Senin, 09 Januari 2017

Lost - Part 8

Suasana bandara ramai, lyara terlihat mengamati sekeliling dengan riang. Disampingnya hamdi juga mengamati bandara. Tanpa sepatah katapun terucap dari bibir Mereka, semua orang tahu jika Mereka terlihat sangat bahagia. Hamdi menatap lyara yang terlihat bahagia, bahkan Dia sampai lupa kalau tadi malam lyara mendiamkannya. Sedangkan lusi, dias dan lana tidak ikut karena harus bersekolah, sedangkan Dia meminta izin tidak masuk sekolah, untuk hari ini saja hamdi ingin bersama kedua orang tuanya. “Kak..” hamdi menoleh, lyara masih memaku pandangannya sebelum akhirnya mengamatinya dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. “Kenapa?? Ada yang salah??” tiba – tiba lyara memasang wajah sedih, di tatapnya hamdi dalam. “Kakak kurusan, pasti lagi cacingan yaa??” lyara memegang pundak hamdi, matanya berkaca – kaca. “Nanti Aku beliin obat cacing buat kakak, biar Kakak gagah seperti harimau lagi..,” hamdi terdiam, memang lyara menyampaikannya dengan nada riang, namun ekspresi sedih yang tergurat jelas di wajah sepupunya itu membuatnya menjadi sedih. “Selama ini, kakak udah jaga Aku, Kakak jadi capek, jadi kurus... Aku kasih jatah waktu libur selama Dua minggu, kakak gak perlu antar jemput Aku lagi, kakak berliburlah sama om panca dan tante shilla.. yaa??” hamdi masih bergeming, diam saja. Lyara mendekap hamdi erat, air mata lyara menetes. “Kakak,, setelah ini bersenang – senanglah, perhatikan kak lusi, nanti kalau dicuekin kabur lho..” hamdi mengangguk, melepas dekapan lyara, kemudian menyeka air mata lyara. “Dan satu, Kakak harus makan teratur, dan Kakak harus gagah lagi oke?? Masa’ atlet basket cungkring?? Kesenggol langsung jatuh,” hamdi terkekeh, mengacak poni lyara. “Siap.. Bu dokter,” lyara tertawa begitupun dengan hamdi. Sedangkan bu nirma dan pak dharma melihat kebersamaan itu dengan haru. Suara pengumuman di bandara membuat mereka bergegas berdiri, dan hati hamdi bergetar saat melihat kedua orang tuanya datang, di ikuti kedua adiknya menghampirinya. “Wahh.. Kamu pasti lyara, udah gedhe yaa sekarang..” bu shilla langsung memeluk lyara erat begitupun dengan pak panca. Sedangkan hamdi masih berfikir “Mungkin setelah ini Aku”  batinnya. Kemudian mereka memeluk pak dharma dan bu nirma. “Mas.. Mbak, lama gak kelihatan,” hamdi menghela nafas panjang, kedua adiknya terlihat memeluk lyara, bermanja – manja dengan lyara. “Mungkin setelah ini,,” hamdi masih mencoba berfikir positif. Senyumnya melebar saat kedua orang tuanya menghampirinya, tidak ada pelukan untuk hamdi. “Kamu sudah besar, bagaimana apa Kamu sudah menaikkan nilaimu??” senyum hamdi luntur berganti senyum kaku, kemudian mengangguk. “Sudah,” kedua orang tuanya hanya mengangguk, sedangkan kedua adiknya tidak menoleh ke arahnya sedikitpun. “Sini, hamdi bantu bawa, Yah.. Bu..” mereka tersenyum senang, membiarkan hamdi membawa koper mereka. “Anak yang baik,” kemudian berlalu, sedangkan hamdi menunduk. “Aku belum bilang kalau Aku kangen Kalian...” gumamnya lirih, sedangkan lyara menatap hamdi sedih. Hamdi berfikir kalau kedua orang tuanya akan langsung memeluknya, apa arti semua ucapan sayang mereka selama ini di telfon?? Sebatas itukah? Bahkan suara mereka terdengar lebih bersahabat dari yang Dia dengar langsung tadi. “Kak.. ayo!” teguran lyara membuat hamdi tersadar, dengan segera Dia menyeka matanya yang basah kemudian mengikuti langkah mereka, sesekali menatap punggung kedua orang tuanya dan kedua adiknya yang di gandeng mereka, sedangkan Dia berada di posisi paling belakang. Hamdi tidak tahu kalau yang selama ini menelfonnya dan ditelfonnya adalah orang lain, yang hanya menyampaikan pesan dari kedua orang tuanya, orang yang menjadi sahabat sang Ibu di negeri orang.
            Hamdi beberapa kali menatap kedua orang tuanya yang sedang bercanda bersama keluarga besar yang lain, pandangannya beralih kepada Andre dan andrea, kedua adiknya yang juga bercanda bersama sepupunya yang lain, lyara ada di sana sedangkan dirinya duduk di pojok ruangan. Hamdi menghela nafas panjang, saat kepalanya tiba – tiba terasa sakit dan lagi sesuatu mengalir dari hidungnya, hamdi segera berlari menuju kamarnya kemudian membersihkan darahnya di kamar mandi kamarnya. Hamdi memegang kepalanya yang terasa sangat berat dan pening mimisannya belum juga berhenti, kepalanya juga semakin pusing, tubuhnya lemas. Pandangannya berkunang – kunang, rasanya kesadarannya sudah nyaris terengut, namun saat mendengar gelak tawa di ruang tamu dan ruang keluarga, hamdi berusaha mempertahankan kesadarannya, perlahan sakit itu berkurang, mimisannya pun berhenti. Hamdi membasuh wajahnya agar terlihat fresh, ditatapnya sejenak wajahnya yang basah terkena air, pantulan wajahnya terlihat sangat pucat, kemudian hamdi berbalik memandang cermin yang memperlihatkan seluruh tubuhnya. Bajunya terlihat kebesaran di tubuhnya,  hamdi mengingat kembali ucapan lyara di bandara. Dan hamdi membenarkan, karena Dia merasa semua bajunya kebesaran di tubuhnya. Hamdi berjanji agar Dia bisa kembali seperti dulu, untuk lyara. Akh.. andai saja hamdi tahu, perihal apa yang terjadi di tubuhnya, akh andai saja hamdi tahu kalau salah satu pamannya, berhari – hari bersedih memikirkannya. Andai saja hamdi tahu, kalau pelayan di rumahnya menatapnya iba, sembari menimang sirsak di tangan mereka. Andai saja hamdi tahu itu semua.
            Hamdi memutuskan kembali bergabung setelah mengganti bajunya yang terkena darah, dilihatnya para pamannya yang berprofesi dokter baru saja datang begitu juga dengan kakeknya. “Hamdi !!” kakeknya memanggil, hamdi mengangkat alisnya tumben sang kakek ingat namanya biasanya sang kakek hanya mengingat nama cucunya yang lain. Namun, tanpa mau pusing memikirkan hamdi menghampiri sang kakek yang duduk dikelilingi para pamannya. “Wah.. kakek ada kemajuan nih... udah ingat Aku,” sang kakek terkekeh, menepuk pundak hamdi, kemudian menghadapkan cucu keduanya tepat ke arahnya. Mata elangnya menatap hamdi tegas, laki - laki yang hampir berusia senja itu tersenyum, meraba wajah hamdi lembut, kemudian memeluk hamdi. Kakek hendra, laki – laki yang sudah lama mengabdi untuk masyarakat itu menepuk – nepuk tubuh hamdi. Sedangkan hamdi sendiri bingung, heran dengan perlakuan sang kakek. “Kek,”
“Kakek kangen sama kamu, Ham..” hamdi terkekeh melepaskan dekapan sang kakek, kemudian menggelengkan kepalanya. “Kakek.. kakek.. kita sering ketemu kan kek?? Aku pengen banget main sama kakek, tapi kakek sibuk terus kan??” 
“Yasudah, mulai sekarang kakek bakal mau kamu ajak main,” hamdi mengangkat alisnya. “Ha?? Emang kakek ada waktu??”
“Kakek akan meluangkan waktu buat kamu, sebelum kamu kehabisan waktu,” ucapan kakek hendra membuat anak – anaknya yang juga berprofesi sebagai dokter mendelik, menggeleng – gelengkan kepala sembari menatap hamdi yang terlihat lebih kurus dan pucat. “Aku kehabisan waktu??” kakek hendra mengangguk. “Setelah ini, kamu ujian, lulus.. orang kuliah lebih sibuk dari dokter,” hamdi mengangguk kemudian tersenyum. “Hamdi pengen kaya kakek, menolong dan menyelamatkan nyawa orang lain, meskipun tak jarang tidak bisa berbuat apapun untuk orang lain,”
“Karena memang sudah takdir, dan dokter bukan Tuhan.. itu perkataannmu saat kami ngedrop karena gak bisa menyelamatkan revan,” hamdi mengangguk saja. Andai saja hamdi tahu, kalau sang kakek berusaha menahan air matanya, melihat hamdi yang semakin kurus dan wajah yang terlihat sangat pucat. Di tatapnya sang anak dan sang menantu asyik mengobrol dengan anak – anaknya yang lain, kemudian beralih memandang si cucu kembarnya, dan pandangannya kembali beralih kepada hamdi yang bercanda bersama anak menantu yang lain. Kakek hendra menghela nafas panjang, diantara keluarga inti hamdi, tidak ada yang berbicara dengan hamdi.
            Hamdi menunduk menatap sang ayah dan ibunya yang terlihat marah, ya marah entah untuk alasan apa. Hamdi baru saja menyodorkan hasil raportnya selama ini atas permintaan sang ayah dan ibu. “Kamu ini memang tidak bisa di andalkan, bagaimana kamu bisa meneruskan bisnis ayah, atau menjadi dokter seperti paman – pamanmu yang lain, kalau nilai tertinggimu adalah olahraga??” hamdi tidak menjawab, masih menyusun kata – kata yang tepat. “Yah.. Bu, hamdi yakin bisa, ayah dan ibu pasti bangga, hamdi berhasil mengharumkan nama sekolah,lewat...” plak !! sebuah tamparan mendarat di pipinya, tangan sang ayah baru saja mendarat di pipinya, perih, panas, sakit. “Lewat apa?? Haa?? Belajar yang benar !! benahi akademikmu, baru kami bangga, basket tidak ada gunanya,!!” praang !! sang ayah menyapu medali yang di susun hamdi di almari, medali kemenangannya, medali yang hamdi kira akan membuat kedua orang tuanya tersenyum. “Selama Kami di sini, tidak ada kata basket,  belajar yang benar !!! luluslah dengan nilai terbaik ! buat kami bangga !! paham??” hamdi tidak merespon, masih tetap pada posisinya, bahkan saat kedua orang tuanya pergi meninggalkannya dan mengunci kamarnya. Perlahan tangannya di angkat, mengelus pipinya yang terkena tamparan sang ayah, sakit yang menusuk Dia hiraukan, hatinya lebih terluka. Kemudian, di keheningan malam, di temani bintang dan bulan yang terpasang di langit – langit kamarnya, hamdi terisak sendirian. Hamdi mati rasa, bahkan saat malam merangkak naik, hamdi masih saja merenung, wajahnya bertambah pucat, sebelum akhirnya hamdi jatuh tertidur.
            Lyara menatap hamdi yang terlihat pucat, lyara ingin sekali bertanya namun urung saat mengingat ucapannya kemarin di bandara. Lyara akhirnya berbalik, memilih untuk duduk di taman sekolah, di kelas lana asyik bermesraan dengan aira, sedangkan dea belum berangkat, dia tidak mempunyai teman yang cocok untuk di ajak ngobrol. “Lyara..” suara serak hamdi membuat lyara menoleh, hamdi terlihat lebih memperihatinkan saat dilihat dari dekat. “Ya ampun kak.. tadi malam bergadang??” hamdi mengangguk, menunjukkan cengiran lebarnya. “Iya, habis.. kakak kangen banget sama ayah dan ibu dan adik – adik kakak, jadinya kami ngobrol sampai malam, tengah malam malah..” lyara mangut – mangut, lega karena hamdi tidak memiliki masalah apapun. “Owh, iya.. nanti siang kan ada pertandingan, Aku boleh nonton kan??” hamdi tidak berani menatap lyara. “Kak??” hamdi tersenyum, kemudian mengangguk. “Boleh,”
“Asyik... di rumah bosen, ayah sama ibu nanti pulang malam,.. tapi Aku boleh nebeng kan??” hamdi terkekeh. “Gak boleh,” lyara cemberut, membuat hamdi semakin ingin menggoda lyara. “Bolehlah..” lyara tersenyum, “Makasih...”. kemudian mereka bangkit saat bel jam pertama berbunyi.
            Hari sudah gelap saat hamdi menginjakkan kakinya di teras rumahnya, ayah dan ibunya yang dilihatnya pertama kali saat hamdi membuka pintu. Mereka menatapnya tajam, jelas saja, seragamnya belum diganti dan di tangannya ada medali mvpnya. “Basket lagi??” hamdi mengangguk ragu, membuat kedua orang tuanya semakin tajam menatapnya. “Hamdi !! kemari nak..” nada suara sang ayah merendah, membuat ketakutan hamdi surut. Perlahan hamdi melangkah menghampiri kedua orang tuanya, dan satu tamparan kembali mendarat di pipinya, bukan satu namun berkali – kali. Triiing medali hamdi beradu dengan keramik rumahnya hamdi tersungkur saat sang ayah menendang bagian perutnya. “Kamu emang gak berubah hamdi !! masih tetap jadi anak pembangkang !!” hamdi menatap kedua orang tuanya dengan tatapan memohon. “Hamdi cinta basket yah.. bu, tapi hamdi gak pernah lupa kok sama pelajaran,”
“Omong kosong !!” pak panca dan bu shilla pergi begitu saja, tidak peduli dengan hamdi tersungkur kesekian kalinya. seorang pelayan paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah itu menghampiri hamdi dan membantu hamdi bangkit. Kemudian dengan telaten mengobati luka hamdi. “Mas, hamdi istirahat aja yaa.. mas hamdi hari ini keren,” hamdi tersenyum mengangguk saja dan hanya memandang medali yang di raih dengan susah payah  di atas meja belajarnya kosong. “Bi..” pelayan paruh baya itu menoleh, menatap hamdi dengan alis berkerut. “Yaa.. ada yang bisa saya bantu??” hamdi menggeleng, “Makasih..” pelayan paruh baya itu tersenyum. “Ini sudah kewajiban saya mas..istirahat yaa mas,, besok bibi bangunin,” hamdi mengangguk saja, masih memandang arah pintu. Kemudian hamdi menatap langit – langit kamarnya hingga jatuh tertidur.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar