Hamdi
duduk termenung di pohon mangga belakang sekolah, tidak peduli dengan perutnya
yang meronta kelaparan, pasalnya perutnya terasa sangat nyeri dan ngilu. Hari
ini adalah jadwalnya menghindari semua orang, yaa Dia memang bersekolah namun
tidak masuk kelas sama sekali, Dia tidak ingin siapapun melihat lebam di
wajahnya. Hamdi menghela nafas panjang saat kepalanya kembali terasa sakit, Dia
merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya akhir – akhir ini kepalanya sering
terasa sakit, bermain basketpun terasa sangat melelahkan, bahkan mimisan yang
sering muncul bersamaan dengan sakit di kepalanya, semua itu membuatnya gundah.
Hamdi menyenderkan tubuhnya di batang pohon yang kokoh, Dia ingin istirahat
sebentar, berharap sakit di kepalanya yang semakin bertindak anarkis
menghilang. “Hamdi,!” namun teguran seseorang dengan nada berwibawa membuat
hamdi tertegun, menegakkan tubuhnya kembali dan menemukan sosok laki – laki
yang berusia hampir senja menatapnya tajam. “Turun sekarang juga,” hamdi
menelan salivanya, meskipun sakit di kepalanya berhasil membuat pandangannya
buram, namun hamdi tahu siapa yang menegurnya. Dengan perlahan Dia mencari
pijakan untuk turun, namun naas, keseimbangannya goyah hamdi terjatuh dari
pohon. “Hamdi,!!” laki – laki beruban itu membantu hamdi bangkit. “Maaf,” hamdi
mencengkeram erat kepalanya, sakit itu semakin menyiksanya. Laki – laki berumur
yang sebenarnya ingin menegur hamdi itu panik saat darah mengalir dari hidung
cucu pertamanya, di ikuti limbunnya tubuh sang cucu ke arahnya, dan mendadak
hatinya terenyuh saat melihat lebam di wajah sang cucu.
Kakek hendra menghela nafas panjang,
hamdi masih dibiarkan terpejam, di tatapnya sang besan dengan tatapan lelah. Di
elusnya lembut surai hitam hamdi, para perawat sedang memasang infus di lengan
hamdi, cucunya itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan.
“Hendra..
ada apa dengan hamdi??” kakek hendra menghela nafas panjang. “Kita bicarakan di
ruanganku, mari..” kakek andi mengangguk mengikuti langkah sang besan,
sebelumnya menatap hamdi yang masih terlelap.
Kakek hendra membolak – balikkan map
biru di tangannya, hasil pemeriksaan hamdi tempo hari. Kemudian di tatapnya
sang besan dengan sedih, menyodorkan map itu dengan berat. Kakek andi, menerima
dengan ragu, kemudian mulai membuka lembaran yang tersimpan di map itu.
“Aku
gak ngerti, langsung saja jelaskan..” kakek andi meletakkan map itu, Dia tidak
begitu paham dengan medis. “Ada sel kanker terdeteksi di tubuh hamdi, itu hasil
pemeriksaan tempo hari, dua hari sebelum panca dan shilla pulang, pelayan di
rumah hamdi menelfonku dengan panik, mereka bilang hamdi pingsan, badannya
panas, aku pikir itu demam biasa, namun saat melihat kondisinya dan melihat
tumpukan tisu bekas darah di kamarnya, aku mengambil sample darahnya dan
mengeceknya, dan ini hasilnya,” kakek andi menggelengkan kepalanya pelan, tidak
percaya. “Bagaimana bisa?? Dia itu seorang atlet, pola hidup Dia pasti sangat
sehat, coba cek ulang,” kakek hendra menghela nafas panjang, menyenderkan
punggungnya di punggung kursi. “Awalnya Aku juga tidak percaya, aku sudah
mengatakannya kepada farkhan untuk cek
ulang, dan farkhan menyanggupi, hasilnya tetap sama, ada sel kanker
terdeteksi, bahkan saat cakra, satria dan dokter lain mengeceknya, tidak ada kesalahan
dalam hal ini,” kakek andi menunduk wajahnya sangat muram. “Tapi, saat farkhan
mengatakan bahwa pemeriksaan dari sampel darah saja tidak cukup, dan harus ada
pemeriksaan yang lain, jujur itu membuatku bernafas lega,” kakek andi
mengangkat kepalanya yang terasa berat. “Tapi, saat melihat wajah hamdi begitu
pucat, di hari kepulangan kedua orang tuanya, Aku pesimis,” kakek andi
mengangguk.
“Aku
sempat melihat pergerakan aneh, hamdi tiba – tiba buru – buru ke kamarnya
sembari menutupi wajahnya, dan tak lama, setelah kau datang bersama yang lain,
hamdi turun dan bajunya sudah di ganti, hendra.. aku ingin yang terbaik untuk
Dia, kalau memang sel kanker itu ada, lakukan yang terbaik..”
“Permasalahannya
bukan di situ, hamdi sudah kelas 3 SMA, Dia sudah besar, Dia pasti ingin
membanggakan panca dan shilla, hanya saja mereka selalu memandang hamdi rendah,
kau tahu itu kan??” kakek andi mengangguk membenarkan. “Dan aku ingin hamdi
semangat meraihnya, kalau hasil pemeriksaan kali menjelaskan lebih rinci, aku
tidak ingin hamdi mengetahuinya,”
“Bagaimana
caranya??”
“Untuk
beberapa hari ini, hamdi perlu di rawat intensif, ada pembengkakan di perutnya,
dan cedera otak ringan, dan kau tahu kenapa kakinya bisa terkilir??” kakek andi
tersenyum. “Dia jatuh dari pohon tadi, dan Aku terlambat menolongnya, Dia sudah
jatuh terlebih dahulu dan kepalanya membentur pohon, anak itu Dia adalah cucu
paling hiperaktif,”
“Seandainya
kamu lebih cepat,” ucapan kakek hendra membuat kakek andi mendelik. “Ku pikir
Dia pingsan karena terbentur, karena Dia sempat memegang kepalanya sebelum
akhirnya jatuh ke pelukanku, jadi
bagaimana rencananya??”
“Kalau
memang benar, aku akan membuat hamdi tertidur terus dan melakukan terapi lebih
lanjut, dalam keadaan tidak sadarnya, dan memberinya obat – obatan,” kakek andi
mengangguk. Kesepakatan Dua kakek itu benar – benar membuat semuanya menjadi
baik, andai saja hamdi tahu, namun sayang Dia bahkan tidak tahu apapun dari
siapapun.
Hamdi membuka matanya pelan, di
tatapnya sekeliling terlihat asing, seingatnya dia tadi bertemu dengan kakeknya,
ayah dari sang ibu di halaman belakang sekolah. Sang kakek menegurnya yang
tengah berbaring di atas pohon, kemudian dia tidak ingat apapun. Hamdi
mengangkat tangannya saat merasakan perih di kepalanya, namun hanya menggantung
saat menyadari ada sesuatu di lengannya, hamdi mencoba mengangkat tubuhnya
namun naas, bagian perutnya terasa sangat sakit membuat hamdi mengerang kecil
dan kembali ke posisinya. Hamdi menelusuri ruangan yang saat ini Dia tempati,
saat melihat jam dinding yang menunjukkan jam pulang sekolah, hamdi lekas
bangkit namun sekali lagi sakit di bagian perutnya dan pening yang menderanya
membuatnya ingin menyerah.
“Hamdi...
jangan bangun dulu, oke?” entah dari mana datangnya, dua kakeknya dan beberapa
pamannya menghampirinya. Sekarang hamdi sadar kalau sekarang Dia berada di
salah satu ruang rawat rumah sakit sang kakek. “Kamu ini, mau kemana heum??” om
farkhan, sang paman bertanya sembari membantu hamdi untuk berbaring kembali dan
memasang kembali infus yang sempat di lepas hamdi, dan itu membuat hamdi
meringis saat jarum infus menusuk bagian lengannya, om farkhan juga memasang
alat pengukur tekanan darah di lengannya.
“Aku
ingin pulang, ini sudah jam pulang sekolah,” jawaban hamdi membuat kedua
kakeknya mendelik. “Hamdi, kamu bahkan tidak masuk kelas hari ini, kenapa mau
pulang?? Kau membuat lyara khawatir hamdi,” hamdi menunduk, entahlah perlakuan
tidak biasa yang di tunjukkan oleh kedua kakeknya dan pamannya membuatnya
gundah. “Kalau Aku tidak pulang lebih cepat, ayah dan ibu akan marah lagi,”
“Ham,
perutmu bengkak, kepalamu terluka dan kakimu terkilir, kamu tidak baik – baik
saja,”
“Aku
baik,” hamdi mencoba bangkit namun kembali meringis. “Jangan terlalu di
paksakan, biar kami yang mengatakan kepada mereka bahwa kau sakit, lagian
mereka terbang ke amrik lagi hari ini,” mendengar penuturan sang kakek membuat
hamdi menunduk, membuang pandangannya ke jendela yang terbuka lebar. “Tinggalin
hamdi sendiri,” mereka mematung untuk sejenak. “Biar om periksa dulu kondisi
kamu,”
“Tinggalin
hamdi sendiri,” mereka menyerah dan berlalu meninggalkan hamdi yang merenung
menatap pemandangan taman rumah sakit di hadapannya. “Seharusnya kalian gak
usah pulang aja, kalau pada akhirnya ninggalin aku sendiri lagi dalam kondisi
kaya’ gini,” gumamnya pelan, membiarkan air mata mewakili perasaannya.
Lyara menatap hamdi dengan tatapan
sebal, sudah beberapa kali Dia menyodorkan sendok ke mulut kakak sepupunya itu,
namun hamdi masih bergeming.
“Kak..
makan dulu ikh,” hamdi masih diam, hatinya masih terluka. “Kak.. Aku gak mau
kalau kakak sakit lagi, jadi makan kumohon,” hamdi menatap lyara, adik
sepupunya yang paling dekat dengannya itu berkaca – kaca. Kemudian hamdi
menghambur ke dekapan gadis mungil itu, terisak pelan. Lyara hanya mampu
mengelus punggung hamdi pelan, mencoba menenangkan, sembari membalas dekapan
hamdi. “Kakak tenang, masih ada Aku sama yang lain, yang tetap sama kakak..
jadi jangan sedih, asal kakak gak ninggalin Aku, dan gak lupain Aku.. kak, Aku
tetap disini sama kakak.. selamanya,” hamdi tidak membalas, Dia hanya ingin
mengeluarkan isi hatinya, perasaannya yang hancur begitu saja. Dan kedua kakek
hamdi hanya mampu melihat itu dengan iba. Sesungguhnya yang terlihat kuat itu
yang lemah, atau sebaliknya, karena kita tidak tahu yang benar yang mana, mana yang
benar – benar kuat dan mana yang lemah selemah – lemahnya, karena mata
terkadang bisa di bohongi meskipun tidak pernah bisa untuk berbohong.
Lusi menatap langit semarang dengan
perasaan gundah, di pahanya dias memejamkan matanya, menikmati angin malam yang
dingin dan sejuk, hal yang sangat jarang di rasakannya di kota semarang. Lusita
menghela nafas panjang, sedari tadi perasaannya gundah, saat hamdi tidak masuk
kelas, padahal Dia melihat dengan jelas motor hamdi terparkir di parkiran
sekolah. Saat bertanya kepada lyara bersama dias, lyara malah berpaling dan
menatap tajam tangannya yang bertautan dengan dias. Lyara bungkam, membuatnya
merasa semakin bersalah.
“Yas,
hamdi sebenarnya dimana yaa??” dias hanya berdehem, tidak tertarik sama sekali
dengan topik yang di bahas lusi. Dias kemudian bangkit dari posisinya, kemudian
menatap lusita. “Kita ke rumahnya,”
“Aku
gak tahu Dia lagi dimana, di rumah lyara atau di rumahnya,”
“Kita
cari di dua – duanya, Aku yang mengantarmu,”
“Kenapa??”
“Aku
tidak mau Kamu sedih karenanya..” lusita menghela nafas panjang, saat dias
berjalan mendahuluinya. Tiba – tiba sebuah perasaan hadir dalam dadanya.
Lyara memandang langit malam hampa,
ada sebuah perasaan yang tak biasa yang di rasakannya. Melihat lana dan aira
selalu berdua membuatnya sakit. Biasanya lyara akan bercerita kepada hamdi,
namun melihat kondisi hamdi sekarang, membuatnya enggan. Dia tidak ingin
menambah beban hamdi. Lyara menghela nafas panjang, mencoba menahan air
matanya. “Kalau mau nangis, nangis aja,” lyara menoleh, dan mendapati bastian
yang dikenalnya sebagai Iyan, tersenyum manis. Lyara menggeleng, masih menghela
nafas panjang. Bastian tersenyum, mengambil posisi disamping lyara. “Aku tahu
kamu lagi nahan air mata kamu, gak usah malu Kita kan udah sahabatan sejak
dulu,” lyara menatap bastian sebentar, kemudian mendekap Bastian erat, wajahnya
Dia sembunyikan di dada bastian, bahunya bergerak naik – turun tidak karuan.
Sedangkan bastian mengelus rambut lyara yang terurai dengan lembut, tidak
mengucapkan sepatah katapun, membiarkan lyara menangis semaunya, tidak peduli
dengan bajunya yang basah, karena menurutnya selain hamdi hanya kepadanyalah
lyara bergantung, dan karena bastian sangat mencintai dan menyayangi lyara.
Lyara melepaskan dekapannya, masih terisak kecil, bastian tersenyum pedih
menyeka air mata lyara pelan. “Kamu kenapa??”
“Iyan,
Kamu pernah gak? Jatuh cinta sama seseorang, tapi orang itu malah jatuh cinta
sama orang lain??” bastian tersenyum samar, kemudian mengangguk. “Pernah,”
“Apa
yang Kamu lakukan??”
“Mendukungnya,
menjadi sandarannya,”
“Meskipun
sakit??” bastian mengangguk. “Sakitnya gak seberapa, dari pada melihat orang
yang Kita cintai kesakitan atau bersedih,”
“Walaupun
cemburu??” bastian mengangguk. “Iya, yang perlu dilakukan adalah sibuk,
melakukan kegiatan yang bermanfaat,” dalam hati bastian tertawa, karena Dia
tidak pernah bisa berhenti untuk memikirkan lyara. “Iyan, apa Kita harus
menangis karenanya??” bastian menggeleng tapi kemudian mengangguk. “Terkadang,
Kita juga boleh menangis, saat bebannya terlalu berat,” lyara menghela nafas
panjang, menyenderkan kepalanya di bahu bastian. “Iyan..”
“Ya??”
“Kenapa
Kita gak pernah ketemu??” bastian tidak menjawab. “Kamu akan mencariku saat
Kamu menangis, dan Aku akan tahu saat Kamu bersedih, jadi.. Aku yang akan
menghampirimu, sudah malam.. ayo pulang!” lyara mengangguk. Kalau saja lyara
sadar, kalau saja lyara bisa membedakan. Namun bagaimana jika hidup ini pilihan,
dan lyara harus memilih, antara bastian yang selalu ada untuknya, dan sangat
mencintainya namun tidak pernah mengungkapkannya dan dikenalnya dengan nyata
atau lana dicintainya dan mencintainya tapi memilih berpura – pura mencintai
orang lain. Tidak, lyara tidak sebodoh itu untuk memilih, karena Dia tidak akan
memilih siapapun, Dia ingin Dewa yang mencintainya, yang selalu ada untuknya
dan menjadi miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar