Hamdi
menghela nafas panjang, sakit di kepalanya tidak kunjung hilang tapi Dia harus
tetap berangkat sekolah, hari ini ada pertandingan. Suara pintu terbuka membuatnya
mengalihkan atensinya, Dia baru saja selesai memakai seragamnya. “Ya ampun
Kakak,,,” suara naura membuatnya tersenyum. “Ada apa??”
“Kakak
masih sakit, kenapa berangkat sekolah??” hamdi tersenyum menuntun lyara duduk
di pinggir ranjang. “Dengar, Aku baik, Aku sehat, lagian hari ini ada
pertandingan,Aauuu !! kenapa Kau memukulku gadis nakal??” lyara menatap mata
hamdi galak. “Kakak masih sakit, jangan kemana – mana dulu!! Di rumah saja,”
“Bosan,
lyara..” lyara menggeleng tegas. “Tidak !! hari ini Ayah dan Ibu pulang kan??
Aku menelfon Ibu untuk menjagamu,” hamdi tersenyum, mengelus puncak kepala
lyara lembut, kemudian menyibak poni yang selalu menutupi dahi lyara itu, ada
bekas jahitan disana dan itu membuatnya pilu. “Tante Nirma dan Om dharma sudah
pulang sejak kemarin lyara,” lyara menghela nafas panjang. “Aku membenci ini,”
lyara menutupi dahinya kembali menatap hamdi, kemudian menghela nafas panjang.
“Baiklah, hari ini Kakak boleh berangkat, Aku hampir saja lupa kalau di kelas
kak hamdi ada kak lusita yang pastinya akan menjaga Kakak dengan baik, akh iya
!! tidak ada pertandingan untuk hari ini,!” cerocosan lyara membuat hamdi
terkekeh. “Dan satu lagi, harus di antar, aku gak mau nerima resiko kecelakaan
kalau tiba – tiba Kakak pingsan,” hamdi terkekeh, kemudian merangkul tubuh
mungil lyara untuk bangkit. “Ayo sarapan !!” lyara mengangguk semangat. “Aku
menyayangimu Kak,” hamdi tersenyum mengecup dahi lyara penuh sayang, “Aku juga”
Hamdi tersenyum melepas kepergian
lyara di ambang pintu, gadis nakal itu ngotot ingin mengantarnya sampai ke
kelas, lyara gadis itu selalu menyayanginya melebihi apapun, sama seperti
dirinya. Dia jadi ingat saat lyara dengan telaten menyuapinya kemarin, saat
lyara memeluknya saat rapuh, saat lyara mengusap air matanya saat lyara
melontarkan kata sayang setiap paginya. Lamunannya pecah saat mendengar suara
yang sangat di kenalnya, hamdi tersenyum sumringah. Dias dan lusita asyik
bercanda, sampai tidak menyadari Dia tengah menatap Mereka. “Wah.. kalian asyik
sekali mengobrolnya,” teguran hamdi membuat dias dan lusita menoleh, kemudian
tersenyum canggung. “Kamu kok udah berangkat??” lusita menghampiri hamdi yang berdiri
tegak di ambang pintu, mengelus pipi hamdi pelan, membuat hamdi tersenyum.
“Udah sehat emang Ham??” pertanyaan dias membuat hamdi lagi – lagi tersenyum.
“Aku baik kok, Cuma nanti gak bisa ikut tanding,, bisa lepas ni kepala,” lusita
dan dias mengerenyit, menatap hamdi yang tersenyum menerawang. “Kok bisa lepas
??”
“Lyara,
tadi pagi Dia memukul kepalaku karena Aku kekeuh berangkat sekolah,” hening
sesaat, hingga suara tawa dias dan lusita menggema, membuat hamdi mengerenyit.
“Kenapa kalian berdua tertawa??” lusita dan dias menghentikan tawanya. “Aku
tidak menyangka akan mempunyai kekasih/sahabat yang lebay sepertimu,” dias dan
lusita mengucapkan kata itu bersamaan membuat hamdi yang giliran tertawa.
“Kalian lucu sekali, haha.. kompak sekali,, jangan – jangan kalian jodoh,”
ucapan hamdi membuat tawa Mereka terhenti kemudian ada sesuatu yang menyengat
di tubuh Mereka.
Lyara menatap tajam hamdi yang
berusaha mengambil kaos olahraganya di loker, hamdi menghembuskan nafas
panjang. “Ly...”
“Tidak
!!” lyara berkata dengan tegas membuat hamdi menghela nafas panjang,
“Ly..Kak..” ucapan hamdi terpotong oleh suara isakan tangis lyara, tangannya
yang sedari tadi menahan pintu loker hamdi terlepas, kemudian lyara berlalu.
“Lyara !! Ya Tuhan...” hamdi memegang kepalanya yang terasa pening, kemudian
berlari menyusul lyara. Baginya, marahnya lyara adalah kebaikan untuknya.
Hamdi menghela nafas panjang,
menatap lyara yang tengah memandang kosong ke arah depan, air mata masih
menetes di pipinya, angin sepoi membelai rambutnya yang sengaja di gerai,
menyibak poni yang menutupi dahi lebar lyara. Atap sekolah adalah tempat
favorit lyara saat bersedih.
“Ly..”
hamdi menyeka air mata lyara, menata poni lyara agar kembali menutupi bekas
jahitan di dahi lyara itu. “Maaf,” lyara hanya terisak pelan, kemudian hamdi
memutuskan untuk membawa lyara ke dalam pelukannya. “Jangan.. jangan lakukan
itu, jangan sakit.. Kak Hamdi jangan sakit, Aku gak mau kakak pergi,” air mata
hamdi menetes dieratkan dekapannya, gadis mungil di pelukannya begitu rapuh.
“Aku gak mau kehilangan lagi,,” hamdi mengangguk, menahan isakannya tidak
pernah sekalipun hamdi merasa seberharga ini, tidak pernah bahkan kedua orang
tuanya tidak peduli dengannya, lyara benar – benar menyayanginya dengan sangat
tulus, sampai – sampai hamdi tidak bisa berkata apapun untuk membalas ucapan
lyara. “Cukup kak revan yang ninggalin lyara, jangan kak hamdi jangan yang
lain,” hamdi menjerit keras dalam hati, lyara tidak mengerti. Dalam hidup
seseorang pasti akan mengalami kehilangan bertubi – tubi, tanpa bisa menawar
dan menego. Kehilangan, hal paling menyakitkan itu akan menghampiri siapapun,
dimanapun dengan jabatan apapun. “Kakak sayang Kamu..” hamdi hanya mampu
mengatakan itu selebihnya Dia semakin mendekap erat lyara. Dan lagi itu membuat
seseorang yang melihatnya merasa terkhianati.
Dewa memijat pelipisnya yang pening,
Dia masih betah meletakkan kepalanya di atas meja, punggungnya terasa pegal.
Tidak sedikitpun mempedulikan bastian yang sudah beberapa kali berdecak kesal, pemuda
berkaca mata persegi itu terlihat menghembuskan nafasnya panjang berulang kali.
Dewa mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berat, menatap bastian yang
terlihat resah. “Ada apa denganmu?? Suara serak dewa membuat bastian menoleh,
kemudian menggeleng. “Harusnya Aku yang bertanya padamu, Kamu kenapa?? Dari
tadi pagi pucat banget, terus kaya’ malas – malasan..” dewa hanya mengangkat
bahunya, tidak mau bercerita banyak, kembali menenggelamkan wajahnya diantara
lengannya yang terlipat di atas meja. Bastian berdecak melihat kelakuan teman
sebangkunya itu. “Dewa, kalau sakit bilang aja, minta surat ijin pulang,” dewa
melenguh sebentar, dalam hati Dia merasa aneh kenapa saat bersama lyara Dia
bisa berterus terang panjang lebar, bahkan mungkin Dia akan bercerita kepada
lyara bahwa Dia tidur di teras, kemudian bermimpi jika Ayahnya memeluknya dan
Ayahnya mengatakan bahwa Ibunya gila. Dewa menatap bastian, entah kenapa Dia
tidak bisa berterus terang kepada teman sebangkunya yang rajin itu. Pikirannya
masih tenggelam dalam mimpi itu, Dia ingin tidur kemudian masuk dalam mimpi
yang sama. Andai saja dewa tahu, bahwa mimpi itu nyata, bahwa itu benar adanya
terjadi, sebuah kenyataan yang nyata, benar – benar nyata. Mimpi yang dari
kenyataan, bukan mimpi yang menjadi kenyataan. “Bas, Kulihat lyara sedang
bersedih?? Ada apa dengannya??” dewa sedikit mendongakkan wajahnya, kepalanya
masih terasa berat, bastian menoleh, menatap dewa dengan ekspresi yang tidak
terbaca, ada yang berusaha disembunyikan olehnya. Dewa yang melihatnya
mengerenyit, ada sesuatu di mata bastian, sesuatu yang istimewa untuk lyara.
“Mungkin sedang bersedih,” dewa mengerenyit pasalnya, bastian terlihat bergumam
kecil dan khawatir, dewa tidak ambil pusing, Dia ingin tidur sebentar, gelap.
Lana masih betah menenggelamkan
wajahnya diantara lipatan lengannya di atas meja, sesekali melirik lyara yang
juga tengah meletakkan kepalanya di meja, menghadap ke arahnya, namun mata
gadis nakal itu terpejam. Lana bingung sekaligus heran, karena hari ini, kelas
yang biasanya ramai terasa sepi, karena hampir sebagian penghuninya meletakkan
kepalanya di atas meja. Sepi, siswa yang biasanya buka suara juga diam, tidak
enak dengan teman – temannya yang terlihat lelah, menyandarkan kepalanya di
atas meja. “Ra...” lana bergumam memanggil lyara, gadis nakal itu membuka
matanya, menatap lana lurus, seolah mengatakan `ada apa??`. “Ada apa denganmu??
Kenapa hari ini Kamu diam saja??” lyara menghembuskan nafas kasar, bahkan lana
bisa merasakan aroma kekesalan di hembusan nafas lyara. “Kak hamdi,, aish.. Dia
benar – benar keras kepala,” dahi lana berkerut heran. “Bukannya Kau juga??”
lyara mendengus sebal membuat lana terkekeh, namun perlahan luntur saat melihat
ekspresi sedih lyara. “Aku tidak ingin kehilangannya sungguh,” lyara memejamkan
matanya. “Aku takut Lan,,” lana tersenyum, mengangkat tangannya, mengelus
rambut lyara lembut. “Kak hamdi menyayangimu, Dia tidak akan meninggalkanmu,”
lyara menghela nafas panjang, memejamkan matanya. “Entahlah, Aku hanya merasa lelah
hari ini,” lana tersenyum, tidak membalas, masih mengelus rambut lyara yang
terurai panjang dan tebal itu. Lana menarik nafas panjang,memandang lyara
adalah salah satu kesukaannya, gadis dengan wajah blasteran keturunan itu,
benar – benar memikat hatinya. Dalam hati lana berharap, semoga di sisa
waktunya Dia bisa mengatakan bahwa Dia mencintai gadis nakal yang duduk di
sampingnya, yang saat ini rambutnya tengah dibelainya.
Aira duduk termenung di kursinya,
merasa heran dengan sikap dea yang terlihat tenang, sahabatnya yang biasanya
tidak bisa diam itu terlihat lemas. Bahkan tadi pagi mata dea juga bengkak,
seperti habis menangis, namun dea menjawab tidak apa – apa saat ditanya, dan
itu membuatnya menghembuskan nafas sebal. Aira tidak mampu berkata apa – apa
lagi, namun yang Dia tahu, mata bengkak
dea pasti ada kaitannya dengan tugas pak herman, guru sejarah yang sekarang
menjadi wali kelasnya itu memang menyebalkan. Pandangannya beralih kepada
bastian yang sesekali melihat ke arah lyara, disampingnya anak baru yang Dia
tahu bernama dewa itu menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang terlipat
di atas meja, dan posisi itu dilakukan hampir seluruh isi kelas. Aira kembali
mengalihkan atensinya kepada lyara, sahabatnya yang satu itu memilih posisi
berbeda, sahabat yang dikenalnya sejak lama itu memilih menyandarkan kepalanya
saja di atas meja, sedangkan kedua tangannya Dia biarkan terkulai di sisi
tubuhnya, aira tersenyum melihatnya. Namun senyumnya luntur saat lyara terlihat
membuka matanya, cemberut, kemudian bersedih, dan yang paling menyakiti hatinya
adalah, tangan lana yang nota bene duduk semeja dengan lyara membelai rambut
lyara lembut. Aira memang tidak tahu bagaimana ekspresi lana saat melakukan
itu, namun pastilah lana tengah tersenyum. Aira memegang dadanya yang terasa
aneh, ada yang menusuknya dalam sekali. “Lalu apa arti yang kemarin Tuhan??”
batinnya perih kemudian memutuskan untuk mengikuti teman – teman sekelasnya,
menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang terlipat di atas meja. Untuk saat
ini, aira tidak ingin ditanya siapapun. Namun aira sadar, siapalah dirinya
dibanding lyara dengan kehidupan sempurnanya.
Dea melirik aira yang terlihat
gusar, mungkin juga kesal karena dirinya tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
Dea menghela nafas panjang, merapalkan maaf dalam hati, bukan inginnya tidak
menjawab pertanyaan sahabatnya itu, namun berbicara membuatnya ingin menangis
keras dan menjerit. Dea sedikit melirik ke arah bastian, pemuda itu terlihat
curi – curi pandang ke arah meja lyara dan lana, dea mengikuti arah pandang
bastian, kemudian menghembuskan nafas lelah. Lana dengan lembut membelai rambut
lyara, membuatnya iri dengan kemesraan mereka, mungkin juga bastian iri. Namun
dea lebih berharap bastian mengingat bahwa bastian pernah melakukan itu
kepadanya, pernah bahkan senyum tak pernah lepas dari bibir pria dengan rambut
cepaknya itu, dengan kaca mata perseginya, selalu terlihat tampan meskipun
semua orang mencacinya, bastian itu anak haram, begitu yang orang – orang
bilang, namun dea tidak peduli. Karena cinta itu membutakan, karena cinta tidak
butuh alasan, karena cinta menerima dan karena cinta melemahkan juga
menguatkan. Tak terasa air mata dea kembali menetes, dengan segera Dia
menyekanya, tidak Dia tidak ingin terlihat lemah, orang lemah hanya akan
ditindas, dan tidak akan bahagia.
Bastian kembali menghela nafas
panjang, saat melihat pemandangan dimana lana tengah membelai rambut lyara,
romantis, mesra, sungguh namun Dia tidak tahu apa hubungan mereka berdua,
Mereka seperti langit yang tidak tergapai, tidak tertebak apa saja isinya. Atensinya
beralih kepada dea, gadis itu terlihat menyedihkan dari pagi, tidak banyak
bicara seperti biasanya, gadis itu sangat pendiam hari ini. Bastian
menghembuskan nafas panjang, mengingat itu membuatnya semakin merasa bersalah,
karena pernah memberikan harapan palsu kepada gadis itu. Atensinya beralih
kepada dewa yang masih tenggelam dalam tidurnya, entahlah Dia tidak tahu persis
apa yang terjadi dengan teman barunya itu, yang jelas dewa terlihat sedang
tidak sehat. Bastian kembali menghembuskan nafas panjang. Memutuskan untuk
membuka bukunya, baru kali ini kelas yang biasanya paling berisik sesunyi ini,
ini jam kosong, seharusnya kelas ini ramai dan mengundang guru di kelas
sebelah, namun kelihatannya hampir semua penghuninya terlelap di tempat duduk masing
– masing, atau tenggelam di dunianya masing – masing dengan gadget di tangan
atau bagi yang rajin sepertinya sudah tenggelam ke dalam soal – soal rumit.
Mungkin lelah mengerjakan tugas pak herman, pikir bastian pendek. Kalau saja
bastian tahu, kalau Mereka sedang lelah dengan kehidupannya, sama sepertinya
yang terkadang ingin mengakhiri hidupnya.
Lusita menatap hamdi yang masih
betah menenggelamkan wajahnya di atara lipatan tangannya, pria yang sudah
hampir Lima tahun menjadi kekasihnya itu terlihat payah. Lyara benar, hamdi
memang keras kepala sudah tahu sakit namun masih kekeuh berangkat sekolah,
lyara benar kalau hamdi harus di pukul kepalanya agar sadar. Pandangannya
beralih ke arah lapangan basket, kemudian tersenyum tipis saat melihat dias
mendrible bola basket. Entahlah sebuah kebetulan atau apa, kelas XII IPA I
terletak di dekat lapangan basket, mungkin agar yang latihan basket bisa
mendengar materi yang disampaikan guru, maklum saja sebagian besar siswa di
kelas XII IPA I adalah tim basket atau tim olahraga lainnya. Namun kali ini ,
kapten basket Mereka sedang tergeletak lemas di kursinya dengan baju hangat
masih setia menempel di tubuhnya, wajah kapten Mereka terlihat sangat pucat.
Lusita tersenyum, menatap dias yang terlihat lihai memainkan si bundar oranye
itu. Dalam hatinya ada rasa yang aneh saat melihat dias, apalagi saat melihat
senyum dias. Lusita mengingat lagi kejadian di lapangan basket kompleks kemarin
sore, kemudian tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pria yang dikenalkan
kepadanya oleh hamdi itu satu kompleks dengannya, benar – benar sebuah
kebetulan yang tidak disengaja. Lusita juga mengingat lagi lelucon saat
berangkat sekolah bersama dias tadi pagi. Dias asyik juga diajak ngobrol, namun
senyumnya luntur saat melihat hamdi mengubah posisinya, mengingat hamdi
membuatnya tidak bisa berfantasi lebih jauh. Namun tidak dipungkiri oleh
hatinya, bahwa hamdi sudah terlalu banyak mengabaikannya. Andai saja lusita
tahu bahwa hamdi akan selalu dan terus menyayanginya dan mencintainya, andai saja
manusia bisa mengerti isi hati orang lain.
Dias memantulkan bolanya teratur,
kemudian melemparkannya kepada teman satu timnya yang langsung memasukkan bola
ke ring. Suara peluit membuat dias menghela nafas lega, kemudian duduk di
pinggir lapangan, masih mengatur nafasnya yang terengah. Matanya menatap kosong
ke langit, kemudian atensinya beralih ke arah kelasnya dan kembali menghela
nafas panjang. Dias merasa aneh hari ini, ada yang kurang dengan basket,
olahraga yang begitu dicintainya itu, dan itu adalah absennya hamdi hari ini di
latihan. Memanglah sahabatnya itu berangkat sekolah, meskipun harus di tuntun
paksa oleh lyara dan dipaksa memakai pakaian hangat oleh gadis nakal itu, gadis
yang sempat dicintainya, dan tentunya gadis itu juga memaksa hamdi untuk tidak
mengikuti latihan. Dias menghela nafas panjang, merasa iri dengan hamdi yang
mendapat perhatian seperti itu dari lyara, dan mungkin dias ada di posisi yang
sama dengan lyara, karena Dia menjaga lana, adiknya yang ringkih dan rapuh.
Dias mengusap wajahnya kasar, saat satu wajah lagi membayanginya, kemudian
menghela nafas panjang, dan memilih berbincang dengan teman di sebelahnya,
tidak ingin terlibat jauh dengan bayangannya, tidak. Karena Dia sadar terkadang
bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Hamdi mendongak, menatap langit
senja yang terlihat tenang hari ini kemudian tersenyum tipis dalam hati merapal
syukur berulang kali. Dalam hidupnya, Dia tidak pernah merasa sepi, selalu ada
lyara yang menemani, dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa ditinggalkan karena
lyara selalu ada untuknya, dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa kekurangan
karena uang selalu ada setiap bulannya,
tidak bahkan uang yang dikirimkan kedua orangtuanya sudah lebih dari cukup.
Dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa dikhianati, karena orang – orang
disekitarnya selalu bisa dipercaya.
“Kakak...
!!!!” teriakan lyara diikuti dekapan membuat hamdi tersenyum, mengecup gemas
pipi lyara. Lyara, sepupunya yang sudah seperti adik kandungnya, selalu
memberikan kebahagiaan tersendiri untuknya, yang membuatnya tidak perlu merasa
sedih dan berduka. Hamdi menghela nafas pendek, melepas dekapannya, menatap
lyara yang tersenyum senang dan sumringah. “Ada apa Ly??”
“Kakak..
Kakak pasti seneng denger ini,” hamdi mengerenyit, menatap lyara heran. “Om
Panca dan Tante Shilla bakal liburan ke Indonesia Kak !!,” raut wajah hamdi
berubah menjadi sumringah. “Benarkah??” lyara mengangguk membenarkan. “Iya,
lusa bakal sampai sini, jadi..”
“Jadi,??”
“Kakak
harus sembuh,” hamdi tersenyum mengangguk,kembali mengucap syukur berulang
kali, dalam hidupnya yang nyaris tanpa masalah berarti Dia selalu ingin
membaginya kepada orang lain. “Kalau gitu, gimana kalau malam ini Kita jalan –
jalan ???”
“Jalan
– jalan??”
“Iya,”
“Kakak
kan belum sembuh,” hamdi tersenyum, menyentil hidung lyara gemas. “Kakak sehat,
bahkan Kakak gak sabar menanti lusa,” lyara tertawa lebar, kemudian mengangguk.
“Ke Simpang Lima yaa..” hamdi tersenyum. “Siap !! bobok siang gih!” lyara
menggeleng. “Aku gak sabar nunggu malam, lagian ini udah sore, wleee...”
kemudian lyara terkekeh meninggalkan hamdi sendiri, hamdi yang tersenyum manis,
sangat manis. Hamdi ingat hanya hitungan jari Mereka bermain di Simpang Lima,
padahal hampir seumur hidup Mereka, Mereka tinggal di Semarang, kondisi kesehatan
lyara membuat waktu Mereka terbatas, karena terkadang Mereka harus bolak –
balik Jakarta – Semarang juga ke Bandung. Hamdi menghela nafas panjang, menatap
senja yang terlihat tenang.
Lana terduduk lesu di pinggir
ranjang, hari sudah sore saat Dia membuka mata, sepulang sekolah tadi
penyakitnya kambuh, Dia pun tidak tahu kenapa yang jelas ada yang mengganjal
dalam hatinya. Lana bangkit menatap korden yang masih tertutup, kemudian
menyibaknya cahaya matahari senja langsung menyeruak masuk dengan kecepatan
cahaya, sangat cepat tanpa lana sadari, pemandangan taman hias sang ibu yang
baru saja disiram membiaskan cahaya matahari senja membuatnya merasa tentram.
Lana kembali menghela nafas, melangkahkan kakinya menuju meja belajarnya
membuka sebuah buku yang tergeletak di meja. You And
I itu yang tertulis disampulnya, perlahan lana
menyibak lembar demi lembar yang berisi kata – kata terkadang juga berisi foto
atau terkadang berisi karikatur. Tangannya berhenti membuka saat sampai di
sebuah halaman, terdapat foto usang terselip disana, dengan tangan bergetar
lana mengambilnya. Tak terasa matanya berkaca – kaca,namun enggan menetes. Foto
yang terlihat usang itu di ambil saat Dia harus menginap di rumah sakit saat
kecil, Dia baru saja mengerjai dokter dan perawat di rumah sakit itu bersama
seorang gadis kecil yang manis. “Lyara, apa Kamu masih ingat sama Aku??”
pertanyaan yang sejak pertama kali Dia melihat lyara hanya mampu di lafalkan
dalam hati. Lana kembali menghela nafas panjang, rasanya terlalu menyakitkan,
baginya hari dimana foto itu di ambil adalah hari paling membahagiakan yang
sangat membuatnya sedih, karena setelah itu Dia tidak lagi melihat gadis kecil
yang merangkulnya erat sembari menampakkan gigi kelincinya. Memang bukan
pertemuan pertama, namun itulah yang membuatnya sedih, ditambah dengan lyara
yang tidak mengingatnya sama sekali. Dan lana yang sadar bahwa bukan hanya
Dirinya seorang yang berharap memiliki lyara, sungguh lana tidak ingin lyara
jatuh ke tangan siapapun, namun apalah daya saat lyara hanya menganggapnya
sebagai sahabat dan teman semeja. Lana menghela nafas panjang kembali
meletakkan foto itu dengan hati – hati kemudian menutup buku yang terlihat
sangat tebal itu. Lana memandang ponselnya yang sedari tadi diam di atas meja
belajarnya kembali termenung. Aira, nama itu tiba – tiba masuk dalam
pikirannya, tidak ingin terlarut lana bangkit menyambar handuknya kemudian
masuk kamar mandi, ingin menghilangkan lelahnya sejenak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar