Suasana
bandara ramai, lyara terlihat mengamati sekeliling dengan riang. Disampingnya
hamdi juga mengamati bandara. Tanpa sepatah katapun terucap dari bibir Mereka,
semua orang tahu jika Mereka terlihat sangat bahagia. Hamdi menatap lyara yang
terlihat bahagia, bahkan Dia sampai lupa kalau tadi malam lyara mendiamkannya.
Sedangkan lusi, dias dan lana tidak ikut karena harus bersekolah, sedangkan Dia
meminta izin tidak masuk sekolah, untuk hari ini saja hamdi ingin bersama kedua
orang tuanya. “Kak..” hamdi menoleh, lyara masih memaku pandangannya sebelum
akhirnya mengamatinya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. “Kenapa?? Ada yang
salah??” tiba – tiba lyara memasang wajah sedih, di tatapnya hamdi dalam.
“Kakak kurusan, pasti lagi cacingan yaa??” lyara memegang pundak hamdi, matanya
berkaca – kaca. “Nanti Aku beliin obat cacing buat kakak, biar Kakak gagah
seperti harimau lagi..,” hamdi terdiam, memang lyara menyampaikannya dengan
nada riang, namun ekspresi sedih yang tergurat jelas di wajah sepupunya itu membuatnya
menjadi sedih. “Selama ini, kakak udah jaga Aku, Kakak jadi capek, jadi
kurus... Aku kasih jatah waktu libur selama Dua minggu, kakak gak perlu antar
jemput Aku lagi, kakak berliburlah sama om panca dan tante shilla.. yaa??”
hamdi masih bergeming, diam saja. Lyara mendekap hamdi erat, air mata lyara
menetes. “Kakak,, setelah ini bersenang – senanglah, perhatikan kak lusi, nanti
kalau dicuekin kabur lho..” hamdi mengangguk, melepas dekapan lyara, kemudian
menyeka air mata lyara. “Dan satu, Kakak harus makan teratur, dan Kakak harus
gagah lagi oke?? Masa’ atlet basket cungkring?? Kesenggol langsung jatuh,”
hamdi terkekeh, mengacak poni lyara. “Siap.. Bu dokter,” lyara tertawa
begitupun dengan hamdi. Sedangkan bu nirma dan pak dharma melihat kebersamaan itu
dengan haru. Suara pengumuman di bandara membuat mereka bergegas berdiri, dan
hati hamdi bergetar saat melihat kedua orang tuanya datang, di ikuti kedua
adiknya menghampirinya. “Wahh.. Kamu pasti lyara, udah gedhe yaa sekarang..” bu
shilla langsung memeluk lyara erat begitupun dengan pak panca. Sedangkan hamdi
masih berfikir “Mungkin
setelah ini Aku” batinnya. Kemudian mereka memeluk pak dharma
dan bu nirma. “Mas.. Mbak, lama gak kelihatan,” hamdi menghela nafas panjang,
kedua adiknya terlihat memeluk lyara, bermanja – manja dengan lyara. “Mungkin setelah ini,,” hamdi masih mencoba berfikir positif. Senyumnya
melebar saat kedua orang tuanya menghampirinya, tidak ada pelukan untuk hamdi.
“Kamu sudah besar, bagaimana apa Kamu sudah menaikkan nilaimu??” senyum hamdi
luntur berganti senyum kaku, kemudian mengangguk. “Sudah,” kedua orang tuanya
hanya mengangguk, sedangkan kedua adiknya tidak menoleh ke arahnya sedikitpun.
“Sini, hamdi bantu bawa, Yah.. Bu..” mereka tersenyum senang, membiarkan hamdi
membawa koper mereka. “Anak yang baik,” kemudian berlalu, sedangkan hamdi
menunduk. “Aku belum bilang kalau Aku kangen Kalian...” gumamnya lirih,
sedangkan lyara menatap hamdi sedih. Hamdi berfikir kalau kedua orang tuanya
akan langsung memeluknya, apa arti semua ucapan sayang mereka selama ini di
telfon?? Sebatas itukah? Bahkan suara mereka terdengar lebih bersahabat dari
yang Dia dengar langsung tadi. “Kak.. ayo!” teguran lyara membuat hamdi
tersadar, dengan segera Dia menyeka matanya yang basah kemudian mengikuti
langkah mereka, sesekali menatap punggung kedua orang tuanya dan kedua adiknya
yang di gandeng mereka, sedangkan Dia berada di posisi paling belakang. Hamdi
tidak tahu kalau yang selama ini menelfonnya dan ditelfonnya adalah orang lain,
yang hanya menyampaikan pesan dari kedua orang tuanya, orang yang menjadi
sahabat sang Ibu di negeri orang.
Hamdi beberapa kali menatap kedua
orang tuanya yang sedang bercanda bersama keluarga besar yang lain,
pandangannya beralih kepada Andre dan andrea, kedua adiknya yang juga bercanda
bersama sepupunya yang lain, lyara ada di sana sedangkan dirinya duduk di pojok
ruangan. Hamdi menghela nafas panjang, saat kepalanya tiba – tiba terasa sakit
dan lagi sesuatu mengalir dari hidungnya, hamdi segera berlari menuju kamarnya kemudian
membersihkan darahnya di kamar mandi kamarnya. Hamdi memegang kepalanya yang
terasa sangat berat dan pening mimisannya belum juga berhenti, kepalanya juga
semakin pusing, tubuhnya lemas. Pandangannya berkunang – kunang, rasanya
kesadarannya sudah nyaris terengut, namun saat mendengar gelak tawa di ruang
tamu dan ruang keluarga, hamdi berusaha mempertahankan kesadarannya, perlahan
sakit itu berkurang, mimisannya pun berhenti. Hamdi membasuh wajahnya agar
terlihat fresh, ditatapnya sejenak wajahnya yang basah terkena air, pantulan
wajahnya terlihat sangat pucat, kemudian hamdi berbalik memandang cermin yang
memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bajunya terlihat kebesaran di tubuhnya, hamdi mengingat kembali ucapan lyara di
bandara. Dan hamdi membenarkan, karena Dia merasa semua bajunya kebesaran di
tubuhnya. Hamdi berjanji agar Dia bisa kembali seperti dulu, untuk lyara. Akh..
andai saja hamdi tahu, perihal apa yang terjadi di tubuhnya, akh andai saja
hamdi tahu kalau salah satu pamannya, berhari – hari bersedih memikirkannya.
Andai saja hamdi tahu, kalau pelayan di rumahnya menatapnya iba, sembari
menimang sirsak di tangan mereka. Andai saja hamdi tahu itu semua.
Hamdi memutuskan kembali bergabung
setelah mengganti bajunya yang terkena darah, dilihatnya para pamannya yang
berprofesi dokter baru saja datang begitu juga dengan kakeknya. “Hamdi !!”
kakeknya memanggil, hamdi mengangkat alisnya tumben sang kakek ingat namanya
biasanya sang kakek hanya mengingat nama cucunya yang lain. Namun, tanpa mau
pusing memikirkan hamdi menghampiri sang kakek yang duduk dikelilingi para
pamannya. “Wah.. kakek ada kemajuan nih... udah ingat Aku,” sang kakek
terkekeh, menepuk pundak hamdi, kemudian menghadapkan cucu keduanya tepat ke
arahnya. Mata elangnya menatap hamdi tegas, laki - laki yang hampir berusia
senja itu tersenyum, meraba wajah hamdi lembut, kemudian memeluk hamdi. Kakek
hendra, laki – laki yang sudah lama mengabdi untuk masyarakat itu menepuk –
nepuk tubuh hamdi. Sedangkan hamdi sendiri bingung, heran dengan perlakuan sang
kakek. “Kek,”
“Kakek
kangen sama kamu, Ham..” hamdi terkekeh melepaskan dekapan sang kakek, kemudian
menggelengkan kepalanya. “Kakek.. kakek.. kita sering ketemu kan kek?? Aku
pengen banget main sama kakek, tapi kakek sibuk terus kan??”
“Yasudah,
mulai sekarang kakek bakal mau kamu ajak main,” hamdi mengangkat alisnya. “Ha??
Emang kakek ada waktu??”
“Kakek
akan meluangkan waktu buat kamu, sebelum kamu kehabisan waktu,” ucapan kakek
hendra membuat anak – anaknya yang juga berprofesi sebagai dokter mendelik,
menggeleng – gelengkan kepala sembari menatap hamdi yang terlihat lebih kurus
dan pucat. “Aku kehabisan waktu??” kakek hendra mengangguk. “Setelah ini, kamu
ujian, lulus.. orang kuliah lebih sibuk dari dokter,” hamdi mengangguk kemudian
tersenyum. “Hamdi pengen kaya kakek, menolong dan menyelamatkan nyawa orang
lain, meskipun tak jarang tidak bisa berbuat apapun untuk orang lain,”
“Karena
memang sudah takdir, dan dokter bukan Tuhan.. itu perkataannmu saat kami
ngedrop karena gak bisa menyelamatkan revan,” hamdi mengangguk saja. Andai saja
hamdi tahu, kalau sang kakek berusaha menahan air matanya, melihat hamdi yang
semakin kurus dan wajah yang terlihat sangat pucat. Di tatapnya sang anak dan
sang menantu asyik mengobrol dengan anak – anaknya yang lain, kemudian beralih
memandang si cucu kembarnya, dan pandangannya kembali beralih kepada hamdi yang
bercanda bersama anak menantu yang lain. Kakek hendra menghela nafas panjang,
diantara keluarga inti hamdi, tidak ada yang berbicara dengan hamdi.
Hamdi menunduk menatap sang ayah dan
ibunya yang terlihat marah, ya marah entah untuk alasan apa. Hamdi baru saja
menyodorkan hasil raportnya selama ini atas permintaan sang ayah dan ibu. “Kamu
ini memang tidak bisa di andalkan, bagaimana kamu bisa meneruskan bisnis ayah,
atau menjadi dokter seperti paman – pamanmu yang lain, kalau nilai tertinggimu
adalah olahraga??” hamdi tidak menjawab, masih menyusun kata – kata yang tepat.
“Yah.. Bu, hamdi yakin bisa, ayah dan ibu pasti bangga, hamdi berhasil
mengharumkan nama sekolah,lewat...” plak !! sebuah tamparan mendarat di
pipinya, tangan sang ayah baru saja mendarat di pipinya, perih, panas, sakit.
“Lewat apa?? Haa?? Belajar yang benar !! benahi akademikmu, baru kami bangga,
basket tidak ada gunanya,!!” praang !! sang ayah menyapu medali yang di susun
hamdi di almari, medali kemenangannya, medali yang hamdi kira akan membuat
kedua orang tuanya tersenyum. “Selama Kami di sini, tidak ada kata basket, belajar yang benar !!! luluslah dengan nilai
terbaik ! buat kami bangga !! paham??” hamdi tidak merespon, masih tetap pada
posisinya, bahkan saat kedua orang tuanya pergi meninggalkannya dan mengunci
kamarnya. Perlahan tangannya di angkat, mengelus pipinya yang terkena tamparan
sang ayah, sakit yang menusuk Dia hiraukan, hatinya lebih terluka. Kemudian, di
keheningan malam, di temani bintang dan bulan yang terpasang di langit – langit
kamarnya, hamdi terisak sendirian. Hamdi mati rasa, bahkan saat malam merangkak
naik, hamdi masih saja merenung, wajahnya bertambah pucat, sebelum akhirnya
hamdi jatuh tertidur.
Lyara menatap hamdi yang terlihat
pucat, lyara ingin sekali bertanya namun urung saat mengingat ucapannya kemarin
di bandara. Lyara akhirnya berbalik, memilih untuk duduk di taman sekolah, di
kelas lana asyik bermesraan dengan aira, sedangkan dea belum berangkat, dia
tidak mempunyai teman yang cocok untuk di ajak ngobrol. “Lyara..” suara serak
hamdi membuat lyara menoleh, hamdi terlihat lebih memperihatinkan saat dilihat
dari dekat. “Ya ampun kak.. tadi malam bergadang??” hamdi mengangguk,
menunjukkan cengiran lebarnya. “Iya, habis.. kakak kangen banget sama ayah dan
ibu dan adik – adik kakak, jadinya kami ngobrol sampai malam, tengah malam
malah..” lyara mangut – mangut, lega karena hamdi tidak memiliki masalah apapun.
“Owh, iya.. nanti siang kan ada pertandingan, Aku boleh nonton kan??” hamdi
tidak berani menatap lyara. “Kak??” hamdi tersenyum, kemudian mengangguk.
“Boleh,”
“Asyik...
di rumah bosen, ayah sama ibu nanti pulang malam,.. tapi Aku boleh nebeng
kan??” hamdi terkekeh. “Gak boleh,” lyara cemberut, membuat hamdi semakin ingin
menggoda lyara. “Bolehlah..” lyara tersenyum, “Makasih...”. kemudian mereka
bangkit saat bel jam pertama berbunyi.
Hari sudah gelap saat hamdi
menginjakkan kakinya di teras rumahnya, ayah dan ibunya yang dilihatnya pertama
kali saat hamdi membuka pintu. Mereka menatapnya tajam, jelas saja, seragamnya
belum diganti dan di tangannya ada medali mvpnya. “Basket lagi??” hamdi
mengangguk ragu, membuat kedua orang tuanya semakin tajam menatapnya. “Hamdi !!
kemari nak..” nada suara sang ayah merendah, membuat ketakutan hamdi surut.
Perlahan hamdi melangkah menghampiri kedua orang tuanya, dan satu tamparan
kembali mendarat di pipinya, bukan satu namun berkali – kali. Triiing medali
hamdi beradu dengan keramik rumahnya hamdi tersungkur saat sang ayah menendang
bagian perutnya. “Kamu emang gak berubah hamdi !! masih tetap jadi anak
pembangkang !!” hamdi menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memohon. “Hamdi
cinta basket yah.. bu, tapi hamdi gak pernah lupa kok sama pelajaran,”
“Omong
kosong !!” pak panca dan bu shilla pergi begitu saja, tidak peduli dengan hamdi
tersungkur kesekian kalinya. seorang pelayan paruh baya yang sudah lama bekerja
di rumah itu menghampiri hamdi dan membantu hamdi bangkit. Kemudian dengan
telaten mengobati luka hamdi. “Mas, hamdi istirahat aja yaa.. mas hamdi hari
ini keren,” hamdi tersenyum mengangguk saja dan hanya memandang medali yang di
raih dengan susah payah di atas meja
belajarnya kosong. “Bi..” pelayan paruh baya itu menoleh, menatap hamdi dengan
alis berkerut. “Yaa.. ada yang bisa saya bantu??” hamdi menggeleng, “Makasih..”
pelayan paruh baya itu tersenyum. “Ini sudah kewajiban saya mas..istirahat yaa
mas,, besok bibi bangunin,” hamdi mengangguk saja, masih memandang arah pintu.
Kemudian hamdi menatap langit – langit kamarnya hingga jatuh tertidur.
To Be Continue
#Khichand_Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar