, tidak ingin kejadian saat kelas Sepuluh terulang karena mempermainkan gadis nakal itu. “Lanjut nak.. Lana.. bisa tolong bekap mulut teman semejamu??” lana mengangkat kepalanya, menatap lyara yang masih menatap ponselnya bergantian dengan sosok asing di di depan kelas, tapi lana sadar jika tatapan anak baru itu berbeda kepada lyara, membuat lana membekap mulut lyara dan menutup kedua telinga lyara dengan earphone miliknya. Lyara sempat ingin protes, namun gagal, pergerakan lana lebih lincah sekarang. Lyara hanya mampu menatap nanar ke depan, berusaha melihat anak baru itu menyebutkan namanya, namun lana segera memalingkan wajahnya, Dia tidak pernah tahu kalau lana akan berbuat seperti ini padanya, membuat lyara mendadak sedih.
            Lyara menatap dias dan hamdi penuh kekesalan, gadis itu berceloteh panjang lebar karena tepat saat bel istirahat berbunyi lana langsung menariknya ke kantin. Dias dan hamdi menyimak baik – baik cerita lyara tentang anak baru di kelas Mereka.
“Aku masih tidak percaya kalau Lee Hyun Woo akan bersekolah di sini, bukannya masih ada sekolah yang lebih elit??”
“Benar itu Dia?? Dia bisa bahasa Indonesia??” tanya Dias penasaran. “Bukanlah Kak, wajahnya memang blasteran Indonesia Korea,” jawaban lana membuat lyara mendelik sebal. “Itu memang Dia tahu !!” sanggahan lyara membuat hamdi menghela nafas panjang. “Lyara, dengar..” hamdi menarik sepupunya ke dalam pangkuannya, persis seperti seorang Ayah yang memangku anak gadisnya. Sedangkan lyara mendongak, menatap hamdi mencoba mendengarkan ucapan sepupunya itu baik – baik. “Kalau itu Dia, Dia tidak akan bersekolah disini, dan pastinya Dia bukan anak SMA Lyara,,,” lyara mangut – mangut tanda mengerti. Lana melotot, semudah itukah hamdi meyakinkan lyara?? Sedangkan Pak herman saja kewalahan menghadapi keras kepalanya gadis itu, ucapannya sedari tadi juga tak diindahkan oleh lyara. “Jadi begitu..”
“Iya lyara..” lyara menatap hamdi sekali lagi “Hanya mirip,” hamdi mengangguk, menyentil hidung lyara gemas, membuat lyara tertawa. “Turun, Kamu tambah berat aja,” ucapan hamdi membuat lyara mengerucutkan bibirnya kemudian memukul lengan hamdi gemas, membuat hamdi tertawa lebar, begitupun dengan dias dan lana. Dan pemandangan itu lagi – lagi membuat seseorang merasa terbakar.
            Dewa mendesah sebal, Dia mengambil bukunya kemudian mengipas – ngipaskannya ke tubuhnya, Dia merasa sangat gerah meskipun kipas angin masih menyala di kelasnya. Baru saja semua teman sekelasnya dan mayoritas perempuan meminta berkenalan dengannya, membuat mendengus sebal kemudian tersenyum sendiri saat mengingat acara perkenalannya di depan kelas tadi, membuatnya menoleh ke arah seberang, di meja nomor 2 dekat jendela. Gadis itu, gadis yang menyebutnya dengan nama asing, nama yang bahkan tidak di kenalnya, gadis yang terang – terangan menunjukkan ketidaksukaannya kepada wali kelas Mereka, gadis nakal yang berani, gadis yang jujur dan mungkin polos. Dewa kembali tersenyum sendiri Dia merasa inilah rasanya jatuh cinta pandang pertama.
“Kak dias lebih sayang padaku dari pada Kamu, wlee,” suara yang sejak tadi ditunggunya membuat dewa merapikan penampilannya, Dia ingin berkenalan. “Tapi Kak dias kakakku,” tapi pria disamping gadis itu membuat nyali dewa ciut, ada sepercik ragu dalam hatinya, “Apakah mungkin Mereka pacaran??” batinnya, entah kenapa tiba – tiba hatinya terasa sakit.
“Buktinya, Kak dias yang membayarkan makananku,” lyara menghentikan langkahnya di depan kelas. “Kak dias juga membayar makananku,” adu mulut itu terhenti saat seseorang berteriak kesal kepada Mereka. “Kalian ini !! hentikan omong kosong Kalian !!” sentakan yang diikuti memisahkan jarak diantara Mereka membuat posisi lyara yang kurang beruntung dan siap terjatuh, tubuhnya terdorong keras. “Aw..” pekiknya pelan, membuat lana panik dan menghampiri lyara. “Apa – apaan Kamu Aira !!” aira ternyata, orang yang sudah menengahi pertengkaran lana dan lyara dengan kasar. “Kalian yang apa – apaan !!! Kalian itu sudah SMA kelas sebelas, masih jaman gitu bertengkar buat yang gak penting???” jawaban aira membuat lana mengepalkan tangannya, lana membantu lyara bangkit dan saat akan menampar pipi aira lyara mencegahnya. “Jangan, mungkin Aira lagi PMS, jadinya sensitif.. Ra,, maafin Kita yaa?? Kalau Kita berisik, ayo Lan duduk dengan tenang,” lana mengikuti langkah lyara, gadis itu sangat pengertian ternyata, juga peduli atau mungkin mencoba berpikir positif.
            Dewa menatap pemandangan itu dengan tatapan penuh tanya, gadis yang tadi menengahi pertengkaran sepasang kekasih itu terlihat sangat marah, bagaimana mungkin jika gadis yang tadi memanggilnya dengan nama asing itu terlihat tenang dan mencoba berpikir tenang dan tidak ceroboh, tatapan dewa beralih kepada pria yang duduk bersama gadis yang menyebutnya sebagai Lee Hyun Woo. Pria itu terlihat menanyakan sesuatu kepada teman semejanya, atau bisa dikatakan kekasihnya, mengingat itu membuat dewa kembali merasa hatinya perih, tatapannya beralih kepada gadis dengan rambut diikat ekor kuda yang duduk diam disamping gadis yang samar Dia dengar bernama Aira, gadis itu terlihat bingung sedangkan aira hanya diam, cuek membuka bukunya kemudian membacanya. Dewa mencoba menerka ada apa dengan Mereka berempat?? Dewa menghela nafas panjang saat bel masuk berbunyi, sebagian teman – teman sekelasnya terutama Kaum perempuan menyapanya.
“Santai aja Wa, cewek – cewek disini emang gitu, entar kalau Kamu udah punya pacar Mereka bakal mundur sendiri.. ekh ngomong – ngomong Kamu udah punya pacar??” celotehan teman semejanya  yang Dia tahu bernama Bastian membuatnya tersenyum “Aku juga udah nyantai Bas, pacar mah gak ada, belum ada yang cocok buat di bawa ke Mama,”
“Tapi udah cocok dibawa ke Papa kan??” pertanyaan bastian membuat raut wajah dewa berubah. “Aku tidak yakin,”
“Ekh, bukannya sekolah di Jakarta lebih bagus yaa?? Kenapa malah disini??”
“Aku kira disini Aku lebih baik,” jawabnya sekenanya, sebenarnya bukan itu alasannya, ada banyak alasan yang membuatnya pergi dari kota kelahirannya, dewa menghela nafas panjang, mengingat itu membuat dadanya sesak.
            Hamdi menatap heran lyara yang duduk termenung di depan jendela kamarnya, menatap kupu – kupu yang tengah menari manja diantara bunga. Lyara terlihat sedang berpikir. “Tidak istirahat??” lyara menoleh, menatap hamdi kemudian menggeleng dan kembali ke pemandangannya. “Ada masalah??” lyara hanya diam, kemudian menghela nafas panjang “Aku hanya lelah, katakan pada Kak Lusita.. Aku tidak bisa menemaninya saat datang, Dia akan bertemu dengan Kakak hari ini kan??” hamdi hanya mengangguk, membiarkan lyara menutup pintu kamarnya. Hamdi menghela nafas panjang, memijat pelipisnya akhir – akhir ini kepalanya sering terasa sakit, hamdi mendongak saat sadar, sesuatu mengalir dari hidungnya. “Sial !! mimisan lagi” desisnya pelan kemudian segera berlalu ke kamar. Di dalam kamar, lyara masih bersandar di pintu “Kakak pasti capek, Kali ini Aku akan selesaikan semuanya sendiri Kak, Aku gak mau lihat Kakak mimisan lagi,” lyara menyeka air matanya pelan, tubuhnya merosot dalam hati kecilnya ingin sekali lyara membuat hamdi bahagia dengan mendatangkan Om dan Tantenya ke Indonesia, membuat kejutan untuk hamdi, berulang kali lyara membujuk dan selalu berakhir dengan kegagalan, membuatnya merasa Dia gagal menjadi adik yang baik untuk hamdi.
            Lana memandang langit – langit kamarnya kosong, masih teringat jelas ekspresi lyara saat melihat anak baru tadi. Masih teringat jelas pula saat Dia memergoki si anak baru curi – curi pandang ke arah lyara. Tidak. Lana tidak akan membiarkan lyara jatuh ke tangan siapapun, lyara harus tetap disampingnya apapun yang terjadi. Mendadak Dia teringat dengan aira, gadis yang dengan kasar mendorong lyara hingga jatuh, gadis yang jelas – jelas merupakan sahabat lyara, membentak lyara dan membuat lyara jatuh. Ada apa dengan aira?? Marahkah aira kepadanya?? Atau kepada lyara?? Tapi kenapa lyara terlihat begitu tenang?? Lana menghela nafas panjang, kepalanya tiba – tiba pusing, Dia butuh istirahat.
            Dewa membuka pintu gerbang rumah barunya, kemudian berjalan tenang menelusuri halaman rumahnya yang bisa dibilang cukup luas. Hamdi melihat seseorang yang sedang menyiram tanaman. “Siang Ma..” wanita paruh baya itu hanya mengangguk, membuat dewa menghela nafas panjang, Dia memejamkan matanya kali ini rasa sakit dihatinya melebihi sakit saat tahu gadis yang dicintainya sudah mempunyai pacar.
            Hamdi membuka pintu rumah keluarga besar Dharma saat seseorang menekan bel, hamdi tersenyum saat menyambut tamunya. “Masuk Lus,” hamdi menggeser tubuhnya, membiarkan gadis seumurannya dengan wajah sederhana itu masuk, gadis berambut panjang yang sengaja diurai itu menyebarkan wangi shampo, membuat hamdi tersenyum. “Lyara kemana Ham??” tanya gadis itu, Lusita. “Kecape’an, tadi diisengin lana.. lagi tidur anaknya, Dia minta maaf gak bisa nemenin Kamu,” gadis itu tersenyum membuat lesung pipinya terlihat dan itu mau tak mau mau membuat hamdi ikut tersenyum. “Aku suka kalau lihat Kamu lagi senyum, lesung pipimu itu lho..” ucapan hamdi membuat lusita terkekeh. “Kamu bisa aja,” pipi lusita memerah, gadis itu tersipu ternyata. Lusita adalah kekasih hamdi, sudah sejak SMP berhubungan tapi jarak jauh karena lusita sekolah di luar negeri, namun kali ini lusita lebih memilih merayakan kelulusannya di Indonesia, bersama hamdi kekasihnya.
“Lus, besok Kamu berangkat pertama??” lusita mengangguk. “Iya, Aku dapat XII IPA 1,” mendengar apa yang diucapkan lusita, membuat hamdi tersenyum senang. “Itu kelasku,”
“Wah!! Benarkah?? Asyik!!” lusita ikut berseru senang. Hamdi mengangguk- ngangguk, namun kemudian hamdi memasang wajah sedih. “Kenapa Ham??”
“Lyara,”
“Ada apa dengannya??”
“Apa Kamu bisa jadi Kakak perempuan yang baik untuknya??”
“Maksudmu??” hamdi menghela nafas panjang. “Sebenarnya Aku tidak tenang saat meninggalkannya di kamar tadi, sepertinya Dia ada masalah Perempuan, Kali ini Aku tidak bisa memangkunya dan menasehatinya,” lusita tersenyum menggenggam tangan hamdi, mengelus kulit hamdi yang sawo matang itu, “Aku pasti ngerti,” hamdi tersenyum, Dia merasa sangat beruntung kali ini, sejenak melupakan kesedihannya tentang keluarganya.
            Dias berbaring di atas ranjangnya, menatap langit – langit kamarnya kosong, Dia masih terbayang – bayang ucapan hamdi. “Hari ini, kelas lyara ada anak baru, dan Dia langsung berseru jika anak baru itu adalah Lee Hyun Woo, aktor yang di idolakan lyara gara – gara suka lihat film,Aku ingin tahu apa reaksi lyara saat melihat anak baru di kelas Kita dan itu perempuan, apa Dia akan menyebutnya sebagai salah satu anggota SNSD??” dia memang tertawa saat hamdi melontarkan ucapan itu. Tapi dias masih memikirkan ucapan hamdi, apakah yang diucapkan sahabatnya sejak kelas Satu SMA itu benar atau tidak, karena biasanya apa yang diucapkan hamdi adalah hipotesa yang tepat. Dias bangkit dari posisinya, kemudian memandang ponselnya. Hamdi menelfonnya, “Wah kali ini sepertinya, lyara akan menyebut anak baru di kelas Kita Park Shin Hye,” hamdi berkata seperti itu sembari tertawa, Dia tengah menggoda lyara yang sedang menangis melihat film korea. “Sedang apa gadis nakal itu??” tanyanya. “Menonton film korea,”
“Dasar Movie Lovers, lain kali ajak Dia ke bioskop,” hamdi tertawa renyah, membuat dias mau tak mau juga ikut tertawa. “Ly,, Dias mengataimu sebagai movie lovers,,,” dias tersenyum hamdi dan lyara selalu menjadi hiburan asyik saat sedang bersedih. “Yas, kata gadis nakal itu, besok lana akan dipiting dan dibawa kehadapanmu..” tawa dias pecah, “Sudah dulu yaa.. gadis nakal itu sedang butuh pelukan, besok tampillah lebih rapi, selamat malam,” dias hanya tersenyum, meletakkan ponselnya diatas meja. Memang candaan hamdi dan lyara bisa menghiburnya saat sedih atau galau, tapi kalau Mereka yang membuatnya seperti itu, siapa yang bisa mengobatinya?? Dias menghela nafas panjang, membanting tubuhnya di atas kasur memejamkan matanya.
            Hari masih pagi saat lyara datang ke sekolah, dengan kesal lyara duduk di kursinya, merogoh tasnya dan mengambil dasi yang belum sempat di pakainya, kemudian memakainya dengan gerutuan. “Hey,” lyara mendongak menatap penuh tanya kepada sosok di hadapannya, lyara melongok ke belakang sosok itu. “Lana??”
“Ini Aku,,” dahi lyara mengerenyit, Dia tidak ingat apapun. “Lee Hyun Woo..” lyara tertawa pelan. “Jangan bermimpi, ini masih pagi.. jelas – jelas kalau Lee Hyun Woo di Korea bukan disini..” ucapan lyara membuat sosok di hadapannya bingung, Dia tidak mengerti kenapa lyara tidak mengingatnya. “Ly..!” panggilan seseorang membuat perhatian Mereka teralih, hamdi muncul dengan tergopoh – gopoh, sejenak hamdi menatap seorang pria yang tak di kenalnya berdiri di hadapan lyara. “Ada apa Kak??” bukannya menjawab hamdi malah menatap pemuda di hadapan lyara intens, kemudian tanpa kata menarik lengan lyara lembut, meninggalkan sosok imut dengan kulit putih itu diantara kebingungannya. “Aneh,” gumamnya pelan.
            Hamdi melepaskan pegangannya di lengan lyara setelah sampai di depan pintu gerbang, tangannya beralih merapikan dasi lyara yang tidak terikat rapi. “Kamu ini, kapan Kamu bisa mengikat dasi dengan benar??” lyara mendengus sebal. “Kalau Kakak tidak menyuruhku untuk cepat, Aku pasti bisa menyimpulkan dasiku sendiri,” hamdi terkekeh, benar juga tadi pagi Dia yang membangunkan lyara dan meminta lyara bersiap lebih cepat agar datang lebih pagi. Ya, Mereka datang lebih pagi Setengah jam, suasana sekolah masih sepi. “Kakak boleh bertanya??” lyara hanya mengangguk, duduk di dekat pos satpam. “Cowok itu siapa??” lyara terlihat berpikir sebentar kemudian tersenyum, menggeleng “Gak tahu, anak baru mungkin,” hamdi mengangguk mafhum, paham dengan keterbatasan lyara padahal hamdi tahu kalau adik kelas barunya itu adalah anak baru di kelas lyara yang disebut lyara sebagai Lee Hyun Woo, hamdi mengakui itu dengan warna kulit yang putih bersih dan ada gurat - gurat korea di wajah adik kelasnya itu, hamdi membenarkan ucapan lana yang mengatakan kalau anak baru itu blasteran Indo-Korea. “Kak..” hamdi menoleh menatap lyara yang juga tengah menatapnya. “Sebenarnya Kakak ngapain ngajak Aku kesini??” hamdi tersenyum kecil, Dia sampai lupa memberitahu lyara untuk apa mengajaknya ke depan pintu gerbang. “Menjemput Lusita,”
“Wah !! Kak lusita sekolah disini?? Sayang sekali,, padahal di Amerika pasti lebih bagus,”
“Karena Dia terlalu mencintaiku,” ucapan hamdi membuat lyara memukul lengan hamdi sebal. “Aku tidak tahu kenapa Kak lusita mau menjadi pacar Kakak??” celetukan lyara membuat hamdi tertawa kemudian mengacak poni sepupunya gemas. “Ly, benar Kamu tidak mengingat siapa cowok tadi??” lyara menggeleng lemas. “Dia pasti mengingatku, kenapa Aku tidak bisa menjadi teman baru yang baik yaa??” nada sedih lyara membuat hamdi tersenyum kecut, bertahun – tahun baru kali ini lyara menyesali kekurangannya yang satu itu. “Kau harus berkenalan dengannya,” lyara menghela nafas berat. “Aku tidak tahu apa Aku bisa melakukannya atau tidak,” hamdi tersenyum meraih dagu lyara, menatap lyara dalam “Kau bisa melakukannya,” dan itu membuat seseorang merasa terkhianati.
            Dewa masih berpikir keras di kursinya, duduknya tidak tenang, dewa sangat bingung saat ini, sangat bingung dengan lyara yang bahkan tidak mengingatnya sama sekali, padahal masih teringat jelas diingatannya saat lyara memanggilnya dengan nama korea yang asing, yang setelah Dia cari tahu lewat internet adalah salah satu aktor terkenal di negeri ginseng itu dan Dia akui agak mirip dengannya tapi aktor itu lebih beruntung. Dewa menghela nafas panjang, memejamkan matanya yang terasa lelah. “Kau bergadang tadi malam??” suara bastian membuat dewa membuka matanya, kemudian tersenyum manis. “Kau berangkat pagi sekali Wa?? Biasanya Aku yang paling pagi, tapi kali ini sepertinya Aku yang Ketiga,” dewa tersenyum “Aku sudah terbiasa berangkat pagi,” bastian mengangguk paham, kemudian duduk di kursinya, disebelah dewa. “Kau anak yang rajin sepertinya,” dewa kembali tersenyum kemudian teringat sesuatu. “Bas, Aku ingin bertanya,” bastian yang akan menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya terhenti, menatap dewa penuh tanya. “Apa??” tanyanya berusaha peduli dengan teman barunya. “Tentang lyara, kenapa lyara tidak mengingatku??” bastian tersenyum, menegakkan tubuhnya. “Ya, Dia memang seperti itu, Kau tidak akan begitu dikenalnya jika hanya pernah satu kali bertemu dengannya, Aku juga pernah mengalaminya, tapi kalau Dia sudah bisa mengingatnya Dia akan selalu mengingat namamu, itu juga terjadi padaku,” bastian akan kembali menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya namun kembali terhenti saat dewa mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. “Apa lyara mempunyai kelainan??”
            Lusita menatap pintu gerbang SMA Harapan kagum, Dia segera turun dari mobil Ayahnya berpamitan dan menghampiri hamdi dan lyara yang tengah duduk berdua di dekat pos satpam. “Hey !” sapanya ceria, membuat lyara yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya dan langsung memeluk lusita “Selamat datang di Harapan !! Kau kah gadis sial yang dicintai Kak Hamdi??” mendengar ucapan lyara membuat lusita tertawa pelan, menatap hamdi yang tengah tersenyum menatapnya. “Aku gadis beruntung lyara, tapi tidak seberuntung Kamu,” ucapan lusita membuat lyara terdiam kaku, berusaha tersenyum. “Kak, berhubung kak lusita sudah datang.. Aku ke kelas dulu yaa, Ku rasa Aku harus berkenalan dengan teman baruku,” hamdi hanya mengangguk tidak peduli, tatapannya masih tertuju kepada lusita, kekasih yang sangat dicintainya.
            Lana bertemu dengan lyara di koridor saat Dia akan mencari gadis itu, lyara terlihat berjalan dengan lesu, tatapannya kosong membuatnya terdiam dan bertanya – tanya. “Ly!!” serunya memanggil, membuat lyara mendongak kemudian tersenyum sumringah dan berlari – lari kecil menghampiri lana. “Hey !!” sapa lyara setelah sampai di hadapan lana, sedangkan lana tersenyum “Kau datang pagi sekali hari ini,” lyara mengangguk “Ya, Kak hamdi ingin menjemput kekasihnya di pintu gerbang,”
“Pantas saja kalau kak dias bilang kak hamdi tidak pernah tertarik dengan gadis manapun di seluruh pelosok Harapan,” lyara hanya terkekeh, “Kak hamdi itu setia, Dia sangat baik tidak sembarang wanita bisa mendapatkannya dengan mudah,” lana tersenyum mengacak poni lyara gemas.
            Aira duduk lesu di kursinya, Dia tidak tahu kenapa Dia bisa seperti ini, Dia tidak tahu kenapa Dia merasa apa yang dimiliki lyara tidak dimilikinya. Dia iri dengan lyara yang memiliki hampir segalanya. Aira menghela nafas panjang, ditatapnya lyara yang tengah berjalan bersama lana, seperti biasa. “Aira !!” lyara berseru memanggil aira kemudian menghampiri aira dengan langkah riang. “Dimana Dea??” mendengar suara lyara membuat aira tiba – tiba menyesal, aira tersenyum manis. “Seperti biasa, bukannya sahabat Kita yang satu itu sangat suka keliling lapangan??” lyara tertawa mendengar jawaban aira. “Hey !! jangan sembarangan bicara!! Kali ini Aku tidak mau keliling lapangan,” dea yang datang langsung menyambung pembicaraan membuat tawa Mereka pecah. “Ku pikir Kamu masih menyukai olahraga pagi,” celetukan lyara membuat tawa Mereka kembali. Namun tidak ada yang tahu jika lyara menyimpan sebuah kegelisahan dalam hatinya.
            Dewa menyodorkan tangannya ke arah lyara yang tengah membaca buku di perpustakaan, lana sedang pergi ke kantin sendiri, dan itu merupakan sebuah kesempatan bagus untuk dewa. Lyara yang tengah membaca, menurunkan bukunya menatap dewa dengan alis bertaut. “Kamu lagi..” dewa tersenyum “Kenalkan namaku Dewa Sindhunata, panggil saja dewa,” lyara menatap tangan dewa ragu, kemudian membalas jabatan tangan dewa “Lyara, senang berkenalan denganmu,” dewa mengangguk tersenyum senang, kemudian duduk di hadapan lyara. “Boleh Aku duduk disini??” lyara mengangguk tersenyum manis. Dalam hati dewa merasa kalau lyara adalah gadis unik yang pernah di kenalnya. Tak lama lana datang menatap dewa lama. “Owh, Kau sudah kembali,, biarkan dewa duduk disini, Dia teman baru Kita kan?? Wa?? Apa Kau mengenal Lana??” dewa menggeleng polos membuat lyara tersenyum “Wa, perkenalkan ini lana, teman semejaku..” dan ucapan lyara membuat dewa menghela nafas lega, dan hatinya merasa tenang, sangat tenang.


#ToBeContinued
#Khichand_Lee