Lyara
mengetuk – ngetukkan pensil ke dahinya bosan, di depan kelas guru sejarah
sedang menerangkan sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia, lyara menghela
nafas sebal seingatnya guru menyebalkan di depannya pernah menyampaikan hal itu
dan ini kembali di ulang membuatnya menghela nafas sebal. “Oke anak – anak,
Saya akan memberikan tugas kelompok, karena jumlah siswa disini genap, maka
Saya akan membaginya menjadi Enam belas kelompok, itu artinya Satu kelompok
terdiri dari Dua orang,” pak herman tersenyum sendiri di depan kelas, Dia
berniat mengerjai murid nakalnya. “Dan Saya yang menentukan kelompoknya,” pak
herman bisa mendengar desahan kesal dari murid – murid di kelasnya. “Maulana
Irsyad dengan Aira Tri Hapsari..” lana dan aira berpandangan, sedangkan lyara
tersenyum manis. “Dea Agustina dengan Bastian Ade Mahendra,” satu persatu murid
XI IPA 1 disebutkan namanya, lyara yang tidak dikunjung disebut menjadi cemas,
begitupun dengan dewa “Dan kelompok yang terakhir, Lyara Dharni Dharmanirma
dengan Dewa Sindhunata,” pak herman tersenyum puas, Dia mengangkat kepalanya
ingin melihat ekspresi murid nakalnya namun Dia heran, karena lyara sang murid
nakalnya tidak terlihat gugup atau malu sedikitpun padahal jika mengingat
kejadian saat lyara menyebut dewa sebagai aktor idolanya lyara seharusnya malu
jika bertemu dengan dewa, ini sangat aneh. “Tugasnya apa Pak???” lyara yang tersenyum
sendiri melihat wajah bingung guru sejarahnya angkat bicara ingin menggoda guru
sejarahnya itu, untuk kali ini lyara merasa bersyukur dengan kekurangannya yang
satu itu. “Emm tugasnya Kalian mencari referensi Sejarah dari buku lain atau
internet, atau kalau perlu dari mantan pahlawan sekalian, tentang sejarah
indonesia..”
“Mantan
pahlawan?? Jadi Kita harus ke Kali Bata gitu?? Atau ke depan Rumah Sakit
Kariadi??”
“Memangnya
mau ngapain??”
“Bertanya
dengan mantan pahlawan lah..”
“Memangnya
disana ada??”
“Banyak,
arwahnya,” jawaban lyara membuat pak herman menggeram, Dia berusaha sabar.
Sedangkan lana yang sudah terbiasa melihat lyara dan guru sejarahnya adu mulut
hanya mampu menggeleng – gelengkan kepalanya, kemudian menghela nafas lega saat
bel berbunyi itu artinya lyara dan pak herman tidak bisa melanjutkan acara adu
mulut Mereka.
Dewa tersungkur setelah punggungnya
menabrak ujung lemari, nafasnya terengah – engah. Ditatapnya sosok pria
berbadan tegap di hadapannya, yang baru saja melayangkan pukulan telak di
wajahnya. “Pa.. Aku Cuma mau kerja kelompok, Aku akan pulang lebih cepat, Aku
janji..” pria paruh baya itu malah menatap dewa tajam. “Aku gak akan ngecewain
Papa lagi,” pria paruh baya itu menghela nafas lelah kemudian mengangguk pelan.
“Baik, jangan pulang terlambat, jaga Mamamu, Papa harus ke korea lagi.. ada
banyak urusan yang harus diselesaikan disana..” dewa mengangguk pelan, menatap
kepergian sang Ayah lemah, ingin rasanya dewa bercerita kepada kedua
orangtuanya tentang lyara yang memanggilnya dengan nama aktor korea karena
wajahnya yang blasteran, namun dewa hanya mampu membayangkan itu dalam mimpi,
karena kedua orangtuanya dan saudara – saudaranya tidak seindah paras yang
telah digoreskan Tuhan kepadanya.
Lyara tersenyum riang saat membuka
pintu, baru kali ini tamu di rumahnya berbeda, biasanya hanya aira, dea dan
lana yang mengunjungi rumahnya. Namun baru kali ini juga lyara tidak seriang
itu menyambut tamunya, saat melihat wajah tamunya. “Dewa??”
“Iya,
ini Aku lyara..” lyara menggeleng “Ada apa dengan wajahmu??” dewa meraba
wajahnya agak panik, kemudian tersenyum “Tadi jatuh,” lyara hanya mengangguk,
meskipun tahu luka di sudut bibir teman barunya itu bukan luka karena jatuh,
bagaimana bisa ??. “Oh.. gitu, ayo masuk !!” dewa tersenyum lega, kemudian
mengikuti langkah riang gadis mungil di depannya. Dewa menatap kesekeliling,
banyak foto keluarga di ruang tamu lyara terlihat sangat lucu saat kecil, dewa
tersenyum.
“Semua
orang berfikir, kalau Kami keluarga bahagia,” suara lyara membuat dewa
mengalihkan perhatian, lyara sudah duduk lesehan di depannya membuka laptopnya.
“Kalian terlihat seperti keluarga bahagia,”
“Sebenarnya
tidak sesederhana itu, begitupun dengan luka di sudut bibirmu bukan??”
“Ini
hanya jatuh lyara,,”
“Begitupun
dengan keluargaku, hanya lengkap,, tapi bukan itu alasannya dewa,” dewa menatap
lyara yang terlihat berbeda dari yang dilihatnya disekolah. “Aku terlahir di
tengah keluarga yang sedang genting lyara... Papaku keturunan korea, Mamaku
asli Indonesia tapi memiliki darah keturunan korea dari Kakeknya.. sejak kedua
orang tuaku menikah Mereka memutuskan untuk tinggal di korea, semua orang
memanggil Mereka dengan Tuan dan Nyonya Park, keluarga bahagia bukan?? Dan
kebahagiaan itu bertambah saat satu persatu Kakak – Kakakku lahir,” dewa
menjeda ucapannya, Dia heran kenapa Dia bisa seterus terang ini kepada lyara,
di tatapnya lyara yang tengah fokus dengan laptopnya. “Kamu lahir di korea??”
pertanyaan lyara membuat dewa terkesiap, lyara mendengarkannya. “Kemudian
situasi genting itu terjadi saat Mama mengandungku, waktu itu kondisi Mama
sangat lemah, Papa sedang ada masalah di perusahaan, dan tiba – tiba Kakak Mama
membawa Mama ke Indonesia, jelas saja
Papa marah.., Papa menemukanku dan Mama setelah Aku lahir saat itu Mama ada di
pinggir jalan, baru saja melahirkanku Mama sangat lemah Kami dibawa ke rumah
sakit, dokter bilang Mama tidak bisa hamil lagi,” dewa mendongak mencoba
menahan air matanya. “Dan Mama tidak pernah menyapaku, Papa juga tidak pernah
membawa Kami ke korea lagi, Aku bahkan hanya tahu korea dari TV,” lyara
mengangkat wajahnya, menatap mata dewa yang berkaca – kaca. “Papa pernah
bilang, kalau diantara saudara – saudaraku yang lain, Aku yang paling sempurna,
wajah korea benar – benar tercetak rapi di wajahku, tapi Aku tidak pernah
melihat saudara – saudaraku,” dewa menghela nafas panjang “Kamu berandalan??”
pertanyaan lyara membuat dewa terdiam sesaat kemudian mengangguk lemah. “Ya,
akhirnya Papa memutuskan untuk memindahkanku kesini,” lyara mangut – mangut.
“Tapi satu hal yang mengganjal dewa,” dewa menunduk saat mendengar kata yang
dilontarkan lyara “Tidak ada nama Korea di nama lengkapmu,” dan dewa baru
menyadari kejanggalan itu.
Lana menatap aira yang tengah sibuk
di depan laptop, mengerjakan bagiannya, gadis yang saat ini memilih mengikat
asal rambutnya itu tampak manis. Lana tersenyum, aira terlihat lebih anggun dan
dewasa daripada lyara. Lana terkesiap saat ponselnya tiba – tiba berbunyi,
tertulis Ibu di layar ponselnya, lana menghela nafas berat. “Angkat saja, siapa
tahu penting,” suara aira membuat lana mendesah kemudian mengangkat telfon dari
sang Ibu.
“Ya
bu.., iya, sebentar lagi, Aku tidak akan lupa.. Yaa.. Aku menyayangimu Ibu”
aira mengangkat wajahnya, menatap lana yang menyimpan ponselnya. “Ada apa? Kau
disuruh pulang lebih cepat??” lana tersenyum manis, menggeleng pelan. “Tidak,
hanya bertanya kapan Aku pulang,” aira mangut – mangut. “Aira.. Aku ingin
bertanya,” aira menghentikan aktivitasnya menatap lana penuh tanya. “Sejak
kapan Kau mengenal lyara??” aira menghela nafas panjang menatap lana intens.
“Sejak lyara pertama kali
masuk di SMP,”
“Apa
Dia mengingatmu keesokan harinya??” aira menggeleng. “Dan sebenarnya Aku tidak
suka itu,”
“Lalu
apa yang membuatmu marah tempo hari??” aira bungkam, “Tidak ada, sudah kerjakan
lagi, guru sejarah itu akan marah jika Kita lalai,” lana tahu kalau aira
berusaha mengalihkan pembicaraan. Lana memegang tangan aira yang tengah menari
di atas keyboard membuat aira menghentikan aktivitasnya. “Jawab Aku Aira....”
aira terdiam, menatap lana yang menatapnya dalam, membuatnya tiba – tiba merasa
hangat, ada getar – getar aneh yang dirasakannya.
Dias menatap langit – langit
kamarnya sembari tersenyum manis, Dia masih teringat senyuman gadis anak baru
itu. Membuatnya tiba – tiba merasa melayang, namun satu hal yang membuat
senyumnya luntur. “Kenalin Yas!! Pacarku,
Lusita,” kenyataan kalau
anak baru tadi, Lusita adalah kekasih sahabatnya hamdi. Dias membuang nafasnya
kesal, kemudian bangkit dari posisinya menyambar jaket dan bola basket, Dia
ingin bermain basket. Suara pantulan bola basket terdengar menggema, dias
mendriblenya dengan kacau, sejalan dengan pikirannya yang kacau. “Hey !! bukan
seperti itu cara main basket!!” seruan seseorang membuat dias menghentikan
aktivitasnya, menatap seorang gadis dengan setelan baju santainya melangkah
perlahan kearahnya. “Aku tidak mengira kalau Kita satu kompleks,” dias
tersenyum, Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Kau pendiam ternyata,, kejar
Aku!!” dias terkesiap saat bola basket ditangannya direbut paksa, dias mengejar
gadis itu yang mendrible bola sangat baik, bahkan menghindarinya dengan sangat
baik pula. “Hey !! Kau terlihat kacau,” gadis itu bersuara saat Mereka saling
berhadapan, tersenyum meremehkan. “Seharusnya kemampuanmu lebih dariku,” dias
berhenti, nafasnya terengah diatatapnya gadis yang tengah tersenyum menatapnya,
lesung pipinya yang manis membuat gadis itu lebih cantik. “Lusita Anggraini,”
gadis itu kembali berkata. “Dias Mahardika,” dias menghela nafas panjang,
melangkah menuju bangku penonton yang kosong. Lusita, gadis itu mengikuti. “Ada apa denganmu?? Kau seperti seseorang yang
punya banyak masalah,” dias tersenyum, menggeleng. “Tidak, Aku hanya lelah,”
“Kau
memang sehati dengan hamdi,” dias menoleh, menatap lusita yang tengah
memandangnya. “Sehati??” lusita mengangguk “Aku mengajaknya jalan – jalan tadi,
tapi Dia bilang, Dia kelelahan Dia sedang istirahat,” dias mengangguk paham.
“Ohh Iya !! siapa yang mengajarimu bermain basket??”
“Hamdi,
revan dan lyara”
“Revan??”
dias bertanya, nama revan terasa tidak asing ditelinganya. “Iya, mendiang revan
tepatnya, Kakak kandung lyara,” dias mengangguk paham, Dia ingat hamdi pernah
bercerita tentang revan padanya. “Tunggu..” ucapan dias yang tiba – tiba
membuat lusita menoleh, mengerenyitkan alisnya bingung. “Lyara bisa main
basket??” lusita mengangguk “Bahkan Dia lebih lincah daripada Aku, memangnya
Kau tidak pernah melihatnya??” dias menggeleng “Apa Dia belum sembuh total?? Ku
pikir Dia sudah sembuh,” pernyataan lusita membuatnya bingung. “Sembuh??”
lusita mengangguk “Ya, sejak usia Tiga bulan dokter memvonis lyara kelainan
jantung, tapi gadis kecil seperti lyara adalah gadis yang periang, yang tidak
mau dikekang, Dia suka main basket, hingga pada suatu hari...” lusiata menjeda
ucapannya “Lyara kambuh parah, kemudian kecelakaan dan revan sekaligus lyara
sama – sama kritis??” lusita mengangguk. “Lalu revan mendonorkan miliknya
kepada lyara,??”
“Ya,
bagaimana Kau tahu??”
“Hamdi
yang menceritakannya,” lusita mengangguk “Kau tahu, kadang Aku suka iri dengan
lyara,”
“Iri??”
“Ya,
Dia selalu dapat perhatian dari orang,” dias diam, kemudian menerawang dan
dalam hati membenarkan ucapan lusita. Keadaan hening, hingga suara ponsel
berdering membuat lusita terkejut. “Hallo.. ada apa Lyara?? Apa?? Baik Aku akan
segera kesana,, tunggu jangan panik lyara, panggil Om farkhan saja.. Aku segera
kesana,” wajah lusita yang sedari tadi tenang berubah panik, dias yang
melihatnya bingung. “Ada apa??” lusita hanya menggeleng, tidak ingin
menjelaskan “Antarkan Aku kepada hamdi !!”
Hamdi menarik nafas panjang, dadanya
terasa sesak sedari tadi, entah kenapa Diapun tidak tahu yang jelas beberapa
bulan belakangan tubuhnya terasa tidak enak, ada yang mengganggu, hamdi
memejamkan matanya kemudian kembali terbuka saat menyadari kepalanya begitu
pening di ikuti darah yang mengalir dari hidungnya. Hamdi mendesah bangkit dari
posisinya berniat membasuh darahnya di kamar mandi, namun saat kakinya menapak
lantai, keseimbangannya goyah dunia seperti berputar – putar kemudian gelap,
hamdi pingsan di ikuti jatuhnya bingkai fotonya dengan lusita dan lyara. Lyara
yang baru saja menyelesaikan kerja kelompoknya berniat untuk menemui hamdi. “Kak..” lyara mendesah kesal, kemudian membuka
pintu kamar hamdi. “Kak hamdi..” bola mata bulat itu menelusuri kamar, kakinya
melangkah pelan, waspada siapa tahu hamdi berniat mengerjainya. Namun
langkahnya terhenti sesaat. “KAK HAMDI !!!” lyara panik saat mendapati hamdi
terbaring di lantai. “Kak hamdi..” lyara menghampiri hamdi, memangku kepala
hamdi. “Kakak..” air matanya menetes. “Bibi !!!!” lyara berteriak kencang
berulang kali, sembari terus berusaha menyadarkan hamdi yang betah terpejam.
“Ada apa lyara??” suara seseorang bersama dengan rombongan pekerja di rumah
keluarga Dharma membuat lyara mendongak. “Tolong kakak..” orang yang ternyata
dewa itu menerobos masuk di ikuti pegawai di rumah besar itu, membantu lyara
memindahkan hamdi ke ranjang. “Bibi.. tolong hubungi Om farkhan,, dewa bisa
ambilkan ponsel kak hamdi??” lyara berkata begitu tenang, sembari membersihkan
noda darah di hidung hamdi, meskipun air mata sudah menganak sungai di pipinya.
“Ini,” dewa menyerahkan ponsel hamdi kepada lyara, kemudian lyara menghubungi
lusita. “Hallo.. Kak lusita ini Aku lyara..”
Jam menunjukkan pukul Lima sore,
tapi hamdi belum membuka matanya lyara duduk termenung di samping hamdi. Dewa
duduk di sofa bersama dias dan om farkhan, lusita duduk di samping hamdi,
hening suasana begitu hening. Hingga lyara menyadari ada pergerakan kecil dari
sepupunya itu. “Kak hamdi..” suara lyara membuat om farkhan bergegas berdiri,
begitupun dengan dias dan dewa. Hamdi membuka matanya pelan, kepalanya masih
terasa pening. “Hamdi..” suara yang sangat dikenalnya membuatnya menoleh,
mendapati lusita tersenyum manis. “Syukurlah akhirnya Kamu sadar juga, Ham.. kalau
Kamu pingsan lebih lama, mungkin Om akan membawamu ke rumah sakit,” suara om
farkhan membuat hamdi tersenyum tipis. “Jangan buat Aku khawatir Kakak..” suara
lyara yang terdengar serak membuat hamdi menoleh kepada lyara, di rengkuhnya
lyara erat. “Maaf,, jangan bersedih lagi, sekarang Kamu tahu kan apa yang di
rasakan Kami saat Kamu drop??” lyara menatap hamdi yang terlihat pucat.
“Kakak.. masih sempat – sempatnya menasehatiku,” hamdi terkekeh mengacak rambut
lyara gemas. “Jangan sakit lagi, Aku janji gak akan buat kakak lelah lagi,”
hamdi hanya tersenyum mengecup puncak kepala lyara penuh kasih. Dan pemandangan
itu menimbulkan kecewa di hati seseorang. “Ham.. kekasihmu juga ingin
ditenangkan,” hamdi tersenyum tipis, “Kau tahu, gadisku selalu bisa menenangkan
dirinya sendiri, Lusita gadis yang mandiri.. iya kan Lus??” lusita mengangguk
tersenyum manis, meskipun ribuan kecewa menggulung di hatinya.
Lusita termenung di jendela
kamarnya, menatap malam yang bertabur bintang, dirabanya dadanya, masih tersisa
bekas kecewa itu. Hamdi selalu menganggap bahwa dirinya baik – baik saja, hamdi
selalu menganggap kalau Dia akan baik – baik saja, hamdi selalu menganggapnya
gadis kuat, hamdi selalu menganggapnya gadis yang mandiri, padahal tidak Dia
tidak baik – baik saja, Dia bukan gadis yang kuat, dan Dia bukan juga gadis
yang mandiri. Hamdi salah justru Dia berharap hamdi memanjakannya,
melindunginya, menjaganya seperti hamdi memanjakan, melindungi dan menjaga
lyara. Lusita menghela nafas panjang, mengingat itu membuatnya sesak, apalagi
saat hamdi lebih memilih mendekap dan menenangkan lyara daripada dirinya,
lusita menyeka air matanya. Dia tidak bisa jika mendadak marah kepada hamdi
dengan alasan cemburu dengan lyara, hamdi pasti akan tertawa karena lyara
adalah sepupu hamdi dan tidak ada alasan hamdi untuk mencintai lyara melebihi
cintanya kepadanya. Suara ponsel bergetar membuat lusita terkesiap, sebuah
nomor baru tak dikenal menelfonnya, dengan ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ini
siapa??”
“Aku
dias,” lusita menepuk dahinya, terkekeh pelan Dia lupa kalau tadi sempat
memberikan nomornya kepada dias. “Owh, maaf Aku lupa jika tadi Aku sempat
memberikan nomorku kepadamu,” terdengar suara kekehan di seberang, membuat
hatinya tiba – tiba terhibur, menghangat. “Tidak masalah, suaramu seperti orang
yang banyak masalah,”
“Hey..
itu kata –kata milikku,”
“Haha...
tidak ada yang benar – benar milik Kita di dunia ini,, apa Kau baik – baik
saja??”
“Kenapa
Kau bertanya seperti itu?? Aku baik,” lusita tersenyum pahit, ingin sekali Dia
mengutarakan isi hatinya. “Apa Kau tidak cemburu??” lusita semakin sesak
mengingat itu. “Cemburu?? Untuk apa??”
“Lyara,”
jawaban dias membuat lusita diam seribu kata. “Tidak.. Aku tidak cemburu,”
“Bagaimana
kalau Kita membalasnya??”
“Membalas??”
“Ya
!! besok Kita berangkat bersama dan Kau mencoba meminta izin kepada hamdi,”
lusita tersenyum, “Baik, Aku setuju”
Dewa menatap langit yang bertabur
bintang hampa, kepalanya Dia senderkan di pintu depan rumahnya, matanya
menyiratkan kesedihan luar biasa. Tidur di luar !! Kau
mengingkari janjimu !! `Papa` tulisan di depan
pintu itu membuatnya sedih, yang Dia tahu Ayahnya berangkat ke Korea, itu yang
dikatakan Ayahnya tadi tapi kenyataan kalau yang menulis memo di depan pintu
adalah Ayahnya tidak bisa di pungkiri, Dia sangat mengenal karakter tulisan
Ayahnya. Dewa menyeka air matanya pelan, kemudian meremas perutnya, Dia belum
makan dan Dia sangat tahu Maagh yang di deritanya sejak SD itu kambuh. Dewa menggeser
tubuhnya, Dia tidak mau jika ketiduran nanti, akan terjungkal saat Ibunya
membuka pintu. Dewa memejamkan matanya, angin sejuk , rasa sakit dan kantuk
membuatnya jatuh tertidur, terlihat lelap meskipun dalam posisi yang tidak
nyaman.tak berselang lama pintu terbuka, memperlihatkan sosok paruh baya yang
terlihat lelah, kemudian menghela nafas panjang menghampiri dewa yang tertidur
pulas, wajah polos itu membuat laki – laki dengan marga Park itu terenyuh.
“Mianhae... maafkan Appamu ini, Aku hanya ingin melindungimu.. Kau tahu eommamu
mengamuk tadi, dan Appa tidak mau kalau eommamu melukaimu,” di elusnya pelan
rambut putra bungsunya kemudian membawanya ke dekapannya. “Maafkan Appa...
Maaghmu pasti kambuh, tapi Kau tidak akan aman jika tidur di rumah untuk malam
ini, maafkan Appa.. mianhae..” air mata laki – laki paruh baya itu menetes.
“Bukan.. maafkan Papa... dewa, suatu saat Papa akan membawamu ke Korea,
berkenalan dengan Kakak – kakakmu, dan keluarga besar Kita, tapi Kau harus
membantu Papa untuk menyembuhkan Mama, Mama sakit sayang.. jiwanya terguncang
karena nyaris di perkosa oleh Kakaknya sendiri, tapi satu hal yang Papa tahu,
Kalau Kamu anak Papa, darah daging Papa.. Papa menyayangimu anakku,” di kecup
penuh sayang puncak kepala dewa, memeluknya hingga Dia sendiri jatuh tertidur.
Bintang yang bertaburan di langit
menjadi pemandangan tersendiri untuk aira, wajahnya terlihat bahagia dan
memerah. Di rabanya dadanya, ada getar – getar aneh yang membuat perasaannya
terasa hangat, di rabanya pergelangan tangan kanannya kemudian tersipu malu.
Lana membuatnya terkejut dan bahagia, Dia bertanya – tanya kenapa Dia merasa
senyaman ini dengan lana, entahlah getar – getar itu benar – benar membuatnya
melayang, suara dering ponsel membuatnya terkesiap ada nomor baru masuk, dengan
ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ada apa dengan siapa?? Disini dengan aira Tri
Hapsari, ada yang bisa Ku bantu??” terdengar suara gelak tawa disana, membuat
aira mengerenyit. “Aku Lana, apa seperti itu caramu menjawab telfon?? Ku pikir
Kamu bisa menebak,” mendengar jawaban lana membuat aira tersipu malu. “Kau baru
saja memberikan nomormu tadi,”
“Maafkan
Aku, mungkin Aku terlalu asyik menatap bintang,”
“Ya,
Bintang malam ini sangat cantik, jadi bagaimana dengan tugasnya?? Apa ada yang
kurang??” aira berpikir sebentar. “Kurasa tidak, tinggal presentasi saja kan??
Itu bisa di handle..”
“Ya,
Aku percaya padamu kalau Kamu bisa di andalkan... Ya Bu !! Aku akan segera
kesitu, Iya... !!” suara lana membuat aira mengerenyit. “Siapa??” tanya aira
penasaran. “Ibu, Dia mengajakku makan malam, sudah waktunya makan malam, kalau
gitu sudah dulu yaaa.. sampai ketemu besok,”
“Ya,
selamat malam..” aira menurunkan ponselnya dari telinganya, jam digital
ponselnya menunjukkan pukul setengah delapan, jam makan malam sudah lewat.
“Pasti ada sesuatu,” gumam aira pelan, kembali menatap bintang. Prangggg !!!
suara benda pecah membuat atensinya beralih, kemudian aira menghela nafas
panjang saat suara benda pecah itu di susul teriakan – teriakan yang
menjemukan, aira menekuk lututnya memutuskan untuk menghiraukan suara – suara
itu, menatap bintang yang entah kenapa menghilang satu – persatu. Terkadang
aira membenci hidupnya sendiri.
Lana memandang bintang yang bertabur
indah itu sejenak, sebelum beranjak dan memenuhi panggilan ibunya, di tatapnya
ponselnya sembari tersenyum, aira sangat berbeda dengan lyara, aira sangat
dewasa pembawaannya, tidak seperti lyara yang kekanakkan, namun tetap saja Dia
merasa cemas, karena lyara tidak merespon panggilannya dan pesan – pesannya.
“Lana !!!” suara panggilan Kakak perempuannya membuatnya bergegas, namun suara
dering ponselnya menghentikan langkahnya, nama lyara tertera di sana, Dia
memutuskan untuk mengangkatnya. “Hallo ! dari mana saja?? Keasyikan berduaan
sama dewa yaaa??” lana memberondong lyara, Dia sungguh khawatir dengan gadis
itu. Lana memutuskan melangkah menuju ruang tengah, dimana semua keluarganya
sudah menunggu. “Maafkan Aku, tadi kak hamdi sakit.. jadinya Aku tidak sempat
menelfonmu atau membalas pesanmu, Aku janji tidak akan mengulangi lagi..” lana
tersenyum saat mendapati keluarganya tengah bercengkrama. “Lana !! dasar !
cewek mulu diurusin !!” celetukan lita membuat lana memeletkan lidahnya.
“Siapa?? Lan?? Kak lita yaa??” lana mengangguk “Ya, memang kak hamdi sakit apa??”
“Aku
tidak tahu, Om farkhan bilang hanya kelelahan, besok juga pulih.. ada apa di
rumahmu, kedengarannya seru,” lana tersenyum “Kumpul keluarga,”
“Wah
Asyik sekali !!! pasti rame banget deh !!” lana tertawa sumbang, membuat lyara
mengerenyit. “Lana tawamu jelek !!” mendengar ledekan lyara membuat lana
bungkam. “Memangnya begitu??” terdengar suara kekehan kecil di seberang membuat
lana tersenyum. “Lyara !! kesini sayang..!!” suara lain terdengar di telinga
lana. “Maafkan Aku, Ibu dan Ayah sudah menungguku, selamat malam, sampai ketemu
besok,” panggilan berakhir, lana memutuskan meletakkan ponselnya di meja dekat
kamarnya, kemudian menghampiri keluarganya. “Wah.. sudah lengkap nih !! jadi di
mulai dari siapa dulu??” semua anggota keluarga itu berpandangan kemudian
pandangan mereka tertuju kepada lana. “Lana !! Kamu duluan,”
“Kok
Aku??, gak adil akh.. harusnya yang gedhe dulu.. kak fandi kek,”
“Kali
ini yang kecil dulu,,, wlee” fandi memeletkan lidahnya membuat lana mendengus
sebal. “Baiklah.. mulai dari mana??”
“Lyara
!!” seru mereka kompak, membuat pipi lana mendadak panas. Lana menceritakan
petualangannya bersama lyara Satu minggu ini, tidak seperti biasanya Dia yang
jarang bercerita, kini banyak cerita yang Dia ceritakan, dalam hatinya Dia
sungguh bersyukur dengan momen ini, momen yang akan selalu dirindukannya, momen
yang akan selalu menghangatkan hatinya yang dingin, momen yang tidak akan
terlupakan.
Bastian termenung di jendela,
menatap bintang di langit dengan hampa, masih jelas di ingatannya saat kerja
kelompok tadi bersama dea. Gadis tomboy yang kesehariannya di kelas seperti
tidak mengenal laki – laki dan cuek mendadak berubah feminim saat Dia datang ke
rumahnya untuk kerja kelompok. “Hanya untuk menemuimu,”
jawab gadis itu saat Dia bertanya untuk menggoda, seperti biasa seperti yang
dilakukannya kepada teman – temannya, namun persepsi dea lain. Dan itu
membuatnya menghela nafas panjang, di tatapnya lagi gemintang di langit
kemudian tersenyum manis. “Bastian, ayo ! bergegas Kita harus ke rumah Pak
dharma.. bukankah?? Kau ingin..” suara sang Ibu yang sengaja di gantung
membuatnya bangkit dengan cepat. “Ibu jangan membahasnya..” bastian menggerutu
sembari memakai jaketnya, sedang sang ibu hanya tersenyum. Setelah selesai dan
mengambil kontak motornya bastian bergegas menemui Ibunya. Namun langkahnya
terhenti saat ponselnya berbunyi, tertera nama dea disana, membuatnya menghela
nafas panjang, memang Dia pernah menjalin hubungan tapi itu hanya kisah masa
lalu, sudah lama sekali dan sudah berakhir Dua tahun yang lalu, bastian
memutuskan untuk mengabaikannya. “Kenapa tidak di angkat sayang??” pertanyaan
sang Ibu membuatnya tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Bukan sesuatu yang
penting Ibu, ayo !! bukankah Kita harus bergegas??” ajakan bastian membuat
wanita berkaca mata itu tersenyum. “Baik – baik.. Kau memang selalu tidak sabar
untuk bertemu dengan...”
“Sudah
Ku bilang jangan membahasnya lagi Ibu,” bastian menatap Ibunya “Itu membuatku
malu,” wanita tiga puluh tahunan itu terkekeh,
merangkul putra semata wayangnya ke depan, rumah sederhana itu terasa
menghangatkan orang di dalamnya. “Ibu.. apa Ibu tidak kesepian??” pertanyaan
putra semata wayangnya membuat langkahnya terhenti, dahinya berkerut heran.
“Kesepian??” bastian mengangguk, tersenyum manis di tatapnya sang ibu lama
sekali. “Ibu masih muda, masih cantik.. dan Aku sudah besar, apa Ibu tidak
berfikir untuk menikah lagi??” mata wanita itu berkaca – kaca, di tatapnya
putra semata wayangnya penuh kasih, putranya yang begitu baik dan pengertian,
putranya yang tidak menjadi seperti apa yang tidak di inginkan, tidak seperti
kebanyakan . “Bagaimana denganmu??” tanyanya pelan. “Aku sudah besar Ibu, Aku
tidak apa.. ingin sekali Aku memanggil seorang laki – laki yang melindungi ibu,
dengan sebutan Ayah.. sesuatu yang abstrak untukku, bukan??” wanita berkaca
mata itu merengkuh putranya erat, di elus dan di cium puncak kepala bastian
berkali – kali. Bastian hanya diam, menikmati kenyamanan yang menjalar di
hatinya, membalas pelukan wanita yang sudah mengandungnya, mendidiknya sendiri
hingga menjadi seperti ini. “Ibu, jujur saja.. Aku ingin mempunyai Ayah, sejak
pertama kali melihat teman – temanku di gendong Ayahnya,” wanita berkaca mata
itu mengangguk. “Ibu yang akan menjadi Ayah untukmu, anakku,” sungguh dalam
hatinya ingin sekali mengabulkan keinginan putra semata wayangnya, namun rasa
traumanya membuatnya ragu. Sedangkan bastian menghela nafas panjang, selalu
seperti ini. “Tapi.. kenapa Ibu percaya sama Om Dharma??” air mata wanita itu
menetes. “Karena Tuan Dharma yang telah menolong Ibu,” tidak terasa air mata
bastian menetes. “Ibu.. jangan mencintainya,” wanita itu menggeleng kuat.
“Tidak.. tidak akan sayang,” bastian mencoba percaya, walau air mata sang Ibu
meragukannya.
Dea memandang gemintang dengan
hampa, kedua lututnya di tekuk, sesekali mengecek ponselnya. Dea menghembuskan
nafas kasar, memegang dadanya, di mana di dalamnya ada luka yang menganga lebar
dan terasa perih. Dea adalah tipe orang yang tidak mudah tertarik dengan
seseorang, tapi sekali Dia tertarik Dia akan terus tertarik dan tidak bisa
melepaskan diri, dea gadis itu seperti tidak mengenal laki – laki sekarang,
dandanan dan perilakunya seperti seseorang yang kesepian. Dea menghela nafas
panjang, di sekanya lembut air mata yang tiba – tiba membasahi pipinya. Masih
teringat jelas, kenangan indah bersama bastian, teman sekaligus orang yang
sangat dicintainya itu sangat romantis dan penuh kejutan membuatnya tidak bisa
untuk tidak tersenyum. Namun pria dengan penampilan sederhana dan selalu
menjadi rekor berangkat paling pagi di sekolah itu, tidak benar – benar
menyayanginya, entahlah.. membuat keputusan seperti itu membuat dadanya
mendadak nyeri. “Itu semua udah berlalu, Dua
tahun yang lalu... lupakan aja lah !! cinta monyet juga, hahaha,, ya gak??”
ucapan bastian masih terngiang di telinganya membuatnya kembali meneteskan air
mata. Bastian salah, salah besar, mungkin bastian menganggap kalau cinta mereka
itu hanya cinta monyet anak SMP, namun bagi dea rasa cintanya kepada bastian
adalah cinta yang sebenarnya, cinta yang berbalut air mata, cinta yang berbalut
luka dan cinta yang membuatnya lemah tak berdaya dan yang paling penting Dia
tidak mempunyai alasan kenapa rasa itu
bisa tumbuh subur di hatinya.
Lyara memandang gemintang di
halaman, di sampingnya bastian menemani, sembari terus menatap pipi putih
lyara. “Malam ini cerah yaa??” lyara menoleh, mengalihkan atensinya kepada
bastian, laki – laki yang malam ini memakai kemeja lengan pendek berwarma abu –
abu lembut di balut dengan jaket putih dan celana jins dan sepatu kets warna
putih itu terlihat mengarahkan telunjuknya ke langit, mulutnya bergumam.
“Memang, Kamu lagi ngapain??” bastian menghentikan aktivitasnya kemudian
tersenyum kepada lyara. “Menghitung bintang,”
“Memang
bintang bisa di hitung??” tanya lyara polos, gadis dengan alis tebal dan hidung
mancung itu menatap gemintang yang bertebaran, mencoba menghitung dalam hati.
“Bisa,” bastian berseru senang. “Gimana??”
“Sini..”
bastian meraih tangan lyara kemudian mengarahkannya ke langit. “Coba, Kamu
hitung,”
“Itu
sangat banyak, Yan..” bastian tersenyum, “Coba pejamkan mata kamu, terus kamu
bayangin kalau kamu lagi di bukit penuh bintang, lalu kamu coba hitung,” lyara
memejamkan matanya mulai bergumam “Satu,,, dua.. Tiga..” lyara masih bergumam,
sesekali tersenyum manis, kemudian tertawa geli dan menggeliat, sontak lyara
membuka matanya, menatap pelaku yang sudah menggelitiki pinggangnya. “Iyan !!
ikh... geli tahu !!” bastian hanya tertawa lebar. Lyara menatap mata bastian.
“Iyan !! sering – sering main ke sini yaa!!” serunya memelas, setelah berhasil
meloloskan diri dari jari nakal bastian, sedangkan bastian tersenyum. “Siap !!”
“Iyan
!! ayo pulang sayang !!” bastian mengalihkan atensinya kepada sang Ibu yang
melambai, “Iya !!! Ra.. Aku pulang dulu yaa.. nanti bakal sering ketemu kok,”
lyara hanya mengangguk senang, melambai kepada bastian. Kemudian kembali
terduduk merenung, Dia sangat tahu siapa yang baru saja menemaninya, wajahnya
tidak asing dan Dia sudah terbiasa bermain bersamanya. “Iyan.. kenapa Kamu di
sekolah tidak pernah menyapaku?? Apa karena kekuranganku?? Kamu mengira Aku
tidak mengenalmu??” lyara menghela nafas panjang “Apa?? Hanya mirip yaa??”
lyara menggendikkan bahunya, kemudian bangkit dan meninggalkan bintang yang
membentuk barisan di langit yang gelap.
Puzzle kedua kehidupan Mereka,
dengan masalah Mereka, dengan karakter Mereka namun sebuah benang Merah bernama
persahabatan dan cita – cita menyatukan Mereka, sebuah benang merah bernama ambisi
dan cinta, rasa ingin memiliki dan arti pengorbanan. Mereka berbeda, namun
Mereka tetap saling berhubungan satu sama lain.
To Be Continue
#Khichand_Lee