Senin, 09 Januari 2017

Lost - Part 9

Hamdi duduk termenung di pohon mangga belakang sekolah, tidak peduli dengan perutnya yang meronta kelaparan, pasalnya perutnya terasa sangat nyeri dan ngilu. Hari ini adalah jadwalnya menghindari semua orang, yaa Dia memang bersekolah namun tidak masuk kelas sama sekali, Dia tidak ingin siapapun melihat lebam di wajahnya. Hamdi menghela nafas panjang saat kepalanya kembali terasa sakit, Dia merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya akhir – akhir ini kepalanya sering terasa sakit, bermain basketpun terasa sangat melelahkan, bahkan mimisan yang sering muncul bersamaan dengan sakit di kepalanya, semua itu membuatnya gundah. Hamdi menyenderkan tubuhnya di batang pohon yang kokoh, Dia ingin istirahat sebentar, berharap sakit di kepalanya yang semakin bertindak anarkis menghilang. “Hamdi,!” namun teguran seseorang dengan nada berwibawa membuat hamdi tertegun, menegakkan tubuhnya kembali dan menemukan sosok laki – laki yang berusia hampir senja menatapnya tajam. “Turun sekarang juga,” hamdi menelan salivanya, meskipun sakit di kepalanya berhasil membuat pandangannya buram, namun hamdi tahu siapa yang menegurnya. Dengan perlahan Dia mencari pijakan untuk turun, namun naas, keseimbangannya goyah hamdi terjatuh dari pohon. “Hamdi,!!” laki – laki beruban itu membantu hamdi bangkit. “Maaf,” hamdi mencengkeram erat kepalanya, sakit itu semakin menyiksanya. Laki – laki berumur yang sebenarnya ingin menegur hamdi itu panik saat darah mengalir dari hidung cucu pertamanya, di ikuti limbunnya tubuh sang cucu ke arahnya, dan mendadak hatinya terenyuh saat melihat lebam di wajah sang cucu.
            Kakek hendra menghela nafas panjang, hamdi masih dibiarkan terpejam, di tatapnya sang besan dengan tatapan lelah. Di elusnya lembut surai hitam hamdi, para perawat sedang memasang infus di lengan hamdi, cucunya itu baru saja selesai melakukan pemeriksaan.
“Hendra.. ada apa dengan hamdi??” kakek hendra menghela nafas panjang. “Kita bicarakan di ruanganku, mari..” kakek andi mengangguk mengikuti langkah sang besan, sebelumnya menatap hamdi yang masih terlelap.
            Kakek hendra membolak – balikkan map biru di tangannya, hasil pemeriksaan hamdi tempo hari. Kemudian di tatapnya sang besan dengan sedih, menyodorkan map itu dengan berat. Kakek andi, menerima dengan ragu, kemudian mulai membuka lembaran yang tersimpan di map itu.
“Aku gak ngerti, langsung saja jelaskan..” kakek andi meletakkan map itu, Dia tidak begitu paham dengan medis. “Ada sel kanker terdeteksi di tubuh hamdi, itu hasil pemeriksaan tempo hari, dua hari sebelum panca dan shilla pulang, pelayan di rumah hamdi menelfonku dengan panik, mereka bilang hamdi pingsan, badannya panas, aku pikir itu demam biasa, namun saat melihat kondisinya dan melihat tumpukan tisu bekas darah di kamarnya, aku mengambil sample darahnya dan mengeceknya, dan ini hasilnya,” kakek andi menggelengkan kepalanya pelan, tidak percaya. “Bagaimana bisa?? Dia itu seorang atlet, pola hidup Dia pasti sangat sehat, coba cek ulang,” kakek hendra menghela nafas panjang, menyenderkan punggungnya di punggung kursi. “Awalnya Aku juga tidak percaya, aku sudah mengatakannya kepada farkhan untuk cek  ulang, dan farkhan menyanggupi, hasilnya tetap sama, ada sel kanker terdeteksi, bahkan saat cakra, satria dan dokter lain mengeceknya, tidak ada kesalahan dalam hal ini,” kakek andi menunduk wajahnya sangat muram. “Tapi, saat farkhan mengatakan bahwa pemeriksaan dari sampel darah saja tidak cukup, dan harus ada pemeriksaan yang lain, jujur itu membuatku bernafas lega,” kakek andi mengangkat kepalanya yang terasa berat. “Tapi, saat melihat wajah hamdi begitu pucat, di hari kepulangan kedua orang tuanya, Aku pesimis,” kakek andi mengangguk.
“Aku sempat melihat pergerakan aneh, hamdi tiba – tiba buru – buru ke kamarnya sembari menutupi wajahnya, dan tak lama, setelah kau datang bersama yang lain, hamdi turun dan bajunya sudah di ganti, hendra.. aku ingin yang terbaik untuk Dia, kalau memang sel kanker itu ada, lakukan yang terbaik..”
“Permasalahannya bukan di situ, hamdi sudah kelas 3 SMA, Dia sudah besar, Dia pasti ingin membanggakan panca dan shilla, hanya saja mereka selalu memandang hamdi rendah, kau tahu itu kan??” kakek andi mengangguk membenarkan. “Dan aku ingin hamdi semangat meraihnya, kalau hasil pemeriksaan kali menjelaskan lebih rinci, aku tidak ingin hamdi mengetahuinya,”
“Bagaimana caranya??”
“Untuk beberapa hari ini, hamdi perlu di rawat intensif, ada pembengkakan di perutnya, dan cedera otak ringan, dan kau tahu kenapa kakinya bisa terkilir??” kakek andi tersenyum. “Dia jatuh dari pohon tadi, dan Aku terlambat menolongnya, Dia sudah jatuh terlebih dahulu dan kepalanya membentur pohon, anak itu Dia adalah cucu paling hiperaktif,”
“Seandainya kamu lebih cepat,” ucapan kakek hendra membuat kakek andi mendelik. “Ku pikir Dia pingsan karena terbentur, karena Dia sempat memegang kepalanya sebelum akhirnya jatuh  ke pelukanku, jadi bagaimana rencananya??”
“Kalau memang benar, aku akan membuat hamdi tertidur terus dan melakukan terapi lebih lanjut, dalam keadaan tidak sadarnya, dan memberinya obat – obatan,” kakek andi mengangguk. Kesepakatan Dua kakek itu benar – benar membuat semuanya menjadi baik, andai saja hamdi tahu, namun sayang Dia bahkan tidak tahu apapun dari siapapun.
            Hamdi membuka matanya pelan, di tatapnya sekeliling terlihat asing, seingatnya dia tadi bertemu dengan kakeknya, ayah dari sang ibu di halaman belakang sekolah. Sang kakek menegurnya yang tengah berbaring di atas pohon, kemudian dia tidak ingat apapun. Hamdi mengangkat tangannya saat merasakan perih di kepalanya, namun hanya menggantung saat menyadari ada sesuatu di lengannya, hamdi mencoba mengangkat tubuhnya namun naas, bagian perutnya terasa sangat sakit membuat hamdi mengerang kecil dan kembali ke posisinya. Hamdi menelusuri ruangan yang saat ini Dia tempati, saat melihat jam dinding yang menunjukkan jam pulang sekolah, hamdi lekas bangkit namun sekali lagi sakit di bagian perutnya dan pening yang menderanya membuatnya ingin menyerah.
“Hamdi... jangan bangun dulu, oke?” entah dari mana datangnya, dua kakeknya dan beberapa pamannya menghampirinya. Sekarang hamdi sadar kalau sekarang Dia berada di salah satu ruang rawat rumah sakit sang kakek. “Kamu ini, mau kemana heum??” om farkhan, sang paman bertanya sembari membantu hamdi untuk berbaring kembali dan memasang kembali infus yang sempat di lepas hamdi, dan itu membuat hamdi meringis saat jarum infus menusuk bagian lengannya, om farkhan juga memasang alat pengukur tekanan darah di lengannya.
“Aku ingin pulang, ini sudah jam pulang sekolah,” jawaban hamdi membuat kedua kakeknya mendelik. “Hamdi, kamu bahkan tidak masuk kelas hari ini, kenapa mau pulang?? Kau membuat lyara khawatir hamdi,” hamdi menunduk, entahlah perlakuan tidak biasa yang di tunjukkan oleh kedua kakeknya dan pamannya membuatnya gundah. “Kalau Aku tidak pulang lebih cepat, ayah dan ibu akan marah lagi,”
“Ham, perutmu bengkak, kepalamu terluka dan kakimu terkilir, kamu tidak baik – baik saja,”
“Aku baik,” hamdi mencoba bangkit namun kembali meringis. “Jangan terlalu di paksakan, biar kami yang mengatakan kepada mereka bahwa kau sakit, lagian mereka terbang ke amrik lagi hari ini,” mendengar penuturan sang kakek membuat hamdi menunduk, membuang pandangannya ke jendela yang terbuka lebar. “Tinggalin hamdi sendiri,” mereka mematung untuk sejenak. “Biar om periksa dulu kondisi kamu,”
“Tinggalin hamdi sendiri,” mereka menyerah dan berlalu meninggalkan hamdi yang merenung menatap pemandangan taman rumah sakit di hadapannya. “Seharusnya kalian gak usah pulang aja, kalau pada akhirnya ninggalin aku sendiri lagi dalam kondisi kaya’ gini,” gumamnya pelan, membiarkan air mata mewakili perasaannya.
            Lyara menatap hamdi dengan tatapan sebal, sudah beberapa kali Dia menyodorkan sendok ke mulut kakak sepupunya itu, namun hamdi masih bergeming.
“Kak.. makan dulu ikh,” hamdi masih diam, hatinya masih terluka. “Kak.. Aku gak mau kalau kakak sakit lagi, jadi makan kumohon,” hamdi menatap lyara, adik sepupunya yang paling dekat dengannya itu berkaca – kaca. Kemudian hamdi menghambur ke dekapan gadis mungil itu, terisak pelan. Lyara hanya mampu mengelus punggung hamdi pelan, mencoba menenangkan, sembari membalas dekapan hamdi. “Kakak tenang, masih ada Aku sama yang lain, yang tetap sama kakak.. jadi jangan sedih, asal kakak gak ninggalin Aku, dan gak lupain Aku.. kak, Aku tetap disini sama kakak.. selamanya,” hamdi tidak membalas, Dia hanya ingin mengeluarkan isi hatinya, perasaannya yang hancur begitu saja. Dan kedua kakek hamdi hanya mampu melihat itu dengan iba. Sesungguhnya yang terlihat kuat itu yang lemah, atau sebaliknya, karena kita tidak tahu yang benar yang mana, mana yang benar – benar kuat dan mana yang lemah selemah – lemahnya, karena mata terkadang bisa di bohongi meskipun tidak pernah bisa untuk berbohong.
            Lusi menatap langit semarang dengan perasaan gundah, di pahanya dias memejamkan matanya, menikmati angin malam yang dingin dan sejuk, hal yang sangat jarang di rasakannya di kota semarang. Lusita menghela nafas panjang, sedari tadi perasaannya gundah, saat hamdi tidak masuk kelas, padahal Dia melihat dengan jelas motor hamdi terparkir di parkiran sekolah. Saat bertanya kepada lyara bersama dias, lyara malah berpaling dan menatap tajam tangannya yang bertautan dengan dias. Lyara bungkam, membuatnya merasa semakin bersalah.
“Yas, hamdi sebenarnya dimana yaa??” dias hanya berdehem, tidak tertarik sama sekali dengan topik yang di bahas lusi. Dias kemudian bangkit dari posisinya, kemudian menatap lusita. “Kita ke rumahnya,”
“Aku gak tahu Dia lagi dimana, di rumah lyara atau di rumahnya,”
“Kita cari di dua – duanya, Aku yang mengantarmu,”
“Kenapa??”
“Aku tidak mau Kamu sedih karenanya..” lusita menghela nafas panjang, saat dias berjalan mendahuluinya. Tiba – tiba sebuah perasaan hadir dalam dadanya.
            Lyara memandang langit malam hampa, ada sebuah perasaan yang tak biasa yang di rasakannya. Melihat lana dan aira selalu berdua membuatnya sakit. Biasanya lyara akan bercerita kepada hamdi, namun melihat kondisi hamdi sekarang, membuatnya enggan. Dia tidak ingin menambah beban hamdi. Lyara menghela nafas panjang, mencoba menahan air matanya. “Kalau mau nangis, nangis aja,” lyara menoleh, dan mendapati bastian yang dikenalnya sebagai Iyan, tersenyum manis. Lyara menggeleng, masih menghela nafas panjang. Bastian tersenyum, mengambil posisi disamping lyara. “Aku tahu kamu lagi nahan air mata kamu, gak usah malu Kita kan udah sahabatan sejak dulu,” lyara menatap bastian sebentar, kemudian mendekap Bastian erat, wajahnya Dia sembunyikan di dada bastian, bahunya bergerak naik – turun tidak karuan. Sedangkan bastian mengelus rambut lyara yang terurai dengan lembut, tidak mengucapkan sepatah katapun, membiarkan lyara menangis semaunya, tidak peduli dengan bajunya yang basah, karena menurutnya selain hamdi hanya kepadanyalah lyara bergantung, dan karena bastian sangat mencintai dan menyayangi lyara. Lyara melepaskan dekapannya, masih terisak kecil, bastian tersenyum pedih menyeka air mata lyara pelan. “Kamu kenapa??”
“Iyan, Kamu pernah gak? Jatuh cinta sama seseorang, tapi orang itu malah jatuh cinta sama orang lain??” bastian tersenyum samar, kemudian mengangguk. “Pernah,”
“Apa yang Kamu lakukan??”
“Mendukungnya, menjadi sandarannya,”
“Meskipun sakit??” bastian mengangguk. “Sakitnya gak seberapa, dari pada melihat orang yang Kita cintai kesakitan atau bersedih,”
“Walaupun cemburu??” bastian mengangguk. “Iya, yang perlu dilakukan adalah sibuk, melakukan kegiatan yang bermanfaat,” dalam hati bastian tertawa, karena Dia tidak pernah bisa berhenti untuk memikirkan lyara. “Iyan, apa Kita harus menangis karenanya??” bastian menggeleng tapi kemudian mengangguk. “Terkadang, Kita juga boleh menangis, saat bebannya terlalu berat,” lyara menghela nafas panjang, menyenderkan kepalanya di bahu bastian. “Iyan..”
“Ya??”
“Kenapa Kita gak pernah ketemu??” bastian tidak menjawab. “Kamu akan mencariku saat Kamu menangis, dan Aku akan tahu saat Kamu bersedih, jadi.. Aku yang akan menghampirimu, sudah malam.. ayo pulang!” lyara mengangguk. Kalau saja lyara sadar, kalau saja lyara bisa membedakan. Namun bagaimana jika hidup ini pilihan, dan lyara harus memilih, antara bastian yang selalu ada untuknya, dan sangat mencintainya namun tidak pernah mengungkapkannya dan dikenalnya dengan nyata atau lana dicintainya dan mencintainya tapi memilih berpura – pura mencintai orang lain. Tidak, lyara tidak sebodoh itu untuk memilih, karena Dia tidak akan memilih siapapun, Dia ingin Dewa yang mencintainya, yang selalu ada untuknya dan menjadi miliknya.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar