Senin, 09 Januari 2017

Lost - Part 11

Hari berlalu, lana tidak masuk sekolah selama tiga hari setelah tragedi pingsannya di hari itu, sedangkan dias hanya duduk melamun sepanjang hari tidak berminat untuk datang ke sekolah, lusita sendiri tetap sekolah dan tetap berusaha bersikap normal, meskipun masih terlihat canggung di hadapan hamdi dan lyara. Hari keempat lusita akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah dias, membujuk laki – laki yang terluka itu, dan saat ini lusita hanya mampu menahan tangisnya saat melihat kedua tangan dias di perban. “Yas,” panggilnya pelan, mencoba menggenggam tangan dias, mencoba mentransfer kehangatan. “Kamu ngapain disini? Nanti lyara marah sama kamu,” lusita menggeleng. “Lyara marah karena aku salah, lagian hamdi juga gak curiga dan lyara belum cerita apa – apa ke hamdi, aku khawatir sama kamu,”
“Aku bodoh Lus,”
“Enggak,”
“Aku bukan sahabat yang baik buat hamdi, aku.. aku pecundang Lus, aku.. ya Tuhan rasanya sakit banget Lus,” lusita menyeka air matanya sendiri kasar. “Dengar, kita Cuma perlu bersikap baik – baik aja dihadapan hamdi, aku yakin hamdi gak akan kenapa – napa, kita jalani hari kaya’ biasanya, anggap aja lyara gak tahu apa – apa, bukannya lyara punya masalah sama ingatannya, jadi kita bisa beralibi, aku tahu ini salah tapi Cuma ini cara biar kita gak jadi pengkhianat di mata hamdi, setidaknya sampai kita berdua sama – sama yakin tentang perasaan kita,” dias hanya menunduk, air mata yang sejak kemarin ditahannya menetes juga, lusita yang melihat itu langsung mendekap dias, mencoba menenangkan dias dengan kehangatannya. Di ambang pintu lana menatap mereka dengan perasaan campur aduk.
            Lusita yang merasa dias sudah jauh lebih baik bergegas pulang, namun saat sampai di gerbang tangannya di cekal, lana menatapnya penuh tanya dan cenderung tajam.
“Kenapa kakak ngelakuin ini semua,??”
“Maksud kamu apa??”
“Kenapa kakak harus ada di kehidupan kak dias?? Kenapa kakak gak jujur sama kak hamdi tentang perasaan kakak?? Kenapa kakak malah lebih milih menjalin hubungan diam – diam dengan kak dias??”
“Siapa yang bilang?? Lyara??”
“Bukan, aku denger semuanya tadi, kalian jahat banget sih??”
“Bukan itu, aku gak mau hamdi benci sama aku, dias juga sama, kita terpaksa bohong karena gak mau buat hamdi sakit,”
“Kenapa kalian berfikir seolah kalianlah yang menguasai kak hamdi,”
“Kamu gak tahu rasanya di benci Lan, itu sakit sakit banget,”
“Tapi kalau kakak di benci karena kesalahan yang udah kakak buat, adil kan??” lusita mematung di tempatnya, sedangkan lana melangkah menuju rumahnya, menghiraukan lusita yang terdiam kaku di depan pintu gerbang.
            Dewa menghela nafas panjang saat mendapati lyara tengah melamun di kursinya, setelah adegan memalukannya waktu itu, dia menjadi lebih dekat dengan lyara dan menyatakan perasaannya kepada gadis itu dan disambut baik meskipun hubungannya harus secara sembunyi – sembunyi.  Lyara memang bercerita kalau hamdi sedang jatuh sakit, sehingga tidak ada yang menemaninya di rumah, akhirnya setelah berfikir lama dewa memutuskan untuk menghampiri lyara. “Ra,” tegurnya pelan, takut mengejutkan lyara yang sedang termenung. “Kenapa Wa??”
“Harusnya aku yang nanya gitu, kamu lagi kenapa?? Kok murung gitu??”
“Kak hamdi,”
“Kenapa?? Perasaan belum sembuh – sembuh aja,”
“Aku gak tahu Wa,”
“Kak hamdi pasti sembuh kok, pulang sekolah jadi ke rumah aku kan??” lyara mengangguk, sebenarnya dia masih penasaran dengan sosok ibu dewa yang menurutnya `sakit` namun sampai detik ini dia belum berani untuk menanyakannya. “Yaudah nanti mau langsung atau ganti baju dulu??”
“Langsung aja deh, abis ke rumah kamu kita ke RS yaa,” dewa mengangguk, menurutnya apapun  itu asal membuat lyara senang dia akan melakukannya. Sedangkan tak jauh, lana yang tengah merangkul bahu aira melepaskan rangkulan itu, menatap kebersamaan dewa dan lyara penuh tanya, kemudian ekor matanya mencari keberadaan bastian, sejak malam itu bastian tidak masuk sekolah karena sakit dan jujur dia benar – benar bingung dengan semua yang terjadi akhir – akhir ini, dias yang akhirnya sekolahpun sekarang menjadi begitu pendiam, malam itu luka dimalam itu masih basah dan terasa sakit.
            Dea membaca komik di tangannya dengan perasaan tidak karuan, jelas saja sudah beberapa hari ini bastian tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, mungkin kalau lana bisa dimaklumi namun pemuda berkulit pucat itu hanya ijin selama tiga hari sedangkan bastian sudah hari kelima tidak masuk sekolah membuatnya merasa begitu khawatir. Lyara yang menyadari kemurungan sahabatnya itu hanya mampu menatap dea dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Mereka berdua sama – sama tidak tahu kondisi bastian. Mereka tidak tahu kalau bastian sedang tergolek lemah di ranjangnya dengan tatapan kosong dan jangan lupakan matanya yang bengkak, bu sandra mati – matian menahan tangis melihat kondisi putra semata wayangnya, sebuah fakta yang selama ini disembunyikan dari bastian akhirnya terkuak setelah malam itu dan sampai sekarang putra paling disayangnya itu masih belum bisa menerimanya. “Bu,” bastian melirih, memanggil wanita hebat yang sudah merawatnya dengan sabar seorang diri. Bu sandra yang mendengar itu bergegas menghampiri putranya itu, senang akhirnya putranya mau berbicara setelah sekian hari. “Bu, kalau aku buta siapa yang bakal jagain Ibu??”
“Kamu gak akan buta sayang, kalau kamu berhenti ngambek, Ibu akan lakuin apapun biar kamu sembuh,  kamu jangan kaya’ gini lagi yaaa Ibu takut kalau kamu kaya’ gini,” air mata bu sandra menetes begitupun dengan bastian. “Kita ke rumah sakit yaa, kita obatin mata bengkakmu, kalau dirumah terus kamu gak bisa lihat lyara, kamu gak kangen?? Makanya bengkaknya harus sembuh biar bisa sekolah dan lihat lyara lagi,” bastian mengangguk kemudian dengan dibantu bu sandra bangkit dari posisinya dan melangkah tertatih menuju mobil. Dia akan melakukan apapun demi tetap melihat lyara.
            Lusita menatap dias yang sedang termenung di pinggir lapangan basket, saat ini adalah istirahat makan siang sebelum pemadatan untuk UN, lusita tahu dias belum makan hingga dia memutuskan untuk membawakan makanan untuk dias. “Yas,makan dulu yaa aku suapin,” dias menggeleng membuat lusita menghela nafas panjang. “Yas, kamu jangan gini terus dong, kalau kamu kaya’ gini semua orang bakal curiga,”
“Sakit Lus,” lusita hanya menghela nafas panjang, perban masih melilit kedua tangan dias sepertinya kakaknya tidak berniat melepas perban itu sampai lukanya benar – benar sembuh, bukan luka ditangan saja namun juga luka di hati dias. “Kenapa jadi aneh, harusnya kita baik – baik aja, kemarin sandiwara kita lumayan kan?? Setidaknya hamdi masih menganggap kita ada Yas, seenggaknya hamdi gak benci sama kita,”
                 
“Sekarang enggak, kalau dia udah tahu,?” lusita benci bila diingatkan seperti itu, dia tidak mau menjadi pecundang, demi apapun tidak mau. “Sekarang ya sekarang Yas, jangan mikirin besok yang gak pasti, aku mohon Yas, kita Cuma bersikap normal aja kok,” dias menghela nafas panjang kemudian bangkit dan meninggalkan lusita tanpa kata.
            Hamdi menatap jam dinding yang berada di kamar rawatnya, kemudian menghela nafas panjang biasanya lyara akan berkunjung untuk menemaninya jalan – jalan ditaman, namun hari ini lyara bilang ada urusan dengan dewa dan datang terlambat, jadilah hamdi duduk merenung sendiri, memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Sebenarnya hamdi sudah merengek minta pulang kepada kakek dan paman – pamannya, namun mereka sama sekali tidak menggubrisnya dan menahannya di rumah sakit lebih lama, namun sekarang dia bersyukur karena infus yang membuat tangannya kebas bukan main sudah dilepas, tinggal pemulihan kondisi begitu kata kakeknya. Menurutnya, proses pemulihan itu bisa dilakukan dirumah namun sang kakek benar – benar melarangnya dengan alasan tidak bisa mengontrol. “Sekarang udah tahu gimana rasanya kan??” hamdi tersenyum mengingat ucapan lyara saat hamdi melaporkan perihal kelakuan kakek dan pamannya. Namun kemudian berubah murung saat sang kakek dan paman sama sekali tidak memberitahunya perihal sakitnya selain bengkak di perutnya yang sekarang sudah memudar. Merasa bosan, akhirnya dengan tubuh yang masih lemas hamdi turun dari ranjang berniat jalan – jalan sendiri di taman, hamdi menyambar jaket yang kemarin dibawakan lyara memakainya kemudian berjalan keluar kamar, sejenak dia melihat kesekeliling kemudian tersenyum  dan memakai tudung jaketnya, berjalan mengendap seperti pencuri, dalam hati hamdi tertawa ingin melihat bagaimana ekspresi kakeknya saat tidak mendapatinya di kamar, menyenangkan hamdi baru tahu perasaan lyara saat mencoba kabur dari rumah sakit.
            Lyara yang kedua kalinya memasuki halaman rumah dewa masih saja terkagum dengan bunga – bunga indah yang terawat begitu baik di halaman yang tidak begitu luas itu. Dilihatnya ibu dewa, melisa sedang menyiram tanaman dengan senyuman manisnya namun sekali lagi tatapan mata melisa kosong. Dan itu sukses membuat dahi lyara berkerut. “Ra, ayo,” ajakan dewa membuatnya bergegas mengikuti laki – laki berkulit putih bersih itu.
“Wa, kenapa ibu kamu nyiram tanamannya sekarang, bukannya paling bagus itu sore sama pagi yaa?” dewa menelan saliva pahitnya, pertanyaan itu juga sedari dulu ditanyakan, namun bukannya mendapat jawaban dewa malah dianggap angin lalu. “Aku udah nanya itu ratusan kali, tapi ibu Cuma jawab dia maunya sekarang,”
“Aneh,”
“Ayo masuk, kita harus selesaiin pekerjaan kita kan??” lyara mengangguk mengikuti langkah dewa dengan lunglai. Lyara menghela nafas panjang saat melisa langsung berlari begitu melihatnya, berlari ketakutan sembari menutup kedua telinganya dan itu membuat lyara mengambil satu kesimpulan.
            Aira menatap wajah lana dengan senyuman yang terpatri kuat, dia tidak menyangka bahwa sekarang dia menjadi kekasih lana, orang yang sudah lama dikaguminya itu dan berhasil membuat lana jauh dari lyara, namun kemudian senyuman itu luntur saat lana terlihat berbeda belakangan ini. Bahkan beberapa kali lana terlihat enggan dengan rangkulannya. “Kamu sekarang aneh, kamu kenapa Say??” lana tersenyum kemudian menggeleng merasa semakin bersalah saat melihat wajah aira yang menatapnya penuh cinta dan wajah lyara yang terluka karena malam itu. Lana menghela nafas panjang, sampai saat itu tanda tanya itu masih berputar di otaknya, dia merutuki dirinya sendiri yang begitu lemah sehingga tidak mendengar apa jawaban sang kakak. Dan sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya, mengingat kondisi dias yang sangat menyedihkan, bahkan kakaknya itu semakin pendiam, makan tidak lagi teratur, kerjaan sang kakak hanya duduk melamun, tidak peduli dengan teriakan lita yang menyuruhnya ini  dan itu, awalnya semuanya begitu runyam ayah dan ibunya berulang kali menegur, namun dias hanya diam, pun saat fandi ataupun lita memarahi dias, hingga mereka mencoba memahami dias setelah percobaan bunuh diri dias, mereka mencoba memberi dias waktu untuk berfikir dan menenangkan diri. Lana menghela nafas panjang, yang dia tahu ada sebuah hubungan spesial antara dias yang notabene sahabat hamdi dan lusita yang merupakan kekasih hamdi, ada pengkhianatan disana yang membuat dias uring – uringan dan membuat lusita menjadi jahat dan egois sebenarnya dia tidak tega mengatakan itu namun itulah yang bisa disimpulkannya dari semua kekacauan malam itu dan dias semakin terpuruk saat dipaksa berpura – pura, setahunya kakaknya tidak pernah berpura – pura. Dan lana bisa mengambil kesimpulan bahwa dias tertekan, lana mengepalkan tangannya dia membenci lusita.
            Hamdi yang tengah jalan – jalan dan bersorak riang karena aksi kaburnya tidak diketahui tidak melihat jalannya hingga menabrak seseorang. “Ekh, maaf..” hamdi membantu orang yang telah ditabraknya kemudian memberikan senyumannya membuat orang yang ditabraknya yang merupakan seorang gadis melongo. “Cucu direktur tidak ada dikamarnya, kita harus mencarinya jangan sampai kita kena skors,” mendengar percakapan perawat yang melangkah dengan terburu – buru membuat hamdi sedikit panik. “Sekali lagi, maaf.. aku harus pergi,” selanjutnya hamdi berlari – lari kecil, berniat bersembunyi sejauh mungkin, dia baru sebentar menghirup udara bebas. Sedangkan gadis yang bertabrakan dengan hamdi tadi hanya menatap hamdi dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Hamdi menghentikan langkahnya di taman yang menurutnya jauh dari perhatian orang – orang, hamdi mengatur nafasnya yang sedikit sesak karena berlari – lari, duduk di sebuah kursi yang tersedia kemudian bibirnya melengkungkan senyuman, hamdi sekarang mengerti kenapa lyara sangat suka kabur, karena rasanya menyenangkan membuat orang panik. Senyuman itu luntur saat kepalanya mulai terasa sakit, membuatnya menghela nafas. Hamdi menyenderkan punggungnya di punggu bangku panjang yang muat dua orang itu. “Hey, ini milikmu kan??” tiba- tiba gadis yang ditabraknya tadi menyodorkan earphone dan mp3 playernya, hamdi tersenyum merutuki otaknya yang melupakan benda kesayangan lyara yang dititipkan kepadanya sebagai penghibur saat bosan dengan ocehan sang kakek. “Akh iya, terima kasih, duduklah,” gadis itu duduk disamping hamdi dengan bingung. “Aku hamdi,”
“Anya,”
“Kamu ngapain disini??”
“Jemput kakak sepupuku, dia perawat disini tapi kaya’nya lama gara – gara disuruh nyari cucu direktur dulu,” hamdi ingin tertawa sebenarnya, dia benar – benar merasakan bagaimana menjadi lyara, tawanya sudah tidak  bisa dibendung langsung lepas begitu saja membuat anya kebingungan dengan teman barunya itu. “Kenapa kamu ketawa??”
“Cucu direktur itu pasti nakal yaa,”
“Gitu deh, aku sebenarnya disuruh bantu tapi aku malah kesini buat nyari kamu, lagian kak ira gak ngasih tahu ciri – cirinya gimana,” mendengar nama itu membuat hamdi kembali tergelak, dan membuat anya heran untuk kesekian kali. Suara dering ponsel anya membuat tawa hamdi berhenti, anya mengangkat telfon dari kakak sepupunya itu kemudian mendengus sebal. “Yaudah, aku disuruh bantu nih, aku pergi dulu yaa, kalau aja nanti aku ketemu sama cucu direktur itu aku bakal bejek – bejek,” hamdi kembali tertawa membuat anya semakin heran, namun meninggalkan hamdi begitu saja, lihatlah anya tidak tahu kalau yang sedari tadi berbicara dengannya adalah orang yang dicarinya.
            Lyara yang melihat hamdi tertawa sendiri bergegas menghampiri kakak sepupunya yang sepertinya sedang dalam mode kurang waras. “Kak,?? Kakak waras, perlu aku panggil tante sarah??” hamdi yang mendengar suara lyara menghentikan tawanya, menyeka air mata disudut matanya, kemudian menatap lyara yang sudah duduk anteng disampingnya. “Kamu tahu gak Ly, kakak baru ngrasain gimana asyiknya buat orang panik,” lyara yang masih belum nyambung menatap hamdi penuh tanya. “Oke, kakak jelasin kamu tahu kan kalau aku belum boleh keluar rumah sakit, dan gak boleh jalan – jalan kalau gak ditemani sama orang lain, dan kamu tahu kakak ngelakuin apa yang kamu lakuin dulu, jalan – jalan tanpa orang lain, sendirian dan aduuh kamu tahu mbak ira aja gak tahu kalau ada disampingnya berkat jaket ini, dan aku ketemu adik sepupu mbak ira dia juga disuruh nyari aku dan kamu tahu anya sama sekali gak tahu kalau orang yang dicarinya ada dihadapannya, Ly.. sumpah itu.... au,” cerita hamdi terpotong rintihannya karena telinganya terasa panas, sedangkan lyara hanya tersenyum di tempatnya sebenarnya sudah sejak tadi lyara memperingatkan tentang kehadiran kakek hendra dan om farkhan namun hamdi masih asyik bercerita membuatnya tidak tega sekarang lyara hanya tersenyum meringis saat kedua telinga hamdi dijewer, ayolah lyara pernah merasakan itu dan rasanya pasti sangat panas. “Jangan membuat semua orang khawatir hamdi, kamu ini yaa sudah berani kabur lihat nanti kakek akan menunda kepulanganmu dari rumah sakit dan memberimu obat tidur dengan infus di kedua lenganmu biar kamu gak kemana – mana,”
“Kakek, Om lepas dong panas nih telinga hamdi, Ly tolong kakak..”
“Emang si kak, buat orang lain cemas itu asyik, tapi gak asyik kalau ketahuan hehe, aku pernah dihukum seperti itu dulu, ingat??” hamdi menghela nafas panjang, rasa panas ditelinganya berganti rasa nyeri yang menyakitkan dibagian kepalanya, refleks hamdi memijat bagian kepala yang terasa sakit, dan itu membuat kakek hendra dan om farkhan melepaskan tangannya dari telinga hamdi dan lyara menjerit karena melihat hamdi mimisan, dan mereka semakin panik saat tubuh hamdi perlahan limbun. Hamdi pingsan untuk kesekian kalinya.


To Be Continue
#Khichand_Lee