Jumat, 04 November 2016

Lost - Part 5

Hamdi menghela nafas panjang, sakit di kepalanya tidak kunjung hilang tapi Dia harus tetap berangkat sekolah, hari ini ada pertandingan. Suara pintu terbuka membuatnya mengalihkan atensinya, Dia baru saja selesai memakai seragamnya. “Ya ampun Kakak,,,” suara naura membuatnya tersenyum. “Ada apa??”
“Kakak masih sakit, kenapa berangkat sekolah??” hamdi tersenyum menuntun lyara duduk di pinggir ranjang. “Dengar, Aku baik, Aku sehat, lagian hari ini ada pertandingan,Aauuu !! kenapa Kau memukulku gadis nakal??” lyara menatap mata hamdi galak. “Kakak masih sakit, jangan kemana – mana dulu!! Di rumah saja,”
“Bosan, lyara..” lyara menggeleng tegas. “Tidak !! hari ini Ayah dan Ibu pulang kan?? Aku menelfon Ibu untuk menjagamu,” hamdi tersenyum, mengelus puncak kepala lyara lembut, kemudian menyibak poni yang selalu menutupi dahi lyara itu, ada bekas jahitan disana dan itu membuatnya pilu. “Tante Nirma dan Om dharma sudah pulang sejak kemarin lyara,” lyara menghela nafas panjang. “Aku membenci ini,” lyara menutupi dahinya kembali menatap hamdi, kemudian menghela nafas panjang. “Baiklah, hari ini Kakak boleh berangkat, Aku hampir saja lupa kalau di kelas kak hamdi ada kak lusita yang pastinya akan menjaga Kakak dengan baik, akh iya !! tidak ada pertandingan untuk hari ini,!” cerocosan lyara membuat hamdi terkekeh. “Dan satu lagi, harus di antar, aku gak mau nerima resiko kecelakaan kalau tiba – tiba Kakak pingsan,” hamdi terkekeh, kemudian merangkul tubuh mungil lyara untuk bangkit. “Ayo sarapan !!” lyara mengangguk semangat. “Aku menyayangimu Kak,” hamdi tersenyum mengecup dahi lyara penuh sayang, “Aku juga”
            Hamdi tersenyum melepas kepergian lyara di ambang pintu, gadis nakal itu ngotot ingin mengantarnya sampai ke kelas, lyara gadis itu selalu menyayanginya melebihi apapun, sama seperti dirinya. Dia jadi ingat saat lyara dengan telaten menyuapinya kemarin, saat lyara memeluknya saat rapuh, saat lyara mengusap air matanya saat lyara melontarkan kata sayang setiap paginya. Lamunannya pecah saat mendengar suara yang sangat di kenalnya, hamdi tersenyum sumringah. Dias dan lusita asyik bercanda, sampai tidak menyadari Dia tengah menatap Mereka. “Wah.. kalian asyik sekali mengobrolnya,” teguran hamdi membuat dias dan lusita menoleh, kemudian tersenyum canggung. “Kamu kok udah berangkat??” lusita menghampiri hamdi yang berdiri tegak di ambang pintu, mengelus pipi hamdi pelan, membuat hamdi tersenyum. “Udah sehat emang Ham??” pertanyaan dias membuat hamdi lagi – lagi tersenyum. “Aku baik kok, Cuma nanti gak bisa ikut tanding,, bisa lepas ni kepala,” lusita dan dias mengerenyit, menatap hamdi yang tersenyum menerawang. “Kok bisa lepas ??”
“Lyara, tadi pagi Dia memukul kepalaku karena Aku kekeuh berangkat sekolah,” hening sesaat, hingga suara tawa dias dan lusita menggema, membuat hamdi mengerenyit. “Kenapa kalian berdua tertawa??” lusita dan dias menghentikan tawanya. “Aku tidak menyangka akan mempunyai kekasih/sahabat yang lebay sepertimu,” dias dan lusita mengucapkan kata itu bersamaan membuat hamdi yang giliran tertawa. “Kalian lucu sekali, haha.. kompak sekali,, jangan – jangan kalian jodoh,” ucapan hamdi membuat tawa Mereka terhenti kemudian ada sesuatu yang menyengat di tubuh Mereka.
            Lyara menatap tajam hamdi yang berusaha mengambil kaos olahraganya di loker, hamdi menghembuskan nafas panjang. “Ly...”
“Tidak !!” lyara berkata dengan tegas membuat hamdi menghela nafas panjang, “Ly..Kak..” ucapan hamdi terpotong oleh suara isakan tangis lyara, tangannya yang sedari tadi menahan pintu loker hamdi terlepas, kemudian lyara berlalu. “Lyara !! Ya Tuhan...” hamdi memegang kepalanya yang terasa pening, kemudian berlari menyusul lyara. Baginya, marahnya lyara adalah kebaikan untuknya.
            Hamdi menghela nafas panjang, menatap lyara yang tengah memandang kosong ke arah depan, air mata masih menetes di pipinya, angin sepoi membelai rambutnya yang sengaja di gerai, menyibak poni yang menutupi dahi lebar lyara. Atap sekolah adalah tempat favorit lyara saat bersedih.
“Ly..” hamdi menyeka air mata lyara, menata poni lyara agar kembali menutupi bekas jahitan di dahi lyara itu. “Maaf,” lyara hanya terisak pelan, kemudian hamdi memutuskan untuk membawa lyara ke dalam pelukannya. “Jangan.. jangan lakukan itu, jangan sakit.. Kak Hamdi jangan sakit, Aku gak mau kakak pergi,” air mata hamdi menetes dieratkan dekapannya, gadis mungil di pelukannya begitu rapuh. “Aku gak mau kehilangan lagi,,” hamdi mengangguk, menahan isakannya tidak pernah sekalipun hamdi merasa seberharga ini, tidak pernah bahkan kedua orang tuanya tidak peduli dengannya, lyara benar – benar menyayanginya dengan sangat tulus, sampai – sampai hamdi tidak bisa berkata apapun untuk membalas ucapan lyara. “Cukup kak revan yang ninggalin lyara, jangan kak hamdi jangan yang lain,” hamdi menjerit keras dalam hati, lyara tidak mengerti. Dalam hidup seseorang pasti akan mengalami kehilangan bertubi – tubi, tanpa bisa menawar dan menego. Kehilangan, hal paling menyakitkan itu akan menghampiri siapapun, dimanapun dengan jabatan apapun. “Kakak sayang Kamu..” hamdi hanya mampu mengatakan itu selebihnya Dia semakin mendekap erat lyara. Dan lagi itu membuat seseorang yang melihatnya merasa terkhianati.
            Dewa memijat pelipisnya yang pening, Dia masih betah meletakkan kepalanya di atas meja, punggungnya terasa pegal. Tidak sedikitpun mempedulikan bastian yang sudah beberapa kali berdecak kesal, pemuda berkaca mata persegi itu terlihat menghembuskan nafasnya panjang berulang kali. Dewa mencoba mengangkat kepalanya yang terasa berat, menatap bastian yang terlihat resah. “Ada apa denganmu?? Suara serak dewa membuat bastian menoleh, kemudian menggeleng. “Harusnya Aku yang bertanya padamu, Kamu kenapa?? Dari tadi pagi pucat banget, terus kaya’ malas – malasan..” dewa hanya mengangkat bahunya, tidak mau bercerita banyak, kembali menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang terlipat di atas meja. Bastian berdecak melihat kelakuan teman sebangkunya itu. “Dewa, kalau sakit bilang aja, minta surat ijin pulang,” dewa melenguh sebentar, dalam hati Dia merasa aneh kenapa saat bersama lyara Dia bisa berterus terang panjang lebar, bahkan mungkin Dia akan bercerita kepada lyara bahwa Dia tidur di teras, kemudian bermimpi jika Ayahnya memeluknya dan Ayahnya mengatakan bahwa Ibunya gila. Dewa menatap bastian, entah kenapa Dia tidak bisa berterus terang kepada teman sebangkunya yang rajin itu. Pikirannya masih tenggelam dalam mimpi itu, Dia ingin tidur kemudian masuk dalam mimpi yang sama. Andai saja dewa tahu, bahwa mimpi itu nyata, bahwa itu benar adanya terjadi, sebuah kenyataan yang nyata, benar – benar nyata. Mimpi yang dari kenyataan, bukan mimpi yang menjadi kenyataan. “Bas, Kulihat lyara sedang bersedih?? Ada apa dengannya??” dewa sedikit mendongakkan wajahnya, kepalanya masih terasa berat, bastian menoleh, menatap dewa dengan ekspresi yang tidak terbaca, ada yang berusaha disembunyikan olehnya. Dewa yang melihatnya mengerenyit, ada sesuatu di mata bastian, sesuatu yang istimewa untuk lyara. “Mungkin sedang bersedih,” dewa mengerenyit pasalnya, bastian terlihat bergumam kecil dan khawatir, dewa tidak ambil pusing, Dia ingin tidur sebentar, gelap.
            Lana masih betah menenggelamkan wajahnya diantara lipatan lengannya di atas meja, sesekali melirik lyara yang juga tengah meletakkan kepalanya di meja, menghadap ke arahnya, namun mata gadis nakal itu terpejam. Lana bingung sekaligus heran, karena hari ini, kelas yang biasanya ramai terasa sepi, karena hampir sebagian penghuninya meletakkan kepalanya di atas meja. Sepi, siswa yang biasanya buka suara juga diam, tidak enak dengan teman – temannya yang terlihat lelah, menyandarkan kepalanya di atas meja. “Ra...” lana bergumam memanggil lyara, gadis nakal itu membuka matanya, menatap lana lurus, seolah mengatakan `ada apa??`. “Ada apa denganmu?? Kenapa hari ini Kamu diam saja??” lyara menghembuskan nafas kasar, bahkan lana bisa merasakan aroma kekesalan di hembusan nafas lyara. “Kak hamdi,, aish.. Dia benar – benar keras kepala,” dahi lana berkerut heran. “Bukannya Kau juga??” lyara mendengus sebal membuat lana terkekeh, namun perlahan luntur saat melihat ekspresi sedih lyara. “Aku tidak ingin kehilangannya sungguh,” lyara memejamkan matanya. “Aku takut Lan,,” lana tersenyum, mengangkat tangannya, mengelus rambut lyara lembut. “Kak hamdi menyayangimu, Dia tidak akan meninggalkanmu,” lyara menghela nafas panjang, memejamkan matanya. “Entahlah, Aku hanya merasa lelah hari ini,” lana tersenyum, tidak membalas, masih mengelus rambut lyara yang terurai panjang dan tebal itu. Lana menarik nafas panjang,memandang lyara adalah salah satu kesukaannya, gadis dengan wajah blasteran keturunan itu, benar – benar memikat hatinya. Dalam hati lana berharap, semoga di sisa waktunya Dia bisa mengatakan bahwa Dia mencintai gadis nakal yang duduk di sampingnya, yang saat ini rambutnya tengah dibelainya.
            Aira duduk termenung di kursinya, merasa heran dengan sikap dea yang terlihat tenang, sahabatnya yang biasanya tidak bisa diam itu terlihat lemas. Bahkan tadi pagi mata dea juga bengkak, seperti habis menangis, namun dea menjawab tidak apa – apa saat ditanya, dan itu membuatnya menghembuskan nafas sebal. Aira tidak mampu berkata apa – apa lagi,  namun yang Dia tahu, mata bengkak dea pasti ada kaitannya dengan tugas pak herman, guru sejarah yang sekarang menjadi wali kelasnya itu memang menyebalkan. Pandangannya beralih kepada bastian yang sesekali melihat ke arah lyara, disampingnya anak baru yang Dia tahu bernama dewa itu menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang terlipat di atas meja, dan posisi itu dilakukan hampir seluruh isi kelas. Aira kembali mengalihkan atensinya kepada lyara, sahabatnya yang satu itu memilih posisi berbeda, sahabat yang dikenalnya sejak lama itu memilih menyandarkan kepalanya saja di atas meja, sedangkan kedua tangannya Dia biarkan terkulai di sisi tubuhnya, aira tersenyum melihatnya. Namun senyumnya luntur saat lyara terlihat membuka matanya, cemberut, kemudian bersedih, dan yang paling menyakiti hatinya adalah, tangan lana yang nota bene duduk semeja dengan lyara membelai rambut lyara lembut. Aira memang tidak tahu bagaimana ekspresi lana saat melakukan itu, namun pastilah lana tengah tersenyum. Aira memegang dadanya yang terasa aneh, ada yang menusuknya dalam sekali. “Lalu apa arti yang kemarin Tuhan??” batinnya perih kemudian memutuskan untuk mengikuti teman – teman sekelasnya, menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang terlipat di atas meja. Untuk saat ini, aira tidak ingin ditanya siapapun. Namun aira sadar, siapalah dirinya dibanding lyara dengan kehidupan sempurnanya.
            Dea melirik aira yang terlihat gusar, mungkin juga kesal karena dirinya tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Dea menghela nafas panjang, merapalkan maaf dalam hati, bukan inginnya tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu, namun berbicara membuatnya ingin menangis keras dan menjerit. Dea sedikit melirik ke arah bastian, pemuda itu terlihat curi – curi pandang ke arah meja lyara dan lana, dea mengikuti arah pandang bastian, kemudian menghembuskan nafas lelah. Lana dengan lembut membelai rambut lyara, membuatnya iri dengan kemesraan mereka, mungkin juga bastian iri. Namun dea lebih berharap bastian mengingat bahwa bastian pernah melakukan itu kepadanya, pernah bahkan senyum tak pernah lepas dari bibir pria dengan rambut cepaknya itu, dengan kaca mata perseginya, selalu terlihat tampan meskipun semua orang mencacinya, bastian itu anak haram, begitu yang orang – orang bilang, namun dea tidak peduli. Karena cinta itu membutakan, karena cinta tidak butuh alasan, karena cinta menerima dan karena cinta melemahkan juga menguatkan. Tak terasa air mata dea kembali menetes, dengan segera Dia menyekanya, tidak Dia tidak ingin terlihat lemah, orang lemah hanya akan ditindas, dan tidak akan bahagia.
            Bastian kembali menghela nafas panjang, saat melihat pemandangan dimana lana tengah membelai rambut lyara, romantis, mesra, sungguh namun Dia tidak tahu apa hubungan mereka berdua, Mereka seperti langit yang tidak tergapai, tidak tertebak apa saja isinya. Atensinya beralih kepada dea, gadis itu terlihat menyedihkan dari pagi, tidak banyak bicara seperti biasanya, gadis itu sangat pendiam hari ini. Bastian menghembuskan nafas panjang, mengingat itu membuatnya semakin merasa bersalah, karena pernah memberikan harapan palsu kepada gadis itu. Atensinya beralih kepada dewa yang masih tenggelam dalam tidurnya, entahlah Dia tidak tahu persis apa yang terjadi dengan teman barunya itu, yang jelas dewa terlihat sedang tidak sehat. Bastian kembali menghembuskan nafas panjang. Memutuskan untuk membuka bukunya, baru kali ini kelas yang biasanya paling berisik sesunyi ini, ini jam kosong, seharusnya kelas ini ramai dan mengundang guru di kelas sebelah, namun kelihatannya hampir semua penghuninya terlelap di tempat duduk masing – masing, atau tenggelam di dunianya masing – masing dengan gadget di tangan atau bagi yang rajin sepertinya sudah tenggelam ke dalam soal – soal rumit. Mungkin lelah mengerjakan tugas pak herman, pikir bastian pendek. Kalau saja bastian tahu, kalau Mereka sedang lelah dengan kehidupannya, sama sepertinya yang terkadang ingin mengakhiri hidupnya.
            Lusita menatap hamdi yang masih betah menenggelamkan wajahnya di atara lipatan tangannya, pria yang sudah hampir Lima tahun menjadi kekasihnya itu terlihat payah. Lyara benar, hamdi memang keras kepala sudah tahu sakit namun masih kekeuh berangkat sekolah, lyara benar kalau hamdi harus di pukul kepalanya agar sadar. Pandangannya beralih ke arah lapangan basket, kemudian tersenyum tipis saat melihat dias mendrible bola basket. Entahlah sebuah kebetulan atau apa, kelas XII IPA I terletak di dekat lapangan basket, mungkin agar yang latihan basket bisa mendengar materi yang disampaikan guru, maklum saja sebagian besar siswa di kelas XII IPA I adalah tim basket atau tim olahraga lainnya. Namun kali ini , kapten basket Mereka sedang tergeletak lemas di kursinya dengan baju hangat masih setia menempel di tubuhnya, wajah kapten Mereka terlihat sangat pucat. Lusita tersenyum, menatap dias yang terlihat lihai memainkan si bundar oranye itu. Dalam hatinya ada rasa yang aneh saat melihat dias, apalagi saat melihat senyum dias. Lusita mengingat lagi kejadian di lapangan basket kompleks kemarin sore, kemudian tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pria yang dikenalkan kepadanya oleh hamdi itu satu kompleks dengannya, benar – benar sebuah kebetulan yang tidak disengaja. Lusita juga mengingat lagi lelucon saat berangkat sekolah bersama dias tadi pagi. Dias asyik juga diajak ngobrol, namun senyumnya luntur saat melihat hamdi mengubah posisinya, mengingat hamdi membuatnya tidak bisa berfantasi lebih jauh. Namun tidak dipungkiri oleh hatinya, bahwa hamdi sudah terlalu banyak mengabaikannya. Andai saja lusita tahu bahwa hamdi akan selalu dan terus menyayanginya dan mencintainya, andai saja manusia bisa mengerti isi hati orang lain.
            Dias memantulkan bolanya teratur, kemudian melemparkannya kepada teman satu timnya yang langsung memasukkan bola ke ring. Suara peluit membuat dias menghela nafas lega, kemudian duduk di pinggir lapangan, masih mengatur nafasnya yang terengah. Matanya menatap kosong ke langit, kemudian atensinya beralih ke arah kelasnya dan kembali menghela nafas panjang. Dias merasa aneh hari ini, ada yang kurang dengan basket, olahraga yang begitu dicintainya itu, dan itu adalah absennya hamdi hari ini di latihan. Memanglah sahabatnya itu berangkat sekolah, meskipun harus di tuntun paksa oleh lyara dan dipaksa memakai pakaian hangat oleh gadis nakal itu, gadis yang sempat dicintainya, dan tentunya gadis itu juga memaksa hamdi untuk tidak mengikuti latihan. Dias menghela nafas panjang, merasa iri dengan hamdi yang mendapat perhatian seperti itu dari lyara, dan mungkin dias ada di posisi yang sama dengan lyara, karena Dia menjaga lana, adiknya yang ringkih dan rapuh. Dias mengusap wajahnya kasar, saat satu wajah lagi membayanginya, kemudian menghela nafas panjang, dan memilih berbincang dengan teman di sebelahnya, tidak ingin terlibat jauh dengan bayangannya, tidak. Karena Dia sadar terkadang bayangan itu tidak sesuai dengan kenyataan.
            Hamdi mendongak, menatap langit senja yang terlihat tenang hari ini kemudian tersenyum tipis dalam hati merapal syukur berulang kali. Dalam hidupnya, Dia tidak pernah merasa sepi, selalu ada lyara yang menemani, dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa ditinggalkan karena lyara selalu ada untuknya, dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa kekurangan karena uang selalu ada  setiap bulannya, tidak bahkan uang yang dikirimkan kedua orangtuanya sudah lebih dari cukup. Dalam hidupnya Dia tidak pernah merasa dikhianati, karena orang – orang disekitarnya selalu bisa dipercaya.
“Kakak... !!!!” teriakan lyara diikuti dekapan membuat hamdi tersenyum, mengecup gemas pipi lyara. Lyara, sepupunya yang sudah seperti adik kandungnya, selalu memberikan kebahagiaan tersendiri untuknya, yang membuatnya tidak perlu merasa sedih dan berduka. Hamdi menghela nafas pendek, melepas dekapannya, menatap lyara yang tersenyum senang dan sumringah. “Ada apa Ly??”
“Kakak.. Kakak pasti seneng denger ini,” hamdi mengerenyit, menatap lyara heran. “Om Panca dan Tante Shilla bakal liburan ke Indonesia Kak !!,” raut wajah hamdi berubah menjadi sumringah. “Benarkah??” lyara mengangguk membenarkan. “Iya, lusa bakal sampai sini, jadi..”
“Jadi,??”
“Kakak harus sembuh,” hamdi tersenyum mengangguk,kembali mengucap syukur berulang kali, dalam hidupnya yang nyaris tanpa masalah berarti Dia selalu ingin membaginya kepada orang lain. “Kalau gitu, gimana kalau malam ini Kita jalan – jalan ???”
“Jalan – jalan??”
“Iya,”
“Kakak kan belum sembuh,” hamdi tersenyum, menyentil hidung lyara gemas. “Kakak sehat, bahkan Kakak gak sabar menanti lusa,” lyara tertawa lebar, kemudian mengangguk. “Ke Simpang Lima yaa..” hamdi tersenyum. “Siap !! bobok siang gih!” lyara menggeleng. “Aku gak sabar nunggu malam, lagian ini udah sore, wleee...” kemudian lyara terkekeh meninggalkan hamdi sendiri, hamdi yang tersenyum manis, sangat manis. Hamdi ingat hanya hitungan jari Mereka bermain di Simpang Lima, padahal hampir seumur hidup Mereka, Mereka tinggal di Semarang, kondisi kesehatan lyara membuat waktu Mereka terbatas, karena terkadang Mereka harus bolak – balik Jakarta – Semarang juga ke Bandung. Hamdi menghela nafas panjang, menatap senja yang terlihat tenang.
            Lana terduduk lesu di pinggir ranjang, hari sudah sore saat Dia membuka mata, sepulang sekolah tadi penyakitnya kambuh, Dia pun tidak tahu kenapa yang jelas ada yang mengganjal dalam hatinya. Lana bangkit menatap korden yang masih tertutup, kemudian menyibaknya cahaya matahari senja langsung menyeruak masuk dengan kecepatan cahaya, sangat cepat tanpa lana sadari, pemandangan taman hias sang ibu yang baru saja disiram membiaskan cahaya matahari senja membuatnya merasa tentram. Lana kembali menghela nafas, melangkahkan kakinya menuju meja belajarnya membuka sebuah buku yang tergeletak di meja. You And I itu yang tertulis disampulnya, perlahan lana menyibak lembar demi lembar yang berisi kata – kata terkadang juga berisi foto atau terkadang berisi karikatur. Tangannya berhenti membuka saat sampai di sebuah halaman, terdapat foto usang terselip disana, dengan tangan bergetar lana mengambilnya. Tak terasa matanya berkaca – kaca,namun enggan menetes. Foto yang terlihat usang itu di ambil saat Dia harus menginap di rumah sakit saat kecil, Dia baru saja mengerjai dokter dan perawat di rumah sakit itu bersama seorang gadis kecil yang manis. “Lyara, apa Kamu masih ingat sama Aku??” pertanyaan yang sejak pertama kali Dia melihat lyara hanya mampu di lafalkan dalam hati. Lana kembali menghela nafas panjang, rasanya terlalu menyakitkan, baginya hari dimana foto itu di ambil adalah hari paling membahagiakan yang sangat membuatnya sedih, karena setelah itu Dia tidak lagi melihat gadis kecil yang merangkulnya erat sembari menampakkan gigi kelincinya. Memang bukan pertemuan pertama, namun itulah yang membuatnya sedih, ditambah dengan lyara yang tidak mengingatnya sama sekali. Dan lana yang sadar bahwa bukan hanya Dirinya seorang yang berharap memiliki lyara, sungguh lana tidak ingin lyara jatuh ke tangan siapapun, namun apalah daya saat lyara hanya menganggapnya sebagai sahabat dan teman semeja. Lana menghela nafas panjang kembali meletakkan foto itu dengan hati – hati kemudian menutup buku yang terlihat sangat tebal itu. Lana memandang ponselnya yang sedari tadi diam di atas meja belajarnya kembali termenung. Aira, nama itu tiba – tiba masuk dalam pikirannya, tidak ingin terlarut lana bangkit menyambar handuknya kemudian masuk kamar mandi, ingin menghilangkan lelahnya sejenak.


To Be Continue
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar