Lyara
termenung di ambang pintu, disampingnya bastian terheran. Kemudian mengikuti
arah pandang lyara, dan mendapati kedua kakak kelasnya duduk di sofa di ruang
tamu keluarga Dharma. “Ra..” lyara tersentak, kemudian melangkah menemui kedua
kakak tingkatnya itu. “Tumben main kak, ada apa??” lyara bertanya dengan
dingin, tanpa duduk terlebih dahulu, membuat bastian mengerenyit. “Kamu baru
jalan sama bastian yaa?” salah satu diantara mereka berusaha menggoda, mencoba
mencairkan suasana.
“Namanya
Iyan, jangan basa basi Aku hanya butuh jawaban, bukan pertanyaan,” jawaban
lyara membuat kedua kakak kelas di hadapannya yang merupakan lusita dan dias
bungkam. “Baiklah, kami disini ingin mengetahui, keberadaan hamdi,”
“Menurut
kalian??”
“Kami
sudah mencari ke rumahnya, dan pelayan di sana bilang, hamdi belum pulang,”
“Mungkin
saat ini sudah,” lusita dan dias menghela nafas panjang, mereka tidak tahu
kalau akibatnya akan menjadi seperti ini. Setelah Kemarin, tanpa sengaja lyara
melihat mereka sedang jalan – jalan berdua, bergandengan dan... mereka tidak
bisa menjelaskannya. “Kalian mengkhianatinya, kenapa kalian mencarinya,
hidupnya sudah cukup menderita, jangan tambah lagi penderitaannya, hidupnya
sudah banyak luka, jangan tambah luka itu, jangan lukai hatinya.. ku mohon,
jangan teruskan pengkhianatan kalian, jangan sampai kak hamdi tahu..” bastian
yang melihat lyara begitu emosi mengerenyit heran. Lusita menghela nafas kasar.
“Itu semua salah paham !! Aku sama dias gak ada hubungan apa – apa !! kamu
ngerti gak siih?? Kamu itu dah dewasa lyara ! kamu bukan anak kecil lagi yang
harus di manja!! Kamu mikir gak sih !!! jawab lyara !! jawab !! apa kejadian
malam itu belum cukup buat kamu jauh dari hamdi !!??” lyara tersenyum miring.
“Aku tidak akan pernah menjauh dari kak hamdi, karena Dia kakakku, berbicara
dewasa dan salah paham.. sebenarnya siapa yang mengalami dua hal itu??” lusita
mengepalkan tangannya kuat, Dia sudah lelah terus mengalah. “Kalau begitu ambil
hamdi !! beritahu kepadanya tentang pandanganmu kepada kami !!” lyara tersenyum
miring. “Aku tidak akan memberitahunya, kalau kalian memang bukan pecundang
akuilah itu di depan kak hamdi,” lyara berkata dengan begitu tenang. “Bilang,
hamdi, Aku cemburu dengan kedekatanmu dengan lyara jadinya saat dias mendekat
Aku mau saja, karena Aku juga menyukainya.. tapi Aku mencintaimu, bla.. bla...
blaa,” tangan lusita terangkat, namun kemudian air matanya menetes. “Asal kakak
tahu, betapa kak hamdi sangat mencintai kakak, melebihi apapun, kak hamdi
selalu cerita sama Aku kalau Dia Cuma mau kakak jadi istrinya, kakak melayani
Dia, kakak membelai Dia, manjain Dia, mungkin hari ini, mungkin sekarang kak
hamdi memanjakanku, tapi satu hal yang perlu kakak tanamkan dalam otak kakak,
kak hamdi sangat mencintai kakak, teruskan apa yang membuat kakak bahagia, tapi
ku mohon jangan tunjukkan itu di depan kak hamdi..” dias menatap lyara tidak
percaya, apalagi saat melihat lusita menangis semakin keras. Saat lyara
berbalik, dias mencekal lengan lyara kemudian menamparnya begitu saja, membuat
lyara tersentak,pun dengan bastian. Mata bulat lyara melotot, menatap tajam
dias yang terlihat sangat marah. “Kenapa kakak melakukan ini?? Kakak marah ??
tersinggung? Aku tidak tahu kalau sahabat yang selalu di banggain kak hamdi di
depanku adalah orang yang temperamen, pecundang, pengkhianat dan kasar !!”
“Diam
!! tahu apa kamu tentang Aku??”
“Aku
tahu semuanya, karena kak hamdi bercerita kepadaku, bahwa kakak adalah sahabat
terbaik kak hamdi !!” tangan dias kembali mengepal, kembali menampar lyara
untuk kedua kalinya. “KAK DIAS ?? APA YANG KAKAK LAKUKAN??” setelah teriakan
penuh emosi itu bergema, lyara jatuh tidak sadarkan diri di pelukan bastian.
Dan itu membuat tangan bastian mengepal kuat.
Lana menatap pintu jati yang
tertutup rapat, setelah dias menampar lyara dan berakhir dengan ambruknya lyara
di pelukan bastian juga amarah bastian yang langsung mengusirnya juga dias dan
lusita. Lana menghembuskan nafas kesal, Dia tidak tahu kalau kakaknya menampar
lyara dan dia tidak tahu apa akibat dari bentakannya. Lana menghela nafas
panjang, akhir – akhir ini setelah keputusannya menyatakan perasaan palsunya
kepada aira, lyara menjadi jauh darinya dan dia sangat merindukan lyara. Lana
akhirnya berbalik, bertahan juga tidak ada gunanya karena pastilah bastian
tidak mengijinkannya untuk masuk, sepanjang perjalanan ada sebuah pertanyaan
yang terlontar dari hatinya tentang bastian. Laki – laki itu begitu marah saat
lyara tersakiti, dan penampilan laki -
laki itu sangat berbeda dengan bastian yang selama ini dia kenal, kaca
mata persegi yang membingkai mata bastian lenyap dari tempatnya dan juga behel
yang biasanya terpasang juga lenyap membuatnya sedikit pangling dengan bastian
dan stylenya yang lebih kepada lain dari biasanya, bukan hanya itu perhatian dan
kemarahan bastian juga menjadi tanda tanya besar di otaknya hingga otaknya
mengambil kesimpulan bahwa selama ini ada musuh terselubung yang ingin berdiri
di sisi lyara selain dewa, anak baru itu. Dan tanda tanya besar di otaknya
adalah tentang pertengkaran kakaknya dengan lyara, tantang lusita dan tentang
kealpaan hamdi di rumah keluarga dharma itu. Lana harus menanyakan hal itu
kepada kakaknya.
Bastian membelai lembut rambut lyara
yang sedikit lepek karena keringat, bastian menghela nafas panjang menatap
wajah yang terlihat polos saat terpejam dan wajah yang terlihat semakin cantik
saat mata bening itu terbuka. Bastian menghela nafas panjang, bosan juga dengan
suasana hening yang tercipta bastian memijat pelipisnya sedikit mengurut bagian
matanya saat dirasakan mulai pening dan berdenyut. Bastian menghela nafas
panjang, saat menyadari bahwa dia melupakan sesuatu kemudian dengan langkah
pelan bastian meninggalkan kamar lyara, dia harus pulang. Belum sempurna
bastian menginjak anak tangga terakhir suara seseorang menghampiri indera
pendengarannya. “Bas?? Ya Tuhan,” suara itu bergegas menghampiri, menuntunnya.
“Harusnya kamu memakai kaca matamu, kamu selalu membuat Ibu khawatir Bas,”
bastian tersenyum saat wanita yang telah merawat dan mendidiknya seorang diri
itu memakaikan kaca mata untuknya. “Aku udah gapapa Bu, Ibu ngapain kesini??”
wanita itu tersenyum membelai pipi bastian lembut menatap mata bastian yang
memerah. “Ada urusan pekerjaan sayang, tadi udah selesai jadi kita pulang yuk
!” bastian mengangguk. “Lagian kamu juga harus meminum vitamin untuk matamu
itu,” bastian tersenyum menurut saja tidak menyadari bahwa wanita yang
dipanggilnya ibu itu menyeka air mata di sudut matanya. “Kamu kesini bawa
motor??”
“Ya
iyalah Bu, emang mau bawa apa lagi?? Mobil?”
“Kita
tinggal motornya ya sayang, kita pulang naik taksi saja,”
“Tapi
Bu, bagaimana besok aku sekolah??”
“Ibu
antar, lagian ini sekalian mau ngambil mobil di bengkel kok, gapapa kan??”
bastian mengangguk saja tangannya terangkat ingin mengucek matanya yang gatal,
namun tangan sang ibu mencegahnya. “Jangan di kucek, nanti kotorannya tambah
masuk lho,” bastian hanya pasrah, mengangguk saja sedangkan wanita berkaca mata
itu mempercepat langkahnya, dia ingin lekas sampai rumah. Sedangkan di ambang
pintu keluarga dharma, bu nirma dan pak dharma menatap kepergian sepasang anak
ibu itu dengan pandangan iba “Kasihan sandra ya mas, dia hanya memiliki
bastian, akan sangat sakit saat bastian pergi dari hidupnya,”
“Seorang
ibu akan melakukan apapun untuk mempertahankan anaknya, bahkan dengan nyawa
sekalipun, sandra tidak akan membiarkan bastian pergi begitu saja, saat ini
farkhan sedang mengusahakan yang terbaik bersama rekannya untuk bastian,”
“Semoga
mereka selalu diberi kebahagiaan,” pak dharma tersenyum, merangkul bahu
istrinya erat kemudian mengecup kening istrinya lembut, sedangkan matanya
menyorotkan sebuah perasaan bersalah.
Hamdi meringis saat jarum suntik
menusuk bagian lengannya, tangannya yang terbebas jarum infus yang semula
mencengkeram erat perutnya perlahan melemas, nafasnya yang tadinya tersengal
juga mulai normal, kakek hendra baru menyuntikkan obat penghilang rasa sakit
pada hamdi, sedangkan hamdi sendiri menelan saliva pahitnya sakit yang
dirasakannya sejak lyara pergi berangsur
hilang, nafasnya masih sedikit memburu wajah kakeknya buram oleh air
mata namun dia bisa merasakan kakek hendra menyeka air matanya, menyingkirkan
tangannya dari perutnya dan membuka pakaiannya dan menghela nafas panjang saat
mengamati lebih dalam. “Ham, tidur aja,” hamdi tidak menjawab tenaganya seolah
habis tubuhnya terasa sangat lemas sekaligus kaku. “Kakek mau apa??” hamdi
mencoba bertanya meskipun suaranya terdengar seperti bisikan sedangkan kakek
hendra tersenyum, kembali mengacingkan kembali piyama hamdi. “Gapapa,” kakek hamdi
tersenyum kemudian mengambil masker oksigen yang berada disamping ranjang
hamdi, memakaikannya dengan telaten di bagian mulut dan hidung hamdi. “Kek..”
hamdi mencoba melirih namun urung saat suntikan kedua di lengannya membuat
dunianya gelap. Kakek hamdi menghela nafas panjang, memastikan hamdi benar –
benar terlelap kemudian memanggil anak – anaknya yang berdiri menunggu di depan
pintu. “Bagaimana keadaan hamdi Yah, aku sungguh panik waktu suster ira
memberitahu hamdi kesakitan, maafkan kami Yah karena gak bisa menjaganya,”
kakek hendra tersenyum menggeleng pelan. “Tidak apa, Ayah tahu kalian mempunyai
kesibukan masing – masing, kondisi hamdi stabil hanya saja di kehilangan banyak
energi saat mendapat serangan tadi, perutnya benar – benar membengkak dan
ternyata bengkak itu tidak hanya di perutnya,”
“Maksud
ayah??” farkhan mencoba bertanya, bingung dengan maksud sang ayah. “Dadanya
juga mengalami pembengkakan, dan ayah menebak pembengkakan itu ada di
jantungnya,” ketiga anak mantunya yang juga dokter itu melotot kompak. “Luka di
dada gak melulu soal jantung yah,” farkhan mencoba menyanggah. “Tapi kak, luka
di dada gak bisa dianggap remeh gitu aja, untuk membuktikannya kita harus
mengadakan pemeriksaan lebih lanjut,” cakra angkat bicara, sebagai seorang spesialis
dia tentu yang paling khawatir. “Kita adakan pemeriksaan setelah nafas hamdi
normal, mungkin beberapa menit lagi infusnya juga harus diganti dan kalian bisa
mempersiapkan segalanya sebelum terapi pertama untuk hamdi dimulai, karena
sebelum terapi organ vital hamdi yang satu itu harus stabil,” cakra, satria dan
farkhan mengangguk paham, sedangkan kakek hamdi tersenyum, melirik hamdi yang
masih terlelap dalam pengaruh obat biusnya. “Kakek akan lakukan apapun buat
kamu Ham, kakek gak akan ngelepasin satu cucu kakek lagi, cukup revan, jangan
lyara kamu atau yang lain, kakek janji,” mendengar itu membuat ketiga dokter
muda juga menghela nafas panjang hanya mampu mengusap bahu ayah mereka.
Lana menatap dias penuh penekanan,
dia berharap kakaknya itu menjawab pertanyaannya yang sedari tadi berputar di
otaknya. “Kak jawab aku kak !” lana mengguncangkan bahu dias kuat namun dias
hanya diam masih berusaha meresapi perkataan lyara. “Kenapa lyara bisa semarah
itu sama kakak?? Dan apa hubungan kakak sama kak lusi? Dan apa hubungannya
dengan kak hamdi, jawab aku kak, kenapa kakak tiba – tiba nampar lyara, dan
kenapa ada bastian disana, kenapa kak lusi nangis disana?? Jawab aku kak !
jangan buat aku gila dengan semua pertanyaan ini kak,” dias menghela nafas panjang
saat nafas lana mulai tidak beraturan. “Aku mencintai lusi,” jawaban dias yang
singkat namun mewakili semua pertanyaan itu namun lana tidak mendengar jawaban
itu karena lana sudah terlebih dahulu jatuh pingsan di samping dias, sedangkan
dias hanya memandang kosong ke arah kamarnya yang berantakan kemudian membuka
telapak tangannya yang terasa kebas dan gelap. Fandi yang melihat kedua adiknya
tergeletak tidak sadarkan diri langsung panik dan khawatir, yang pertama di
tolongnya adalah lana, dia membopong tubuh adik bungsunya menuju kamar. “Lita
!!! tolongin dias, cepet !!” lita yang datang tergopoh langsung masuk kamar
dias dan memekik pelan saat melihat kedua telapak tangan adiknya itu berlumur
darah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar