Sabtu, 17 September 2016

Lost - Part 4

Lyara mengetuk – ngetukkan pensil ke dahinya bosan, di depan kelas guru sejarah sedang menerangkan sejarah persiapan kemerdekaan Indonesia, lyara menghela nafas sebal seingatnya guru menyebalkan di depannya pernah menyampaikan hal itu dan ini kembali di ulang membuatnya menghela nafas sebal. “Oke anak – anak, Saya akan memberikan tugas kelompok, karena jumlah siswa disini genap, maka Saya akan membaginya menjadi Enam belas kelompok, itu artinya Satu kelompok terdiri dari Dua orang,” pak herman tersenyum sendiri di depan kelas, Dia berniat mengerjai murid nakalnya. “Dan Saya yang menentukan kelompoknya,” pak herman bisa mendengar desahan kesal dari murid – murid di kelasnya. “Maulana Irsyad dengan Aira Tri Hapsari..” lana dan aira berpandangan, sedangkan lyara tersenyum manis. “Dea Agustina dengan Bastian Ade Mahendra,” satu persatu murid XI IPA 1 disebutkan namanya, lyara yang tidak dikunjung disebut menjadi cemas, begitupun dengan dewa “Dan kelompok yang terakhir, Lyara Dharni Dharmanirma dengan Dewa Sindhunata,” pak herman tersenyum puas, Dia mengangkat kepalanya ingin melihat ekspresi murid nakalnya namun Dia heran, karena lyara sang murid nakalnya tidak terlihat gugup atau malu sedikitpun padahal jika mengingat kejadian saat lyara menyebut dewa sebagai aktor idolanya lyara seharusnya malu jika bertemu dengan dewa, ini sangat aneh. “Tugasnya apa Pak???” lyara yang tersenyum sendiri melihat wajah bingung guru sejarahnya angkat bicara ingin menggoda guru sejarahnya itu, untuk kali ini lyara merasa bersyukur dengan kekurangannya yang satu itu. “Emm tugasnya Kalian mencari referensi Sejarah dari buku lain atau internet, atau kalau perlu dari mantan pahlawan sekalian, tentang sejarah indonesia..”
“Mantan pahlawan?? Jadi Kita harus ke Kali Bata gitu?? Atau ke depan Rumah Sakit Kariadi??”
“Memangnya mau ngapain??”
“Bertanya dengan mantan pahlawan lah..”
“Memangnya disana ada??”
“Banyak, arwahnya,” jawaban lyara membuat pak herman menggeram, Dia berusaha sabar. Sedangkan lana yang sudah terbiasa melihat lyara dan guru sejarahnya adu mulut hanya mampu menggeleng – gelengkan kepalanya, kemudian menghela nafas lega saat bel berbunyi itu artinya lyara dan pak herman tidak bisa melanjutkan acara adu mulut Mereka.
            Dewa tersungkur setelah punggungnya menabrak ujung lemari, nafasnya terengah – engah. Ditatapnya sosok pria berbadan tegap di hadapannya, yang baru saja melayangkan pukulan telak di wajahnya. “Pa.. Aku Cuma mau kerja kelompok, Aku akan pulang lebih cepat, Aku janji..” pria paruh baya itu malah menatap dewa tajam. “Aku gak akan ngecewain Papa lagi,” pria paruh baya itu menghela nafas lelah kemudian mengangguk pelan. “Baik, jangan pulang terlambat, jaga Mamamu, Papa harus ke korea lagi.. ada banyak urusan yang harus diselesaikan disana..” dewa mengangguk pelan, menatap kepergian sang Ayah lemah, ingin rasanya dewa bercerita kepada kedua orangtuanya tentang lyara yang memanggilnya dengan nama aktor korea karena wajahnya yang blasteran, namun dewa hanya mampu membayangkan itu dalam mimpi, karena kedua orangtuanya dan saudara – saudaranya tidak seindah paras yang telah digoreskan Tuhan kepadanya.
            Lyara tersenyum riang saat membuka pintu, baru kali ini tamu di rumahnya berbeda, biasanya hanya aira, dea dan lana yang mengunjungi rumahnya. Namun baru kali ini juga lyara tidak seriang itu menyambut tamunya, saat melihat wajah tamunya. “Dewa??”
“Iya, ini Aku lyara..” lyara menggeleng “Ada apa dengan wajahmu??” dewa meraba wajahnya agak panik, kemudian tersenyum “Tadi jatuh,” lyara hanya mengangguk, meskipun tahu luka di sudut bibir teman barunya itu bukan luka karena jatuh, bagaimana bisa ??. “Oh.. gitu, ayo masuk !!” dewa tersenyum lega, kemudian mengikuti langkah riang gadis mungil di depannya. Dewa menatap kesekeliling, banyak foto keluarga di ruang tamu lyara terlihat sangat lucu saat kecil, dewa tersenyum.
“Semua orang berfikir, kalau Kami keluarga bahagia,” suara lyara membuat dewa mengalihkan perhatian, lyara sudah duduk lesehan di depannya membuka laptopnya. “Kalian terlihat seperti keluarga bahagia,”
“Sebenarnya tidak sesederhana itu, begitupun dengan luka di sudut bibirmu bukan??”
“Ini hanya jatuh lyara,,”
“Begitupun dengan keluargaku, hanya lengkap,, tapi bukan itu alasannya dewa,” dewa menatap lyara yang terlihat berbeda dari yang dilihatnya disekolah. “Aku terlahir di tengah keluarga yang sedang genting lyara... Papaku keturunan korea, Mamaku asli Indonesia tapi memiliki darah keturunan korea dari Kakeknya.. sejak kedua orang tuaku menikah Mereka memutuskan untuk tinggal di korea, semua orang memanggil Mereka dengan Tuan dan Nyonya Park, keluarga bahagia bukan?? Dan kebahagiaan itu bertambah saat satu persatu Kakak – Kakakku lahir,” dewa menjeda ucapannya, Dia heran kenapa Dia bisa seterus terang ini kepada lyara, di tatapnya lyara yang tengah fokus dengan laptopnya. “Kamu lahir di korea??” pertanyaan lyara membuat dewa terkesiap, lyara mendengarkannya. “Kemudian situasi genting itu terjadi saat Mama mengandungku, waktu itu kondisi Mama sangat lemah, Papa sedang ada masalah di perusahaan, dan tiba – tiba Kakak Mama  membawa Mama ke Indonesia, jelas saja Papa marah.., Papa menemukanku dan Mama setelah Aku lahir saat itu Mama ada di pinggir jalan, baru saja melahirkanku Mama sangat lemah Kami dibawa ke rumah sakit, dokter bilang Mama tidak bisa hamil lagi,” dewa mendongak mencoba menahan air matanya. “Dan Mama tidak pernah menyapaku, Papa juga tidak pernah membawa Kami ke korea lagi, Aku bahkan hanya tahu korea dari TV,” lyara mengangkat wajahnya, menatap mata dewa yang berkaca – kaca. “Papa pernah bilang, kalau diantara saudara – saudaraku yang lain, Aku yang paling sempurna, wajah korea benar – benar tercetak rapi di wajahku, tapi Aku tidak pernah melihat saudara – saudaraku,” dewa menghela nafas panjang “Kamu berandalan??” pertanyaan lyara membuat dewa terdiam sesaat kemudian mengangguk lemah. “Ya, akhirnya Papa memutuskan untuk memindahkanku kesini,” lyara mangut – mangut. “Tapi satu hal yang mengganjal dewa,” dewa menunduk saat mendengar kata yang dilontarkan lyara “Tidak ada nama Korea di nama lengkapmu,” dan dewa baru menyadari kejanggalan itu.
            Lana menatap aira yang tengah sibuk di depan laptop, mengerjakan bagiannya, gadis yang saat ini memilih mengikat asal rambutnya itu tampak manis. Lana tersenyum, aira terlihat lebih anggun dan dewasa daripada lyara. Lana terkesiap saat ponselnya tiba – tiba berbunyi, tertulis Ibu di layar ponselnya, lana menghela nafas berat. “Angkat saja, siapa tahu penting,” suara aira membuat lana mendesah kemudian mengangkat telfon dari sang Ibu.
“Ya bu.., iya, sebentar lagi, Aku tidak akan lupa.. Yaa.. Aku menyayangimu Ibu” aira mengangkat wajahnya, menatap lana yang menyimpan ponselnya. “Ada apa? Kau disuruh pulang lebih cepat??” lana tersenyum manis, menggeleng pelan. “Tidak, hanya bertanya kapan Aku pulang,” aira mangut – mangut. “Aira.. Aku ingin bertanya,” aira menghentikan aktivitasnya menatap lana penuh tanya. “Sejak kapan Kau mengenal lyara??” aira menghela nafas panjang menatap lana intens. “Sejak lyara pertama kali masuk di SMP,”
“Apa Dia mengingatmu keesokan harinya??” aira menggeleng. “Dan sebenarnya Aku tidak suka itu,”
“Lalu apa yang membuatmu marah tempo hari??” aira bungkam, “Tidak ada, sudah kerjakan lagi, guru sejarah itu akan marah jika Kita lalai,” lana tahu kalau aira berusaha mengalihkan pembicaraan. Lana memegang tangan aira yang tengah menari di atas keyboard membuat aira menghentikan aktivitasnya. “Jawab Aku Aira....” aira terdiam, menatap lana yang menatapnya dalam, membuatnya tiba – tiba merasa hangat, ada getar – getar aneh yang dirasakannya.
            Dias menatap langit – langit kamarnya sembari tersenyum manis, Dia masih teringat senyuman gadis anak baru itu. Membuatnya tiba – tiba merasa melayang, namun satu hal yang membuat senyumnya luntur. “Kenalin Yas!! Pacarku, Lusita,” kenyataan kalau anak baru tadi, Lusita adalah kekasih sahabatnya hamdi. Dias membuang nafasnya kesal, kemudian bangkit dari posisinya menyambar jaket dan bola basket, Dia ingin bermain basket. Suara pantulan bola basket terdengar menggema, dias mendriblenya dengan kacau, sejalan dengan pikirannya yang kacau. “Hey !! bukan seperti itu cara main basket!!” seruan seseorang membuat dias menghentikan aktivitasnya, menatap seorang gadis dengan setelan baju santainya melangkah perlahan kearahnya. “Aku tidak mengira kalau Kita satu kompleks,” dias tersenyum, Dia tidak tahu harus menjawab apa. “Kau pendiam ternyata,, kejar Aku!!” dias terkesiap saat bola basket ditangannya direbut paksa, dias mengejar gadis itu yang mendrible bola sangat baik, bahkan menghindarinya dengan sangat baik pula. “Hey !! Kau terlihat kacau,” gadis itu bersuara saat Mereka saling berhadapan, tersenyum meremehkan. “Seharusnya kemampuanmu lebih dariku,” dias berhenti, nafasnya terengah diatatapnya gadis yang tengah tersenyum menatapnya, lesung pipinya yang manis membuat gadis itu lebih cantik. “Lusita Anggraini,” gadis itu kembali berkata. “Dias Mahardika,” dias menghela nafas panjang, melangkah menuju bangku penonton yang kosong. Lusita, gadis itu mengikuti.  “Ada apa denganmu?? Kau seperti seseorang yang punya banyak masalah,” dias tersenyum, menggeleng. “Tidak, Aku hanya lelah,”
“Kau memang sehati dengan hamdi,” dias menoleh, menatap lusita yang tengah memandangnya. “Sehati??” lusita mengangguk “Aku mengajaknya jalan – jalan tadi, tapi Dia bilang, Dia kelelahan Dia sedang istirahat,” dias mengangguk paham. “Ohh Iya !! siapa yang mengajarimu bermain basket??”
“Hamdi, revan dan lyara”
“Revan??” dias bertanya, nama revan terasa tidak asing ditelinganya. “Iya, mendiang revan tepatnya, Kakak kandung lyara,” dias mengangguk paham, Dia ingat hamdi pernah bercerita tentang revan padanya. “Tunggu..” ucapan dias yang tiba – tiba membuat lusita menoleh, mengerenyitkan alisnya bingung. “Lyara bisa main basket??” lusita mengangguk “Bahkan Dia lebih lincah daripada Aku, memangnya Kau tidak pernah melihatnya??” dias menggeleng “Apa Dia belum sembuh total?? Ku pikir Dia sudah sembuh,” pernyataan lusita membuatnya bingung. “Sembuh??” lusita mengangguk “Ya, sejak usia Tiga bulan dokter memvonis lyara kelainan jantung, tapi gadis kecil seperti lyara adalah gadis yang periang, yang tidak mau dikekang, Dia suka main basket, hingga pada suatu hari...” lusiata menjeda ucapannya “Lyara kambuh parah, kemudian kecelakaan dan revan sekaligus lyara sama – sama kritis??” lusita mengangguk. “Lalu revan mendonorkan miliknya kepada lyara,??”
“Ya, bagaimana Kau tahu??”
“Hamdi yang menceritakannya,” lusita mengangguk “Kau tahu, kadang Aku suka iri dengan lyara,”
“Iri??”
“Ya, Dia selalu dapat perhatian dari orang,” dias diam, kemudian menerawang dan dalam hati membenarkan ucapan lusita. Keadaan hening, hingga suara ponsel berdering membuat lusita terkejut. “Hallo.. ada apa Lyara?? Apa?? Baik Aku akan segera kesana,, tunggu jangan panik lyara, panggil Om farkhan saja.. Aku segera kesana,” wajah lusita yang sedari tadi tenang berubah panik, dias yang melihatnya bingung. “Ada apa??” lusita hanya menggeleng, tidak ingin menjelaskan “Antarkan Aku kepada hamdi !!”
            Hamdi menarik nafas panjang, dadanya terasa sesak sedari tadi, entah kenapa Diapun tidak tahu yang jelas beberapa bulan belakangan tubuhnya terasa tidak enak, ada yang mengganggu, hamdi memejamkan matanya kemudian kembali terbuka saat menyadari kepalanya begitu pening di ikuti darah yang mengalir dari hidungnya. Hamdi mendesah bangkit dari posisinya berniat membasuh darahnya di kamar mandi, namun saat kakinya menapak lantai, keseimbangannya goyah dunia seperti berputar – putar kemudian gelap, hamdi pingsan di ikuti jatuhnya bingkai fotonya dengan lusita dan lyara. Lyara yang baru saja menyelesaikan kerja kelompoknya berniat untuk menemui hamdi.  “Kak..” lyara mendesah kesal, kemudian membuka pintu kamar hamdi. “Kak hamdi..” bola mata bulat itu menelusuri kamar, kakinya melangkah pelan, waspada siapa tahu hamdi berniat mengerjainya. Namun langkahnya terhenti sesaat. “KAK HAMDI !!!” lyara panik saat mendapati hamdi terbaring di lantai. “Kak hamdi..” lyara menghampiri hamdi, memangku kepala hamdi. “Kakak..” air matanya menetes. “Bibi !!!!” lyara berteriak kencang berulang kali, sembari terus berusaha menyadarkan hamdi yang betah terpejam. “Ada apa lyara??” suara seseorang bersama dengan rombongan pekerja di rumah keluarga Dharma membuat lyara mendongak. “Tolong kakak..” orang yang ternyata dewa itu menerobos masuk di ikuti pegawai di rumah besar itu, membantu lyara memindahkan hamdi ke ranjang. “Bibi.. tolong hubungi Om farkhan,, dewa bisa ambilkan ponsel kak hamdi??” lyara berkata begitu tenang, sembari membersihkan noda darah di hidung hamdi, meskipun air mata sudah menganak sungai di pipinya. “Ini,” dewa menyerahkan ponsel hamdi kepada lyara, kemudian lyara menghubungi lusita. “Hallo.. Kak lusita ini Aku lyara..”
            Jam menunjukkan pukul Lima sore, tapi hamdi belum membuka matanya lyara duduk termenung di samping hamdi. Dewa duduk di sofa bersama dias dan om farkhan, lusita duduk di samping hamdi, hening suasana begitu hening. Hingga lyara menyadari ada pergerakan kecil dari sepupunya itu. “Kak hamdi..” suara lyara membuat om farkhan bergegas berdiri, begitupun dengan dias dan dewa. Hamdi membuka matanya pelan, kepalanya masih terasa pening. “Hamdi..” suara yang sangat dikenalnya membuatnya menoleh, mendapati lusita tersenyum manis. “Syukurlah akhirnya Kamu sadar juga, Ham.. kalau Kamu pingsan lebih lama, mungkin Om akan membawamu ke rumah sakit,” suara om farkhan membuat hamdi tersenyum tipis. “Jangan buat Aku khawatir Kakak..” suara lyara yang terdengar serak membuat hamdi menoleh kepada lyara, di rengkuhnya lyara erat. “Maaf,, jangan bersedih lagi, sekarang Kamu tahu kan apa yang di rasakan Kami saat Kamu drop??” lyara menatap hamdi yang terlihat pucat. “Kakak.. masih sempat – sempatnya menasehatiku,” hamdi terkekeh mengacak rambut lyara gemas. “Jangan sakit lagi, Aku janji gak akan buat kakak lelah lagi,” hamdi hanya tersenyum mengecup puncak kepala lyara penuh kasih. Dan pemandangan itu menimbulkan kecewa di hati seseorang. “Ham.. kekasihmu juga ingin ditenangkan,” hamdi tersenyum tipis, “Kau tahu, gadisku selalu bisa menenangkan dirinya sendiri, Lusita gadis yang mandiri.. iya kan Lus??” lusita mengangguk tersenyum manis, meskipun ribuan kecewa menggulung di hatinya.
            Lusita termenung di jendela kamarnya, menatap malam yang bertabur bintang, dirabanya dadanya, masih tersisa bekas kecewa itu. Hamdi selalu menganggap bahwa dirinya baik – baik saja, hamdi selalu menganggap kalau Dia akan baik – baik saja, hamdi selalu menganggapnya gadis kuat, hamdi selalu menganggapnya gadis yang mandiri, padahal tidak Dia tidak baik – baik saja, Dia bukan gadis yang kuat, dan Dia bukan juga gadis yang mandiri. Hamdi salah justru Dia berharap hamdi memanjakannya, melindunginya, menjaganya seperti hamdi memanjakan, melindungi dan menjaga lyara. Lusita menghela nafas panjang, mengingat itu membuatnya sesak, apalagi saat hamdi lebih memilih mendekap dan menenangkan lyara daripada dirinya, lusita menyeka air matanya. Dia tidak bisa jika mendadak marah kepada hamdi dengan alasan cemburu dengan lyara, hamdi pasti akan tertawa karena lyara adalah sepupu hamdi dan tidak ada alasan hamdi untuk mencintai lyara melebihi cintanya kepadanya. Suara ponsel bergetar membuat lusita terkesiap, sebuah nomor baru tak dikenal menelfonnya, dengan ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ini siapa??”
“Aku dias,” lusita menepuk dahinya, terkekeh pelan Dia lupa kalau tadi sempat memberikan nomornya kepada dias. “Owh, maaf Aku lupa jika tadi Aku sempat memberikan nomorku kepadamu,” terdengar suara kekehan di seberang, membuat hatinya tiba – tiba terhibur, menghangat. “Tidak masalah, suaramu seperti orang yang banyak masalah,”
“Hey.. itu kata –kata milikku,”
“Haha... tidak ada yang benar – benar milik Kita di dunia ini,, apa Kau baik – baik saja??”
“Kenapa Kau bertanya seperti itu?? Aku baik,” lusita tersenyum pahit, ingin sekali Dia mengutarakan isi hatinya. “Apa Kau tidak cemburu??” lusita semakin sesak mengingat itu. “Cemburu?? Untuk apa??”
“Lyara,” jawaban dias membuat lusita diam seribu kata. “Tidak.. Aku tidak cemburu,”
“Bagaimana kalau Kita membalasnya??”
“Membalas??”
“Ya !! besok Kita berangkat bersama dan Kau mencoba meminta izin kepada hamdi,” lusita tersenyum, “Baik, Aku setuju”
            Dewa menatap langit yang bertabur bintang hampa, kepalanya Dia senderkan di pintu depan rumahnya, matanya menyiratkan kesedihan luar biasa. Tidur di luar !! Kau mengingkari janjimu !! `Papa` tulisan di depan pintu itu membuatnya sedih, yang Dia tahu Ayahnya berangkat ke Korea, itu yang dikatakan Ayahnya tadi tapi kenyataan kalau yang menulis memo di depan pintu adalah Ayahnya tidak bisa di pungkiri, Dia sangat mengenal karakter tulisan Ayahnya. Dewa menyeka air matanya pelan, kemudian meremas perutnya, Dia belum makan dan Dia sangat tahu Maagh yang di deritanya sejak SD itu kambuh. Dewa menggeser tubuhnya, Dia tidak mau jika ketiduran nanti, akan terjungkal saat Ibunya membuka pintu. Dewa memejamkan matanya, angin sejuk , rasa sakit dan kantuk membuatnya jatuh tertidur, terlihat lelap meskipun dalam posisi yang tidak nyaman.tak berselang lama pintu terbuka, memperlihatkan sosok paruh baya yang terlihat lelah, kemudian menghela nafas panjang menghampiri dewa yang tertidur pulas, wajah polos itu membuat laki – laki dengan marga Park itu terenyuh. “Mianhae... maafkan Appamu ini, Aku hanya ingin melindungimu.. Kau tahu eommamu mengamuk tadi, dan Appa tidak mau kalau eommamu melukaimu,” di elusnya pelan rambut putra bungsunya kemudian membawanya ke dekapannya. “Maafkan Appa... Maaghmu pasti kambuh, tapi Kau tidak akan aman jika tidur di rumah untuk malam ini, maafkan Appa.. mianhae..” air mata laki – laki paruh baya itu menetes. “Bukan.. maafkan Papa... dewa, suatu saat Papa akan membawamu ke Korea, berkenalan dengan Kakak – kakakmu, dan keluarga besar Kita, tapi Kau harus membantu Papa untuk menyembuhkan Mama, Mama sakit sayang.. jiwanya terguncang karena nyaris di perkosa oleh Kakaknya sendiri, tapi satu hal yang Papa tahu, Kalau Kamu anak Papa, darah daging Papa.. Papa menyayangimu anakku,” di kecup penuh sayang puncak kepala dewa, memeluknya hingga Dia sendiri jatuh tertidur.
            Bintang yang bertaburan di langit menjadi pemandangan tersendiri untuk aira, wajahnya terlihat bahagia dan memerah. Di rabanya dadanya, ada getar – getar aneh yang membuat perasaannya terasa hangat, di rabanya pergelangan tangan kanannya kemudian tersipu malu. Lana membuatnya terkejut dan bahagia, Dia bertanya – tanya kenapa Dia merasa senyaman ini dengan lana, entahlah getar – getar itu benar – benar membuatnya melayang, suara dering ponsel membuatnya terkesiap ada nomor baru masuk, dengan ragu Dia mengangkatnya. “Hallo.. ada apa dengan siapa?? Disini dengan aira Tri Hapsari, ada yang bisa Ku bantu??” terdengar suara gelak tawa disana, membuat aira mengerenyit. “Aku Lana, apa seperti itu caramu menjawab telfon?? Ku pikir Kamu bisa menebak,” mendengar jawaban lana membuat aira tersipu malu. “Kau baru saja memberikan nomormu tadi,”
“Maafkan Aku, mungkin Aku terlalu asyik menatap bintang,”
“Ya, Bintang malam ini sangat cantik, jadi bagaimana dengan tugasnya?? Apa ada yang kurang??” aira berpikir sebentar. “Kurasa tidak, tinggal presentasi saja kan?? Itu bisa di handle..”
“Ya, Aku percaya padamu kalau Kamu bisa di andalkan... Ya Bu !! Aku akan segera kesitu, Iya... !!” suara lana membuat aira mengerenyit. “Siapa??” tanya aira penasaran. “Ibu, Dia mengajakku makan malam, sudah waktunya makan malam, kalau gitu sudah dulu yaaa.. sampai ketemu besok,”
“Ya, selamat malam..” aira menurunkan ponselnya dari telinganya, jam digital ponselnya menunjukkan pukul setengah delapan, jam makan malam sudah lewat. “Pasti ada sesuatu,” gumam aira pelan, kembali menatap bintang. Prangggg !!! suara benda pecah membuat atensinya beralih, kemudian aira menghela nafas panjang saat suara benda pecah itu di susul teriakan – teriakan yang menjemukan, aira menekuk lututnya memutuskan untuk menghiraukan suara – suara itu, menatap bintang yang entah kenapa menghilang satu – persatu. Terkadang aira membenci hidupnya sendiri.
            Lana memandang bintang yang bertabur indah itu sejenak, sebelum beranjak dan memenuhi panggilan ibunya, di tatapnya ponselnya sembari tersenyum, aira sangat berbeda dengan lyara, aira sangat dewasa pembawaannya, tidak seperti lyara yang kekanakkan, namun tetap saja Dia merasa cemas, karena lyara tidak merespon panggilannya dan pesan – pesannya. “Lana !!!” suara panggilan Kakak perempuannya membuatnya bergegas, namun suara dering ponselnya menghentikan langkahnya, nama lyara tertera di sana, Dia memutuskan untuk mengangkatnya. “Hallo ! dari mana saja?? Keasyikan berduaan sama dewa yaaa??” lana memberondong lyara, Dia sungguh khawatir dengan gadis itu. Lana memutuskan melangkah menuju ruang tengah, dimana semua keluarganya sudah menunggu. “Maafkan Aku, tadi kak hamdi sakit.. jadinya Aku tidak sempat menelfonmu atau membalas pesanmu, Aku janji tidak akan mengulangi lagi..” lana tersenyum saat mendapati keluarganya tengah bercengkrama. “Lana !! dasar ! cewek mulu diurusin !!” celetukan lita membuat lana memeletkan lidahnya. “Siapa?? Lan?? Kak lita yaa??” lana mengangguk “Ya, memang kak hamdi sakit apa??”
“Aku tidak tahu, Om farkhan bilang hanya kelelahan, besok juga pulih.. ada apa di rumahmu, kedengarannya seru,” lana tersenyum “Kumpul keluarga,”
“Wah Asyik sekali !!! pasti rame banget deh !!” lana tertawa sumbang, membuat lyara mengerenyit. “Lana tawamu jelek !!” mendengar ledekan lyara membuat lana bungkam. “Memangnya begitu??” terdengar suara kekehan kecil di seberang membuat lana tersenyum. “Lyara !! kesini sayang..!!” suara lain terdengar di telinga lana. “Maafkan Aku, Ibu dan Ayah sudah menungguku, selamat malam, sampai ketemu besok,” panggilan berakhir, lana memutuskan meletakkan ponselnya di meja dekat kamarnya, kemudian menghampiri keluarganya. “Wah.. sudah lengkap nih !! jadi di mulai dari siapa dulu??” semua anggota keluarga itu berpandangan kemudian pandangan mereka tertuju kepada lana. “Lana !! Kamu duluan,”
“Kok Aku??, gak adil akh.. harusnya yang gedhe dulu.. kak fandi kek,”
“Kali ini yang kecil dulu,,, wlee” fandi memeletkan lidahnya membuat lana mendengus sebal. “Baiklah.. mulai dari mana??”
“Lyara !!” seru mereka kompak, membuat pipi lana mendadak panas. Lana menceritakan petualangannya bersama lyara Satu minggu ini, tidak seperti biasanya Dia yang jarang bercerita, kini banyak cerita yang Dia ceritakan, dalam hatinya Dia sungguh bersyukur dengan momen ini, momen yang akan selalu dirindukannya, momen yang akan selalu menghangatkan hatinya yang dingin, momen yang tidak akan terlupakan.
            Bastian termenung di jendela, menatap bintang di langit dengan hampa, masih jelas di ingatannya saat kerja kelompok tadi bersama dea. Gadis tomboy yang kesehariannya di kelas seperti tidak mengenal laki – laki dan cuek mendadak berubah feminim saat Dia datang ke rumahnya untuk kerja kelompok. “Hanya untuk menemuimu,” jawab gadis itu saat Dia bertanya untuk menggoda, seperti biasa seperti yang dilakukannya kepada teman – temannya, namun persepsi dea lain. Dan itu membuatnya menghela nafas panjang, di tatapnya lagi gemintang di langit kemudian tersenyum manis. “Bastian, ayo ! bergegas Kita harus ke rumah Pak dharma.. bukankah?? Kau ingin..” suara sang Ibu yang sengaja di gantung membuatnya bangkit dengan cepat. “Ibu jangan membahasnya..” bastian menggerutu sembari memakai jaketnya, sedang sang ibu hanya tersenyum. Setelah selesai dan mengambil kontak motornya bastian bergegas menemui Ibunya. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi, tertera nama dea disana, membuatnya menghela nafas panjang, memang Dia pernah menjalin hubungan tapi itu hanya kisah masa lalu, sudah lama sekali dan sudah berakhir Dua tahun yang lalu, bastian memutuskan untuk mengabaikannya. “Kenapa tidak di angkat sayang??” pertanyaan sang Ibu membuatnya tersenyum tipis, menggeleng pelan. “Bukan sesuatu yang penting Ibu, ayo !! bukankah Kita harus bergegas??” ajakan bastian membuat wanita berkaca mata itu tersenyum. “Baik – baik.. Kau memang selalu tidak sabar untuk bertemu dengan...”
“Sudah Ku bilang jangan membahasnya lagi Ibu,” bastian menatap Ibunya “Itu membuatku malu,” wanita tiga puluh tahunan itu terkekeh,  merangkul putra semata wayangnya ke depan, rumah sederhana itu terasa menghangatkan orang di dalamnya. “Ibu.. apa Ibu tidak kesepian??” pertanyaan putra semata wayangnya membuat langkahnya terhenti, dahinya berkerut heran. “Kesepian??” bastian mengangguk, tersenyum manis di tatapnya sang ibu lama sekali. “Ibu masih muda, masih cantik.. dan Aku sudah besar, apa Ibu tidak berfikir untuk menikah lagi??” mata wanita itu berkaca – kaca, di tatapnya putra semata wayangnya penuh kasih, putranya yang begitu baik dan pengertian, putranya yang tidak menjadi seperti apa yang tidak di inginkan, tidak seperti kebanyakan . “Bagaimana denganmu??” tanyanya pelan. “Aku sudah besar Ibu, Aku tidak apa.. ingin sekali Aku memanggil seorang laki – laki yang melindungi ibu, dengan sebutan Ayah.. sesuatu yang abstrak untukku, bukan??” wanita berkaca mata itu merengkuh putranya erat, di elus dan di cium puncak kepala bastian berkali – kali. Bastian hanya diam, menikmati kenyamanan yang menjalar di hatinya, membalas pelukan wanita yang sudah mengandungnya, mendidiknya sendiri hingga menjadi seperti ini. “Ibu, jujur saja.. Aku ingin mempunyai Ayah, sejak pertama kali melihat teman – temanku di gendong Ayahnya,” wanita berkaca mata itu mengangguk. “Ibu yang akan menjadi Ayah untukmu, anakku,” sungguh dalam hatinya ingin sekali mengabulkan keinginan putra semata wayangnya, namun rasa traumanya membuatnya ragu. Sedangkan bastian menghela nafas panjang, selalu seperti ini. “Tapi.. kenapa Ibu percaya sama Om Dharma??” air mata wanita itu menetes. “Karena Tuan Dharma yang telah menolong Ibu,” tidak terasa air mata bastian menetes. “Ibu.. jangan mencintainya,” wanita itu menggeleng kuat. “Tidak.. tidak akan sayang,” bastian mencoba percaya, walau air mata sang Ibu meragukannya.
            Dea memandang gemintang dengan hampa, kedua lututnya di tekuk, sesekali mengecek ponselnya. Dea menghembuskan nafas kasar, memegang dadanya, di mana di dalamnya ada luka yang menganga lebar dan terasa perih. Dea adalah tipe orang yang tidak mudah tertarik dengan seseorang, tapi sekali Dia tertarik Dia akan terus tertarik dan tidak bisa melepaskan diri, dea gadis itu seperti tidak mengenal laki – laki sekarang, dandanan dan perilakunya seperti seseorang yang kesepian. Dea menghela nafas panjang, di sekanya lembut air mata yang tiba – tiba membasahi pipinya. Masih teringat jelas, kenangan indah bersama bastian, teman sekaligus orang yang sangat dicintainya itu sangat romantis dan penuh kejutan membuatnya tidak bisa untuk tidak tersenyum. Namun pria dengan penampilan sederhana dan selalu menjadi rekor berangkat paling pagi di sekolah itu, tidak benar – benar menyayanginya, entahlah.. membuat keputusan seperti itu membuat dadanya mendadak nyeri. “Itu semua udah berlalu, Dua tahun yang lalu... lupakan aja lah !! cinta monyet juga, hahaha,, ya gak??” ucapan bastian masih terngiang di telinganya membuatnya kembali meneteskan air mata. Bastian salah, salah besar, mungkin bastian menganggap kalau cinta mereka itu hanya cinta monyet anak SMP, namun bagi dea rasa cintanya kepada bastian adalah cinta yang sebenarnya, cinta yang berbalut air mata, cinta yang berbalut luka dan cinta yang membuatnya lemah tak berdaya dan yang paling penting Dia tidak mempunyai alasan  kenapa rasa itu bisa tumbuh subur di hatinya.
            Lyara memandang gemintang di halaman, di sampingnya bastian menemani, sembari terus menatap pipi putih lyara. “Malam ini cerah yaa??” lyara menoleh, mengalihkan atensinya kepada bastian, laki – laki yang malam ini memakai kemeja lengan pendek berwarma abu – abu lembut di balut dengan jaket putih dan celana jins dan sepatu kets warna putih itu terlihat mengarahkan telunjuknya ke langit, mulutnya bergumam. “Memang, Kamu lagi ngapain??” bastian menghentikan aktivitasnya kemudian tersenyum kepada lyara. “Menghitung bintang,”
“Memang bintang bisa di hitung??” tanya lyara polos, gadis dengan alis tebal dan hidung mancung itu menatap gemintang yang bertebaran, mencoba menghitung dalam hati. “Bisa,” bastian berseru senang. “Gimana??”
“Sini..” bastian meraih tangan lyara kemudian mengarahkannya ke langit. “Coba, Kamu hitung,”
“Itu sangat banyak, Yan..” bastian tersenyum, “Coba pejamkan mata kamu, terus kamu bayangin kalau kamu lagi di bukit penuh bintang, lalu kamu coba hitung,” lyara memejamkan matanya mulai bergumam “Satu,,, dua.. Tiga..” lyara masih bergumam, sesekali tersenyum manis, kemudian tertawa geli dan menggeliat, sontak lyara membuka matanya, menatap pelaku yang sudah menggelitiki pinggangnya. “Iyan !! ikh... geli tahu !!” bastian hanya tertawa lebar. Lyara menatap mata bastian. “Iyan !! sering – sering main ke sini yaa!!” serunya memelas, setelah berhasil meloloskan diri dari jari nakal bastian, sedangkan bastian tersenyum. “Siap !!”
“Iyan !! ayo pulang sayang !!” bastian mengalihkan atensinya kepada sang Ibu yang melambai, “Iya !!! Ra.. Aku pulang dulu yaa.. nanti bakal sering ketemu kok,” lyara hanya mengangguk senang, melambai kepada bastian. Kemudian kembali terduduk merenung, Dia sangat tahu siapa yang baru saja menemaninya, wajahnya tidak asing dan Dia sudah terbiasa bermain bersamanya. “Iyan.. kenapa Kamu di sekolah tidak pernah menyapaku?? Apa karena kekuranganku?? Kamu mengira Aku tidak mengenalmu??” lyara menghela nafas panjang “Apa?? Hanya mirip yaa??” lyara menggendikkan bahunya, kemudian bangkit dan meninggalkan bintang yang membentuk barisan di langit yang gelap.

            Puzzle kedua kehidupan Mereka, dengan masalah Mereka, dengan karakter Mereka namun sebuah benang Merah bernama persahabatan dan cita – cita menyatukan Mereka, sebuah benang merah bernama ambisi dan cinta, rasa ingin memiliki dan arti pengorbanan. Mereka berbeda, namun Mereka tetap saling berhubungan satu sama lain.

To Be Continue
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar