Hari
berlalu, lana tidak masuk sekolah selama tiga hari setelah tragedi pingsannya
di hari itu, sedangkan dias hanya duduk melamun sepanjang hari tidak berminat
untuk datang ke sekolah, lusita sendiri tetap sekolah dan tetap berusaha
bersikap normal, meskipun masih terlihat canggung di hadapan hamdi dan lyara.
Hari keempat lusita akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah dias, membujuk
laki – laki yang terluka itu, dan saat ini lusita hanya mampu menahan tangisnya
saat melihat kedua tangan dias di perban. “Yas,” panggilnya pelan, mencoba
menggenggam tangan dias, mencoba mentransfer kehangatan. “Kamu ngapain disini?
Nanti lyara marah sama kamu,” lusita menggeleng. “Lyara marah karena aku salah,
lagian hamdi juga gak curiga dan lyara belum cerita apa – apa ke hamdi, aku
khawatir sama kamu,”
“Aku
bodoh Lus,”
“Enggak,”
“Aku
bukan sahabat yang baik buat hamdi, aku.. aku pecundang Lus, aku.. ya Tuhan
rasanya sakit banget Lus,” lusita menyeka air matanya sendiri kasar. “Dengar,
kita Cuma perlu bersikap baik – baik aja dihadapan hamdi, aku yakin hamdi gak
akan kenapa – napa, kita jalani hari kaya’ biasanya, anggap aja lyara gak tahu
apa – apa, bukannya lyara punya masalah sama ingatannya, jadi kita bisa
beralibi, aku tahu ini salah tapi Cuma ini cara biar kita gak jadi pengkhianat
di mata hamdi, setidaknya sampai kita berdua sama – sama yakin tentang perasaan
kita,” dias hanya menunduk, air mata yang sejak kemarin ditahannya menetes
juga, lusita yang melihat itu langsung mendekap dias, mencoba menenangkan dias
dengan kehangatannya. Di ambang pintu lana menatap mereka dengan perasaan
campur aduk.
Lusita yang merasa dias sudah jauh
lebih baik bergegas pulang, namun saat sampai di gerbang tangannya di cekal,
lana menatapnya penuh tanya dan cenderung tajam.
“Kenapa
kakak ngelakuin ini semua,??”
“Maksud
kamu apa??”
“Kenapa
kakak harus ada di kehidupan kak dias?? Kenapa kakak gak jujur sama kak hamdi
tentang perasaan kakak?? Kenapa kakak malah lebih milih menjalin hubungan diam
– diam dengan kak dias??”
“Siapa
yang bilang?? Lyara??”
“Bukan,
aku denger semuanya tadi, kalian jahat banget sih??”
“Bukan
itu, aku gak mau hamdi benci sama aku, dias juga sama, kita terpaksa bohong
karena gak mau buat hamdi sakit,”
“Kenapa
kalian berfikir seolah kalianlah yang menguasai kak hamdi,”
“Kamu
gak tahu rasanya di benci Lan, itu sakit sakit banget,”
“Tapi
kalau kakak di benci karena kesalahan yang udah kakak buat, adil kan??” lusita
mematung di tempatnya, sedangkan lana melangkah menuju rumahnya, menghiraukan
lusita yang terdiam kaku di depan pintu gerbang.
Dewa menghela nafas panjang saat
mendapati lyara tengah melamun di kursinya, setelah adegan memalukannya waktu
itu, dia menjadi lebih dekat dengan lyara dan menyatakan perasaannya kepada
gadis itu dan disambut baik meskipun hubungannya harus secara sembunyi –
sembunyi. Lyara memang bercerita kalau
hamdi sedang jatuh sakit, sehingga tidak ada yang menemaninya di rumah,
akhirnya setelah berfikir lama dewa memutuskan untuk menghampiri lyara. “Ra,”
tegurnya pelan, takut mengejutkan lyara yang sedang termenung. “Kenapa Wa??”
“Harusnya
aku yang nanya gitu, kamu lagi kenapa?? Kok murung gitu??”
“Kak
hamdi,”
“Kenapa??
Perasaan belum sembuh – sembuh aja,”
“Aku
gak tahu Wa,”
“Kak
hamdi pasti sembuh kok, pulang sekolah jadi ke rumah aku kan??” lyara
mengangguk, sebenarnya dia masih penasaran dengan sosok ibu dewa yang
menurutnya `sakit` namun sampai detik ini dia belum berani untuk menanyakannya.
“Yaudah nanti mau langsung atau ganti baju dulu??”
“Langsung
aja deh, abis ke rumah kamu kita ke RS yaa,” dewa mengangguk, menurutnya
apapun itu asal membuat lyara senang dia
akan melakukannya. Sedangkan tak jauh, lana yang tengah merangkul bahu aira
melepaskan rangkulan itu, menatap kebersamaan dewa dan lyara penuh tanya,
kemudian ekor matanya mencari keberadaan bastian, sejak malam itu bastian tidak
masuk sekolah karena sakit dan jujur dia benar – benar bingung dengan semua
yang terjadi akhir – akhir ini, dias yang akhirnya sekolahpun sekarang menjadi
begitu pendiam, malam itu luka dimalam itu masih basah dan terasa sakit.
Dea membaca komik di tangannya
dengan perasaan tidak karuan, jelas saja sudah beberapa hari ini bastian tidak
masuk sekolah dengan alasan sakit, mungkin kalau lana bisa dimaklumi namun
pemuda berkulit pucat itu hanya ijin selama tiga hari sedangkan bastian sudah
hari kelima tidak masuk sekolah membuatnya merasa begitu khawatir. Lyara yang
menyadari kemurungan sahabatnya itu hanya mampu menatap dea dengan tatapan yang
tidak bisa diartikan. Mereka berdua sama – sama tidak tahu kondisi bastian.
Mereka tidak tahu kalau bastian sedang tergolek lemah di ranjangnya dengan
tatapan kosong dan jangan lupakan matanya yang bengkak, bu sandra mati – matian
menahan tangis melihat kondisi putra semata wayangnya, sebuah fakta yang selama
ini disembunyikan dari bastian akhirnya terkuak setelah malam itu dan sampai
sekarang putra paling disayangnya itu masih belum bisa menerimanya. “Bu,”
bastian melirih, memanggil wanita hebat yang sudah merawatnya dengan sabar
seorang diri. Bu sandra yang mendengar itu bergegas menghampiri putranya itu,
senang akhirnya putranya mau berbicara setelah sekian hari. “Bu, kalau aku buta
siapa yang bakal jagain Ibu??”
“Kamu
gak akan buta sayang, kalau kamu berhenti ngambek, Ibu akan lakuin apapun biar
kamu sembuh, kamu jangan kaya’ gini lagi
yaaa Ibu takut kalau kamu kaya’ gini,” air mata bu sandra menetes begitupun
dengan bastian. “Kita ke rumah sakit yaa, kita obatin mata bengkakmu, kalau
dirumah terus kamu gak bisa lihat lyara, kamu gak kangen?? Makanya bengkaknya
harus sembuh biar bisa sekolah dan lihat lyara lagi,” bastian mengangguk
kemudian dengan dibantu bu sandra bangkit dari posisinya dan melangkah tertatih
menuju mobil. Dia akan melakukan apapun demi tetap melihat lyara.
Lusita menatap dias yang sedang
termenung di pinggir lapangan basket, saat ini adalah istirahat makan siang
sebelum pemadatan untuk UN, lusita tahu dias belum makan hingga dia memutuskan
untuk membawakan makanan untuk dias. “Yas,makan dulu yaa aku suapin,” dias
menggeleng membuat lusita menghela nafas panjang. “Yas, kamu jangan gini terus
dong, kalau kamu kaya’ gini semua orang bakal curiga,”
“Sakit
Lus,” lusita hanya menghela nafas panjang, perban masih melilit kedua tangan
dias sepertinya kakaknya tidak berniat melepas perban itu sampai lukanya benar
– benar sembuh, bukan luka ditangan saja namun juga luka di hati dias. “Kenapa
jadi aneh, harusnya kita baik – baik aja, kemarin sandiwara kita lumayan kan??
Setidaknya hamdi masih menganggap kita ada Yas, seenggaknya hamdi gak benci
sama kita,”
“Sekarang
enggak, kalau dia udah tahu,?” lusita benci bila diingatkan seperti itu, dia
tidak mau menjadi pecundang, demi apapun tidak mau. “Sekarang ya sekarang Yas,
jangan mikirin besok yang gak pasti, aku mohon Yas, kita Cuma bersikap normal
aja kok,” dias menghela nafas panjang kemudian bangkit dan meninggalkan lusita
tanpa kata.
Hamdi menatap jam dinding yang
berada di kamar rawatnya, kemudian menghela nafas panjang biasanya lyara akan
berkunjung untuk menemaninya jalan – jalan ditaman, namun hari ini lyara bilang
ada urusan dengan dewa dan datang terlambat, jadilah hamdi duduk merenung
sendiri, memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Sebenarnya hamdi sudah
merengek minta pulang kepada kakek dan paman – pamannya, namun mereka sama
sekali tidak menggubrisnya dan menahannya di rumah sakit lebih lama, namun
sekarang dia bersyukur karena infus yang membuat tangannya kebas bukan main
sudah dilepas, tinggal pemulihan kondisi begitu kata kakeknya. Menurutnya,
proses pemulihan itu bisa dilakukan dirumah namun sang kakek benar – benar
melarangnya dengan alasan tidak bisa mengontrol. “Sekarang udah tahu gimana
rasanya kan??” hamdi tersenyum mengingat ucapan lyara saat hamdi melaporkan
perihal kelakuan kakek dan pamannya. Namun kemudian berubah murung saat sang
kakek dan paman sama sekali tidak memberitahunya perihal sakitnya selain bengkak
di perutnya yang sekarang sudah memudar. Merasa bosan, akhirnya dengan tubuh
yang masih lemas hamdi turun dari ranjang berniat jalan – jalan sendiri di
taman, hamdi menyambar jaket yang kemarin dibawakan lyara memakainya kemudian
berjalan keluar kamar, sejenak dia melihat kesekeliling kemudian tersenyum dan memakai tudung jaketnya, berjalan
mengendap seperti pencuri, dalam hati hamdi tertawa ingin melihat bagaimana
ekspresi kakeknya saat tidak mendapatinya di kamar, menyenangkan hamdi baru
tahu perasaan lyara saat mencoba kabur dari rumah sakit.
Lyara yang kedua kalinya memasuki
halaman rumah dewa masih saja terkagum dengan bunga – bunga indah yang terawat
begitu baik di halaman yang tidak begitu luas itu. Dilihatnya ibu dewa, melisa
sedang menyiram tanaman dengan senyuman manisnya namun sekali lagi tatapan mata
melisa kosong. Dan itu sukses membuat dahi lyara berkerut. “Ra, ayo,” ajakan
dewa membuatnya bergegas mengikuti laki – laki berkulit putih bersih itu.
“Wa,
kenapa ibu kamu nyiram tanamannya sekarang, bukannya paling bagus itu sore sama
pagi yaa?” dewa menelan saliva pahitnya, pertanyaan itu juga sedari dulu
ditanyakan, namun bukannya mendapat jawaban dewa malah dianggap angin lalu.
“Aku udah nanya itu ratusan kali, tapi ibu Cuma jawab dia maunya sekarang,”
“Aneh,”
“Ayo
masuk, kita harus selesaiin pekerjaan kita kan??” lyara mengangguk mengikuti
langkah dewa dengan lunglai. Lyara menghela nafas panjang saat melisa langsung
berlari begitu melihatnya, berlari ketakutan sembari menutup kedua telinganya dan
itu membuat lyara mengambil satu kesimpulan.
Aira menatap wajah lana dengan
senyuman yang terpatri kuat, dia tidak menyangka bahwa sekarang dia menjadi
kekasih lana, orang yang sudah lama dikaguminya itu dan berhasil membuat lana
jauh dari lyara, namun kemudian senyuman itu luntur saat lana terlihat berbeda
belakangan ini. Bahkan beberapa kali lana terlihat enggan dengan rangkulannya.
“Kamu sekarang aneh, kamu kenapa Say??” lana tersenyum kemudian menggeleng
merasa semakin bersalah saat melihat wajah aira yang menatapnya penuh cinta dan
wajah lyara yang terluka karena malam itu. Lana menghela nafas panjang, sampai
saat itu tanda tanya itu masih berputar di otaknya, dia merutuki dirinya
sendiri yang begitu lemah sehingga tidak mendengar apa jawaban sang kakak. Dan
sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya, mengingat kondisi dias yang
sangat menyedihkan, bahkan kakaknya itu semakin pendiam, makan tidak lagi
teratur, kerjaan sang kakak hanya duduk melamun, tidak peduli dengan teriakan
lita yang menyuruhnya ini dan itu,
awalnya semuanya begitu runyam ayah dan ibunya berulang kali menegur, namun
dias hanya diam, pun saat fandi ataupun lita memarahi dias, hingga mereka
mencoba memahami dias setelah percobaan bunuh diri dias, mereka mencoba memberi
dias waktu untuk berfikir dan menenangkan diri. Lana menghela nafas panjang,
yang dia tahu ada sebuah hubungan spesial antara dias yang notabene sahabat
hamdi dan lusita yang merupakan kekasih hamdi, ada pengkhianatan disana yang
membuat dias uring – uringan dan membuat lusita menjadi jahat dan egois
sebenarnya dia tidak tega mengatakan itu namun itulah yang bisa disimpulkannya
dari semua kekacauan malam itu dan dias semakin terpuruk saat dipaksa berpura –
pura, setahunya kakaknya tidak pernah berpura – pura. Dan lana bisa mengambil
kesimpulan bahwa dias tertekan, lana mengepalkan tangannya dia membenci lusita.
Hamdi yang tengah jalan – jalan dan
bersorak riang karena aksi kaburnya tidak diketahui tidak melihat jalannya
hingga menabrak seseorang. “Ekh, maaf..” hamdi membantu orang yang telah
ditabraknya kemudian memberikan senyumannya membuat orang yang ditabraknya yang
merupakan seorang gadis melongo. “Cucu direktur tidak ada dikamarnya, kita
harus mencarinya jangan sampai kita kena skors,” mendengar percakapan perawat
yang melangkah dengan terburu – buru membuat hamdi sedikit panik. “Sekali lagi,
maaf.. aku harus pergi,” selanjutnya hamdi berlari – lari kecil, berniat
bersembunyi sejauh mungkin, dia baru sebentar menghirup udara bebas. Sedangkan
gadis yang bertabrakan dengan hamdi tadi hanya menatap hamdi dengan tatapan
yang tidak bisa diartikan. Hamdi menghentikan langkahnya di taman yang
menurutnya jauh dari perhatian orang – orang, hamdi mengatur nafasnya yang
sedikit sesak karena berlari – lari, duduk di sebuah kursi yang tersedia
kemudian bibirnya melengkungkan senyuman, hamdi sekarang mengerti kenapa lyara
sangat suka kabur, karena rasanya menyenangkan membuat orang panik. Senyuman
itu luntur saat kepalanya mulai terasa sakit, membuatnya menghela nafas. Hamdi
menyenderkan punggungnya di punggu bangku panjang yang muat dua orang itu.
“Hey, ini milikmu kan??” tiba- tiba gadis yang ditabraknya tadi menyodorkan
earphone dan mp3 playernya, hamdi tersenyum merutuki otaknya yang melupakan
benda kesayangan lyara yang dititipkan kepadanya sebagai penghibur saat bosan
dengan ocehan sang kakek. “Akh iya, terima kasih, duduklah,” gadis itu duduk
disamping hamdi dengan bingung. “Aku hamdi,”
“Anya,”
“Kamu
ngapain disini??”
“Jemput
kakak sepupuku, dia perawat disini tapi kaya’nya lama gara – gara disuruh nyari
cucu direktur dulu,” hamdi ingin tertawa sebenarnya, dia benar – benar
merasakan bagaimana menjadi lyara, tawanya sudah tidak bisa dibendung langsung lepas begitu saja
membuat anya kebingungan dengan teman barunya itu. “Kenapa kamu ketawa??”
“Cucu
direktur itu pasti nakal yaa,”
“Gitu
deh, aku sebenarnya disuruh bantu tapi aku malah kesini buat nyari kamu, lagian
kak ira gak ngasih tahu ciri – cirinya gimana,” mendengar nama itu membuat
hamdi kembali tergelak, dan membuat anya heran untuk kesekian kali. Suara
dering ponsel anya membuat tawa hamdi berhenti, anya mengangkat telfon dari
kakak sepupunya itu kemudian mendengus sebal. “Yaudah, aku disuruh bantu nih,
aku pergi dulu yaa, kalau aja nanti aku ketemu sama cucu direktur itu aku bakal
bejek – bejek,” hamdi kembali tertawa membuat anya semakin heran, namun
meninggalkan hamdi begitu saja, lihatlah anya tidak tahu kalau yang sedari tadi
berbicara dengannya adalah orang yang dicarinya.
Lyara yang melihat hamdi tertawa
sendiri bergegas menghampiri kakak sepupunya yang sepertinya sedang dalam mode
kurang waras. “Kak,?? Kakak waras, perlu aku panggil tante sarah??” hamdi yang
mendengar suara lyara menghentikan tawanya, menyeka air mata disudut matanya,
kemudian menatap lyara yang sudah duduk anteng disampingnya. “Kamu tahu gak Ly,
kakak baru ngrasain gimana asyiknya buat orang panik,” lyara yang masih belum
nyambung menatap hamdi penuh tanya. “Oke, kakak jelasin kamu tahu kan kalau aku
belum boleh keluar rumah sakit, dan gak boleh jalan – jalan kalau gak ditemani
sama orang lain, dan kamu tahu kakak ngelakuin apa yang kamu lakuin dulu, jalan
– jalan tanpa orang lain, sendirian dan aduuh kamu tahu mbak ira aja gak tahu
kalau ada disampingnya berkat jaket ini, dan aku ketemu adik sepupu mbak ira
dia juga disuruh nyari aku dan kamu tahu anya sama sekali gak tahu kalau orang
yang dicarinya ada dihadapannya, Ly.. sumpah itu.... au,” cerita hamdi
terpotong rintihannya karena telinganya terasa panas, sedangkan lyara hanya
tersenyum di tempatnya sebenarnya sudah sejak tadi lyara memperingatkan tentang
kehadiran kakek hendra dan om farkhan namun hamdi masih asyik bercerita
membuatnya tidak tega sekarang lyara hanya tersenyum meringis saat kedua
telinga hamdi dijewer, ayolah lyara pernah merasakan itu dan rasanya pasti
sangat panas. “Jangan membuat semua orang khawatir hamdi, kamu ini yaa sudah
berani kabur lihat nanti kakek akan menunda kepulanganmu dari rumah sakit dan
memberimu obat tidur dengan infus di kedua lenganmu biar kamu gak kemana –
mana,”
“Kakek,
Om lepas dong panas nih telinga hamdi, Ly tolong kakak..”
“Emang
si kak, buat orang lain cemas itu asyik, tapi gak asyik kalau ketahuan hehe,
aku pernah dihukum seperti itu dulu, ingat??” hamdi menghela nafas panjang,
rasa panas ditelinganya berganti rasa nyeri yang menyakitkan dibagian
kepalanya, refleks hamdi memijat bagian kepala yang terasa sakit, dan itu
membuat kakek hendra dan om farkhan melepaskan tangannya dari telinga hamdi dan
lyara menjerit karena melihat hamdi mimisan, dan mereka semakin panik saat
tubuh hamdi perlahan limbun. Hamdi pingsan untuk kesekian kalinya.
To Be Continue
#Khichand_Lee