Jumat, 08 Januari 2016

Love Hurt (Part 4)

                Silvana dan Andri duduk berdampingan dibangku penonton lapangan basket indoor, melihat anak basket sedang latihan.
“Permainan Arya gak lebih bagus dari Lo,”
“Haha.. gak mungkin lah.. Imposible banget,”
“Lo pernah jadi mvp kan??”
“Ya, tapi itu dulu”
“Masa lalu bukan jadi halangan untuk mengembangkan bakat, Lo bisa jadi kapten basket, lihat permainan Mereka sangat payah, kalau Kak Fajar lihat pasti Dia malu adik kelasnya bermain seperti itu,”
“Sebenarnya.. Arya bisa main basket karena diajarin seseorang, teman SD tepatnya, dulunya Dia pegang bola aja gak bisa, tapi setelah bertemu Dia diajari main basket,”
“Lo pernah satu sekolah??”
“Ya, SMP,”
“Dan Lo kan yang jadi mvp??”
“Iya, setelah itu Gue pindah ke Belanda,”
“Dan gelar mvp pindah ke Arya???”
“Iya,”
“Lo bener – bener aneh, sudahlah ayo Kita kan ada ekstra, setelah ekstra Kita main basket di lapangan Out Door,”
“Boleh, ayo!!” Andri dan Silvana meninggalkan lapangan basket menuju kelas musik. Arya menatap Mereka sekilas, bertanya – tanya kenapa Mereka duduk disana dan melihat anak basket latihan.
“Arya!! Konsen!!” teguran dari pelatih membuyarkan lamunan Arya, mencoba kembali fokus.
                Andri dan Silvana melangkah berdampingan di koridor usai extra, Silvana dengan menenteng biolanya dan Andri yang menyandangkan gitar di pundaknya dengan bola basket di tangannya.
“Hari ini Gue bawa motor, Gue anter pulang yaa??”
“Tapi...” langkah Silvana berhenti, Andri mengikuti memandang penuh tanya, kemudian tersenyum manis.
“Kenapa??”
“Boleh pinjam pulsa Lo gak??, entar Gue ganti, atau anterin Gue ke wartel,”
“Nih, emang buat apa??” Andri menyodorkan ponselnya yang langsung di terima oleh Silvana.
“Buat sms Kakak Gue, Kalau buat nelfon boleh gak??”
“Kenapa gak sms??”
“Kakak Gue lebih suka nelfon,”
“Yaudah, telfon aja,” Silvana tersenyum menggumamkan kata terima kasih, kemudian mengotak atk ponsel Andri. “Hallo, Kak Aku pulang sama Andri yaa.., Iya Kak,” panggilan terputus, Silvana kembali menyerahkan ponsel kepada Andri.
“Sekali lagi terima kasih,”
“Urwell,” Andri tersenyum, mengacak poni Silvana gemas, sedang Silvana sendiri tersenyum manis menatap Andri, Dia akui jika dirinya merasa nyaman di dekat Andri, entah sampai mana batas kenyamanan itu, Dia tidak pernah tahu.
                Arya menatap intens Dua insan yang sedang bermain bola basket di lapangan basket Out Door, saat berjalan pulang dari latihannya. Dua insan itu terlihat lincah bermain basket, bahkan pengalaman bertanding yang pernah di ikutinya, tidak ada yang bisa bermain basket sebagus Mereka, padahal Mereka bermain sesekali bercanda. “Jika sedang bercanda saja, permainan Mereka bagus, apalagi saat pertandingan sungguhan??” Pikir Arya heran. Suara pantulan bola basket tidak lagi terdengar hanya suara gelak tawa yang memenuhi lapangan basket sore itu.
“Gue menang!!” teriak Andri bangga, sembari mengejek Silvana yang sedang kelelahan. Dia baru saja menang  dari Silvana.
“Lo kan curang An, tapi Gue akui Lo hampir nyamain kemampuan Kakak Gue,”
“Lo berlebihan,” cibir Andri tidak suka.
“Imbas kan??” mendengar itu, sontak Andri tertawa, begitupun dengan Silvana.
“An, motornya Gue yang bawa yaa..”
“Ekh.. Gue pake ninja lho,”
“Gak masalah, yaa..”
“Oke, paling nanti Lo gak kuat,”
“Nantang?? Oke, siapa takut,” Silvana menatap Andri tajam, mata kecilnya melotot.
Arya memegang dadanya saat melihat kebersamaan yang terlihat hangan itu, entah bisa dinamakan apa, cemburu kah?? Atau memang ada arti yang lain yang jelas Arya tidak suka melihat Silvana tertawa karena Andri, melihat Andri mengacak – acak poni Silvana. Arya mmeutuskan untuk pergi dari pada terlibat lebih jauh dengan kekesalannya.
                “Van !!! Lo Gila !!! kurangi tu kecepatan !!!” teriak Andri saat Silvana mengendarai ninjanya dengan kecepatan gila dan menerbangkan dedaunan musim gugur, Andri memegang erat cenderung mencengkeram bahu Silvana, memejamkan matanya, sungguh saat ini Dia merasa sedang terbang. Sedang Silvana hanya tersenyum manis, kemudian menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumahnya.
“An, Lo gak mau turun??”
“Lo Gila !!! Lo mau nurunin Gue dalam keadaan ngebut?? Gila yaa Lo !!!” teriak Andri lantang, masih menutup matanya. Sedang Silvana terkekeh.
“Emang iya yaa?? Ekh tapi Lo gak ngerasa aneh kan?? Ada angin gak?? Kenceng??”
“Gak,..”
“Jadi..”
“Jadi..” pelan Andri membuka matanya, kemudian menghela nafas lega. “Kita udah sampai,” mendengar itu, membuat Andri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, malu. Andri segera melepaskan tangannya dari bahu Silvana, kemudian turun dari motor.
“Masuk dulu yuk !! pucet tuh,” Andri hanya mengangguk pasrah.
                Arya mengusap wajahnya kasar, manatap Andri yang sedang sibuk memantul – mantulkan bola basket pelan.
“Lo kenapa??”
“Gapapa,”
Beneran??? Muka Lo kusut gitu,”
“Gue bingun Dri,”
“Kenapa??”
“ Gue ke inget masa lalu Gue terus, Gue jadi gak konsen sama latihan,”
“Jadikan ambisi Lo buat pelampiasan, Lo akan tetap mempertahankan gelar Lo kan?? Lo harus bawa piala buat D’ASCALIS,”
“Aku coba,”
“Harus,”
“Kenapa Lo gak main basket lagi??” Andri menghentikan permainannya, membiarkan bola basketnya menggelinding menjauh.
“Karena Gue cacat,”
“Cacat?? Perasaan kemarin Lo baik – baik aja,”
“Lo liat Gue sama Vana main??”
“Iya, ekh..”
“Sebenarnya Gue udah dilarang main basket sama ortu, tapi jujur main sama Vana membuat semangat Gue bangkit lagi, tapi tenang.. Gue gak bakal masuk basket, cinta bukan berarti memiliki,”
“Kenapa Lo bilang kalo Lo cacat??”
“Karena Gue, udah gak sempurna, karena Gue ingin hidup lebih lama lagi, seenggaknya Gue gak bakalan ngecewain ortu,”
“Maksud Lo apa sih??”
“Lo bakal tahu, kelak..” Andri melangkah manjauh dari Arya, menghampiri seorang gadis yang sedang asyik dengan kupu – kupu di tangannya, hingga sesuatu menabraknya.
                Arya terbangun dari tidurnya dengan keringat mmebanjiri pelipisnya. “Huft, Cuma mimpi...” gumam Arya lega, pasalnya mimpinya itu sangat aneh. Arya menatap kesekeliling, Dia baru sadar jika sedari tadi Dia tertidur di atas pohon, untung saja Dia tidak jatuh. Tak jauh dari posisinya Andri dan Silvana sedang asyik bermain basket hingga suara tepuk tangan membuat permainan Mereka berhenti.
“Kalian hebat, Saya tidak tahu jika Kalian berbakat,” ucapan yang dilontarkan pelatih basket bernama Pak Anji itu membuat Andri dan Silvana linglung. “Bahkan permainan Kalian mengalahkan Arya,” Andri dan Silvana berpandangan.
“Emm.. Kita pulang dulu pak.. permisi,” tanpa menghiraukan Pak Anji Mereka mengambil tas Mereka dan pergi.
                Andri dan Silvana tertawa mengingat kejadian di lapangan basket tadi, saat ini Mereka jalan kaki untuk pulang.
“Kayaknya, Kita gak sopan ya??”
“Yaaa begitulah,”
“Ekh An, Lo gak minat gitu, masuk basket??”
“Enggak, emang kenapa??”
“Heran aja,”
“Emang aneh??”
“Gak kok,” Andri menghentikan langkahnya, membiarkan Silvana berjalan terlebih dahulu. Ada sakit yang menusuk yang tiba – tiba menyerang dadanya. Matanya tertuju kepada sebuah semak yang tinggi, kemudian dengan hati – hati Andri melompat, manghiraukan Silvana yang berbicara sendiri.
“Lo di ajak ngomong.. kok gak nya.. An !!! ngeselin tu bocah !!” Silvana merutuki kepergian Andri.
“An.. gak lucu tahu gak,, Auwww.. ish kenapa harus sekarang sih??” Silvana memegang perutnya yang terasa nyeri, Ia merogoh tasnya mencari ponselnya, ponsel barbahasa jepang miliknya. Sedang Andri masih berusaha mengatur nafasnya. “Uhuk.. uhuk..” Silvana menangkap sebuah suara, suara batuk yang terdengar menyakitkan, dengan terus menahan sakit Silvana menghampiri sumber suara dan menadapati Andri tengah mengacak – acak tasnya,
“An.. Lo gapapa kan??”
“Lo juga gapapa kan??”
“Jawabannya tidak, sini Gue bantu..”
“Lo sakit apa??”
“Lo gak perlu tahu, Lo sendiri??”
“Lo juga gak perlu tahu,” Silvana dan Andri masih bersender di tembok dekat pagar hidup itu, perlahan mata Mereka tertutup.

#To Be Continued
#Khichand_Lee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar